Empat dan PT Bank Central Asia Tbk
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir pada zaman Yunani yang diteruskan kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaisans melalui, antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke, dan Rosseau.
Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya.52
Kebebasan berkontrak adalah refleksi dari perkembangan paham pasar bebas yang dipelopori oleh Adam Smith dengan teori ekonomi klasiknya berdasarkan pemikirannya pada ajaran hukum alam. Hal yang sama menjadi dasar pemikiran Jeremy Bentham yang dikenal dengan utilitarianism. Utilitarianism
51 Sophar Maru Hutagalung, Kontrak Bisnis di ASEAN, Sinar Grafika, Jakarta 2013. hal 164
52 Salim dkk., Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), Op,cit, hal. 2.
dan teori ekonomi klasik laissez faire dianggap saling melengkapi dan sama-sama menghidupkan pemikiran liberal modernsilistis.53
Asas kebebasan berkontrak mengandung arti bahwa seseorang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi berlakunya dan syarat-syarat perjanjian dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih undang-undang mana yang akan dipakainya untuk perjanjian itu.54 Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) dapat di simpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah akan mengikat sebagai Undang-undang bagi para pembuatnya
Perkembangan kebebasan berkontrak dapat mendatangkan ketidak adilan karena prinsip ini hanya dapat mencapai tujuannya, yaitu mendatangkan kesejahteraan seoptimal mungkin, bila para pihak memiliki kedudukan yang seimbang. Dalam kenyataan hal tersebut sering tidak terjadi demikian sehingga negara menganggap perlu campur tangan untuk melindungi pihak yang lemah.
Dalam perkembangannya, kebebasan berkontrak hanya bisa mencapai tujuan bila para pihak mempunyai kedudukan yang seimbang. Jika salah satu pihak lemah maka pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat dapat memaksakan kehendaknya untuk menekan pihak lain demi keuntungan dirinya sendiri. Syarat- syarat atau ketentuan dalam kontrak/perjanjian untuk waktu tertentu yang semacam itu akhirnya akan melanggar aturan-aturan yang adil dan layak.
Keadaan tersebut di atas bisa berlaku dalam hubungan perjanjian antara majikan dengan buruh yang kemudian menimbulkan hal-hal yang negatif dalam
53 0P.S. Atiyah, Hukum Kontrak, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1979, hal. 324
54 Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 2004, hal. 6
arti pihak yang mempunyai kedudukan yang kuat dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, dan pihak yang kuat mendapat keuntungan dari tindakannya tersebut. Asas kebebasan berkontrak ini terkandung dalam Pasal1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan menekankan pada perkataan semua, maka Pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat untuk diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Lebih tegasnya para pihak yang membuat perjanjian dapat menciptakan suatu ketentuan sendiri untuk kepentingan mereka sesuai dengan apa yang dikehendaki.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
4. Menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan.55
Ad.1. Kebebasan bagi para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian Kebebasan ini mengandung pengertian bahwa para pihak bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, tidak ada paksaan bagi para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian. Dikatakan tidak ada paksaan,apabila pihak yang membuat perjanjian tidak berada di bawah ancaman, baik dengan
55Ibid., hal. 67
kekerasan jasmani maupun upaya yang bersifat menakut nakuti,misalnya akan membuka rahasia atau merusak hartanya, sehingga dengan demikian yang bersangkutan terpaksa menyetujui perjanjian tersebut (Pasal 1324 KUHPerdata).
Ad.2. Kebebasan untuk menentukan dengan siapa para pihak akan mengadakan perjanjian
KUH Perdata maupun ketentuan perundang-undangan lainnya tidak melarang bagi seseorang untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun juga yang dikehendakinya. Undang-undang (KUHPerdata) hanya menetukan bahwa orang-orang tertentu tidak cakap untuk membuat perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata. Oleh karena itu, kita bebas untuk menentukan dengan siapa kita akan mengadakan perjanjian.
Ad.3. Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan perjanjian dengan bentuk tertentu atau tidak
Pada umumnya perjanjian terikat pada suatu bentuk tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari, perjanjian dibuat dengan 2 (dua) bentuk, yaitu ; perjanjian secara tertulis dan perjanjian secara tidak tertulis/lisan. Kedua bentuk tersebut sama kekuatanya dalam arti bahwa bentuk perjanjian tersebut sama kedudukanya untuk dapat dilaksanakan oleh para pihak. Namun, secara yuridis untuk perjanjian tertulis dapat dengan mudah dijadikan sebagai alat bukti apabila sampai terjadi persengketaan.56 Sedangkan perjanjian secara tidak tertulis/lisan akan lebih sulit pembuktiannya apabila terjadi persengketaan karena di samping harus dapat menunjukan saksi-saksi, juga harus dibuktikan dengan adanya iktikad baik dari pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian. Apabila salah satu pihak mempunyai
56 Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Op.Cit. hal 65
iktikad tidak baik (misalnya mengingkari kesepakatan), maka halini akan menyulitkan pihak lain dalam membuktikan keabsahan perjanjian yang di maksud.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, untuk beberapa perjanjian tertentu undang-undang menentukan adanya suatu bentuk tertentu (tertulis). Apabila bentuk tertentu itu tidak diikuti, maka perjanjian menjadi tidak sah. Dengan demikian, perjanjian secara tertulis tidaklah hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya perjanjian itu
Mengenai perjanjian tersebut Mariam Darus Badrulzaman mencontohkan pada perjanjian untuk mendirikan Perseroan Terbatas yang harus dengan akta notaris (Pasal 38 Kitab Undang-undang Hukum Dagang).57
Ad.4. Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan isi, berlaku dan syarat-syarat perjanjian
Secara yuridis, eksistensi perjanjian baku masih dipertanyakan karena masih ada yang setuju dengan adanya perjanjian tersebut, tetapi juga ada sarjana yang menolak perjanjian jenis tersebut. Menurut Stein dalam Hasanudin Rahman, bahwa dasar berlakunya perjanjian baku (standar) ini adalah berdasarkan fiksi, adanya kemauan dan kepercayaan yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika dia menerima perjanjian itu, berarti dia secara sukarela setuju pada isi perjanjian itu.58
Selanjutnya, Asser–Rutten dalam Munir Fuady menyatakan bahwa seseorang mengikatkan diri pada perjanjian baku karena dia sudah
57 Ibid., hal. 57
58 Hasanudin Rahman, http://dikaunimed2010.blogspot.co.id/2012/03/kontrak-dan-penye lesaiannya.html, diakses pada tanggal 23 Oktober 2018.
menandatangani perjanjian tersebut, sehingga dia harus dianggap mengetahui, serta menghendaki dan karenanya bertanggung jawab kepada isi perjanjian tersebut. Senada dengan itu, Hondius juga menyatakan bahwa suatu perjanjian baku mempunyai kekuatan hukum berdasarkan kebiasaan (gebruik) yang berlaku dalam masyarakat.59
Setiap perjanjian kerjasama pasti terbentuk berdasarkan asas kebebasan berkontrak maupun asas keseimbangan. Hal yang sama juga berlaku terhadap Perjanjian Kerjasama Yayasan Karya Salemba Empat dan PT Bank Central Asia Tbk (Studi pada Yayasan Karya Salemba Empat). Dilihat dari pengertian asas kebebasan berkontrak di atas, suatu perjanjian baik perjanjian kerjasama tidaklah luput dari yang namanya asas kebebasan berkontrak dan asas keseimbangan.
Yang dibahas disini adalah, apakah perjanjian ini telah memenuhi asas kebebasan berkontrak dan asas keseimbangan sesuai dengan asas perjanjian yang ada ?
Setelah meneliti dan mempelajari lebih jauh mengenai Perjanjian Kerjasama Antara Yayasan Karya Salemba Empat dan PT Bank Central Asia Tbk, dapat dilihat bahwa bentuk perjanjian kerjasama ini adalah perjanjian baku (standar) yang dimana isi klausula perjanjian ditentukan secara sepihak oleh PT Bank Central Asia Tbk yang secara sengaja maupun tidak sengaja telah mengabaikan asas kebebasan berkontrak serta asas keseimbangan para pihak yang dimana suatu kontrak/perjanjian yang dibuat secara sepihak pasti menguntungkan pihak yang membuat isi klausula dari perjanjian tersebut.
59 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 86.
Walaupun perjanjian kerjasama ini adalah perjanjian baku (standar), yang juga isi klausula ditentukan secara sepihak, hal ini tidak lantas membuat perjanjian ini cacat hukum (dapat dibatalkan ataupun batal demi hukum) dikarenakan perjanjian ini sama sekali tidak melanggar syarat-syarat perjanjian yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Perjanjian tetap dikatakan sah karena adanya kesepakatan kedua belah pihak dimana pihak pertama yaitu PT Bank Central Asia sebagai salah satu Donatur dan pihak kedua yaitu Yayasan Karya Salemba Empat sebagai badan usaha Progam Beasiswa Mahasiswa Strata 1 (S1) sama-sama sepakat dan menandatangani isi klausula kontrak perjanjian kerjasama tersebut, sehingga dimata hukum perjanjian ini adalah sah karena sama sekali tidak bertentangan dengan syarat-syarat perjanjian yang tertera dalam Pasal 1320 KUHPerdata baik syarat subjektif maupun syarat objektif.
Setelah mewawancarai pihak Yayasan Karya Salemba Empat yang menjabat sebagai Donor Relation yaitu Maya Dintasari, akhirnya dapat diketahui bahwa perjanjian kerjasama ini dimana pihak Kedua telah mengajukan permohonan bantuan donasi kepada pihak Pertama dalam rangka penyelenggara Kegiatan, dan pihak pertama bersedia memberikan bantuan donasi, juga perjanjian ini merupakan suatu perjanjian yang mau tidak mau harus disepakati, atau sering disebut dengan istilah asing “take it or leave it” yang artinya bahwa jika tidak disepakati maka silahkan melepaskan benefit (keuntungan) yang didapat dari perjanjian kerjasama tersebut. Jika perjanjian kerjasama ini tidak disepakati maka Yayasan Karya Salemba Empat tidak akan menerima uang Beasiswa yang berasal dari pihak pertama. Benefit yang ditawarkan oleh PT Bank Central Asia Tbk ini
adalah berupa uang tunai sebesar Rp.200.000.000,00 (Dua Ratus Juta Rupiah) untuk diberikan kepada Mahasiswa/i yang berasal dari PTN seluruh Indonesia sesuai dengan persyaratan yang telah dibuat oleh pihak kedua.
Segi kedudukan keseimbangan dalam perjanjian ini terlihat bahwa pihak pertama yang membuat perjanjian ini tidak begitu memberatkan kepada pihak kedua, walaupun jika dilihat secara keseluruhan pihak pertama melemparkan segala tugas mengenai penyelenggaraan progam beasiswa ini kepada pihak kedua (selaku badan usaha Progam Beasiswa), Dalam klausula perjanjian tersebut telah jelas bahwa mengenai hak dan kewajiban kedua pihak telah dibahas dalam Perjanjian Kerjasama Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Pemberian Beasiswa pada Pasal 6. Namun apabila pihak kedua tidak melaksanakan ataupun melanggar suatu pasal yang terdapat dalam perjanjian ini ataupun memberikan suatu keterangan kepada pihak pertama yang ternyata tidak benar, dengan ini secara sepihak pihak pertama dapat mengakhiri perjanjian ini tanpa adanya ganti kerugian sesuai dengan Pasal 13 ayat (1). Dengan kata lain perjanjian hanya dapat diakhiri secara sepihak apabila adanya suatu pelanggaran yang dilakukan oleh para pihak. Terlihat jelas bahwa keseimbangan yang ada dalam suatu perjanjian kerjasama ini mengalami ketimpangan ataupun ditemukan adanya ketidakseimbangan antara para pihak, hal ini juga di ungkapkan pada wawancara oleh pihak kedua.
Namun ini sama halnya seperti yang dibahas sebelumnya bahwa perjanjian kerjasama ini mau tidak mau, suka tidak suka harus disepakati dan ditandatangani.
Apabila tidak diambil/disepakati, maka seperti yang dikatakan sebelumnya yaitu
pihak PT Bank Central Asia Tbk tidak akan memberikan bantuan donasi kepada pihak yayasan Karya Salemba Empat.
