• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Upacara Adat Cawir Metua Pada Masyarakat Karo Di Kabupaten Langkat: Kajian Semiotik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Upacara Adat Cawir Metua Pada Masyarakat Karo Di Kabupaten Langkat: Kajian Semiotik"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang mempunyai beragam bahasa dan

suku. Suku-suku di Indonesia pada umumnya mempunyai ciri dan budaya tersendiri

termasuk suku Batak yang berada di wilayah Sumatera Utara. Suku Batak terdiri atas

lima subsuku yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Angkola

Mandailing dan Batak Pakpak Dairi. Kelima subsuku Batak tersebut memiliki bahasa dan

kebudayaan yang hampir sama.

Bahasa adalah alat komunikasi yang terdiri atas penanda (signifiant) dan petanda (signifient). Penanda bukanlah bunyi bahasa secara konkrit, melainkan citra bunyi bahasa yang disebut sebagai image acoustique (citra bunyi). Teori tanda ini bersifat dikotimis karena didasari relasi antara dua segi yaitu petanda dan penanda(Saussure, 1974:99).

Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang berupa pengalaman, pikiran,

perasaan, gagasan dan lain sebagainya, yang dapat menjadi tanda bukan hanya bahasa

melainkan barbagai hal yang melingkupi hidup sehari-hari. Seperti tulisan, lukisan, karya

seni, sastra dan lain-lain. Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang

disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu yaitu

artinya.

Kebudayaan merupakan hasil pemikiran manusia yang diturunkan secara turun

temurun dari satu generasi kepada generasi berikutnya dan diterima oleh pewarisnya

(2)

yang menjadi pedoman hidup bagi setiap individu dalam kehidupan di tengah masyarakat

dan setiap individu tersebut terikat kepada norma atau aturan yang telah ditentukan

sebelumnya.

Seperti yang telah dikemukakan di atas, suku Batak Karo adalah salah satu dari

lima subsuku Batak yang sudah memiliki kebudayaan sendiri sejak dahulu. Daerah

persebaran masyarakat karo memiliki letak geografis yang berbeda-beda yang salah

satunya adalah Karo Jahe yang terdapat di Kabupaten Langkat dan sekitarnya. Namun,

perbedaan letak geografis tersebut tidak menimbulkan persoalan dalam tata cara

pelaksanaan kebudayaannya, karena pada umumnya kebudayaan itu masih mempunyai

unsur kesamaan yang amat besar.

Tata cara adat istiadat suku Batak Karo terangkum dalam kebudayaan dan sistem

yang dikenal dengan istilah sangkep sitelu yang terdiri dari:

1. Kalimbubu, yaitu pihak yang anak perempuannya dinikahi dan semua teman

semarganya.

2. Senina/ Sembuyak, yaitu saudara semarga.

3. Anak Beru, yaitu pihak laki-laki yang mengawini putri pihak kalimbubu.

Sangkep sitelu ini membuat hubungan antara merga yang satu dengan yang lain diatur sedemikian rupa sehingga tercipta suatu keseimbangan dan keserasian hidup

(3)

Upacara adat kematian merupakan upacara yang dilaksanakan sebagai tanda

penghormatan terakhir kepada orang yang telah meninggal dunia agar keluarga yang

ditinggalkan selalu mendapat berkat dalam kehidupan sehari-hari. Upacara adat kematian

pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat merupakan salah satu dari berbagai

budaya yang ada pada masyarakat Karo di Kabupaten Langkat yang sangat

memperhatikan tata krama dan cara berbahasa dalam pelaksanaanya.

