• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keadilan pun juga menjadi salah satu konsep terkait dimana dapat diartikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keadilan pun juga menjadi salah satu konsep terkait dimana dapat diartikan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Keadilan dan Kepastian Hukum 1. Teori Keadilan

Keadilan (Gerechtikeit) adalah salah satu cita cita hukum yang selalu harus dicapai dalam penegakkan hukum sehingga menciptakan kepastian hukum.

Keadilan pun juga menjadi salah satu konsep terkait dimana dapat diartikan sebagai timbal balik dari apa yang telah dilakukan. baik itu perbuatan baik maupun perbuatan buruk.1 Didalam penegakan hukum sendiri, keadilan masih menjadi relatif dan memiliki banyak pandangan terkait konsep keadilan yang dimana masih terkesan sulit untuk dipahami karena massing masing orang memiliki kacamata yang berbeda terkait konsep keadilan. Konsep keadilan sendiri tertuang dalam Sila Ke-lima yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” namun tetap saja keadilan masih memiliki banyak definisi dan relatif terkait bagaimana pandangan terhadap Teori Keadilan.2

2. Teori Kepastian Hukum

Kepastian Hukum (rechtssicherkeit) adalah cita cita yang selalu diharapkan setelah keadilan tercapai. Demi terjaminnya kepastian hukum tentunya teori keadilan tidak dapat dikesampingkan karena keadilan merupakan salah satu penunjang adanya kepastian hukum. Kepastian Hukum berguna untuk menjamin konsekuensi dari sebuah perbuatan. Sederhananya, apabila kita melakukan suatu

1 Dwisvimiar, Inge. "Keadilan dalam perspektif filsafat ilmu hukum." Jurnal Dinamika Hukum 11.3 (2011): 522-531.

2 Sutiyoso, Bambang. "Mencari Format Ideal Keadilan Putusan Dalam Peradilan." Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 17.2 (2010): 217-232.

(2)

perbuatan maka, konsekuensinya sudah jelas sehingga masyarakat mengetahui batasan batasannya. Namun, dikarenakan penegakan hukum tidak berjalan seiringan dengan kehidupan maka seringkali kita menemukan sebuah ketidakpastian sehingga munculah istilah “hukum dibuat untuk dilanggar” yang tentunya itu salah karena seharusnya hukum dibuat agar masing masing subyek hukum mengetahui batasan bataasan guna menjadikan kegiatan bermasyarkat dan bernegara dapat dengan mudah di jalankan secara bersama sama secara teratur.3

B. Narkotika

1. Pengertian Narkotika

Narkoba adalah suatu bahan yang terdiri dari Narkotika, Psikotropika, dan zat (bahan adiktif) lainnya. Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, narkoba adalah obat penenang syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau menstimulus saraf sraf yang ada di dalam tubuh sesorang.

Narkotika juga dapat disebut narcosis yang berarti membius. Sebagian literatur menyebutkan bahwa narkotika berasal dari bahasa Yunani “narke” yang artinya terbius hingga tidak dapat merasakan apa-apa.4

Beberapa ahli sebagian berpendapat kata narkotika berasal dari kata narcissus, yakni tumbuhan atau tanaman yang mempunyai zat tertentu sehingga dapat membuat orang kehilangan kesadaran.5 Rachman Hermawan, mendefinisikan narkotika sebagai Zat yang dimakan, diminum, atau dimasukkan ke dalam tubuh manusia melalui media apapun, dan juga dapat mengubah satu

3 Nuryanto, Carto. "Penegakan Hukum Oleh Hakim Dalam Putusannya Antara Kepastian Hukum Dan Keadilan." Jurnal Hukum Khaira Ummah 13.1 (2018): 71-84.

4KBBI ( Kamus Besar Bahasa Indonesia )

5Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Bandung, PT.

Mandar Maju, 2003, hlm. 35.

