• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN KOMPARASI ASAS KESALAHAN DALAM HU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KAJIAN KOMPARASI ASAS KESALAHAN DALAM HU"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KOMPARASI ASAS KESALAHAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DAN JERMAN: PERSPEKTIF PEMBAHARUAN KITAB

UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA NASIONAL INDONESIA OLEH : TEO REFFELSEN

NPM : B1A011076

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian tentang kajian komparatif asas kesalahan menurut kitab undang-undang hukum pidana indonesia dan kitab undang-undang hukum pidana jerman, bahwa untuk mempidana pelaku tindak pidana harus secara objektif telah melakukan tindak pidana dan secara subyektif harus ada kesalahan yang dikenal sebagai asas kesalahan atau geen straf zonder schuld, namun KUHP Indonesia tidak meformulasikan secara eksplisit mengenai asas kesalahan ini, berbeda dengan KUHP Indonesia, Germani Criminal Code yang sama-sama menganut civil law merumuskan secara eksplisit mengenai asas kesalahan sebagai salah satu prinsip monodualistik. Maka dapat dilihat dengan jelas perbedaan bahwa KUHP Indonesia tidak merumuskan secara eksplisit asas kesalahan, sedangkan Jerman mengatur asas kesalahan secara eksplisit dalam Germani criminal code. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) membandingkan, mengetahui dan menjelaskan pengaturan asas kesalahan di Indonesia dan di Jerman dan (2) Untuk mengkaji kebijakan formulasi asas kesalahan dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis-normatif sebagai pendekatan utama dan pendekatan komparatif yaitu mengenai masalah asas kesalahan antara Indonesia dengan KUHP Negara Jerman. Objek utama penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Metode penelitian data menggunakan langkah langkah (1) mengidentifikasi fakta hukum tentang asas kesalahan (2) mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan asas kesalahan dalam KUHP Indonesia, KUHP Jerman, dan Asas kesalahan dan perspektif pembaharuan hukum pidana (3) menarik analisa dalam bentuk argumentasi (4) memberikan penilaian berdasar argumentasi yang di bangun dalam kesimpulan. Tehnik pengumpulan data ditempuh dengan studi pustaka. Sedangkan analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa KUHP Indonesia tidak memformulasikan secara eksplit asas kesalahan baik dalam ketentuan umum maupun dalam ketentuan khusus, namun dalam Pasal-Pasal tindak pidana yang dilanggar secara implisit untuk mempidana seseorang melakukan tindak pidana harus ada kesalahan baik dalam bentuk kesengajaan ataupun kelalaian, sedangkan di Jerman mengatur dan memanifestasikan Asas kesalahan, dalam Germani Criminal Code pada Bab II KUHP Republik Demokrasi Jerman (Jerman Timur) 1968, yang pada saat itu Jerman Masih menjadi Negara bagian yaitu : Jerman Barat dan Jerman Timur, dan setelah Negara Jerman Bersatu Pada tahun 1990 dalam amandemen Germani Criminal Code Asas Kesalahan ditempatkan dalam 1 pasal Aturan Umum dan terbagi menjadi 2, yaitu : Kesalahan Fakta dan Kesalahan Hukum. dalam hukum pidana nasional yang akan datang asas kesalahan diatur secara eksplisit dalam ketentuan umum KUHP Indonesia pasangan asas legalitas.

(2)

1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat bangsa-bangsa memiliki keragaman akar dan sistem hukum satu sama lain. Eric L. Richard pakar hukum Global Business dari Indiana University menjelaskan sistem hukum yang utama di dunia (The World’s Major Legal System) sebagai Berikut :

a. Civil Law (Hukum sipil yang berdasarkan kode sipil yang terkodifikasi); b. Common Law (Hukum

yang berdasarkan costum, atau kebiasaan berdasarkan Preseden atau Judge made la ); c. Islamic Law (Hukum

yang berdasarkan Syari’ah Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist); d. Socialist Law (sistem

hukum yang

dipraktikkan di Negara-negara sosialis);

e. Sub-Sahara Africa (sistem hukum yang dipraktikkan di Negara Afrika yang berada disebelah selatan gurun sahara);

f. Far East (merupakan perpaduan antara sistem hukum civil law, common law, dan hukum islam sebagai basis

fundamental masyarakat).1

Sebagaimana diketahui Negara Indonesia adalah salah satu Negara yang menganut sistem hukum Civil Law, sistem hukumnya tertulis dan terkodifikasi, sehingga ketentuan yang berlaku dengan mudah dapat diketahui dan digunakan untuk menyelesaikan setiap terjadi peristiwa hukum (kepastian hukum yang lebih ditonjolkan). 2 Di Indonesia hukum pidana sudah dikodifikasi dalam satu buku yang disebut Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).

Hukum Pidana Indonesia

diadposi dari Belanda atau warisan

dari pemerintah kolonial Hindia

Belanda. Kitab ini terdiri atas tiga

buku:

1 Ade Maman Suherman, Pengantar

Perbandingan Sistem Hukum, PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2004, hlm. 21

2

(3)

1. Buku I Tentang

Ketentuan Umum

(algemene leersttukken), yaitu ketentuan-ketentuan untuk semua tindak pidana (perbuatan yang pembuatnya dapat dikenai hukuman pidana, strafbare feiten) yang diatur dalam Pasal 1-103;

2. Buku II Tentang Kejahatan, menyebutkan tindak-tindak pidana

yang dinamakan

misdrijven atau kejahatan, yang diatur dalam Pasal 104-488;

3. Buku III Tentang Pelanggaran,

menyebutkan tindak-tindak pidana yang dinamakan

overtredingen atau pelanggaran, yang diatur dalam Pasal 489-569.3

Di samping itu, terdapat pula ajaran-ajaran dalam ilmu pengetahuan hukum yang tidak termuat dalam suatu undang-undang, misalnya mengenai kesengajaan atau opzet dan hal kurang berhati-hati atau culpa yang diisyaratkan dalam pelbagai peraturan hukum pidana, termasuk

3 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum

Pidana di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2014, hlm. 4.

pasal-pasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sendiri.4

Asas kesalahan (culpabilitas) yang tidak dicantumkan secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Asas culpabilitas merupakan penyeimbang dari asas legalitas yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, yang berarti bahwa seseorang dapat dipidana karena secara obyektif memang telah melakukan tindak pidana (memenuhi rumusan asas legalitas) dan secara subyektif terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku (memenuhi rumusan asas culpabilitas). Asas kesalahan hanya disebutkan dalam Memorie van Toelichting (MvT) sebagai penjelasan WvS, bahwa ada dua hal dapat diterima tidak dapatnya

(4)

dipertanggungjawabkan (ontoerekeningsvatbaarheid) pembuat:

1. Dalam hal pembuat tidak diberi kebebasan memilih antara berbuat apa yang oleh Undang-undang dilarang atau diperintahkan (dalam hal perbuatan yang dipaksakan).

2. Dalam hal pembuat ada di dalam keadaan kekuh sehingga ia dapat menyadari bahwa perbuatan bertentangan dengan hukum dan ia tidak mengerti akibat perbuatannya itu (nafsu pathologis, gila, pikiran sesat dan sebagainya).5

Menurut Hazewinkel-Suringa, telah diterima sekarang, bahwa tiada seorangpun dapat dipidana kecuali yang mempunyai kesalahan. Oleh karena sekarang bukan saja Undang-undang yang menentukan dapatnya dipidana suatu perbuatan tetapi juga hukum. maka dengan sendirinya kesalahan

5

Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 112 -113

(Schul) dan melawan hukum merupakan bagian inti delik.6

Negara Jerman adalah salah satu negara di dunia yang juga menganut sistem hukum Civil Law yang memiliki Kitab Undang-Undang Pidana sendiri yakni German Criminal Code, berbeda dengan Negara Indonesia yang membagi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kedalam tiga buku, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Jerman hanya terdiri atas dua bagian. Adapun sistematika German Criminal Code antara lain :

1. General Part (Bagian Umum)

2. Special Part (Bagian Khusus)

Berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Republik Demokrasi Jerman merumuskan

(5)

secara tegas (Eksplisit) mengenai Asas Kesalahan sebagai salah satu prinsip monodualistik. Maka dapat dilihat jelas perbedaan bahwa Indonesia tidak mengatur secara tegas mengenai Asas Kesalahan didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Sedangkan Jerman mengatur mengenai Asas Kesalahan didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana-nya. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Republik Demokrasi Jerman memuat mengenai Kesalahan sebagai salah satu prinsip hukum pidana, Pada Kitab Undang Hukum Pidana Republik Demokrasi Jerman Timur (1968) menyatakan asas kesalahan dalam Pasal II Aturan Umum:

“... The proper application of criminal law demands that every criminal act is detected and that the guilty person is called to account ...”

