PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar yang mempunyai
beragam bahasa dan etnik.Etnik di Indonesia pada umumnya mempunyai ciri dan budaya tersendiri, termasuk etnik Batak yang berada di wilayah Sumatera Utara. Etnik Batak terdiri dari beberapa etnik yaitu Toba, Simalungun, Karo,
Pak-pak Dairi, Angkola/Mandailing. Kelima sub etnik Batak tersebut memiliki bahasa dan kebudayaan yang hampir sama. Etnik Karo adalah salah
satu dari sub etnik Batak yang memiliki kebudayaan sendiri sejak dahulu. Daerah persebaran etnik Karo memiliki letak geografis yang berbeda-beda yang salah satunya adalah Karo Gugung yang terdapat di Kabupaten Karo.
Namun perbedaan letak geografis tersebut tidak menimbulkan persoalan dalam tata cara pelaksanaan kebudayaanya karena pada umumnya kebudayaan
itu masih mempunyai unsur kesamaan yang amat besar.
Kebudayaan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, kebudayaan meliputi segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah
alam. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Prasetya dalam bukunya yang berjudul Ilmu Budaya Dasar (2004) bahwa arti kebudayaan sangat luas, yang
meliputi kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkan dengan belajar dan semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Salah satu wujud dari kebudayaan adalah adat istiadat sedangkan upacara merupakan wujud nyata aktivitas dari istiadat yang berhubungan dengan
manusia secara keseluruhan disebut kebudayaan yang didalamnya terdapat
unsur kebudayaan uinversal yang terdiri dari tujuh unsur kebudayaan.Salah satu unsur kebudayaan universal adalah sistem religi (sistem kepercayaan)
yang didalamnaya termuat sistem upacara, baik berupa upacara tradisional maupun upacara modern.Masyarakat manusia sebagai usaha untuk memenuhi hasratnya untuk melakukan komunikasi dengan kekuatan-kekuatan adi kodrati
karena di dalamnaya termuat simbol-simbol yang berfungsi sebagai alat komunikasi dengan mahluk lain (Koentjaraningrat, 1981:203-204).
Tata cara adat istiadat etnik Karo terangkum dalam kebudayaan dan sistem yang dikenal dengan istilah sangkep sitelu yang terdiri dari:
1. Kalimbubu, yaitu pihak anak perempuan yang dinikahi dan semua teman
semarganya.
2. Senina/Sembuyak, yaitu saudara semarga.
3. Anak Beru, yaitu pihak laki-laki yang mengawini putri pihak kalimbubu.
Sangkep sitelu ini membuat hubungan antar marga yang satu dengan
marga yang lain diatur sedemikian rupa sehingga tercipta suatu keseimbangan
dan keserasian hidup bermasyarakat yang dikenal dengan istilah daliken
sitelu/ rakut sitelu. Senina harus seia sekata sepenanggungan dan seperasaan
agar tidak terjadi perselisihan dan harus pandai mengambil hati anak beru, karena anak beru diharapkan dapat memberi sumbangan tenaga dan materi.
Anak beru juga merupakan penengah apabila terjadi perselisihan dalam
keluarga kalimbubu, dan anak beru bertugas untuk mendamaikan perselisihan tersebut. Sedangkan kepada kalimbubu harus hormat karena kalimbubu
ni idah atau Allah yang nampak. Peranan masing-masing telah diatur dan
disesuaikan demikian rupa dan tidak semua orang perorangan bebas berbicara dengan orang lain. Ada aturan-aturan yang telah dibuat, sebagai contoh
seorang menantu laki-laki tidak bisa berbicara langsung dengan ibu mertuanya, hal ini adalah pantang atau tabu.
Etnik Karo mengenal bermacam-macam tradisi yang diwariskan secara
turun-temurun. Salah satunya adalah tradisi Nengget, yaitu sebuah upacara yang dilakukan oleh kelompok kerabat dalam rangka mengupayakan adanya keturunan
bagi pasangan suami-istri yang telah lama menikah, namun belum mempunyai keturunan. Nengget juga bisa dilakukan kepada keluarga yang sudah memiliki keturunan namun semuanya perempuan, supaya keluarga ini mempunyai
keturunan anak laki-laki maupun perempuan. Nengget secara harafiah berarti membuat kejutan atau membuat orang terkejut. Sebagaimana etnik Batak pada
umumnya, maka bagi etnik Karo, yang garis keturunanya diperhitungkan melalui laki-laki, maka kehadiran anak laki-laki merupakan dambaan keluarga. Di masa lalu kondisi tersebut sangat ketat. Hal ini dapat dipahami karena anak laki-laki
adalah penerus marga.
Menurut Julianus (2006) ada berbagai jenis nengget berdasarkan fungsinya:
a. Nengget, yang dilakukan menurut adat Karo adalah dengan melakukan
kejutan bagi keluarga yang belum memiliki keturunan dengan harapan agar keluarga ini memperoleh keturunan (laki-laki dan perempuan).
b. Lentarken, yaitu upacara nengget yang dilakukan ketika ada yang
Keluarga yang tidak mempunyai keturunan tiba-tiba ditangkap oleh
turangkunya atau rebunya, kemudian diosei( dipakaikan pakaian adat
secara terbalik) seperti pada acara nengget. Setelah diosei dilakukan acara
menari.
c. Jera la mupus, yaitu upacara nengget yang dilakukan pada acara
memasuki rumah barunya. Di depan pintu masuk mereka dihalangi
turangkunya atau rebunya, sambil berkata, “ma jera kam la mupus ?”
