• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASAS KESALAHAN DALAM PERSPEKTIF

Dalam dokumen KAJIAN KOMPARASI ASAS KESALAHAN DALAM HU (Halaman 34-42)

Section 17 Mistake of law

C. ASAS KESALAHAN DALAM PERSPEKTIF

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

Pembaharuan dalam bidang apapun erat kaitannya dengan perubahan yang

terjadi dalam kehidupan manusia. Demikian juga dalam Hukum Pidana mengharuskan diadakan pembaharuan dikarenakan telah terjadi perubahan dalam dinamika kehidupan yang berhubungan dengan tingkah laku manusia. Jadi dapat dikatakan sasaran/ adresat dari pembaharuan adalah manusia.

Pembaharuan Hukum yang sedang diupayakan ini juga amanat dari Undang- Undang Dasar 1945 yang ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia disamping merupakan rahmat Allah Yang Maha kuasa juga didorong olehkeinginan luhur bangsa Indonesia untuk berkehidupan yang bebas. Keinginan luhur untuk berkehidupan yang bebas ini diartikan bebas dari belenggu penjajah Belanda dalam segala hal termasuk bebas dari Hukum Kolonial Belanda yang diberlakukan di Indonesia sampai saat ini yaitu Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP/WvS). Dengan demikian maka sudah menjadi

“suatu keharusan” untuk dilakukan pembaharuan hukum khususnya hukum pidana. Untuk melaksanakan amanat dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, maka pembaharuan hukum merupakan salah satu masalah besar yang sedang dihadapi bangsa Indonesia yaitu masalah mengganti atau memperbaharui produk- produk kolonial di bidang hukum pidana khususnya KUHP sebagai tuntutan amanat Proklamasi sekaligus juga merupakan tuntutan nasionalisme dan tuntutan kemandirian sebagai bangsa yang merdeka.

Pembaharuan Hukum terjadi di setiap negara baik Negara yang telah maju maupun Negara yang sedang berkembang serta mendapat perhatian yang sangat besar seperti Indonesia, hal ini dapat dibuktikan dari pidato Presiden Soeharto pada Pembukaan acara Konferensi Law Asia yang berlangsung di Jakarta pada tahun 1973. Pada pembukaan acara tersebut Presiden Soeharto menyatakan :

“Setiap pembangunan mengharuskan terjadinya perubahan, bahkan juga

perubahan-perubahan yang sangat fundamental. Sekalipun begitu Indonesia tetap akan menekankan pentingnya mempertahankan ketertiban dalam setiap gerak kemajuan yang akan diperoleh lewat perubahan perubahan yang demikian itu, dan dalam hal ini Hukum akan merupakan sarana penting guna mempertahankan ketertiban itu. Namun itu tidak boleh diartikan bahwa hukum hendak berpihak kepada keadaan status quo. Hukum akan menentukan lingkup-lingkup perubahan tersebut, namun tidaklah tepat apabila hukum dengan demikian menghalangi setiap perubahan hanya semata mata karena ingin mempertahankan nilai-nilai lama”.29

Makna dari kutipan Pidato di atas adalah bahwa Hukum harus mampu mengawal setiap perubahan yang terjadi dan dengan demikian dibutuhkan pembaharuan hukum agar sesuai dengan perubahan yang terjadi dengan kata lain Pembaharuan hukum menjadi suatu “keharusan”. Kebijakan Pemerintah dalam upaya pembangunan/ pembaharuan hukum terus berlanjut pada masa pemerintahan BJ Habibie selaku Presiden Republik Indonesia, hal ini dapat dilihat dari pidato

29 Soeharto, Sambutan Presiden RI Pada

Pembukaan acara Konferensi Law Asia, Jakarta pada tahun 1973.

peresmian Pembukaan Seminar Hukum Nasional VII tahun 1999 menegaskan :

“Perubahan paradigma pembangunan hukum yang mendasar merupakan suatu keharusan yang tidak dapat dihindari. Salah satu langkah yang perlu dilakukan adalah mengkaji ulang berbagai wacana pembangunan hukum di masa lampau untuk dijadikan dasar pijakan dan sasaran reformasi hukum. Berkenaan dengan itu selain harus memperhatikan perubahan lingkungan strategis yang bersifat internal juga perlu memperhatikan perkembangan lingkungan yang bersifat global. Dengan demikian sistem hukum nasional kita yang didasarkan atas konstitusi sebagai hukum dasar yang tertinggi dapat hendaknya mampu dalam menghadapi tantangan jaman yang berdimensi sangat luas di masa- masa yang akan datang”.30