(Penerapan hukum pidana yang tepat menuntut, bahwa setiap tindak pidana diusut

dan orang yang bersalah dipertanggungjawabkan).7 Dan juga termanifestasi kedalam amandemen Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Jerman Pada tahun 2009 yang dinyatakan dalam Terjemahan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Jerman yang disediakan Michael Bohlander8 :

Section 16 Mistake of fact

(Bagian 16 Kesalahan Fakta) 1) Whosoever at the time of the

commission of the offence is unaware of a fact which is a statutory element of the offence shall be deemed to lack intention. Any liability for negligence remains unaffected.

(barangsiapa pada saat komisi;9 pelanggaran lalai dari sebuah kenyataan yang adalah perundang-undangan elemen dari pelanggaran

7

Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 114

8 Michael Bohlander, The German Criminal

Code: A Modern English Translation.

Oxford/Portland, Oregon: Hart Publishing, 2008. Hlm. 7

9 Di dalam Hukum Pidana di kenal dua macam

(6)

harus dianggap kurang niat .Setiap tanggung jawab untuk kelalaian tetap tidak terpengaruh)

2) Whosoever at the time of commission of the offence mistakenly assumes the existence of facts which would satisfy the elements of a more lenient provision, may only be punished for the intentional commission of the offence under the more lenient provision.

(Barang siapa pada saat komisi; dari pelanggaran keliru mengasumsikan adanya fakta-fakta yang akan memenuhi unsur ketentuan lebih lunak, hanya dapat dihukum karena komisi yang disengaja pelanggaran di bawah ketentuan lebih longgar)

Section 17 Mistake of law

(bagian 17 Kesalahan hukum) If at the time of the commission of the offence the offender lacks the awareness that he is acting unlawfully, he shall be deemed to have acted without guilt if the mistake was unavoidable. If the mistake was avoidable, the sentence may be mitigated pursuant to section 49(1). (Jika pada saat kunjungan komisi dari pelanggaran barangsiapa yang tidak memiliki kesadaran bahwa dia bekerja melawan hukum itu ia harus dianggap telah melakukan kesalahan tanpa kesalahan jika itu tidak dapat

dihindari .Jika ada kesalahan dapat dihindari keputusan masih dapat bagian sesuai dengan 49 (1))

(7)

B. Indentifikasi Masalah Berdasarkan penjelasan dari latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian Normatif ini adalah : 1. Bagaimana pengaturan asas

kesalahan dalam KUHP Indonesia dan Code penal Jerman ?

2. Bagaimana Kebijakan Formulasi asas kesalahan dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah diatas maka Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui dan menjelaskan pengaturan asas kesalahan di dalam KUHP Indonesia dan di dalam Code penal Jerman. b. Untuk mengkaji kebijakan

formulasi asas kesalahan dalam perspektif pembaharuan hukum pidana Indonesia.

D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian komparatif adalah penelitian yang bersifat membandingkan. Penelitian ini dilakukan untuk

(8)

Jadi Penelitian komparatif adalah jenis penelitian yang digunakan untuk membandingkan antara dua kelompok atau lebih dari suatu variabel tertentu. Penelitian terhadap perbandingan hukum merupakan penelitian yang menekankan dan mencari adanya perbedaan-perbedaan yang ada pada berbagai sistem hukum.10

Pada penelitian hukum, jenis penelitian ini disebut dengan penelitian hukum normatif (yuridis normatif) atau penelitian hukum kepustakaan.11 Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian hukum yuridis normatif, yaitu metode penelitian yang dilakukan

10 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum

Dalam Praktek, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 15

11 Soerjono Soerkanto dan Sri Mamuji,

2004, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, hlm. 23-24.

dengan cara mengkaji aturan-aturan yang berlaku. Penelitian ini mengkhususkan pada pendekatan perundang-undangan (statute approach),12 yaitu pendekatan dengan menggunakan regulasi dengan didukung fakta-fakta hukum yang terjadi di lapangan, dengan penggalian informasi yang dianggap relevan.

Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research) deskriptif analisis, yaitu mengungkap isi suatu Perundang-undangan yang telah dipaparkan secara sistematis13. Metode ini bertujuan untuk mengumpulkan data-data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam buku, majalah hukum, artikel

12 Peter Mahmud Marzuki, 2010,

Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, hlm. 96.

13 Noeng Muhajir, 1998,

(9)

hukum, dan dokumen-dokumen lainnya.

2. Pendekatan Penelitian

Dalama penelitian ini penulis menggunakan pendekatan Undang-Undang (Stautue Approach), yang dimaksud dengan pendekatan Undang-Undang yaitu : “Pendekatan yang dilakukan

dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.14

Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini akan membuka

14 Peter Mahmud Marzuki, op.cit. hlm. 93

(10)

antara undang-undang dengan isu yang dihadapi.15

Selain itu sesuai dengan permasalahan yang menjadi objek penelitian, digunakan juga pendekatan perbandingan (Comparative approach), yang mana pendekatan perbandingan adalah : “Studi perbandingan hukum merupakan kegiatan untuk membandingkan hukum suatu negara dengan negara lain atau hukum dari suatu waktu tertentu dengan hukum dari waktu yang lain.16 Kedua pendekatan ini digunakan karena penelitian hukum ini membandingkan Undang-Undang atau Peraturan-Peraturan yang berkaitan dengan Asas Kesalahan antara Negara Indonesia dan Negara Jerman.

15

Ibid, hlm. 93-94.

(11)

2. HASIL PEMBAHASAN

A. ASAS KESALAHAN

DALAM KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA INDONESIA

Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya. Menurut Moeljatno, Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu

negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang

melanggar larangan ntersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.17

Sedangkan menurut Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.

Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melainkan

sudah terletak pada norma lain dan

17

(12)

sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama dan kesusilaan.18

Di Indonesia Sumber

Hukum Pidana dapat dibedakan

atas sumber hukum tertulis dan

sumber hukum yang tidak tertulis.

Di Indonesia sendiri, belum

memiliki Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana Nasional, sehingga

masih diberlakukan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana warisan

dari pemerintah kolonial Hindia

Belanda. Kitab ini terdiri atas tiga

buku:

1. Buku I Tentang

Ketentuan Umum

(algemene leersttukken), yaitu ketentuan-ketentuan untuk semua tindak pidana (perbuatan yang pembuatnya dapat dikenai hukuman pidana, strafbare feiten) yang diatur dalam Pasal 1-103;

2. Buku II Tentang Kejahatan, menyebutkan tindak-tindak pidana

18

Titik Triwulan Tutik, S.H, M.H, Pengantar Ilmu Hukum, Hal. 216-217

yang dinamakan

misdrijven atau kejahatan, yang diatur dalam Pasal 104-488;

3. Buku III Tentang Pelanggaran,

menyebutkan tindak-tindak pidana yang dinamakan

overtredingen atau pelanggaran, yang diatur dalam Pasal 489-569

(13)

Undang-Undang Hukum Pidana antara lain yang berkaitan dengan dengan masalah asas kesalahan (Culpabilitas),

Asas kesalahan hanya disebutkan dalam Memorie van Toelichting (MvT) sebagai penjelasan WvS, bahwa ada dua hal dapat diterima tidak dapatnya dipertanggungjawabkan

(ontoerekeningsvatbaarheid) pembuat:

1. Dalam hal pembuat tidak diberi kebebasan memilih antara berbuat apa yang oleh Undang-undang dilarang atau diperintahkan (dalam hal perbuatan yang dipaksakan)

2. Dalam hal pembuat ada di dalam keadaan kekuh sehingga ia dapat menyadari bahwa perbuatan bertentangan dengan hukum dan ia tidak mengerti akibat perbuatannya itu (nafsu pathologis, gila, pikiran sesat dan sebagainya). Jadi dapat diartikan bahwa asas kesalahan ini hanya dimuat dalam penjelasan dan belum juga mencakup pengertian secara

umum, oleh karena bukan hanya Undang-Undang yang menentukan dapat dipidananya suatu perbuatan tetapi juga hukum. maka dapat disimpulkan bahwa Kesalahan (Schuld) merupakan inti dari delik dan dapat juga dikatan bahwa Kesalahan adalah syarat yang harus dipenuhi dalam pemidanaan.

