BAB III UPAYA-UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA
A. Asas Musyawarah dan Mufakat Sebagai Budaya Bangsa
Dalam rumusan Pasal 5 UUPA Nomor 5 Tahun 1960 tersebut di atas, jelaslah bahwa hukum adat yang berlaku atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya adalah :62
1. Pro kepada kepentingan nasional, atau adanya prinsip nasionalitas artinya hukum
adat itu menyatakan dengan tegas bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang mempunyai hak sepenuhnya atas bumi, air dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan dalam semua lembaga hak-hak atas agraria tersebut setiap hari akan menonjol, seperti siapa yang boleh mempunyai hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha. Pasal 9 UUPA, jelas-jelas memantapkan statemen tersebut dengan kalimat “Hanya warga negara Indonesia
dapat mempunyai hubungan dengan bumi, air dan ruang angkasa dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan 2 UUPA Nomor 5 Tahun 1960.
2. Pro kepada kepentingan negara, dalam pengertian keluar, negara tidak akan
mengadakan suatu kompromi atau toleransi yang akan meniadakan hak-hak bangsa Indonesia, terutama prinsip nasionalitas tersebut, dan ke dalam
62
AP. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1998, hlm.57.
kepentingan negara di atas segala-galanya sehingga kepentingan perorangan harus mengalah, jika kepentingan negara menghendakinya.
3. Pro kepada persatuan bangsa, artinya hukum adat menurut versi UUPA itu
menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia dimanapun dia berada di wilayah tanah air, memiliki hak yang sama untuk memiliki hak-hak agraria.
4. Pro kepada sosialisme Indonesia, artinya disini bahwa pengertian sosialisme
Indonesia tersebut sebagai Pancasila (TAP MPRS XXXVIII/1968).
5. Bahwa seterusnya hak-hak adat itu tunduk kepada ketentuan umum yang diatur
oleh UUPA maupun oleh peraturan sejenis yang lebih tinggi berarti UUPA atau peraturan lain yang diterbitkan akan merupakan hukum yang umum, sedangkan hak-hak adat itu akan tunduk kepada perubahan atau penetapan dari hak-hak agraria yang akan dituangkan dalam Undang-Undang atau Peraturan pemerintah lainnya, sehingga akan menyesuaikan kepada hukum umum yang diatur oleh pemerintah dan tidak boleh menyimpang dan bertentangan dengan hukum umum yang disengaja diadakan untuk itu.
6. Bahwa sebagai ciri khusus dari UUPA, lembaga hukum agama (Islam) sudah
merupakan bagian dari hukum adat menurut versi UUPA tersebut, artinya sudah diresipir dalam lembaga hukum adat, khususnya lembaga wakaf.
Wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya
dibagi menjadi dua yaitu :63
1. Wewenang yang bersifat umum, yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga bumi dan air serta ruang angkasa yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi (Pasal 4 ayat (2) UUPA).
2. Wewenang yang bersifat khusus, yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai
wewenang untuk menggunakan tanahnya, sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah hak milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan, wewenang pada tanah Hak Guna Bangunan, yaitu menggunakan tanah hanya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya, wewenang pada tanah Hak Guna Usaha adalah menggunakan tanah hanya untuk kepentingan perusahaan dibidang pertanian, perikanan, peternakan atau perkebunan.
Pancasila dijadikan dasar peninjauan dalam politik hukum agraria karena ia merupakan asas kerohanian negara Indonesia. Asas kerohanian itu meliputi seluruh tertib negara, artinya seluruh tertib hukum sebagai kesatuan dan masyarakat bersangkutan serta harus hidup di dalam masyarakatnya.
63
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 87
Asas kerohanian itu ditentukan pada waktu negara dibentuk, dan ia akan lenyap pada waktu dibentuk negara baru, sehingga jika keberadaan/sejarah negara itu tidak terputus oleh keadaan yang bagaimanapun juga, tidak ada pergantian negara
baru, maka tidak mungkin asas kerohanian itu diubah.64
Pancasila basisnya Ketuhanan Yang Maha Esa, sesudah itu perikemanusiaan, sesudah itu lagi keadilan sosial, dan ini merupakan satu kesatuan. Ini berarti Ketuhanan itu juga Ketuhanan yang mengandung perikemanusiaan, kebangsaan,
kerakyatan, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.65
Dengan demikian, Hukum Agraria/Hukum Tanah Nasional pada hakekatnya berdasarkan Pancasila, sehingga :
1. Berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa bagi masyarakat Indonesia,
hubungan antara manusia Indonesia dengan tanah mempunyai sifat kodrat, artinya tidak dapat dihilangkan oleh siapapun juga (termasuk oleh negara).
2. Sila kemanusiaan, memungkinkan didapatkannya pedoman, bahwa hubungan
antara manusia Indonesia dengan tanah mempunyai sifat perorangan dan kolektif sebagai dwitunggal.
3. Sila Kebangsaan dapat dirumuskan pedoman bahwa :
a. Hanya orang Indonesia yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya
dengan tanah di daerah Indonesia.
64
Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, Sofi Media, Medan, 2009, hlm. 33.
65
Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1984, hlm. 73.
b. Dengan menggabungkan sila kebangsaan dengan sila perikemanusiaan yang mempunyai unsur mahkluk sosial dan juga mengandung unsur hidup bersama internasional, maka orang asing dapat diberi kekuasaan terhadap tanah di Indonesia, seberapa dibutuhkan (oleh orang Indonesia terhadap orang asing itu). Jadi tidak sebaliknya, tidak diberikan hubungan dengan tanah karena berdasarkan kepentingan mereka.