Dalam penelitian ini akan dijelaskan makna tanda yang terkandung dalam upacara

kematian cawir metua pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat. Penelitian terhadap upacara kematian cawir metua pada masyarakat Karo di Kabupaten Langkat sangat minim. Meskipun selama ini sudah banyak ahli-ahli budaya yang meneliti tentang

upacara kematian cawir metua di Kabupaten Langkat hanya sebatas meneliti deskripsi upacara adat kematian cawir metua tidak mengkaji lambang yang ada pada upacara kematian cawir metua. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan mengkaji makna yang terdapat pada tanda yang ada pada upacara kematian cawir metua

pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat. Penulis akan mengkaji upacara adat

kematian cawir metua pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat ini dari segi semiotik, karena penulis merasa tertarik untuk mengetahui arti atau makna dari tanda atau

(4)

1.2 Rumusan Masalah

Perumusan masalah sangat penting dalam pembuatan skripsi, karena dengan

adanya perumusan masalah maka deskripsi masalah akan terarah hingga hasilnya akan

dapat dipahami dan dimengerti oleh pembaca. Masalah merupakan suatu bentuk

pertanyaan yang memerlukan penyelesaian atau pemecahan. Rumusan masalah

merupakan batasan-batasan dari dari ruang lingkup topik yang diteliti agar tidak terjadi

pembahasan yang terlalu meluas. Rumusan masalah adalah kunci pokok sebuah

penelitian.

Berdasarkan judul di atas rumusan masalah yang dibahas dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimanakah tahapan pelaksanaan upacara kematian cawir metua pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat?

2. Makna apa yang terkandung dalam tanda pada upacara kematian cawir metua

pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang telah dijelaskan

di atas maka penelitian ini bertujuan:

(5)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitan ini diharapkan bermanfaat bagi semua pembaca. Berdasarkan latar

belakang masalah dan rumusan masalah yang telah dijelaskan di atas maka manfaat

penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui lebih luas tentang upacara kematian cawir metua pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat.

2. Sebagai sarana untuk meningkatkan penelitian tentang upacara kematian

cawir metua pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten langkat.

3. Bagi masyarakat umumnya sebagai bahan informasi agar terus menerus

menjalankan upacara adat kematian cawir metua.

4. Bagi penulis sendiri untuk menambah wawasan tentang upacara kematian

pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat khususnya upacara

(6)

1.5 Letak Geografis Kabupaten Langkat

1.5.1 Kondisi Wilayah

1. Geografi.

Kabupaten Langkat terletak pada 3o14’ dan 4o13’ lintang utara, serta 93o51’ dan

98o45’ Bujur Timur dengan batas-batas sebagai berikut:

o Sebelah Utara berbatas dengan selat Malaka dan Provinsi. D.I.Aceh

o Sebelah Selatan berbatas dengan Dati II Karo.

o Sebelah Timur berbatas dengan Dati II Deli Serdang

o Sebelah Barat berbatas dengan Dati II D.I Aceh (Aceh Tengah)

2. Topografi.

Daerah Tingkat II Langkat dibedkan atas 3 bagian

o Pesisir Pantai dengan ketinggian 0 – 4 m di atas permukaan laut

o Dataran rendah dengan ketinggian 0 – 30 m di atas permukaan laut

o Dataran Tinggi dengan ketinggian 30 – 1200 m di atas permukaan laut

3. Jenis – jenis Tanah

(7)

4. Aliran Sungai.

Kabupaten Langkat dialiri oleh 26 sungai besar dan kecil, melalui kecamatan dan

desa-desa, diantara sungai-sungai tersebut adalah : Sungai Wampu, Sungai

Batang Serangan, Sungai Lepan, Sungai Besitang dan lain-lain. Secara umum

sungai-sungai tersebut dimanfaatkan untuk pengairan, perhubungan dan lain-lain.

5. Wisata.

Kabupaten Langkat terdapat taman wisata Bukit Lawang sebagai obyek wisata,

Taman Bukit Lawang ini terletak dikaki Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)

dengan udara sejuk oleh hutan trofis, dibukit Lawang ini terdapat lokasi

rehabilitasi orang hutan (mawas) yang dikelola oleh WNF Taman Nasional

gunung Leuser merupakan asset Nasional terdapat berbagai satwa yang dilindungi

seperti: Badak Sumatera, Rusa, Kijang, Burung Kuau, siamiang juga terdapat

tidak kurang dari 320 jenis burung, 176 binatang menyusui, 194 binatang melata,

52 jenis ampibi serta 3500 jenis species tumbuh-tumbuhan serta yang paling

menarik adalah bunga raflesia yang terbesar di dunia.