Dalam Hukum, dikenal berbagai dasar atau prinsip dari tanggung jawab hukum, yaitu;

1) Prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya unsur kesalahan (fault liability, liability based on fault principle). Prinsip ini membebankan kepada korban untuk membuktikan bahwa pelaku itu telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan dirinya.

2) Prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya praduga (rebuttable presumption of liability principle). Prinsip ini menegaskan bahwa tanggung jawab si pelaku dapat hilang jika dapat tidak bersalah kepada korbannya. 3) Prinsip tanggung jawab

(14)

tanpa harus membuktikan kesalahannya.

Tiada Pidana tanpa kesalahan, atau geen straf zonder schuld, atau keine strafe ohne schuld, atau actus non facit reum nisi mens sir rea, dikenal sebagai salah satu dalam hukum pidana, melalui asas ini diperoleh penjelasan bahwa belum tentu ada pertanggungjawaban pidana yang mengikuti adanya suatu tindak pidana yang terjadi. Asas kesalahan atau schuldprinzip ini adalah menyangkut personal guilt atau blameworthiness yang dipersyaratkan untuk bisa menentukan parameter bagi pertanggungjawaban pidana dan pemberian hukumannya.19

Jadi dalam lapangan hukum pidana keberadaan asas kesalahan sangat diperlukan sebagai parameter bagi pertanggungjawaban pidana dan pemberian hukuman terhadap pelaku pelanggar. Untuk diberikan sanksi

19 Ibid. hlm. 7

pidana seperti yang telah diancamkan oleh pasal yang dilanggar oleh pelaku sangat tergantung apakah pelaku itu melakukan kesalahan ataukah tidak. Prinsip dari asas kesalahan ini adalah bahwa seseorang hanya bisa dipidana apabila terbukti bersalahan melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, kesalahan ini bisa dalam bentuk kesengajaan ataupun dalam bentuk kelalaian. Dengan demikian untuk menentukan pelaku pelanggar dapat dikenai sanksi atau tidak, pelaku pelanggar harus secara objektif telah melanggar undang-undang dan secara subyektif telah memenuhi unsur kesalahan.

(15)

kesalahan baik dalam bentuk kesengajaan ataupun kelalaian.

1) Kesalahan dalam Delik Kesengajaan (Dolus) Dan Kealpaan (Culpa)

a) Kesalahan dalam Delik Kesengajaan (Dolus)

Unsur kedua dari kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya (pertanggungjawaban pidana) adalah hubungan batin antara si pelaku terhadap perbuatan, yang dicelakakan kepada sipelaku itu. Hubungan batin ini bisa berupa kesengajaan atau kealpaan.

KUHP kita tidak memberi definisi. Petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van Toelichting), yang mengartikan “kesengajaan” (opzet) sebagai : “menghendaki dan mengetahui”

(willens en wetens). (Pompe :

166). Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu.

M.v.T. memuat suatu asas yang mengatakan antara lain, bahwa “unsur-unsur delik yang terletak dibelakang perkataan opzettelijk (dengan sengaja) dikuasai atau diliputi olehnya”.

Oleh karena itu pembentuk undang-undang menetapkan dengan seksama dimana letak perkataan “opzettelijk” itu. Misalnya pada;

Pasal 151 KUHP;

(16)

berdasarkan aturan-aturan umum, diancam dengan pidana penjara paling lam satu tahun empat bulan”.

Pasal 338 KUHP;

“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

b) Kealpaan

Disamping sikap batin berupa kesengajaan ada pula sikap batin yang berupa kealpaan. Hal ini terdapat dalam beberapa delik. Akibat ini timbul karena ia alpa, ia sembrono, teledor, ia berbuat kurang hati-hati atau kurang penduga-duga.

Dalam buku II KUHP terdapat beberapa pasal yang memuat unsur kealpaan. Ini adalah delik-delik culpa

(culpose delicten). Delik-delik itu dimuat antara lain dalam :

Pasal 191 KUHP:

“Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan suatu bangunan listrik hancur, rusak atau tidak dapat dipakai atau menyebabkan jalannya atau bekerjanya bangunan itu terganggu, atau usaha untuk menyelamatkan atau membentulkan bangunan itu gagal atau menjadi sukar, diancam pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak tiga ratus ribu rupiah”.

Pasal 359 KUHP:

“Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.

(17)

bersalah atau tidak dan sebagai parameter untuk menentukan Sanksi terhadap pelaku sebagaimana yang diancamkan oleh Undang-Undang yang dilanggarnya. Dalam hal ini, Simons berpandangan bahwa untuk mengatakan adanya kesalahan pada pelaku, maka harus dicapai dan ditentukan terlebih dahulu beberapa hal yang menyangkut si pelaku itu sendiri, yaitu kemampuan bertanggungjawab, hubungan kejiwaan antara pelaku, kelakuannya dan akibat yang ditimbulkan, dolus dan culpa (kesengajaan atau kealpaan),

Tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan kesengajaan atau kealpaan tersebut di dalam KUHP. Menurut teori kehendak, kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada

terwujudnya perbuatan seperti yang dirumuskan dalam Undang-Undang, sedangkan menurut yang lain, kesengajaan adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan menurut rumusan Undang-Undang.

Namun pasal-pasal kejahatan sebagaimana diuraikan di atas disebutkan dengan jelas unsur kesalahan seperti Kealapaan dan kesengajaan yang merupakan unsur-unsur dari kesalahan dan atau setidak-tidaknya bisa ditafsirkan secara gramatikal terhadap pelanggaran terhadap Undang-Undang yang dilakukan oleh pelaku

.

(18)

mengandung unsur kesalahan yang harus dibuktikan oleh pengadilan. Dengan kata lain, untuk memidana pelaku, selain telah terbukti melakukan tindak pidana, maka unsur kesengajaan atau kealpaan juga harus dibuktikan.

Kalau pasal-pasal kejahatan sebagaimana diuraikan di atas disebutkan dengan jelas unsur kesalahan atau setidak-tidaknya bisa ditafsirkan secara gramatikal, tidak demikian halnya dengan pasal- pasal pelanggaran. Apabila dicermati pasal-pasal pelanggaran, dari rumusannya, ada yang jelas-jelas mensyaratkan unsur kesalahan, ada juga pasal-pasal yang tidak jelas rumusannya, apakah kesalahan merupakan unsur yang harus ada atau tidak.

2) Kesalahan Dalam Delik Pelanggaran

Persoalan kesalahan pada tindak pidana berupa pelanggaran. Pada tidak pidana berupa kejahatan diperlukan adanya kesengajaan atau kealpaan. Dalam undang-undang unsur-unsur dinyatakan dengan tegas atau dapat diambil dari kata kerja dalam rumusan tindak pidana itu. Dalam rumusan tindak pidana berupa pelanggaran pada dasarnya tidak ada penyebutan tentang kesengajaan atau kealpaan, artinya tidak disebut apakah perbuatan dilakukan dengan sengaja atau alpa. Hal ini penting untuk hukum acara pidana, sebab kalau tidak tercantum dalam rumusan Undang-undang, maka tidak perlu dicantumkan dalam surat tuduhan dan juga tidak perlu dibuktikan.

(19)

menjual, menawarkan, membagi-bagikan, memburu, membawa, menjalankan, memberi, menerima, tidak memenuhi kewajiban, dan dengan terang-terangan menunjukkan. Pasal-pasal yang dirumuskan seperti ini dapat ditafsirkan bahwa unsur kesalahan harus terdapat di dalamnya.

Dalam hal ini berlakulah ajaran “fait materiel” (de leer an

het matericle feit ajaran perbuatan materiil) dimana menurut M.v.T. :

“Pada pelanggaran hakim tidak perlu mengadakan pemeriksaan secara khusus tentang adanya kesengajaan, bahkan adanya kealpaan juga tidak, lagi pula tidak perlu memberi keputusan tentang hal tersebut. Soalnya apakah terdakwa berbuat/tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan Undang-undang atau tidak”.

Berdasarkan penjelasan diatas, terdapat pula pasal- pasal pelanggaran lain yang dilihat dari rumusannya tidak terlalu jelas sehingga tidak mudah untuk

menafsirkan apakah harus ada unsur kesalahan atau tidak, seperti rumusan pasal-pasal berikut ini. 1) Tidak Mentaati Perintah atau

Petunjuk

Pasal 511 KUHP :

“Barang siapa di waktu ada pesta, arak-arakan dan sebagainya tidak mentaati perintah atau petunjuk yang diadakan oleh polisi untuk mencegah kecelakaan oleh kemacetan lalu lintas dijalan umum, diancam dengan denda paling banyak dua puluh lima ribu rupiah”.