(jeralah kamu yang belum mempunyai keturunan) maka yang oleh
empunya rumah menjawab “jera”. Hal ini dilakukan sebanyak empat kali, dan pada hitungan yang ke-4 ini juga mempunyai makna selpat yang artinya: putus hubungan dengan hal-hal yang tidak baik. Setelah empat
kali ditanya maka mereka diperbolehkan masuk ke rumah barunya.
d. Sengget, yaitu terkejut ini mempunyai proses yang mempunyai arti bagi
etnik Karo. Misalnya seseorang yang terkejut dapat menjadi sakit karena ditinggalkan oleh jiwa atau tendi. Ini bisa jadi kicat atau terjepit di sebuah batu, di sebuah tempat yang angker. Untuk melepaskan tendi ini maka
biasanya dilakukan upacara melepas tendi seperti raleng tendi , ngkiap
tendi, ngkicik tendi, ngkirep tendi. Sebagai upah kepada roh yang menahan
tendi ini biasanya adalah manuk kahul (ayam persembahan) yang dilepas.
Sebagai tanda apabila kahul tersebut diterima, yaitu ayam tersebut dimakan oleh elang.
Penulis akan membahas tentang tradisi nengget bagi keluarga yang belum memiliki keturunan (laki-laki dan perempuan). Tradisi Nengget diprakarsai oleh
beru(pihak laki-laki). Walau bagaimanapun dalam pelaksanaanya kedua
kelompok kerabat tersebut sama-sama terlibat. Dari pihak kalimbubu dan anak beru masih ada lagi yang lebih memiliki peranan yang penting dalam upacara
nengget yaitu turangku atau rebu. Turangku merupakan pihak antara turangku si
dilaki (istri dari ipar suami) dan turangku si diberu (suami dari adik kakak suaminya). Dalam upacara ini turangku sangat memiliki peranan penting.
Turangku inilah yang nantinya menyiramkan air suci atau lau si malem-malem
kepada keluarga tersebut. Padahal sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari
turangku ini tidak dapat saling bertegur sapa.
Tradisi nengget telah banyak ditinggalkan oleh etnik Karo, namun di daerah pedesaan upacara nengget masih kerap dilakukan. Generasi muda etnik Karo tidak
lagi melaksanaakan upacara nengget karena terpengaruh dengan perubahan zaman yang semakin lama semakin modern dan pemikiran yang semakin luas. Selain itu
pengobatan modern yang semakin maju. Sebagian generasi muda Karo juga tidak lagi mempercayai tradisi tersebut, hal ini disebabkan dengan kepercayaan yang mereka yakini seperti agama Kristen, Katolik, Islam. Tradisi nengget mungkin
saja hilang akibat dari zaman yang semakin modern, jadi melalui tulisan ini penulis mendokumentasikan tradisi nengget bahwa tradisi ini pernah dilakukan
oleh etnik Karo.
Penulis akan mengkaji tradisi nengget pada etnik Karo ini dari segi semiotik,
karena penulis merasa tertarik untuk mengetahui arti bentuk, fungsi, makna, nilai, simbol yang ada dalam tradisi nengget pada etnik Karo.
Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah yang akan dibahas
adalah:
a. Bagaimana tahapan upacara dalam tradisi nengget pada etnik Karo?
b. Simbol apa saja yang ditemukan di dalam tradisi nengget pada etnik Karo? c. Apa makna dan fungsi simbol dalam tradisi nengget pada etnik Karo? d. Nilai apa saja yang terkandung dalam tradisi nengget pada etnik Karo?
1.3Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijelaskan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mendeskripsikan tahapan upacara dalam tradisi nengget pada etnik
Karo.
b. Untuk mendeskripsikan simbol yang ditemukan dalam tradisi nengget pada
etnik Karo
c. Untuk mendeskripsikan makna dan simbol pada tradisi nengget pada etnik Karo.
d. Untuk mendeskripsikan nilai simbol yang terdapat dalam tradisi nengget pada etnik Karo.
1.4Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi semua pembaca khusunya terhadap penulis. Adapun manfaat penelitian itu sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui tahapan upacara dalam tradisi nengget pada etnik Karo.
b. Untuk mengetahui simbol apa saja yang terdapat dalam tradisi nengget pada etnik Karo.
c. Untuk mengetahui makna dan fungsi simbol dalam tradisi nengget pada etnik Karo.
d. Untuk mengetahui nilai simbol yang terdapat dalam tradisi nengget pada
etnik Karo.
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Untuk menambah pengalaman, dan suatu kesempatan untuk dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapat dalam kegiatan perkuliahan.
b. Sebagai bahan masukan bagi penulis dalam menambah pengetahuan mengenai tradisi nengget pada etnik Karo.
c. Sebagai informasi bagi setiap pembaca.
d. Sebagai bahan refrensi dan acuan bagi peneliti berikutnya yang memiliki topik yang berkaitan dengan penelitian ini.
e. Menjadi motivasi kepada pembaca untuk mengetahui fungsi, makna, nilai yang terdapat pada simbol dari setiap tradisi yang ada.
f. Sebagai bahan inventarisasi budaya Karo yang mulai hilang karena perkembangan zaman.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA