• Tidak ada hasil yang ditemukan

a. Pengertian dan Sintesis Asam Absisat

Asam absisat (Abscisic Acid, ABA) merupakan seskuiterpenoid berkarbon 15 yang disintesis sebagian di kloroplas dan plastida lain melalui lintasan asam mevalonat. Biosintesis ABA pada sebagian besar tumbuhan terjadi secara tidak langsung melalui penguraian karotenoid tertentu yang ada di plastida. Kloroplas daun mengandung karotenoid yang menjadi bahan dasar ABA, sementara di akar, buah, embrio biji serta bagian tumbuhan tertentu lainnya, karotenoid penting berada di kromoplas lain, leukoplas atau proplastid. Semua reaksi yang membentuk xantoksin mungkin berlangsung di plastid, namun tahap berikutnya mungkin terjadi di suatu tempat di sitosol (Salisbury dan Ross, 1995).

Gambar. Struktur kimia dari ABA (Taiz and Zeiger, 2002).

Karotenoid violaxantin dengan konfigurasi trans pada semua ikatan rangkap, oleh suatu enzim diubah menjadi 9-cis violaxantin yang mempunyai konfigurasi cis yang sama dengan ABA pada karbon 2 dan 3. Selanjutnya, 9-cis violaxantin akan teroksidasi oleh O2 dan pecah, melepaskan senyawa atau beberapa senyawa yang belum dikenal (dengan total 25 karbon) dan

xantoksin yaitu epoksida berkarbon 15 dengan struktur serupa dengan ABA. Xantoksin diubah menjadi ABA aldehid dengan membuka cincin epoksida dan dengan oksidasi (oleh NADP+ atau NAD+ ) gugus hidroksil cincin menjadi gugus keto. Akhirnya gugus aldehid di rantai samping ABA aldehid dioksidasi menjadi gugus karboksil ABA. Yang menarik, oksidasi terakhir ini hampir dipastikan membutuhkan koenzim yang mengandung molibdenum yang menunjukkan adanya fungsi penting lain dari molibdenum bagi tumbuhan (Salisbury dan Ross, 1995).

Gambar 2 reaksi sintesis ABA dari karotenoid violaxantin (Salisbury dan Ross, 1995). ABA dapat dinonaktifkan dengan dua cara. Pertama dengan penempelan glukosa pada gugus karboksilnya membentuk ester ABA-glukosa. Ester ini tampaknya hanya terdapat di vakuola. Proses penonaktifan ini juga terjadi pada auksin, giberilin dan sitokinin. Proses

penonaktifan lainnya ialah oksidasi dengan O2 membentuk asam faseat dan asam dihidrofaseat. ABA diangkut dengan mudah dalam xilem dan floem dan juga dalam sel parenkim, biasanya tak ada polaritas, sehingga pergerakan ABA dalam tumbuhan serupa dengan pergerakan giberilin (Salisbury dan Ross, 1995).

b. Fungsi Asam Absisat

Beberapa fungsi dari asam absisat (ABA) dapat dijelaskan sebagai berikut: a ABA menginduksi penutupan stomata

Kandungan ABA dalam daun monokotil dan dikotil meningkat beberapa kali lipat jika daun mengalami keadaan rawan air, baik jika daun dipisahkan dari akarnya taupun tidak. Diketahui pula bahwa akar yang mengalami rawan air juga membentuk ABA lebih banyak dan bahwa ABA ini diangkut melalui xilem menuju daun dan menutup stomata. ABA y ang dipasok oleh akar sebagian besar berasal dari ujung akar dangkal yang mengalami rawan air dan ABA berlaku sebagai isyarat bagi daun jika air tanah mulai habis. Stomata menutup sebagai respon terhadap ABA yang berasal dari akar atau daun, sehingga terlindung dari kekeringan. ABA menyebabkan stomata menutup dengan menghambat pompa proton yang kerjanya bergantung pada ATP di membran plasma sel penjaga. Pompa ini biasanya mengangkut proton keluar dari sel penjaga, dan menyebabkan terjadinya aliran masuk cepat dan penimbunan K+, kemudian terjadi penyerapan air secara osmotik serta pembukaan stomata. Namun, ABA yang bekerja di ruang bebas pada permukaan luar membran plasma sel penjaga membatasi masuknya K+ , sehingga K+ dan air merembes keluar, turgor berkurang dan stomata menutup (Salisbury dan Ross, 1995). b ABA melindungi terhadap keadaan rawan garam dan rawan dingin

Tingkat ABA naik bukan hanya ketika tumbuhan mengalami tekanan akibat pasokan air yang tidak mencukupi, tapi juga akibat tanah bergaram, suhu dingin, suhu beku dan suhu tinggi. Rawan garam menyebabkan terbentuknya beberapa protein baru, khususnya protein berbobot molekul rendah yaitu osmotin (Salisbury dan Ross, 1995).

c ABA menghambat pertumbuhan embrio pada permulaan dormansi biji

Tahapan dalam kehidupan tumbuhan yang menguntungkan jika pertumbuhan dihentikan adalah pada saat permulaan dormansi biji dan ABA bertindak sebagai penghambat pertumbuhan. Akan berkecambah jika ABA dihambat dengan cara membuatnya tidak aktif, membuangnya atau dengan peningkatan aktivitas giberilin (Campbell, 2003). ABA eksogen merupakan penghambat

kuat bagi perkecambahan biji. Ketika dormansi berakhir, oleh suatu keadaan lingkungan misalnya cahaya dan suhu rendah, ABA akan menurun dan biji dapat berkecambah.

d ABA mempengaruhi pengguguran daun

Semula ABA disebut sebagai penyebab penguguran daun. Namun, sejak terbukti bahwa ABA menstimulasi penguguran organ hanya pada beberapa spesies tumbuhan saja dan bahwa hormon utama yang menyebabkan penguguran adalah etilen. Di sisi lain, ABA jelas terlibat dalam pelayuan daun, dan melalui hal ini secara tidak langsung meningkatkan pembentukan dan stimulasi etilen (Taiz and Zeiger, 2002).

c. Hubungan Asam Absisat dengan Pertumbuhan dan Perkembangan Tumbuhan ABA berperan utama dalam mengatur permulaan dan pemeliharaan dormansi pucuk dan biji serta respon tumbuhan terhadap stres. Selain itu ABA juga mempengaruhi berbagai aspek lain pada perkembangan tumbuhan, dengan berinteraksi (biasanya secara berlawanan) dengan auksin, sitokinin, giberilin dan etilen (Taiz and Zeiger, 2002). Salah satu aspek tersebut adalah pada perkembangan biji (embriogenesis).

Perkembangan embrio dapat dibagi dalam tiga fase utama yaitu:

1 Fase pertama, yang ditandai dengan pembelahan sel dan jaringan, zigot mengalami embriogenesis dan proliferasi jaringan endosperm.

2 Fase kedua, pembelahan sel berhenti dan terjadi penimbunan senyawa (cadangan makanan).

3 Fase ketiga, embrio menjadi toleran terhadap pengeringan dan biji menjadi kering (kehilangan 90% air). Sebagai konsekuensi dari pengeringan, metabolisme berhenti dan biji memasuki masa istirahat. Berbeda dengan biji yang mengalami dormansi, biji yang istirahat akan berkecambah jika terkena air.

Dua fase terakhir menghasilkan biji yang aktif dengan sumber yang memadai untuk mendukung perkecambahan dan tahan hingga berminggu-minggu bahkan bertahun-tahun sebelum memulai lagi perkecambahan. Secara khas, kandungan ABA pada biji sangat rendah di awal embriogenesis, dan kemudian berangsur-angsur menurun hingga biji menjadi matang (Taiz and Zeiger, 2002).

Menurut Quatrano (1987), ABA endogen sangat berkaitan dengan pembentukan awal lintasan pematangan normal dan dengan penghambatan perkecambahan dini. Selanjutnya, pada banyak spesies ABA eksogen dapat menyebabkan atau mempercepat pembentukan beberapa protein sebagai cadangan makanan yang khusus dalam embrio yang dibiakkan. Bukti tersebut

menunjukkan bahwa peningkatan taraf ABA secara normal pada awal dan pertengahan fase perkembangan biji dapat mengatur penimbunan protein cadangan (Salisbury dan Ross, 1995). E. ETILEN

Ethylene merupakan hidrokarbon sederhana dengan struktur kimia H2C=CH2. ethylene tampaknya tidak terlalu dibutuhkan untuk pertumbuhan vegetatif, meskipun dapat memiliki dampak yang signifikan pada pengembangan akar dan tunas. Ethylene umumnya digunakan untuk meningkatkan pematangan pisang dan buah-buahan lain. Ethylene sering dihasilkan ketika konsentrasi auksin tinggi. Ethylene ditemukan pada semua tanaman organ akar, batang, daun, umbi, umbi-umbian, buah-buahan, biji-bijian, dan sebagainya meskipun tingkat produksi dapat bervariasi tergantung dari perkembangannya (Hopkins dan Huner, 2009)

a. Etilen Disintesis Dari Asam Amino Metionin

Terdapat tiga tahap jalur untuk biosintesis etilen pada tumbuhan tingkat tinggi. langkah pertama, gugus adenosine (adenin dan ribosa) yang disumbangkan untuk metionin oleh molekul ATP, sehingga membentuk SAM. Konversi metionin untuk SAM dikatalisis oleh enzim metionin adenosyltransferase atau SAM sintetase. Pemecahan SAM untuk menghasilkan 5'-methylthioadenosine (MTA) dan ACC yang dimediasi oleh enzim ACC sintase. Aspek penting yang lain dari biosintesis etilen adalah metionin yang jumlahnya terbatas. Untuk mempertahankan tingkat produksi etilen normal, sulfur yang dilepaskan selama pembentukan etilena harus didaur ulang kembali membentuk metionin sehingga sering disebut sebagai siklus metionin atau juga dikenal sebagai siklus Yang (Hopkins dan Huner, 2009)

Gambar: skema biosintesis etilen (Hopkins dan Huner, 2009) b. Etilen Berperan Dalam Perkembangan Vegetatif

Ethylene dikenal terutama untuk pematangan buah dan penuaan. Ethylene juga telah terbukti untuk merangsang pemanjangan batang, tangkai daun, akar, dan struktur bunga dari tanaman yang hidup di air dan tanaman semiakuatik. Efeknya terutama dicatat dengan tanaman air karena genangan air mengurangi dispersi gas dan dengan demikian mempertahankan etilena internal dengan tingkat yang lebih tinggi. Ethylene banyak merangsang penghambatan dan pertumbuhan abnormal seperti pembengkakan jaringan batang dan lekukan yang terdapat di bawah daun atau epinasty. Daun epinasty terjadi karena pemanjangan sel yang berlebihan pada bagian adaxial daun. Peran ethylene juga untuk perkecambahan biji, penghambatan tunas, mengurangi dominasi apikal, pematangan buah, kematian sel, dan tanggapan patogen (Hopkins dan Huner, 2009)

c. Reseptor Dan Pensinyalan Ethylene

Dengan tidak adanya etilena, sinyal rantai dimulai dengan protein yang disebut Constitutive Triple Response 1 (CTR1). CTR1 berinteraksi dengan domain histidin kinase dari reseptor ETR1. Interaksi ini menyebabkan fosforilasi CTR1 dan memulai aliran sinyal transduksi. CTR1 adalah serine / treonin protein kinase. CTR1 mempengaruhi protein kinase yang akhirnya mengakibatkan satu atau lebih fosforilasi. Protein kinase mirip ke dengan gugus protein mitogen-activated kinase yang berperan penting dalam transduksi sinyal pada hewan, tumbuhan, dan jamur. Ketika etilena terikat dengan reseptor, mencegah interaksi CTR1 dengan ETR1 yang kemudian menginisiasi protein kinase dan selanjutnya melakukan aktivasi gen. Hasilnya adalah bahwa dalam ketiadaan etilena, ekspresi gen etilena selalu dalam keadaan aktif. Pengaruh etilena adalah untuk mengubah gen yang tidak aktif dengan mencegah aktivasi yang diperlukan oleh faktor transkrips (Hopkins dan Huner, 2009)

Gambar: Regulasi gen oleh etilen dan jalur responnya (Hopkins dan Huner, 2009)

F. BRASINOSTEROID

Brassinosteroids adalah hormon steroid dengan struktur kimia mirip dengan hormon steroid pada hewan. Brassinosteroids menimbulkan beragam jenis respon perkembangan, termasuk peningkatan laju batang dan pemanjangan tabung polen, peningkatan pembelahan sel, perkecambahan biji, morfogenesis daun, dominasi apikal, penghambatan pemanjangan akar, diferensiasi vaskular, mempercepat penuaan, dan kematian sel. Brassinosteroids juga terlibat dalam mediasi respon baik tekankan abiotik maupun biotik, termasuk garam, kekeringan, suhu ekstrem, dan patogen (Hopkins dan Huner, 2009)

a. Brassinosteroids Merupakan Polyhydroxylate Sterol Hasil dari Triterpen Squalene Brassinosteroids adalah zat lipoidal polyhydroxylated sterol yang berhubungan dengan biosintesis giberelin dan asam absisat. Tanaman mensintesis sejumlah besar dan berbagai sterol, termasuk sitosterol, stigmasterol, kolesterol, dan campesterol. Sterol adalah triterpenoid dengan 30 atom C yang berasal dari asetat melalui jalur asam mevalonat. Dalam sintesis terpen, penambahan secara berurutan dari 5-karbon isopentenil pirofosfat (IPP) menghasilkan senyawa terpen dengan 10-, 15-, atau 20- atom karbon. Triterpen terbentuk ketika dua unit C15 (farnesyl) bergabung untuk membentuk molekul squalene C30. Langkah pertama adalah reaksi siklisasi untuk membentuk cycloartenol sebagai prekursor umum. Reaksi dekarboksilasi dan oksidasi juga terlibat, karena umumnya sterol kebanyakan memiliki 26-29 karbon dan satu gugus

hidroksil (OH). Diperkirakan bahwa sebagian besar sterol (kecuali stigmasterol) dapat berfungsi sebagai prekursor untuk berbagai brassinosteroids (Hopkins dan Huner, 2009)

Gambar: langkah-langkah utama dalam biosintesis brassinolide dari triterpenoid squalene (Hopkins dan Huner, 2009)

b. Reseptor dan Pensinyalan Brasinosteroid

Reseptor utama untuk brassinosteroids membutuhkan interaksi dua protein yang berupa plasma membran yang terkait dengan heterodimer. Yang pertama adalah serin / treonin kinase dikenal sebagai Brassinosteroid Insensitive 1 (BRI1). Yang kedua adalah protein BRI1-Associated Reseptor kinase (BAK1). Brassinosteroids mengikat ke domain ekstraselular BRI1, yang pertama menginduksi disosiasi protein penghambat (BKI1) yang menghambat asosiasi BAK1 dengan BRI1 dan kemudian meningkatkan dimerisasi dengan BAK1 dan autofosforilasi dari BRI1. Fosforilasi kompleks memulai BR signaling. Salah satu target persinyalan brassinosteroid adalah protein BZR1 (Brassinazole Resistant 1). BZR1 merupakan faktor transkripsi yang tergantung pada fosforilasinya. Dalam keadaan terfosforilasi, BZR1 terperangkap dalam sitoplasma sementara defosforilasi memungkinkan untuk bergerak ke dalam inti. Fosforilasi BZR1 dimediasi oleh dua faktor yaitu; rantai BR signaling dan protein yang berbeda, yaitu BIN2. BIN2 memediasi fosforilasi BZR1 dan dengan demikian tetap menggunakan protein dalam sitoplasma. Di sisi lain sinyal brassinosteroid , menengahi

defosforilasi BZR1, yang keduanya mengaktifkan faktor transkripsi dan mendorong perpindahan ke dalam inti. Setelah di inti, BZR1-P mengikat target di daerah promotor BR-sensitif gen dan menginisiasi transkripsi. Persinyalan BR mungkin juga menghambat kemampuan fosforilasi dari BIN2, sehingga memastikan aktivasi dan lokalisasi inti BZR1 (Hopkins dan Huner, 2009)

Gambar: Skema persinyalan brassinosteroid (BR) (Hopkins dan Huner, 2009).

BAB III KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan makalah yang telah dibuat, hormon pada tumbuhan terdiri dari beberapa hormon dan fungsi yang berbeda-beda. Hormon dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pada tanaman.

B. Saran

Beberapa saran yang dapat penulis berikan, antara lain agar makalah ini dapat menjadi sumber referensi dan ini dapat bermanfaat bagi yang membaca. Jika terdapat kesalahan dalam penulisannya diharapkan dapat memperbaikinya untuk lebih baik kedepannya.

Dokumen terkait