Pidato Presiden BJ Habibie di atas ini dapat dijadikan pedoman dalam melakukan upaya pembaharuan hukum di samping merupakan suatu keharusan namun tetap berpegangan pada konstitusi negara dan nilai-nilai sentral masyarakat. Pembaharuan Hukum Pidana adalah seperti dinyatakan oleh Gustav Radbruch bahwa “memperbaharui hukum pidana tidak berarti memperbaiki hukum pidana akan tetapi menggantinya dengan lebih

30 BJ Habibie, Sambutan pada Peresmian

Pembukaan Seminar Hukum Nasional VIII, Tahun 1999, Jakarta, 1999, hal 12.

baik” maknanya adalah ada upaya untuk membuat yang didahului dengan konseptual hukum pidana untuk diterapkan di masa yang akan datang sehingga bersifat Ius constituendum. Pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh harus meliputi pembaharuan hukum pidana materiil (Substantif), hukum pidana formil (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana. Ketiga tiga bidang hukum pidana itu harus bersama sama diperbaharui Kaitannya dengan Hukum maka Pembaharuan Hukum bukan merupakan suatu usaha yang bersifat vast leggen van wat is (menetapkan apa yang sudah berlaku, tapi lebih merupakan suatu usaha vast leggen wat hoort te zijn (penetapan apa yang seharusnya atau sebaiknya berlaku).

Berbicara soal asas kesalahan sudah pasti kita juga berbicara soal pertanggungjawaban pidana, dalam aspek pertanggungjawaban pidana ini antara lain mengenai asas kesalahan (culpabilitas) yang tidak dicantumkan secara tegas

dalam KUHP, namun hanya disebutkan dalam Memorie van Toelichting (MvT) sebagai penjelasan WvS.31 Asas culpabilitas merupakan penyeimbang dari asas legalitas yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1), yang berarti bahwa seseorang dapat dipidana karena secara obyektif memang telah melakukan tindak pidana (memenuhi rumusan asas legalitas) dan secara subyektif terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku (memenuhi rumusan asas culpabilitas).

Asas kesalahan (asas culpabilitas) merupakan salah satu asas pokok dalam hukum pidana dan merupakan salah satu problem pokok dalam hukum pidana selain sifat melawan hukum perbuatan dan pidana. Asas ini mengajarkan bahwa hanya orang yang bersalahlah yang dapat dikenai pidana. Dalam bahasa asing, asas ini sering disebut dengan adagium nulla poena sine culpa, atau Keine Strafe ohne Schuld (bahasa Jerman) dan Geen straf zonder

31 Sudarto, Hukum Pidana I, Op cit., hal. 85

schuld (bahasa Belanda) yang berarti “tiada pidana tanpa kesalahan”.

Dengan demikian dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah nyata-nyata melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi walaupun ditinjau secara obyektif perbuatan seseorang telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih diperlukan syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan terlarang tersebut mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).

Sebenarnya asas kesalahan ini tidak tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia saat ini (baca: Wetboek van Strafrecht). Asas kesalahan hanya dicantumkan dalam MvT (Memory van Toelichting) sebagai penjelasan dari Wetboek van Starfrecht. Padahal masalah kesalahan dalam hukum pidana termasuk salah satu ajaran-ajaran umum hukum

pidana. Akan tetapi, asas kesalahan teidak mendapatkan tempatnya dalam Buku I KUHP mengenai Ketentuan Umum. Namun demikian, jelas akan bertentangan dengan keadilan apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal sama sekali ia tidak bersalah. Untuk itulah, dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan asas kesalahan ini. Selengkapnya, Pasal 6 ayat (2) tersebut berbunyi:

“Tiada seorang jua pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila Pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”.

Berdasarkan bunyi Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Tersebut jelas bahwa disana dijelaskan bahwa dalam menentukan seseorang dapat dikata bersalah atau tidak menurut hukum yang berlaku, seseorang tersebut harus memenuhi unsur kesalahan terhadap perbuatan yang dituduhkan kepadanya, terlihat jelas di dalam Pasal di atas bahwa

asas kesalahan menjadi parameter yang paling mendasar dalam hakim memutuskan seseorang dinyatakan bersalah atau tidak di pengadilan.