2) Tanpa Wewenang Pasal 518 KUHP:

“Barang siapa tanpa wewenang memberi pada atau menerima dari seorang terpidana sesuatu barang, diancam dengan kurungan paling lama enam hari atau umum menyanyikan lagu-lagu yang melanggar kesusilaan, mengadakan pidato yang melanggar kesusilaan, mengadakan tulisan atau gambaran yang melanggar kesusilaan, diancam dengan kurungan paling lama tiga hari atau denda paling banyak lima belas rupiah”.

4) Pasal 540 KUHP:

“Barang siapa

(20)

terang melebihi kekuatannya diancam dengan kurungan paling lama delapan hari atau denda paling banyak seratus lima puluh rupiah”.

Dalam Pasal 511 dan 518 tersebut di atas, tidak mentaati perintah dan tanpa wewenang tidak dijelaskan lebih lanjut, apakah pasal tersebut dilakukan dengan sengaja atau alpa. Demikian juga halnya dengan Pasal 532, di muka umum menyanyikan lagu yang melanggar kesusilaan, apakah dilakukan dengan sengaja atau alpa. Juga Pasal 540 menggunakan hewan untuk pekerjaan yang terang melebihi kekuatannya, tidak dicantumkan unsur kesengajaan atau kealpaan. Jika tidak ada unsur kesengajaan atau kealpaan itu, penegakan hukumnya akan sulit, karena bisa saja pelaku menyatakan melakukan hal itu karena tidak mengetahui akan adanya perintah atau pelaku tidak mengetahui bahwa ia tidak wewenang.

Berdasarkan penjelasan di atas mengarah ke Pertanggungjawaban Pidana terbatas (Strict Liability), yang berarti KUHP Indonesia menganut pengecualian terhadap Asas Kesalahan, terutama pada Pasal-Pasal pelanggaran. Pernah juga dalam sejarahnya ada pandangan bahwa apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana, dia tentu dipidana, dengan tidak menghiraukan apakah padanya ada kesalahan atau tidak. Pandangan seperti ini juga pernah dikemukakan oleh pembentuk undang-undang ketika membentuk WvS. Pada waktu itu kesalahan diperlukan hanya pada jenis tindak pidana yang disebut kejahatan sehingga tidak pada pelanggaran, sebagaimana dikatakan oleh MvT (Memorie van Toelichting) berikut ini:

(21)

mengadakan penyelidikan, apakah ada kesengajaan atau kealpaan”. Apakah terdakwa telah melakukan sesuatu yang lalu bertentangan dengan undang-undang ? Cuma inilah yang perlu diselidiki. Dan dari jawabannya pula tergantung apakah dijatuhkan pidana atau tidak. Pendapat demikian ini dinamakan ajaran feit materiel Di sini tidak dihiraukan sama sekali tentang syarat kesalahan.20 Pandangan itu juga dipraktikkan dalam pengadilan (Hooge Raad 23 Mei 1899; 17 Desember 1908, dan 18 Januari 1915). Dalam pertimbangan Mahkamah itu disebutkan:

“Tidaklah menjadi soal, apakah terdakwa itu telah berbuat dengan sengaja atau dengan alpa asal tidak karena daya memaksa (overmach) maka ia melakukan perbuatannya itu”.

Pada bagian lain Hooge Raad pernah berpendapat :

“Adalah cukup untuk menyatakan seseorang itu dapat dipidana karena telah melakukan pelanggaran,

20

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia hlm. 86

apabila orang itu secara materiel atau secara nyata telah berperilaku seperti dirumuskan di dalam suatu ketentuan pidana, tanpa perlu mempertimbangkan lagi apakah perilaku orang tersebut dapat dipersalahkan kepadanya atau tidak”. 21

Sehubungan dengan pandangan pembentuk WvS yang diikuti oleh putusan Mahkamah Agung Belanda tersebut, tidak diragukan lagi bahwa pembentuk WvS menghendaki agar terhadap pelanggaran tidak perlu ada unsur kesalahan. Kenyataan seperti itu mengundang pro dan kontra di kalangan ahli hukum. Simons, misalnya, termasuk yang menentang pendapat itu. Pada tahun 1884 ia telah mulai dengan serangan-serangannya terhadap pendapat klasik itu, antara lain, dalam karangannya Schuldbegrip bij overtredingen dan Themis 1884. Sebagai asas pokok yang diajukan

21 Jhoni Krisna, Sistem Pertanggungjawaban

(22)

adalah: Tidak ada pidana tanpa kesalahan.22

Dengan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai penerapan ajaran feit materiel. Di satu pihak, penjelasan WvS menyebutkan bahwa untuk pelanggaran tidak diperlukan adanya kesengajaan atau kealpaan, cukup apabila perbuatan pelaku memenuhi rumusan delik sehingga ia dapat dipidana. Pendapat seperti ini diikuti juga oleh pengadilan. Namun di pihak lain, para ahli hukum mempermasalahkan penerapan feit materiel itu yang dirasakan mengandung ketidakadilan. Pola pikir ahli hukum pada waktu itu adalah karena dianutnya doktrin atau ajaran tidak tertulis yang berbunyi geen straf zonder schuld yang

22 Roeslan Saleh, Op.Cit, hlm. 87

artinya “tidak ada pidana tanpa

kesalahan”.

(23)

pelanggaran, penulis cenderung memilih atau setuju pada pendapat yang mengatakan “tiada pidana tanpa kesalahan”, karena setiap orang atau badan hukum yang melakukan tindak pidana harus memiliki kesalahan secara subyektif dan secara objektif telah melawan hukum dan dibuktikan secara sah menurut Undang-Undang untuk menjamin adanya keadilan dalam hakim memutuskan sebuah perkara di Pengadilan.

B. ASAS KESALAHAN

DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA JERMAN.

Menurut Andi Hamzah Jerman merevisi dan memberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana - nya yang baru pada tahun 1975. Revisi ini dapat dikatakan pemolesan KUHP lama, sehingga sesuai dengan

perkembangan zaman. Beberapa hal yang perlu dicatat sebagai sesuatu yang berbeda dengan KUHP Indonesian adalah sebagai berikut :

1. Sesudah perang dunia II berakhir, negara – negara eropa pada umumnya sangat kecewa terhadap model rehabilitasi dalam pemidanaan. Jerman menerapkan pembinaan klinik ( clinical tretment ). 2. Diterapkan alternatif denda

sebagai penganti pidana penjara yang singkat, dalam hal ini diperlukan apa yang disebut denda harian (day fine) pada tahun 1975. Sebenarnya sistem denda harian ini sudah lama dikenal di negara – negara Skandinavia. Denda harian berarti perhitungan besar denda didasarkan kepada pendapatan pelanggar per hari. Jadi, perimbangan berapa lama orang seharusnya dipidana penjara dibanding dengan jika diganti denda, maka besar denda yang dikenakan ialah berapa besar pendapatan orang itu per hari. Maksud ketentuan ini agar pidana (denda) menjadi adil. Untuk tiba pada denda harian individual yang lebih jitu, hakim menempuh cara – cara seperti yang dibawah ini.

(24)

pidana penjara menurut hari.

b. Denda harian diperhitungkan sesuai dengan pendapatan per bulan terdakwa.

e. Jumlah yang ditentukan dalam bagian 1 dan 4 dikali sehingga diperoleh jumlah denda yang harus dibayar misalnya :

[ A ($300) : B (30)] * C (100) = F ($100)

A = Jumlah pendapatan per bulan

B = jumlah hari per bulan

C = jumlah hari seimbang dalam pidana penjara

F = jumlah denda yang harus dibayar

3. Dasar pemikiran Alfons Wohl, seorang bekas jaksa federal, mempertahankan bahwa langkah pertama dalam memperbarui sistem pidana, ialah menganut ajaran bahwa pembuat delik harus dibebaskan segera setelah kelihatan dapat diterima baik oleh dia maupun oleh masyarakat. 4. Disamping denda harian

sebagai alternatif pemenjaraan, juga diadakan penundaan pidana, dikenal pula penghentian penuntutan yang dikenakan oleh penuntut umum sebagai pidana percobaan praperadilan.