(3)

atau lebih fungsi badan manusia.6 Pengertian narkotika secara yuridis diatur dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang menyebutkan bahwa :

“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilang rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan kedalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini”.7

2. Sejarah Narkotika

Dari dulu manusia telah mengenal candu sebagai salah satu jenis narkotika dan dipergunakan oleh sebagian masyarakat8 Candu diperkirakan berasal dari daerah timur Pegunungan Mediterania. Candu terbuat dari buah tanaman Papaver Somniferum L., yaitu sejenis tanaman perdu liar yang tumbuh subur didaerah pegunungan mediterania. Pada awalnya tanaman tersebut diambil bijinya untuk dipakai sebagai bahan makanan dan minuman seperti campuran untuk minuman teh.9

Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Seminar Internasional Antar- Regional II tentang Pencegahan dan Penyembuhan Ketergantungan Kepada Obat di Bangkok pada bulan November tahun 1979 menjelaskan bahwa orang orang cina selatan bermigrasi ke negara negara Asia Tenggara pada akhir abad ke 18.

Dikarenakan pergantian musim yang begitu ekstrim dan kelaparan melanda yang mengancam mereka di perjalanan, mereka menggunakan candu untuk menstimulus tubuh mereka terhadap cuaca ekstrim sehingga kebiasaan mengisap

6 Rachman Hermawan S., Penyalahgunaan Narkotika Oleh Para Remaja, Bandung : Eresco, 1987, hlm. 10-11.

7 UU No. 35 Tahun 2009

8 Rachman Hermawan S., Op Cit., hal. 7

9 Loc. Cit.

(4)

candu tetap dilakukan mereka sampai ke tempat mereka yang baru. Hal ini kemudian menjadi peluang bagi para penjajah Eropa. Akibatnya, hingga akhir abad ke-19 perdagangan candu menjadi objek yang paling menguntungkan di Asia Tenggara.10

Tidak diketahui pasti bangsa mana yang membawa candu ke Indonesia.

Namun, diduga dibawa oleh orang Arab, india, dan Cina. Setelah menjadi barang dagangan di batavia, pemasukan candu di Jawa kian meningkat setelah VOC memegang pasar monopoli impor ke kerajaan Mataram di tahun 1696, lalu Kesultanan Cirebon pada tahun 1678, dan kemudian menyebar wilayah Kesultanan Banten.11

Diimbangi oleh tehnologi yang kian hari mengalami kemajuan, candu yang berasal dari Papaver Somniferum L, diolah sehingga menghasilkan morfin dan heroin. Sedangkan, tanaman koka dapat diolah untuk menghasilkan kokain.

Selain dari tanaman tersebut, ganja tumbuh subur di negara kita khususnya di Aceh juga termasuk salah satu jenis narkotika yang dilarang oleh Pemerintah Republik Indonesia. Saat ini, candu, morfin, heroin, kokain, dan ganja dikenal dalam ketentuan perundang-undangan sebagai narkotika.12 Namun, pada awalnya, sebelum narkotika di salahgunakan seperti saat ini, dulunya zat zat tersebut di gunakan untuk pengobatan

3. Jenis-jenis Narkoba (Narkotika dan Obat-obatan)13

Kandungan yang terdapat didalam narkoba tersebut memang bisa memberikan dampak yang buruk bagi kesehatan jika disalahgunakan. Menurut

10 Rachman Hermawan S., Op. Cit., hal 8-9.

11 Loc. Cit.

12 Ibid, hal. 10.

13 Febrian, M. R., Dengen, N., & Cahyono, B. (2019). Media Informasi Berbasis Android Tentang Jenis- Jenis Narkoba Di Badan Narkotika Nasional Provinsi Kalimantan Timur. Jurnal Rekayasa Teknologi Informasi, 3(1), 38-46.

(5)

UU tentang Narkotika, narkotika dibagi menjadi menjadi 3 golongan berdasarkan pada risiko ketergantungannya diantaranya :

• Narkotika Golongan 1

Narkotika golongan 1 seperti ganja, opium, dan tanaman koka sangat berbahaya apabila dikonsumsi karena beresiko tinggi menimbulkan efek kecanduan.

• Narkotika Golongan 2

Sementara narkotika golongan 2 bisa dimanfaatkan untuk pengobatan sesuai dengan resep dokter. Jenis dari golongan ini kurang lebih sekitar 85 jenis, beberapa diantaranya seperti Morfin, Alfaprodina, dan lain-lain. Golongan 2 juga berpotensi tinggi menimbulkan ketergantungan.

• Narkotika Golongan 3

Dan yang terakhir, narkotika golongan 3 memiliki risiko ketergantungan yang cukup ringan dan banyak dimanfaatkan untuk pengobatan serta terapi.