Barda Nawawi di dalam bukunya dijelaskan mengenai beberapa masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana dalam perspektif pembaharuan hukum pidana di indonesia, antara lain :

a. Telah dikemukakan di atas, bahwa konsep merumuskan asas kesalahan secara eksplisit atau tegas. Perumusan eksplisit ii baru dimulai dalam konsep 1993, yang tidak ada dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana dan belum pernah ada dalam konsep- konsep sebelumnya (Konsep 1964, 1968, dan 1971 atau 1972). Hal ini juga menunjukkan hal atau aspek baru dalam konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru.

b. Walaupun konsep mengakui secara tegas asas kesalahan, namun dalam hal-hal tertentu memberikan kemungkinanan adanya penyimpangan atau perkecualian seperti yang dikenal dalam Common Law System,

yauitu doktrin

“Pertanggungjawaban yang ketat” atau “Strict Liability” (yaitu, “Liability Without Fault”) dan “Pertanggungjawaban pengganti” atau Vicarious Liability” (yaitu, “The Legal responsibility of one person for the wrongful acts of another”). Dianut Strict Liability terlihat dalam Pasal 37 dan dianutnya Vicarious Liability

terlihat dalam Pasal 36 (Konsep 1993). Kedua perumusan pasal ini tidak dikenal dalam Kitab Undang-Undang yang berlaku. c. Ada pendapat atau komentar dari

para Guru Besar Belanda (Prof. Nico Keizer dan Prof. Dr. Schaffmeister), bahwa dianurnya doktrin Strict Liability dan Vicarious Liability bertentangan dengan asas Mensrea (Asas Kesalahan). Terhadap pendapat demikian perlu dikemukalan, bahwa perkecualian atau penyimpangan dari suatu asas jangan dilihat semata-mata sebagai suatu pertentangan (kontradiksi) tetapi dapat juga dilihat sebagai pasangan atau pelengkap (Complement) dalam mewujudkan asas keseimbangan. Sama halnya dengan Pasal 1 (1) yang megandung asas nonretroaktif, namun Ayat (2)- nya memungkinkan adanya retroaktif.

d. Di samping perumusan asas kesalahan (Culpabilitas) secara umum seperti dikemukakan di atas, konsep menegaskan suatu prinsip, bahwa hanya tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja saja dapat dipidana. Apabila suatu perbuatan yang dilakukan dengan kealpaan akan dinyatakan sebagai tindak pidana, maka hal itu harus dinyatakan dengan tegas dalam perumusan delik yang bersangkutan. Prinsip demikian dalam konsep 1991/1992 ditegaskan dalam Pasal 40 ayat 2, dan dalam konsep 2005-1012 diatur dalam Pasal 39. Dengan prinsip demikian, konsep memandangkesengajaan dan kealpaan pada hakikatnya merupakan kesalahan atau pertanggugjawaban pidana, bukan unsur delik.

e. Oleh karena Konsep memisahkan antara “ tindak pidana” dengan

“Kesalahan atau

pertanggungjawaban pidana”, maka kesengajaaan sebagai unsur utama atau prinsip umum dari pertanggungjawaban pidana dipandang tidak perlu dicantumkan dalam perumusan delik. Sedangkan “Kealpaan” dan bentuk bentuk khusus lainya dari unsur subjektif (sikap bathin) seperti “mengetahui”, “yang diketahuinya”, “Padahal diketahuinya”, “sedangkan ia mengetahui”, tetap dicantumkan dalam perumusan delik (Aturan Khusus Buku II). Jadi intinya, syarat pertanggungjawaban atau kesalahan yang bersifat umum (yaitu kesengajaan) ditempatkan dalam aturan umum, sedangkan yang bersifat khusus ditempatkan dalam aturan khusus (Perumusan Delik).

f. Hal baru yang lainnya adalah dirumuskannya ketentuan umum mengenai pertanggungjawaban terhadap akibat (Erfolgshaftung) yang selama ini di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak dirumuskan namun hanya dikenal dalam teori atau doktrin.32 Jika membandingkan asas kesalahan dengan hukum pidana asing, ternyata tidak banyak hukum pidana asing yang mencantumkan secara eksplisit asas kesalahannya. Biasanya perumusan asas ini terlihat dalam perumusan mengenai pertanggungjawaban pidana (criminal

responsibility dan liability), khususnya yang berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.