5. Pidana pokok dalam KUHP jerman hanya dua yang penting, yaitu pidana

penjara yang maksimum 15 tahun atau seumur hidup, dan pidana denda sebagai alternatif terpenting. Disamping itu, dikenal pidana yang ditunda (suspended sentence).23 Berdasarkan penjelasan diatas dapat diuraikan bahwa Dalam perjalanannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Jerman mengalami banyak perubahan yang menyesuaikan dengan perkembangan zaman pada saat itu sampai sekarang. Mulai pada saat negara Jerman masih terpisah menjadi dua bagian, yaitu : Jerman Barat dan Jerman Timur, Saat Kekuasaan dipegang Penuh oleh Rezim Nazi yang dipimpin oleh Adolf Hitler, sampai saat Jerman Bersatu menjadi satu Negara pada tahun 1990 sesuai penjelasan diatas. telah banyak yang di lakukan Jerman dalam Mempaharui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana-nya,

23

(25)

Sebagaimana permasalahan yang diangkat penulis, Asas Kesalahan Selalu mendapat tempat dan dirumuskan secara eksplisit di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Jerman, misalnya terlihat Pada KUHP Republik Demokrasi Jerman (Jerman Timur) 1968 menyatakan asas kesalahan dalam Pasal II Aturan Umum24:

“… the proper application of criminal law demands that every criminal act is detected and that guilty person is called to account…”

(Penerapan hukum pidana yang tepat menuntut, bahwa setiap tindak pidana diusut dan orang yang bersalah dipertanggungjawabkan) Berdasarkan bunyi Pasal diatas dapat diuraikan bahwa setiap penerapan hukum pidana yang tepat menuntut bahwa setiap pelaku pelanggaran terhadap Undang-Undang di Jerman atau sifat melawan hukum dari pelaku

24 Andi Hamzah, KUHP Republik Demokrasi

Jerman (Jerman Timur) Sebagai Perbandingan, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1987, hlm 48

pelanggaran diusut dan pelaku pelanggaran terhadap Undang-Undang atau melawan hukum diancamkan Sanksi sebagaimana yang diatur di dalam Pasal yang di

langgar atau

dipertanggungjawabkan.

(26)

dalam Germani Criminal Code berbunyi;

Section 1 No punishment without law;

“An act may only be punished if criminal liability had been established by law before the act was committed.” (suatu tindakan kriminal mungkin hanya dihukum jika kewajiban sudah ditetapkan oleh hukum sebelum tindakan lainnya dialokasikan)

Didalam bukunya Bohlander menjelaskan secara terperinci mengenai kesalahan dalam hukum pidana dan kesalahan secara fakta sebagai mana yang di bagi di dalam Germani Criminal Code Menurut Michael Bohlander25, Kesalahan secara universal adalah:

“On the third tier of the tripartite hierarchy, guilt, we find elements of liability that complement the first two tiers, such as subjective negligence or capacity (for generally based on the idea that the law cannot ask of anyone more than they can be legitimately expected to do, either intellectually or emotionally.”

(pada bagian ketiga tier dari hirarki tripartit , rasa bersalah , kita menemukan unsur-unsur kewajiban yang melengkapi dua yang pertama tingkatan , seperti subjektif kelalaian atau kapasitas ( misalnya ,jgg 3 , lihat di atas dalam bab pada konsep dasar ) dan sejumlah defences itu

adalah untuk

menghilangkan yang berfungsi yang rasa bersalah .Mereka umumnya berdasarkan ide bahwa hukum tidak dapat meminta dari siapa pun lebih dari yang mereka dapat sah diharapkan untuk dilakukan , baik intelektual atau emosional)

(27)

yang dilakukan, dapat juga dikatakan Negara jerman mengutamakan Kesalahan sebagai unsur Subyektif atau kapasitas kesalahan yang dilakukan pelanggardapat di beri Sanksinya seseorang atas perbuatannya sesuai dengan yang diancamkan dalam Pasal dalam Undang-Undang Negara Jerman.

Di Negara Jerman asas Kesalahan menjadi salah satu Prinsip Pendekatan Utama di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana-nya yang Dinamakan Schuldprinzip, hal ini juga dijelaskan Michael Bohlander26 Dalam Bukunya :

“One of the central tenets of the German approach is the Schuldprinzip, namely, the requirement of personal guilt and blameworthiness as the determining parameters for liability and punishment.”

26 Michael Bohlander, Op.Cit. Hlm 20

(salah satu pusat ajaran jerman adalah pendekatan yang schuldprinzip , yaitu , persyaratan pribadi rasa

bersalah dan

blameworthiness sebagai menentukan parameter untuk tanggung jawab dan hukuman)

Berdasarkan uraian diatas dapat di jelaskan bahwa Negara Jerman menganut asas kesalahan atau Schuldprinzip yaitu menyangkut perbuatan personal guilt dan blameworthiness yang dipersyaratkan untuk bisa menentukan parameter bagi pertanggungjawaban pidana dan pemberian hukuman atau sanksi sebagiaman yang diancamkan dalam Undang-Undang kepada pelaku pelanggaran. Melalui schuldprinzip ini dapat diperoleh penjelasan bahwa belum tentu ada pertanggungjawaban pidana tanpa adanya kesalahan yang dilakukan oleh pelaku pelanggaran.

(28)

yang dimaksud di dalam bukunya, blameworthiness. By finding a defendant guilty we blame him for not having acted lawfully, for having chosen to break the law, although he could have acted lawfully, could have chosen to abide by the law. The inner reason for the judgment of guilt lies in the fact that man’s nature is grounded in the freedom and responsibility of moral self-determination, and that he is therefore capable to self-determination is not temporarily paralysed or permanently destroyed by the illnesses mentioned in § 51 StGB.

The pre-condition for a free and responsible human choice for the law, based on moral self determination, is the knowledge of the law and of the forbidden. He who knows that what he chooses to do in freedom is unlawful, acts blameworthy

if he does so despite this insight. That knowledge may be lacking because the defendant is unable, based on the illnesses mentioned in § 51 (1) StGB, to appreciate the unlawfulness of his actions. In such a case the lack of knowledge is the consequence of an unavoidable fate. He cannot be blamed for it and incurs no guilt. He lacks mental responsibility under the criminal law.

(29)

melumpuhkan atau secara permanen dibinasakan dengan teriakan yang disebutkan dalam penyakit 51 stgb .Untuk yang pre-condition manusia yang bebas dan bertanggung jawab pilihan bagi hukum , berdasarkan diri moral tekad , itu untuk pengetahuan hukum dan yang haram .Dia yang mengetahui bahwasanya apa yang dia memilih untuk lakukan dalam kebebasan adalah di luar hukum) Berdasarkan uraian diatas sangat jelas disana posisi Schuldprinzip atau asas kesalahan di Negara Jerman sangat mendapatkan posisi yang strategis sebagai parameter menentukan seseorang bersalah atau tidak, dikatakan disana bahwa untuk menentukan Hukuman harus didasarkan pada rasa bersalah. Rasa bersalah berarti kesalahan pelaku. Dengan menemukan terdakwa bersalah atau kita menyalahkan dia karena tidak bertindak secara sah, karena telah memilih untuk melanggar hukum, meskipun ia bisa bertindak secara

sah, bisa memilih untuk mematuhi hukum.

Namun ada pengecualian terhadap pelaku pelanggar atau pelaku tidak mampu bertanggungjawab seperti yang dijelaskan di atas bahwa seseorang yang dinyatakan bersalah haruslah mampu bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya atau tidak mengalami penyakit jiwa dan tidak mengetahui bahwa yang dilakukannya telah melawan hukum yang berlaku di Negara Jerman.

(30)

atau Prinsip Keseimbangan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidananya, di Negara Jerman asas Kesalahan ini biasa disebut dengan istilah schuldprinzip.

Negara Jerman mengalami beberapa kali pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang terakhir masalah asas kesalahan juga tetap medapatkan tempat tersendiri yang di buktikan secara tegas dalam Kitab di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan membaginya kedalam dua bentuk yaitu: Kesalahan Fakta dan Kesalahan Hukum, yang dinyatakan dalam amandemen Tahun 2009 Terjemahan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Jerman yang disediakan Michael Bohlander27 :

Section 16 Mistake of fact

27 Michael Bohlander, The German Criminal

Code: A Modern English Translation.

Oxford/Portland, Oregon: Hart Publishing, 2008. Hlm. 7

1) Whosoever at the time of the commission of the offence is unaware of a fact which is a statutory element of the offence shall be deemed to lack intention. Any liability for negligence remains unaffected.