Seperti yang sudah disebutkan di atas, ada beberapa jenis narkoba yang bisa diperoleh secara alami namun ada juga yang dibuat melalui proses kimia. Jika berdasarkan bahan baku pembuatnya, jenis-jenis narkotika tersebut di antaranya adalah:

A. Narkotika Jenis Sintetis

Jenis sintetis didapatkan dari proses pengolahan yang rumit karena mengekstrak zat adiktif semurni mungkin sehingga dapat digunakan. Jenis sintetis juga sering dimanfaatkan untuk keperluan lainnya, seperti pengobatan dan juga penelitian.

(6)

Contoh dari narkotika yang bersifat sintetis seperti Amfetamin, Metadon, Deksamfetamin, dan sebagainya.

B. Narkotika Jenis Semi Sintetis

Pengolahan menggunakan bahan utama berupa narkotika alami yang kemudian diisolasi dengan cara diekstraksi atau memakai proses lainnya. Contohnya adalah Morfin, Heroin, Kodein, dan lain-lain.

C. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana

1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana

Undang undang menggunakan istilah “ strafbaarfeit” untuk menjelaskan apa yang disebut sebagai “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan penjelasan terkait tentang apa yang disebut sebagai “strafbaar feit” .maka dari itu, muncul beberapa pendapat dari para ahli mengenai makna dari istilah “strafbaar feit”tersebut. Mengenai isi pengertian tindak pidana tidak ada satupun pendapat para ahli yang membahas secara kongkrit. berikut ini adalah beberapa pendapat para ahli mengenai penjelasan dari istilah “strafbaar feit” tersebut.14

Berikut ini adalah beberapa pendapat ahli hukum pidana yang juga mengemukakan pendapatnya mengenai istilah “strafbaar feit”, antara lain:

a. Moeljatno, menggunakan istilah perbuatan pidana, yaitu :

14 P.A.F. Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti hlm. 24-26

(7)

Perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan yang disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, barang siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum dengan ancaman pidana. Namun, perlu diketahui bahwa perbuatan oleh subyek didasari oleh perbuatan yang dilarang yaitu suatu keadaan atau suatu kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang yang menimbulkan kejadian itu sehingga menimbulkan dampak. kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang15

b. Wirjono Prodjodikoro menggunakan istilah tindak pidana, yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana. 16

c. Utrecht menggunakan istilah peristiwa pidana, dengan alasan bahwa istilah “peristiwa pidana” meliputi suatu perbuatan (positif) atau suatu melalaikan (negatif) maupun akibatnya yaitu keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu.17

Tidak ada definisi pasti terkait Tindak pidana namun dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum yang bertentangan dengan norma norma yang ada didalam masyarakat yang diyakini apabila dilakukan maka akan menimbulkan akibat yang dapat merugikan dan merubah situasi menjadi tidak baik.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Seseorang dapat dijatuhi pidana adalah apabila orang tersebut telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang telah dirumuskan didalam suatu peraturan perundang-

15 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 1982, hlm. 155.

16 Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Pidana Indonesia, Bandung, PT Refika Aditama, 2008, hlm. 59.

17 Utrecht, Hukum Pidana I, Surabaya, Pustaka Tindak Mas, 1986, hlm. 251.

(8)

undangan baik itu didalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan pidana lain diluar KUHP.adapun beberapa ahli berpendapat Mengenai unsur unsur tindak pidana yaitu diantaranya : Lamintang berpendapat bahwa unsur-unsur tindak pidana pada umumnya dapat djabarkan kedalam unsur-unsur dasar yang terdiri dari unsur subyektif dan unsur obyektif.18

Kemudian Lamintang juga menjelaskan tentang unsur-unsur subyektif dan unsur- unsur obyektif sebagai berikut :

a. Unsur-unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri subyek (pelaku) atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung dipikirannya dan dari dalam hatinya

b. Unsur-unsur obyektif yaitu unsur-unsur yang berhubungan dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan dimana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. 19

Rumusan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana disebutkan diatas masih tergolong sederhana. Banyak pendapat para ahli hukum pidana terkait unsur unsur tindak pidana.