Konsep pembaharuan hukum pidana di Indonesia bertolak dari asas “tiada pidana tanpa kesalahan”. Yaitu Asas imerupakan asas yang sangat

fundamental dalam

mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah melakukan tindak pidana. Pengertian asas itu menunjukkan bahwa seseorang tidak dapat dipidana apabila ia tidak mempunyai kesalahan, baik berupa kesengajaan maupun kealpaan. Jadi, prinsipnya asas itu bertolak dari “pertanggungjawaban pidana berdasarkan asas kesalahan (liability based of fault). Asas itu terdapat dalam :

Pasal 37

1. Tidak seorang pun yang melakukan tindak pidana dipidana tanpa kesalahan.

2. Kesalahan terdiri dari kemampuan bertanggungjawab, kesengajaan, kealpaan, dan tidak ada alasan pemaaf.

Pasal 38

1. Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhi- nya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.

2. Dalam hal ditentukan oleh undang- undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, 33

Berdasarkan bunyi Pasal RUU KUHP diatas dapat dikatan bahwa asas kesalahan mendapat suatu tempat dalam pengaturannya di KUHP Indonesia, sesuai dengan bunyi Pasal 37 ayat (1) RUU KUHP di atas bahwa untuk memberikan hukuman atau sanksi terhadap seseorang harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa orang tersebut telah melakukan kesalahan sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang dan pada Ayat (2) juga disebutkan kesalahan memeiliki beberapa unsur yang dijadikan parameter dalam menentukan seseorang bersalah atau tidak, yaitu; kemampuan seseorang dalam bertanggungjawab atas kesalahannya,

33 Rancangan Undang Undang Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), 2013/2015, hlm. 10

kesengajaan, kealpaan, dan tidak ada alasan pemafaaf.

Namun dalam Pasal selanjutnya yaitu, Pasal 38 RUU KUHP dapat dilihat bahwa dalam menentukan seseorang bersalah atau tidak harus ada kesalahan tetapi untuk tindak pidana tertentu Undang-Undang dapat menentukan seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa harus memperhatikan kesalahannya sesuai dengan Undang- Undang yang mengaturnya.

Jadi dapat disimpulakan berdasarkan Penjelasan Pasal-Pasal RUU KUHP di atas, KUHP yang akan datang menganut asas Tiada Pidana tanpa Kesalahan yang merupakan ide dari keseimbangan monodualistik atau pasangan dari asas legalitas. Bahwa untuk mempidana seseorang harus secara objektif memenuhi rumusan asas legalitas dan secara subyektif telah melakukan kesalahan atau memenuhi rumusan asas kesalahan.

Dalam pengertian tindak pidana termasuk hal pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan yang telah ditetapkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Apakah pembuat yang telah melakukan perbuatan yang dilarang tersebut kemudian juga dijatuhi pidana, sangat tergantung kepada persoalan apakah ia dalam melakukan

perbuatan itu dapat

dipertanggungjawabkan atau tidak. Dengan perkataan lain, apakah ia mempunyai kesalahan atau tidak.

Kesalahan adalah keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan itu dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan itu sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela melakukan perbuatan tersebut. Bilamana pembuat tersebut memang mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana itu, ia tentu akan dijatuhi pidana. Akan tetapi, manakala ia tidak mempunyai kesalahan, walaupun ia telah melakukan perbuatan

yang dilarang dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana, ia tentu tidak akan dijatuhi pidana. Asas tiada pidana tanpa kesalahan dengan demikian merupakan asas fundamental dalam mempertanggungjawabkan pembuat karena telah melakukan tindak pidana. Asas itu juga merupakan dasar dijatuhkannya pidana kepada pembuat.34

Asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) tetap merupakan salah satu asas utama dalam hukum pidana. Namun demikian dalam hal-hal tertentu sebagai perkecualian dimungkinkan penerapan asas “strict liability” dan asas “vicarious liability”. Dalam hal yang pertama, pembuat tindak pidana telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya, sedangkan yang kedua tanggungjawab pidana seseorang dipandang patut diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang melakukan

34 Jhony Krisna, Op.Cit, hlm. 63

pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya.35

Berdasarkan Penjelasan di atas, dengan adanya perkembangan masyarakat, baik perkembangan di bidang industri, ekonomi maupun perdagangan, asas tersebut tidak dapat dipertahankan sebagai satu-satunya asas dalam hal pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, konsep itu juga memberikan kemungkinan adanya penyimpangan atau pengecualian asas kesalahan terhadap perbuatan pidana tertentu.

D. PENUTUP

Dalam dokumen KAJIAN KOMPARASI ASAS KESALAHAN DALAM HU (Halaman 34-42)

Dokumen terkait