(barangsiapa pada saat komisi;28 pelanggaran lalai dari sebuah kenyataan yang adalah perundang-undangan elemen dari pelanggaran harus dianggap kurang niat .Setiap tanggung jawab untuk kelalaian tetap tidak terpengaruh) Berdasarkan bunyi Pasal 16 ayat (1) KUHP Jerman diatas dapat diketahui bahwa pada saat pelaku pelanggaran tidak mengetahui atau menyadari fakta, yang didalam Hukum Pidana Jerman fakta tersebut dinyatakan sebagai elemen atau bagian dari pelanggaran hukum atau melawan hukum, maka pelaku tersebut dianggap niatnya kurang, maka untuk pertanggungjawabannya tetap

28

(31)

dijalankan dan tetap tidak terpengaruh, dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa KUHP Jerman sedikit kaku dan otoriter dalam menentukan sanksi bagi pelaku pelanggaran. Dan jenis kesalahan ini di namakan oleh Hukum Pidana Jerman sebagai Mistake of Fact atau Kesalahan Fakta. Kemudian juga dijelaskan pada Pasal 16 ayat (2) KUHP Jerman bahwa :

Section 16 Mistake Of Fact

2) Whosoever at the time of commission of the offence mistakenly assumes the existence of facts which would satisfy the elements of a more lenient provision, may only be punished for the intentional commission of the offence under the more lenient provision. (Barang siapa pada saat komisi dari pelanggaran keliru mengasumsikan adanya fakta-fakta yang akan memenuhi unsur ketentuan lebih lunak, hanya dapat dihukum karena komisi yang disengaja pelanggaran di bawah ketentuan lebih longgar)

Pada ayat (2) sebagaimana kelanjutan atau pejelasan lebih lanjut dari Pasal 16 Ayat (1) Germani Criminal Code diatas dijelaskan bahwa, untuk pelaku pelanggaran yang tidak mengetahui atau tidak menyadari kesalahan yang telah dilakukan atau bertindak melawann hukum tanpa diketahui atau disadari akan tetap dipertanggungjawabkan tetapi dengan ketentuan yang lebih ringan. Dapat disimpulakan bahwa dalam menentukan Mistake of Fact atau kesalahan fakta di Negara Jerman sangat diperlukan analisis secara mendalam dari Hakim yang mengadili perkara sebagai penentu bersalah atau tidaknya seseorang dengan menggunakan asas kesalahan atau Schuldprinzip yang dianut Negara Jerman sendiri.

(32)

psikis tertentu pada seseorang yang melakukan tindak pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian rupa hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi.

Selain Mistake of Fact atau Kesalahan Fakta sebagaimana yang dijelaskan di atas, jerman juga membagi kesalahan dalam bentuk yang lain, yaitu Mistake of Law atau Kesalahan Hukum sebagaimana yang termanisfestasi dalam Pasal 17 Germani Criminal Code dibawah ini;

Section 17 Mistake of law

(bagian 17 Kesalahan hukum) If at the time of the commission of the offence the offender lacks the awareness that he is acting unlawfully, he shall be deemed to have acted without guilt if the mistake was unavoidable. If the mistake was avoidable, the sentence may be mitigated pursuant to section 49(1).

(Jika pada saat kunjungan komisi dari pelanggaran barangsiapa yang tidak memiliki kesadaran bahwa dia bekerja melawan hukum itu ia harus dianggap telah melakukan kesalahan tanpa kesalahan jika itu tidak dapat dihindari .Jika ada kesalahan dapat dihindari keputusan masih dapat bagian sesuai dengan 49 (1))

(33)

Berdasarkan bunyi pasal diatas dapat di artikan bahwa Germani Criminal code memberikan kompensasi atau keringanan untuk pelaku pelanggaran yang tidak mengetahui atau tidak memiliki kesadaran bahwa perbuatannya telah melawan hukum menurut Hukum Pidana Jerman atau pelaku yang bertindak tanpa rasa bersalah dan jika ian mengetahui perbuatannya melawan hukum tetapi pelaku menhindari perbuatan tersebut maka hukumannya dapat dikurangi sesuai dengan Pasal 49 Germani Criminal Code.

Dari perumusan di atas menurut Germani Criminal Code pada prinsipnya hanya orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja sajalah yang dapat dinyatakan bersalah dan dipidana berdasarkan Undang-Undang. Dipidananya seseorang yang

melakukan perbuatan dengan kealpaan atau hanya melakukan perbuatan saja walaupun tidak dengan sengaja, hanya saja ada pengecualian. Perumumusan pengecualian yang digunakan pada Bagian 17 Kesalahan Hukum, menunjukkan dianutnya ajaran Strict Liability sebagai pengecualian dari asas culpabilitas.

Asas tiada pidana tanpa kesalahan pada umumnya diakui sebagai prinsip umum di berbagai negara. Namun tidak banyak KUHP di berbagai negara yang merumuskan secara tegas asas ini di dalam KUHP nya. Biasanya perumusan asas ini terlihat dalam perumusan mengenai pertanggungjawaban pidana, khususnya yang berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.

(34)

tidak mengatur Asas Kesalahan di dalam KUHP, bahwa Negara Jerman lebih memiliki Ukuran untuk menentukan Kesalahan pelaku pelanggar sebagai Parameter dalam menetukan seseorang bersalah atau tidak dan diancamkan sanksi atau hukuman sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku berdasarkan kesalahan dari pelaku pelanggaran tersebut, dapat dilihat dengan jelas pada Germani Crimal Code yang mengatur dan membagi asas kesalahan atau Schuldprinzip kedalam dua bentuk, yaitu; Mistake of Fact atau kesalahan secara fakta dan Mistake of Law atau kesalahan secara hukum.

C. ASAS KESALAHAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

Pembaharuan dalam bidang apapun erat kaitannya dengan perubahan yang

terjadi dalam kehidupan manusia. Demikian juga dalam Hukum Pidana mengharuskan diadakan pembaharuan dikarenakan telah terjadi perubahan dalam dinamika kehidupan yang berhubungan dengan tingkah laku manusia. Jadi dapat dikatakan sasaran/ adresat dari pembaharuan adalah manusia.

(35)

“suatu keharusan” untuk dilakukan

pembaharuan hukum khususnya hukum pidana. Untuk melaksanakan amanat dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, maka pembaharuan hukum merupakan salah satu masalah besar yang sedang dihadapi bangsa Indonesia yaitu masalah mengganti atau memperbaharui produk-produk kolonial di bidang hukum pidana khususnya KUHP sebagai tuntutan amanat Proklamasi sekaligus juga merupakan tuntutan nasionalisme dan tuntutan kemandirian sebagai bangsa yang merdeka.

Pembaharuan Hukum terjadi di setiap negara baik Negara yang telah maju maupun Negara yang sedang berkembang serta mendapat perhatian yang sangat besar seperti Indonesia, hal ini dapat dibuktikan dari pidato Presiden Soeharto pada Pembukaan acara Konferensi Law Asia yang berlangsung di Jakarta pada tahun 1973. Pada pembukaan acara tersebut Presiden Soeharto menyatakan :

“Setiap pembangunan mengharuskan terjadinya perubahan, bahkan juga

perubahan-perubahan yang sangat fundamental. Sekalipun begitu Indonesia tetap akan menekankan pentingnya mempertahankan ketertiban dalam setiap gerak kemajuan yang akan diperoleh lewat perubahan perubahan yang demikian itu, dan dalam hal ini Hukum akan merupakan sarana penting guna mempertahankan ketertiban itu. Namun itu tidak boleh diartikan bahwa hukum hendak berpihak kepada keadaan status quo. Hukum akan menentukan lingkup-lingkup perubahan tersebut, namun tidaklah tepat apabila hukum dengan demikian menghalangi setiap perubahan hanya semata mata karena ingin mempertahankan nilai-nilai lama”.29

Makna dari kutipan Pidato di atas adalah bahwa Hukum harus mampu mengawal setiap perubahan yang terjadi dan dengan demikian dibutuhkan pembaharuan hukum agar sesuai dengan perubahan yang terjadi dengan kata lain Pembaharuan hukum menjadi suatu “keharusan”. Kebijakan Pemerintah dalam upaya pembangunan/ pembaharuan hukum terus berlanjut pada masa pemerintahan BJ Habibie selaku Presiden Republik Indonesia, hal ini dapat dilihat dari pidato