Isi klausula perjanjian kerjasama ini sesungguhnya telah mengabaikan asas kebebasan berkontrak, dimana pihak pertama membuat sendiri klausula perjanjian kerjasama tersebut dan pihak kedua hanya menandatangani perjanjian kerjasama itu tanpa ikut ambil alih dalam pembuatan klausula perjanjian kerjasama tersebut.
Namun kekuasaan (power) dari kedudukan PT Bank Central Asia Tbk sangat besar, sehingga akan sangat sulit atau hampir tidak mungkin (mustahil) untuk membuat suatu klausula perjanjian kerjasama secara bersama dalam menentukan isi pasal/ point dalam perjanjian kerjasama ini. Dan begitu juga untuk keseimbangan perjanjian ini, dimana klausula perjanjian kerjasama ini tidak memenuhi apa yang seharusnya dicantumkan pada suatu perjanjian, sehingga adanya suatu ketimpangan antara para pihak seperti memberikan seluruh tanggung jawab kepada pihak kedua.
BAB III
TANGGUNG JAWAB TERJADINYA RISIKO DALAM
PERJANJIAN KERJASAMA YAYASAN KARYA SALEMBA EMPAT DENGAN PT BANK CENTRAL ASIA TBK MENGENAI PROGRAM
BEASISWA A. Prinsip Tanggung Jawab
Berbicara tentang tanggung jawab pelaku usaha, maka terlebih dahulu harus dibicarakan mengenai kewajibannya. Dari kewajiban (duty, obligation) akan lahir tanggung jawab. Tanggung jawab timbul karena seseorang atau suatu pihak mempunyai suatu kewajiban, termasuk kewajiban karena undang-undang dan hukum (statutary obligation).
Prinsip tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perdata. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggng jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.60
Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault)
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam KUHPerdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh.61
Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Dalam
60 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 59.
61 Ibid., hal. 59-61.
Pasal 1365 KUHPerdata yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum,mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:
a. Adanya perbuatan;
b. Adanya unsur kesalahan;
c. Adanya kerugian yang diderita;
d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab
Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab, sampai ia dapat membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi beban pembuktian ada pada si tergugat. Dalam prinsip ini tampak beban pembuktian terbalik, dimana dasar pemikiran dari teori pembalikan beban pembuktian adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Tergugat dianggap bertanggung jawab sampai ia membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
Bersadarkan asas ini, beban pembuktian ada pada tergugat. Berkaitan dengan prinsip ini pelaku usaha dapat membebaskan diri dari tanggung jawab, kalau ia dapat membuktikan diri bahwa:
1) Kerugian ditimbulkan oleh hal-hal diluar kekuasaannya
2) Pelaku usaha sudah mengambil tindakan yang diperlukan untuk menghindari timbulnya kerugian.
3) Kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya.
4) Kesalahannya atau kelalaian yang dilakukan oleh pelaku usaha62
62 Kelik Wardiono, Hukum Perlindungan Konsumen, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2014, hal.77-83
3. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip ini untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksikonsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense (akal sehat) dapat dibenarkan.63
Contoh dalam penerapan prinsip ini adalah hukum pengangkutan, kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin atau bagasi tangan yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini, pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggungjawabannya.
4. Prinsip tanggung jawab mutlak
Prinsip tanggung jawab mutlak sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absoluteliability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminologi di atas.64 Strict liability adalah prinip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan daritanggung jawab, misalnya keadaan force majeure. Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualian.
Menurut R.C. Hoeber et.al., biasanya prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena :
63 Shidarta, op.cit., hal.62-63
64 Ibid.
a) Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks;
b) Diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya;
c) Asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati.
Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab itu dikenal dengan nama product liability. Menurut asas ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya.
5. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai Klasula Eksonerasi (klausula pengecualian kewajiban/tanggung jawab dalam perjanjian)65 dalam perjanjian standar yang dibuat. Dalam perjanjian cuci cetak film misalnya, ditentukan bila film ingin dicuci/dicetak itu hilang dan/atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas),maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga saturol film baru.66
Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
65DianaKusumasari,https://www.hukumonline.com/klinik/detail/%20lt4d0894211ad0e/kl ausula-eksonerasi , diakses pada tanggal 26 Oktober 2018.