Sama halnya dengan istilah tindak pidana, terkait unsur-unsur tindak pidana pun belum terdapat definisi yang jelas. Sehingga dapat ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur tindak pidana menurut pendapat para ahli hukum pidana pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) golongan, yaitu :

1. Pandangan dualistis

18 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 193.

19 Ibid

(9)

Pandangan dualistis mengadakan pemisahan antara dilarangnya suatu perbuatan dengan sanksi ancaman pidana (criminal act atau actus reus) dan dapat dipertanggungjawabkan si pembuat (adanya mens rea).

Pengikut aliran dualistis, antara lain : a) H.B. Vos

Jadi menurut Vos strafbaar feit hanya berunsurkan : a. kelakuan manusia;

b. diancam pidana dalam undang-undang.20

b) W.P.J. Pompe

berpendapat bahwa ”menurut hukum positif strafbaar feit adalah tidak lain dari feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang”. (volgens ons positieve recht is het strafbaar feit niets anders een feit, dat in oen wettelijke srafbepaling als strafbaar in omschreven). beliau mengatakan, bahwa menurut teori, strafbaar feit itu adalah perbuatan, yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan, dan diancam pidana.

Dalam hukum positif, demikian Pompe, sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan kesalahan (schuld) bukanlah termasuk sifat mutlak untuk adanya tindak pidana (strafbaar feit). Untuk penjatuhan pidana tidak cukup dengan adanya tindak pidana, akan tetapi disamping itu harus ada orang yang dapat dipidana.

Orang ini tidak ada, jika tidak ada sifat melawan hukum atau kesalahan.21

Hal ini masih kurang tepat mengingat orang yang melakukan tindak pidana jelas akan dipidana apabila melakukan perbuatan diluar norma norma yang ada.

20 Vos dalam Sudarto, Loc. Cit.

21 Pompe dalam Sudarto, Ibid, hlm. 43.

(10)

c) Moeljatno

Dalam pidato dies natalis tersebut, beliau memberi arti kepada ”perbuatan pidana”

sebagai ”perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut”. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur :

a. perbuatan (manusia);

b. yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil);

c. bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil)22

2. Pandangan monistis

Pandangan monistis melihat bahwa keseluruhan adanya syarat pemidanaan merupakan sifat dari perbuatan. Pengikut aliran monistis, antara lain :

a) Simons

Jadi unsur-unsur Srafbaar feit adalah :

a. perbuatan manusia (positief atau negatief, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);

b. diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);

c. melawan hukum (onrechtmatig);

d. dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);

e. oleh orang yang mampu bertanggung jawab (teorekeningsvatbaar persoon)23

22 Moeljatno dalam Sudarto, Loc. Cit.

23 Sudarto, Hukum Pidana I (cetakan ke II), Semarang :Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip Semarang, 1990, hlm. 41.

(11)

Simons menyebut adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari Strafbaar feit.

Yang disebut sebagai unsur obyektif ialah:

a. perbuatan orang;

b. akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;

c. c. mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat-sifat “openbaar” atau “dimuka umum”.

Segi subyektif dari Strafbaar feit :

a. orang yang mampu bertanggung jawab;

b. adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan ini harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan24

b) Van Hamel

Definisinya : Strafbaar feit adalah : “een wettelijk omschreven menschelijke gedraging, onrechtmatig, strafwaardig en aan schuld te wijten”

Jadi unsur-unsurnya :

a. perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undangundang;

b. melawan hukum;

c. dilakukan dengan kesalahan dan;

d. patut dipidana25

24 Simons dalam Sudarto, Loc. Cit.

25 Van Hamel dalam Sudarto, Loc.Cit

(12)

c) Mezger

Die Straftat ist der Inbegriff der Voraussetzungen der Strafe (Tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana). Selanjutnya dikatakan : Die Straftat ist demnach tatbestandlich- rechtwidrige, personlicht-zurechenbare strafbedrohte Hanlung.

Dengan demikian unsur-unsur tindak pidana ialah :

a. perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan);

b. sifat melawan hukum (baik bersifat obyektif maupun yang subyektif);

c. dapat dipertanggung jawabkan kepada seseorang;

d. diancam dengan pidana26

unsur unsur didalam tindak pidana di Indonesia, pada umumnya tertuang dalam bentuk Kitab Undang Undang Hukum Pidana namun, ada beberapa aturan aturan yang mengatur secara khusus ( lex spesialis ) terkait pidana tertentu yang pada intinya tindak pidana tersebut dapat terpenuhi apabila unsur unsur didalam aturan tersebut terpenuhi.