29 Soeharto, Sambutan Presiden RI Pada

(36)

peresmian Pembukaan Seminar Hukum Nasional VII tahun 1999 menegaskan :

“Perubahan paradigma pembangunan hukum yang mendasar merupakan suatu keharusan yang tidak dapat dihindari. Salah satu langkah yang perlu dilakukan adalah mengkaji ulang berbagai wacana pembangunan hukum di masa lampau untuk dijadikan dasar pijakan dan sasaran reformasi hukum. Berkenaan dengan itu selain harus memperhatikan perubahan lingkungan strategis yang bersifat internal juga perlu memperhatikan perkembangan lingkungan yang bersifat global. Dengan demikian sistem hukum nasional kita yang didasarkan atas konstitusi sebagai hukum dasar yang tertinggi dapat hendaknya mampu dalam menghadapi tantangan jaman yang berdimensi sangat luas di masa-masa yang akan datang”.30

Pidato Presiden BJ Habibie di atas ini dapat dijadikan pedoman dalam melakukan upaya pembaharuan hukum di samping merupakan suatu keharusan namun tetap berpegangan pada konstitusi negara dan nilai-nilai sentral masyarakat. Pembaharuan Hukum Pidana adalah seperti dinyatakan oleh Gustav Radbruch bahwa “memperbaharui hukum pidana

tidak berarti memperbaiki hukum pidana akan tetapi menggantinya dengan lebih

30 BJ Habibie, Sambutan pada Peresmian

Pembukaan Seminar Hukum Nasional VIII, Tahun 1999, Jakarta, 1999, hal 12.

baik” maknanya adalah ada upaya untuk membuat yang didahului dengan konseptual hukum pidana untuk diterapkan di masa yang akan datang sehingga bersifat Ius constituendum. Pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh harus meliputi pembaharuan hukum pidana materiil (Substantif), hukum pidana formil (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana. Ketiga tiga bidang hukum pidana itu harus bersama sama diperbaharui Kaitannya dengan Hukum maka Pembaharuan Hukum bukan merupakan suatu usaha yang bersifat vast leggen van wat is (menetapkan apa yang sudah berlaku, tapi lebih merupakan suatu usaha vast leggen wat hoort te zijn (penetapan apa yang seharusnya atau sebaiknya berlaku).

(37)

dalam KUHP, namun hanya disebutkan dalam Memorie van Toelichting (MvT) sebagai penjelasan WvS.31 Asas culpabilitas merupakan penyeimbang dari asas legalitas yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1), yang berarti bahwa seseorang dapat dipidana karena secara obyektif memang telah melakukan tindak pidana (memenuhi rumusan asas legalitas) dan secara subyektif terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku (memenuhi rumusan asas culpabilitas).

Asas kesalahan (asas culpabilitas) merupakan salah satu asas pokok dalam hukum pidana dan merupakan salah satu problem pokok dalam hukum pidana selain sifat melawan hukum perbuatan dan pidana. Asas ini mengajarkan bahwa hanya orang yang bersalahlah yang dapat dikenai pidana. Dalam bahasa asing, asas ini sering disebut dengan adagium nulla poena sine culpa, atau Keine Strafe ohne Schuld (bahasa Jerman) dan Geen straf zonder

31 Sudarto, Hukum Pidana I, Op cit., hal. 85

schuld (bahasa Belanda) yang berarti “tiada pidana tanpa kesalahan”.

Dengan demikian dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah nyata-nyata melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi walaupun ditinjau secara obyektif perbuatan seseorang telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih diperlukan syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan terlarang tersebut mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).

(38)

pidana. Akan tetapi, asas kesalahan teidak mendapatkan tempatnya dalam Buku I KUHP mengenai Ketentuan Umum. Namun demikian, jelas akan bertentangan dengan keadilan apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal sama sekali ia tidak bersalah. Untuk itulah, dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan asas kesalahan ini. Selengkapnya, Pasal 6 ayat (2) tersebut berbunyi:

“Tiada seorang jua pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila Pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”.

Berdasarkan bunyi Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Tersebut jelas bahwa disana dijelaskan bahwa dalam menentukan seseorang dapat dikata bersalah atau tidak menurut hukum yang berlaku, seseorang tersebut harus memenuhi unsur kesalahan terhadap perbuatan yang dituduhkan kepadanya, terlihat jelas di dalam Pasal di atas bahwa

asas kesalahan menjadi parameter yang paling mendasar dalam hakim memutuskan seseorang dinyatakan bersalah atau tidak di pengadilan.

Barda Nawawi di dalam bukunya dijelaskan mengenai beberapa masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana dalam perspektif pembaharuan hukum pidana di indonesia, antara lain :

a. Telah dikemukakan di atas, bahwa konsep merumuskan asas kesalahan secara eksplisit atau tegas. Perumusan eksplisit ii baru dimulai dalam konsep 1993, yang tidak ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan belum pernah ada dalam konsep-konsep sebelumnya (Konsep 1964, 1968, dan 1971 atau 1972). Hal ini juga menunjukkan hal atau aspek baru dalam konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru.

b. Walaupun konsep mengakui secara tegas asas kesalahan, namun dalam hal-hal tertentu memberikan kemungkinanan adanya penyimpangan atau perkecualian seperti yang dikenal dalam Common Law System,

yauitu doktrin

(39)

terlihat dalam Pasal 36 (Konsep 1993). Kedua perumusan pasal ini tidak dikenal dalam Kitab Undang-Undang yang berlaku. c. Ada pendapat atau komentar dari

para Guru Besar Belanda (Prof. Nico Keizer dan Prof. Dr. Schaffmeister), bahwa dianurnya doktrin Strict Liability dan Vicarious Liability bertentangan dengan asas Mensrea (Asas Kesalahan). Terhadap pendapat demikian perlu dikemukalan, bahwa perkecualian atau penyimpangan dari suatu asas jangan dilihat semata-mata sebagai suatu pertentangan (kontradiksi) tetapi dapat juga dilihat sebagai pasangan atau pelengkap (Complement) dalam mewujudkan asas keseimbangan. Sama halnya dengan Pasal 1 (1) yang megandung asas nonretroaktif, namun Ayat (2)-nya memungkinkan adanya retroaktif.

d. Di samping perumusan asas kesalahan (Culpabilitas) secara umum seperti dikemukakan di atas, konsep menegaskan suatu prinsip, bahwa hanya tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja saja dapat dipidana. Apabila suatu perbuatan yang dilakukan dengan kealpaan akan dinyatakan sebagai tindak pidana, maka hal itu harus dinyatakan dengan tegas dalam perumusan delik yang bersangkutan. Prinsip demikian dalam konsep 1991/1992 ditegaskan dalam Pasal 40 ayat 2, dan dalam konsep 2005-1012 diatur dalam Pasal 39. Dengan prinsip demikian, konsep memandangkesengajaan dan kealpaan pada hakikatnya merupakan kesalahan atau pertanggugjawaban pidana, bukan unsur delik.

e. Oleh karena Konsep memisahkan antara “ tindak pidana” dengan

“Kesalahan atau

pertanggungjawaban pidana”, maka kesengajaaan sebagai unsur utama atau prinsip umum dari pertanggungjawaban pidana dipandang tidak perlu dicantumkan dalam perumusan delik. Sedangkan “Kealpaan” dan bentuk bentuk khusus lainya dari unsur subjektif (sikap bathin) seperti “mengetahui”, “yang diketahuinya”, “Padahal diketahuinya”, “sedangkan ia mengetahui”, tetap dicantumkan dalam perumusan delik (Aturan Khusus Buku II). Jadi intinya, syarat pertanggungjawaban atau kesalahan yang bersifat umum (yaitu kesengajaan) ditempatkan dalam aturan umum, sedangkan yang bersifat khusus ditempatkan dalam aturan khusus (Perumusan Delik).

f. Hal baru yang lainnya adalah dirumuskannya ketentuan umum mengenai pertanggungjawaban terhadap akibat (Erfolgshaftung) yang selama ini di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak dirumuskan namun hanya dikenal dalam teori atau doktrin.32 Jika membandingkan asas kesalahan dengan hukum pidana asing, ternyata tidak banyak hukum pidana asing yang mencantumkan secara eksplisit asas kesalahannya. Biasanya perumusan asas ini terlihat dalam perumusan mengenai pertanggungjawaban pidana (criminal

(40)

responsibility dan liability), khususnya yang berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.