6. Industri dan Pertambangan.

Daerah Kabupaten Langkat adalah satu-satunya di Sumatera Utara yang

mempunyai tambang minyak yang dikelola oleh Pertamina dan berada di kota

(8)

a. Kapasitas CDU (MBCD) - Actual 0,51 (510 Barrel/hari) - Discharged 0,50 (500

Barrel/hari).

b. Kapasitas CDU-II (MBCD) - Actual 4,69 (4690 Barrel/hari) - Discharged 4,50

(4500 Barrel/hari)

c. Aspal di Pangkalan Susu - Actual 400 Mm3/hari (400.000m3/hari) - Discharged

850 Mm3/hari (850.000 m3/hari)

Disamping pertambangan minyak di Kabupaten Langkat juga terdapat Industri

Gula yang dikelola oleh PTP IX Kwala madu serta banyak bahan-bahan tambang yang

belum dikelola seperti Coal, Tras, Gamping Stone, Pasir Kwarsa dan lain-lain.

1.5.2 Kependudukan

Berdasarkan angka hasil Sensus Penduduk tahun 2000, penduduk Kabupaten

Langkat berjumlah 902.986 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1,14% pada periode

1990-2000 dan kepadatan penduduk sebesar 144,17 jiwa/km2. sedangkan tahun 1990

adalah sebesar 1,07%.

Untuk tahun 2008, berdasarkan hasil proyeksi penduduk Kabupaten Langkat

bertambah menjadi 1.042.523 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1,80 untuk

(9)

dengan kepadatan 918 jiwa/km2 dan Kecamatan Batang Serangan merupakan kecamatan

dengan kepadatan penduduk terkecil yaitu sebesar 42 jiwa/km2.

Berdasarkan hasil SP2000 penduduk Kabupaten Langkat mayoritas bersuku

bangsa Jawa (56,87%), diikuti dengan suku Melayu (14,93%), Karo (10,22%), Tapanuli /

Toba (4,50%), Madina (2,54%) dan lainnya (10,94%). Sedangkan agama yang dianut

penduduk Kabupaten Langkat mayoritas agama Islam (90,00%), Kristen Protestan

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini berfokus pada kajian semiotik sosial untuk mengungkapkan semua tanda dan simbol yang terdapat pada teks hobar baik dari segi media yang digunakan selama prosesi

Kabupatcn Langkat, memaltami makna dari simbol yang digunakan dalam proses pelaksanaan upacara, terutama arti dari benda-benda yang men]adi lambang atau simbol

penulis akan mengkaji simbol makanan tradisional etnik Batak Simalungun dari segi semiotika, karena penulis merasa tertarik untuk mengetahui tentang apa saja makanan khas

untuk mendeskripsikan makna tanda pada upacara adat sulang-sulang pahompu Simalungun dan teori Konotasi Bartes akan digunakan sebagai alat untuk mendeskripsika simbol yang

Penelitian ini berfokus pada kajian semiotik sosial untuk mengungkapkan semua tanda dan simbol yang terdapat pada teks hobar baik dari segi media yang digunakan selama prosesi

Alasan menggunakan teori semiotik sosial dalam menganalisis tradisi kelisanan baralek gadang adalah untuk memberi penjelasan bahwa kegiatan berbahasa pada

Pada umumnya rumah adat masyarakat Batak Toba yang disebut juga dengan Gorga Sopo Godang, terdapat berbagai jenis ornamen yang diletakkan di berbagai tempat yang memiliki makna

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan dan berkah untuk menyelesaikan