Debgan terpenuhinya unsur unsur pidana maka, subyek hukum tersebut barulah bisa di pidanakan.

3. Jenis-jenis Tindak Pidana

Pembagian jenis-jenis tindak pidana dalam teori dan praktek peraturan perundang- undangan ialah sebagai berikut :

a. Kejahatan dan Pelanggaran;

b. Delik formil dan delik materiil;

c. Delik dolus dan delik culpa;

26 Mezger dalam Sudarto, Ibid. hlm. 41-42.

(13)

d. Delik Commisissionis, delik Ommissionis, dan delik Commisissionis perommisionis commisso;

e. Delik tunggal dan delik berganda;

f. Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus;

g. Delik aduan dan delik biasa atau bukan aduan;

h. Delik ekonomi dan bukan delik ekonomi;

i. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya;

j. Kejahatan ringan.

Disamping tindak pidana yang tercantum dalam KUHP ada beberapa macam tindak pidana yang pengaturannya berada diluar KUHP atau disebut “tindak pidana khusus”.

Adapun jenis-jenis tindak pidana di luar KUHP antara lain :

a. Tindak Pidana Imigrasi;

b. Tindak Pidana Ekonomi;

c. Tindak Pidana Narkotika.

Menurut Sudarto, yang dimaksud dengan hukum pidana khusus adalah : hukum pidana yang ditetapkan untuk golongan orang khusus atau yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan khusus, termasuk di dalamnya hukum pidana militer, hukum pidana ekonomi sehingga dapat disimpulkan “undang-undang pidana khusus” itu adalah undang- undang pidana selain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang merupakan kedudukan sentral dari KUHP ini terutama karena di dalamnya termuat ketentuan-ketentuan umum dari hukum pidana dalam Buku I yang berlaku juga terhadap tindak-tindak pidana yang terdapat di luar KUHP kecuali tindak pidana yang telah di atur didalam aturan khusus (lex spesialis).

(14)

C. Teori Pertanggung Jawaban (aansprakelijk)

Pertanggung jawaban didalam pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasari keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang menjadi dasar pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggung jawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggung jawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggung jawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep merupakan salah satu alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan kepadanya27

Pertanggung jawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme sebagai penentu apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang. Pertanggung jawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang

27 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 23.

(15)

tersebut28 Pertanggung jawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana;

memulihkan keseimbangan; mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;

memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Pertanggung jawaban pidana harus memperhatikan bahwa hukum pidana harus digunakan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata materiil dan spirituil. Hukum pidana tersebut digunakan untuk mencegah atau menanggulangi perbuatan yang tidak dikehendaki. Selain itu penggunaan sarana hukum pidana dengan sanksi yang negatif harus memperhatikan biaya dan kemampuan daya kerja dari insitusi terkait, sehingga jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting) dalam melaksanakannya29 Perbuatan agar dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, harus mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).

• Kesengajaan (opzet)

Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar

28 Op.cit, Moeljatno

29 ibid

(16)

menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya

• Kelalaian (culpa)

Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana.

Seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan

(17)

sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggung jawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung jawab.

D. Teori Dasar Pertimbangan Hakim

Putusan hakim merupakan puncak klimaks dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh seorang hakim. Hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut :

-Keputusan mengenai peristiwanya, apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

-Keputusan mengenai hukumnya, apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana.

–Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana.

Peraturan perundang-undangan Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 8 Ayat (1) menyebutkan : “setiap orang yang disangka,

(18)

ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan dan menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Pasal 1 butir 11 KUHAP menyebutkan bahwa, putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini. Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dimuka sidang yang terbuka untuk umum.

Syarat sah nya suatu putusan hakim mencakup dua hal yaitu memuat hal- hal yang diwajibkan dan diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum. Hal itu harus dipenuhi oleh hakim dalam setiap proses pengambilan keputusan. Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat 1 KUHAP yang menentukan “jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Seorang hakim haruslah independen, tidak memihak kepada siapapun juga, dalam persidangan semuanya diperlakukan sama.

UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tugas Hakim untuk mengadili perkara berdimensi menegakkan keadilan dan menegakkan hukum. Hakim dalam melaksanakan tugasnya harus bebas dan tidak boleh terpengaruh atau memihak kepada siapapun. Jaminan kebebasan ini juga diatur dalam berbagai peraturan, yaitu dalam Pasal 24 UUD Negara RI Tahun 1945, yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

(19)

Teori dasar pertimbangan hakim, yaitu putusan hakim yang baik, dan sempurna hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan 4 kriteria dasar pertanyaan (the four way test) berupa30 :

1. Benarkah putusanku ini?

2. Jujurkah aku dalam mengambil keputusan?

3. Adilkah bagi pihak-pihak putusan?

4. Bermanfaatkah putusanku ini?

Pedoman pemberian pidana (strafftoemeting-leidraad) akan memudahkan hakim dalam menetapkan pemidanaannya, setelah terbukti bahwa tertuduh telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Dalam daftar tersebut dimuat hal-hal bersifat subjektif yang menyangkut hal-hal yang diluar pembuat. Dengan memperhatikan butir-butir tersebut diharapkan penjatuhan pidana lebih proporsional dan lebih dipahami mengapa pidananya seperti yang dijatuhkan itu.31

E. Disparitas Hakim

Disparitas Hakim dalam memutus perkara tindak pidana Narkotika menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief adalah penerapan yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindak pidana sifat bahayanya dapat dibandingkan (offences of comparable seriousness) tanpa adanya dasar pembenaran yang jelas.32 Tanpa dasar pembenaran inilah yang dapat direlevansikan bahwa suatu putusan hakim terkadang mengandung disparitas.

Menurut Harkristuti Harkrisnowo disparitas pidana adalah perbedaan dalam

30 Lilik Mulyadi. Kekuasaan Kehakiman. Bina Ilmu. Surabaya. 2007. Hal 13

31 Muladi dan Barda Nawawi Arif. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung. 1998. Hal 67

32 Arief, Barda Nawawi. "Muladi. Teori-teori dan Kebijakan Pidana." (1992).

(20)

penjatuhan pidana untuk kasus yang serupa atau setara keseriusannya, tanpa alasan atau pembenaran yang jelas.33 Disparitas pidana (disparity of sentencing) dalam hal ini adalah penerapan pidana ataupun pasal dalam dakwaan yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama maupun serupa atau terhadap tindak pidana yang sifatnya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas.

Disparitas pidana dalam Tindak Pidana Narkotika ialah penerapan kepastian hukum yang berbeda terhadap para pelaku yang melakukan Tindak Pidana Narkotika yang sama. Disparitas terkadang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama namun hasilnya berbeda.

33 Harkrisnowo, Harkristuti. "Menelaah Konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu (dalam konteks Indonesia)." Seminar Keterpaduan Sistem Peradilan Pidana di Danau Toba. Medan Tanggal. 2002.

Referensi

Dokumen terkait

Melalui identi- fikasi awal hambatan melaluipembelajaran bersama dengan guru PAUD Gugus 11 Arjowinangun untuk menemukenali faktor kegagalan pemahaman pada K13 PAUD dari

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

Kedua-dua penapis mi yang dinamakan sebagai penapis Median Pensuisan Statistik Dwi- gelongsor (Dual Sliding Statistics Switching Median filter (MPSDG)) dan penapis Median

Formasi yang terkaya akan lapisan batubara terendapkan pada daerah beriklim panas (termasuk juga untuk batubara yang penting pada Jaman Upper Cretaceous dan

Pada pengujian serangan terhadap AP TP-LINK (TD- W8151N), proses berjalan cukup cepat dan hanya membutuhkan 15.602 detik untuk mendapatkan SSID yang terdeteksi sebagai

tidak mendapat asupan gizi yang baik. Namun ada sisi positif yang bisa dilihat dimana adanya jaminan kesehatan dan penambahan rumah sakit dan tenaga medis meskipun belum

Valbury Asia Securities or their respective employees and agents makes any representation or warranty or accepts any responsibility or liability as to, or in relation to,