Konsep pembaharuan hukum pidana di Indonesia bertolak dari asas “tiada pidana tanpa kesalahan”. Yaitu Asas imerupakan asas yang sangat

fundamental dalam

mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah melakukan tindak pidana. Pengertian asas itu menunjukkan bahwa seseorang tidak dapat dipidana apabila ia tidak mempunyai kesalahan, baik berupa kesengajaan maupun kealpaan. Jadi, prinsipnya asas itu bertolak dari “pertanggungjawaban pidana berdasarkan

asas kesalahan (liability based of fault). Asas itu terdapat dalam :

Pasal 37

1. Tidak seorang pun yang melakukan tindak pidana dipidana tanpa kesalahan.

2. Kesalahan terdiri dari kemampuan bertanggungjawab, kesengajaan, kealpaan, dan tidak ada alasan pemaaf.

Pasal 38

1. Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhi-nya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.

2. Dalam hal ditentukan oleh undang-undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, 33

Berdasarkan bunyi Pasal RUU KUHP diatas dapat dikatan bahwa asas kesalahan mendapat suatu tempat dalam pengaturannya di KUHP Indonesia, sesuai dengan bunyi Pasal 37 ayat (1) RUU KUHP di atas bahwa untuk memberikan hukuman atau sanksi terhadap seseorang harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa orang tersebut telah melakukan kesalahan sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang dan pada Ayat (2) juga disebutkan kesalahan memeiliki beberapa unsur yang dijadikan parameter dalam menentukan seseorang bersalah atau tidak, yaitu; kemampuan seseorang dalam bertanggungjawab atas kesalahannya,

33 Rancangan Undang Undang Kitab

(41)

kesengajaan, kealpaan, dan tidak ada alasan pemafaaf.

Namun dalam Pasal selanjutnya yaitu, Pasal 38 RUU KUHP dapat dilihat bahwa dalam menentukan seseorang bersalah atau tidak harus ada kesalahan tetapi untuk tindak pidana tertentu Undang-Undang dapat menentukan seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa harus memperhatikan kesalahannya sesuai dengan Undang-Undang yang mengaturnya.

Jadi dapat disimpulakan berdasarkan Penjelasan Pasal-Pasal RUU KUHP di atas, KUHP yang akan datang menganut asas Tiada Pidana tanpa Kesalahan yang merupakan ide dari keseimbangan monodualistik atau pasangan dari asas legalitas. Bahwa untuk mempidana seseorang harus secara objektif memenuhi rumusan asas legalitas dan secara subyektif telah melakukan kesalahan atau memenuhi rumusan asas kesalahan.

Dalam pengertian tindak pidana termasuk hal pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan yang telah ditetapkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Apakah pembuat yang telah melakukan perbuatan yang dilarang tersebut kemudian juga dijatuhi pidana, sangat tergantung kepada persoalan apakah ia dalam melakukan

perbuatan itu dapat

dipertanggungjawabkan atau tidak. Dengan perkataan lain, apakah ia mempunyai kesalahan atau tidak.

(42)

yang dilarang dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana, ia tentu tidak akan dijatuhi pidana. Asas tiada pidana tanpa kesalahan dengan demikian merupakan asas fundamental dalam mempertanggungjawabkan pembuat karena telah melakukan tindak pidana. Asas itu juga merupakan dasar dijatuhkannya pidana kepada pembuat.34

Asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) tetap merupakan salah satu asas utama dalam hukum pidana. Namun demikian dalam hal-hal tertentu sebagai perkecualian dimungkinkan penerapan asas “strict

liability” dan asas “vicarious liability”. Dalam hal yang pertama, pembuat tindak pidana telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya, sedangkan yang kedua tanggungjawab pidana seseorang dipandang patut diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang melakukan

34 Jhony Krisna, Op.Cit, hlm. 63

pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya.35

Berdasarkan Penjelasan di atas, dengan adanya perkembangan masyarakat, baik perkembangan di bidang industri, ekonomi maupun perdagangan, asas tersebut tidak dapat dipertahankan sebagai satu-satunya asas dalam hal pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, konsep itu juga memberikan kemungkinan adanya penyimpangan atau pengecualian asas kesalahan terhadap perbuatan pidana tertentu.

D. PENUTUP A. KESIMPULAN

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP (WvS) yang berlaku saat ini tidak merumuskan secara explisit mengenai Asas Kesalahan, namun hanya dicantumkan dalam Memorie Van Toelicthing

35

(43)

(MVT) sebagai penjelasan WvS,

a) Dalam hal pembuat tidak diberi kebebasan memilih antara berbuat apa yang oleh Undang-undang dilarang atau diperintahkan (dalam hal perbuatan yang dipaksakan).

b) Dalam hal pembuat ada di dalam keadaan kekuh sehingga ia dapat menyadari bahwa perbuatan bertentangan dengan hukum dan ia tidak mengerti akibat perbuatannya itu (nafsu pathologis, gila, pikiran sesat dan sebagainya. KUHP Indonesia tidak memformulasikan secara eksplisit asas kesalahan baik dalam ketentuan umum maupun dalam

ketentuan khusus, namun dalam Pasal-Pasal tindak pidana yang dilanggar secara implisit diatur untuk mempidana seseorang melakukan tindak pidana harus ada kesalahan baik dalam bentuk kesengajaan ataupun kelalaian.

(44)

Jerman Barat dan Jerman Timur, dan setelah Negara Jerman Bersatu Pada tahun 1990.

“... The proper application of criminal law demands that every criminal act is detected and that the guilty person is called to account ...”

(Penerapan hukum pidana yang tepat menuntut, bahwa setiap tindak pidana diusut dan orang yang bersalah dipertanggungjawabkan).

Kemudian asas kesalahan ini juga diatur secara eksplisit dalam amandemen Germani Criminal Code Asas Kesalahan ditempatkan dalam 1 pasal Aturan Umum dan terbagi menjadi 2, yaitu : Kesalahan Fakta dan Kesalahan Hukum.

Section 16 Mistake of fact

(Bagian 16 Kesalahan Fakta)

1) Whosoever at the time of the commission of the offence is unaware of a fact which is a statutory element of the offence

shall be deemed to lack intention. Any liability for negligence remains unaffected.

(barangsiapa pada saat komisi pelanggaran lalai dari sebuah kenyataan yang adalah perundang-undangan elemen dari pelanggaran harus dianggap kurang niat .Setiap tanggung jawab untuk kelalaian tetap tidak terpengaruh)

2) Whosoever at the time of commission of the offence mistakenly assumes the existence of facts which would satisfy the elements of a more lenient provision, may only be punished for the intentional commission of the offence under the more lenient provision. (Barang siapa pada saat komisi dari pelanggaran keliru mengasumsikan adanya fakta-fakta yang akan memenuhi unsur ketentuan lebih lunak, hanya dapat dihukum karena komisi yang disengaja pelanggaran di bawah ketentuan lebih longgar)

Section 17 Mistake of law

(bagian 17 Kesalahan hukum)

Referensi

Dokumen terkait

$GDSXQ GL EDJLDQ VLVL VHODWDQ '3 SDGD NRWDN 6 % 6 % ODSLVDQ SHUPXNDDQQ\D GLGRPLQDVL ROHK ODSLVDQ SDVLU VHGDQJ GDQ SDVLU KDOXV GHQJDQ VHGLNLW FDPSXUDQ OHPSXQJ GDQ NHULNLO .RWDN

Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggung jawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan

Berdasarkan pengertian korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) UUPTPK di atas, dapat disimpulkan ada tiga unsur tindak pidana korupsi yaitu secara melawan hukum melakukan

Tahapan ini terdiri dari spesifikasi komponen utama yang digunakan dalam perancangan prototipe kendaraan hybrid, spesifikasi motor konvensional dan motor listrik, serta

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membantu Program Studi di Universitas Dharma Andalas dalam mengelola Media Sosial Instagram, diharapkan para Program Studi

Pada tataran di mana pluralisme hukum dipandang sebagai adanya interaksi antara beberapa sistem hukum yang berbeda dalam suatu organisasi politik, atau interaksi antara hukum

Dengan demikian penerapan teknologi mulai dari tahapan budidaya suatu komoditi HHBK sampai pada pengolahan primer atau pengolahan sekunder sehingga menghasilkan diversifikasi

Apabila dibandingkan dengan penelitian di danau lainnya seperti Danau Singkarak, Danau Atas, Danau Bawah dan Danau Kerinci maka jumlah jenis yang didapatkan di