66 Shidarta, op. cit., hal. 64
tenrang Perlindungan Konsumen seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang jelas.67
Pada dasarnya dalam hukum perdata bentuk sanksi hukumnya dapat berupa kewajiban untuk memenuhi prestasi (kewajiban) serta hilangnya suatu keadaan hukum, yang diikuti dengan terciptanya suatu keadaan hukum baru.
Pertanggungjawaban hukum di bidang perdata merupakan pertanggungjawaban hukum yang didasari oleh adanya hubungan keperdataan antar subyek hukum.68
B. Risiko dalam Hukum Perjanjian
Berdasarkan hukum asing dijumpai istilah overeenkomst, contract / agreement, dan sebagainya yang merupakan istilah yang dalam hukum kita dikenal sebagai “kontrak” atau “perjanjian”. Umumnya dikatakan bahwa istilah-istilah tersebut memiliki pengertian yang sama, sehingga tidak mengherankan apabila istilah tersebut digunakan secara bergantian untuk menyebut sesuatu kontruksi hukum.
Istilah kontrak atau perjanjian dapat dijumpai di dalam KUH Perdata, bahkan di dalam ketentuan hukum tersubut dimuat pula pengertian kontrak atau perjanjian. Disamping istilah tersebut, kitab undang-undang juga menggunakan istilah perikatan, perutangan, namun perngertian dari istilah tersebut tidak diberikan.
67 Celina Tri Siwi Kristiyanti, op. cit., hal. 98.
68 Kelik Wardiono, Hukum Perlindungan Konsumen. Op.Cit. hal 83.
Pada Pasal 1313 KUH Perdata merumuskan pengertian perjanjian adalah ; suatu perbuatan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.69
Namun para ahli hukum mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai pengretian perjanjian, Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu perjanjian dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan. Ahli hukum lain mengemukakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal yang menimbulkan perikatan berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Menurut J. Satrio perjanjian dapat mempunyai dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit, dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para pihak termasuk di dalamnya perkawinan, perjanjian kawin dll, dan dalam arti sempit perjanjian disini berarti hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh buku III KUHPerdata..70
1. Jenis jenis Kontrak
Tentang jenis-jenis kontrak KUH Perdata tidak secara khusus mengaturnya. Penggolongan yang umum dikenal ialah penggolongan ke dalam
69 A. Patra M. Zen dan Daniel Hutagalung, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta; YLBHI dan PSHK, 2006), hal 275
70 Ibid
kontrak timbal balik atau kontrak asas beban, dan kontrak sepihak atau kontrak tanpa beban atau kontrak cuma-cuma.
Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang di dalamnya masing-masing pihak menyandang status sebagai berhak dan berkewajiban atau sebagai kreditur dan debitur secara timbal balik, kreditur pada pihak yang satu maka bagi pihak lainnya adalah sebagai debitur, begitu juga sebaliknya.
Kontrak sepihak merupakan perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi dan memberi hak pada yang lain untuk menerima prestasi.
Contohnya perjanjian pemberian kuasa dengan cuma-cuma, perjanjian pinjam pakai cuma-cuma, perjanjian pinjam pengganti cuma-cuma, dan penitiipan barang dengan cuma-cuma.
Arti penting pembedaan tersebut adalah :
a. Berkaitan dengan aturan risiko, pada perjanjian sepihak risiko ada pada para kreditur, sedangkan pada perjanjian timbal balik risiko ada pada debitur, kecuali pada perjanjian jual beli..
b. Berkaitan dengan perjanjian syarat batal, pada perjanjian timbal balik selalu dipersengketakan.
Kontrak menurut namanya dibedakan menjadi dua, yaitu kontrak bernama atau nominat, dan kontrak tidak bernama atau kontrak innominat. Dalam buku III KUHPerdata tercantum bahwa kontrak bernama adalah kontrak jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa, hibah, penitioan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian, dll. Sementara yang dimaksud dengan kontrak tidak bernama adalah kontrak yang timbul,