• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN

2.2 Landasan Teori

Teori menurut F.M Kerlinger (Rakhmat, 2004 : 6) merupakan himpunan konstruk (konsep), definisi, dan preposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut. Peran teori dalam sebuah penelitian diumpakan sebagai “pemandu” seseorang dalam meneliti.

Teori juga dinyatakan sebagai sebuah set dari proposisi yang mengandung suatu pandangan sistematis dari fenomena. Terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan dalam mencermati lebih jauh mengenai teori (Rakhmat, 2004 : 8) yakni:

1. Teori adalah sebuah set proposisi yang terdiri dari konstrak (construct) yang sudah didefinisikan secara luas dan dengan hubungan unsur-unsur dalam set tersebut secara jelas.

2. Teori menjelaskan hubungan antar variable atau antar konstrak sehingga pandangan yang sistematik dari fenomena fenomena yang diterangkan oleh variable dengan jelas kelihatan.

3. Teori menerangkan fenomena dengan cara menspesifikasi variable satu berhubungan dengan variable yang lain.

Suatu kajian atau analisis sudah sewajarnya memakai landasan teori tertentu, supaya penulis mudah menentukan langkah dan arah analisis. Pembahasan yang utama dalam penulisan ini adalah tentang Kajian Nilai Dan Semiotik Budaya Pada Bangunan Masjid Cheng Hoo Di Palembang melalui teori Semiotik Budaya dan teori Nilai Budaya. Penulis memilih teori

Semiotik karena di dalam kajian Semiotik penulis dapat mengetahui dan menganalisis garis besar suatu tanda atau gaya bangunan. Sedangkan teori nilai budaya karena penulis dapat memahami suatu makna tersirat yang ada dalam tiap simbol khusus.

2.2.1 Teori Semiotik Budaya

Semiotik (semiotika) berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda.

Semiotik adalah model penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap mewakili sesuatu objek secara representatif. Istilah semiotik sering digunakan dengan bersama dengan istilah semiologi. Istilah pertama merujuk pada sebuah disiplin sedangkan istilah kedua merujuk pada ilmu tentangnya. Baik semiotik atau semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung di mana istilah itu populer (Endraswara, 2008:64). Lebih jauh lagi, menurut Sudjiman (1992:5) semiotik adalah studi tanda dan segala yang berhubungan denganya: cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya Semiotik dapat menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan lambang, penggunaan lambang, pemaknaan pesan dan cara penyampaiannya.

Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkaitan dengan sebuah tanda dan simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengetahui cara memaknai sebuah bangunan. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia.

Teori semiotik mengarahkan perhatiannya pada tanda, yakni “sesuatu yang mewakili sesuatu.” Secara lebih khusus kita dapat mengatakanbahwa sesuatu yang diwakili itu adalah

“pengalaman manusia,” baik pengalaman fisik maupun pengalaman mental. Pengalaman ada yang bersifat langsung dan tidak langsung. Pengalaman tak langsung dialami melalui tanda.

Dalam sejarah perkembangan teori semiotik ini, maka muncullah berbagai pakar di bidangnya masing-masing. Selain Saussure, terdapat pula pakar lain yaitu: Pierce. Kemudian ada pula Roland Barthes, Michael Riffaterre, Malinowski, Halliday, Ruqaiyah, Endaswara, Yasraf Amir Piliang, van Zoet, Panuti Sudjiman, Littlejohn, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Terlepas dari berbagai paham dalam perkembangan teori semiotik ini, maka dalam konteks penilian terhadap makna dan nilai budaya Masjid Cheng Hoo di Palembang, penulis menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Sander Pierce, terutama untuk kajian budaya. Selanjutnya oleh beberapa pakar semiotik, teori ini disebut dengan semiotik kebudayaan.

Bagi Pierce, tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu. Dalam teori semiotik ada yang disebut proses semiosis, yakni proses pemaknaan dan penafsiran atas benda atau perilaku berdasarkan pengalaman budaya seseorang. Dalam melihat kebudayaan sebagai signifying order, kita dapat membedakan empat faktor yang berkaitan satu sama lain dan perlu diperhatikan, yaitu:

(1) jenis tanda (ikon, indeks, lambang),

(2) jenis sistem tanda (bahasa, musik, gerakan tubuh, dan lukisan), (3) jenis teks (percakapan, grafik, lagu/lirik, komik, dan lukisan), dan

(4) jenis konteks situasi yang mempengaruhi makna tanda (psikologis, sosial, historis, dan kultural).

Semiotik dan hubungannya terhadap budaya sangat erat. Dalam hal ini kajian budaya tersebut dilihat dari tanda atau semiotik terhadap suatu hal. Pada semiotik strukturalis perannya sangatlah jelas dalam kajian budaya. Pada Pierce, semiotik lebih diarahkan pada pemahaman

tentang bagaimana kognisi manusia memahami apa yang berada di sekitarnya, baik lingkungan sosial, alam, maupun jagat raya. Dalam lingkungan sosial yang berkaitan dengan budaya, semua kegiatan atau aktifitas merupakan sebuah tanda atau identitas mereka. Seperti yang kita ketahui, kebudayaan merupakan sesuatu yang cakupannya sangat besar, dimulai dari lingkungan sosial, lingkungan alam, tingkah laku, maupun kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan oleh seseorang.

Kita melihat penggunaan semiotik untuk memahami kebudayaan manusia, sebagai teori tentang tingkah laku manusia (human behavior). Jika dalam suatu lingkungan terdapat benda-benda sebagai tanda mereka suatu kumpulan masyarakat, maka dapat disimpulkan kegiatan apa yang dilakukan sebagai masyarakat kebudayaan itu. Dalam tulisan ini, di lingkungan tersebut terdapat rumah tahfiz, bedug, Al-Qur’an. Kubah, bangunan gaya kelenteng, menara, gerbang, ukiran khas Cina, ayat-ayat suci Al-Qur’an di dinding bangunan, dan seterusnya, maka dapat kita lihat dan tafsirkan bahwa lingkungan ini adalah pusat pendidikan dan ibadah agama Islam, yang juga diekspresikan dengan gaya budaya Tionghoa.

Dalam konteks penelitian ini penulis menggunakan teori semiotik oleh Barthes. Penulis mengkaji makna-makna pada tiap gaya bangunan, yang mencakup: (a) bangunan masjid (b) menara lima tingkat; (c) atap; (d) pintu; (e) simbol segi empat; (f) bedug, (g) warna pada bangunan (h) gerbang; (i) kubah (j) pagar dan lain-lainnya sebagai pendukung struktural bangunan masjid.

Dalam kajian ini, penulis perlu mengkaji fenomena budaya (khususnya keberadaan Masjid Cheng Hoo di Palembang) dengan perspektif semiotik. Seperti diketahui bahwa semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna.

2.2.2 Teori Nilai Budaya

Dalam konteks menganalisis nilai-nilai budaya yang terkandung dalam bangunan Masjid Cheng Hoo di Palembang, penulis menggunakan teori nilai budaya seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat. Menurutnya nilai-nilai budaya akan tampak pada simbol-simbol, slogan, moto, visi dan misi, atau sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok moto suatu lingkungan atau organisasi. Ada tiga hal yang terkait dengan nilai-nilai budaya ini yaitu:

1. Simbol-simbol, slogan (moto) atau yang lainnya yang kelihatan kasat mata (jelas), 2. Sikap, tindak laku, gerak gerik yang muncul akibat simbol atau tersebut,

3. Kepercayaan yang tertanam (believe system) yang mengakar dan menjadi kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku (tidak terlihat) (Koentjaraningrat, 1987:85).

Dokumen terkait