4. Menurut sila kerakyatan, tiap-tiap orang Indonesia dalam hubungannya dengan
tanah, mempunyai hak dan kesempatan yang sama, sehingga pedoman ini mengenai hubungan hak dan kekuasaan.
5. Berdasarkan sila keadilan sosial, tiap-tiap orang mempunyai hak dan kesempatan
yang sama menerima bagian dari manfaat tanah, menurut kepentingan hak hidupnya, bagi diri sendiri dan bagi keluarganya. Perhubungan hak hidup manusia itu ada dua macam yaitu :
a. Untuk mempertahankan jenis, agar manusia itu dapat berlanjut adanya;
b. Untuk mempertahankan individu, jadi dirinya sendiri.
Pedoman yang didasarkan keadilan ini, tidak menurut kekuatan atau kekuasaan
haknya, tetapi mengenai hak, tetapi mengenai hasil tanah.66
Menyimak uraian terdahulu yang mengharuskan Pancasila sebagai pedoman- pedoman yang menjadi pegangan dalam menyusun hukum agraria, maka :
1. Hubungan manusia Indonesia dengan tanah di wilayah Indonesia bersifat kodrat.
2. Hubungan dengan tanah itu mempunyai sifat privat dan kolektif.
66Ibid,
3. Hanya orang Indonesialah yang mempunyai hubungan yang terkuat dengan tanah di Indonesia, dengan tetap memberi kesempatan pada orang asing untuk mempunyai hubungan dengan tanah di Indonesia asal hubungan itu tidak merugikan bangsa Indonesia.
4. Setiap orang Indonesia mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk
mempunyai hubungan dengan tanah.
5. Setiap orang Indonesia mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk
menikmati hasil bumi Indonesia.67
Pengejewantahan sila-sila Pancasila dalam UUPA dapat diuraikan sebagai
berikut :68
1. Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa
Pedoman yang diambil dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu bahwa hubungan manusia Indonesia dengan tanah di wilayah Indonesia bersifat kodrat, dapat ditemukan dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA dihubungkan dengan ayat (3)-nya. Menyimak ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUPA tersebut, dapat dijelaskan bahwa sebagai suatu bangsa yang berKetuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia mengakui bahwa seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya di wilayah Republik Indonesia, adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia. Karunia Tuhan ini tidak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia sebagai bangsa yang
67
Iman Soetiknjo, Op.cit, hlm. 35.
68
menerimanya, hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang ada di dalamnya mempunyai sifat kodrat, dan karena itu bersifat abadi.
Ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUPA mengandung makna yang sangat mendalam, ia menghantarkan kita ke dalam suasana keagamaan Hukum Tanah Nasional, yang juga merupakan kekhasan hukum adat. Konsepsi kumunalistik- religius, yang mendasari Hukum Tanah Nasional, Wawasan Kebangsaan, Wawasan Nusantara, semangat persatuan dan kesatuan tampak jelas tersurat dan tersirat di dalamnya, yang semuanya mempengaruhi serta terwujud dalam isi rumusan pasal-pasal UUPA.
Suasana keagamaan yang terwujud penjelmaannya dalam Pasal 14 dan Pasal 49 UUPA, yang mengharuskan pemerintah harus membuat rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, kemudian Pasal 49 UUPA, mengakui dan melindungi hak milik tanah badan- badan keagamaan. Mengenai perwakafan tanah milik diatur lebih lanjut dalam PP No. 28/1977 tentang perwakafan Tanah Milik.
2. Dasar Persatuan Indonesia
Dasar Persatuan Indonesia atau wawasan kebangsaan dalam Penjelasan Umum UUPA disebut dasar kenasionalan. Pedoman yang diambil dari sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, yaitu bahwa hubungan manusia dengan tanah mempunyai sifat kolektif maupun sifat privat sebagai dwitunggal. Sifatnya yang kolektif dapat
ditemukan dalam Pasal 1 ayat (1) UUPA yang menyebutkan : “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”.
Hubungan manusia dengan tanah di Indonesia yang mengenal sifat kolektif yaitu hak menguasai dari Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat atas bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dan mengenal juga sifat privat, yaitu hak milik atas tanah sebagai hak turun temurun yang terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang, didasarkan pada sifat hakekat kodrat manusia sebagai individu dan mahkluk sosial.
Untuk mengurus kekayaan bersama bangsa Indonesia (hak kolektif yang bersatu sebagai bangsa Indonesia, dapat disimak dari Pasal 2 ayat (1) UUPA. Pasal 2 ayat (1) UUPA ini berkaitan untuk melancarkan pengurusan, penggunaan dan sebagainya. Kekayaan nasional (kekayaan rakyat bersama) diserahkan pada Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat untuk dikuasai namun kekuasaan itu digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya, berdasarkan sila kedua Pancasila, terdapat hubungan manusia dengan tanah di Indonesia yang bersifat privat. Sifat yang privat ini dapat ditemukan dalam Pasal 2 ayat (2) b UUPA dan Pasal 4 UUPA. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa hubungan manusia dengan tanah yang bersifat privat, sudah menjadi kepastian. Dan hak yang bersifat privat ini dirinci dalam pasal 16 UUPA. Sesuai dengan dasar Persatuan Indonesia (Wawasan Kebangsaan) sebagaimana tersebut dalam pasal 1 UUPA, maka berdasarkan pasal 9 ayat (1) UUPA
dinyatakan, bahwa hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2, kemudian Pasal 21 ayat (1) UUPA menegaskan hanya warga negara Indonesia dapat menguasai hak milik. Orang asing dan badan-badan hukum pada dasarnya tidak dapat menguasai tanah dengan hak milik.
Pembatasan hak-hak orang asing atas tanah, menurut Andreas H. Roth,
sebagaimana dikutip oleh Sudargo Gautama69 didasarkan kepada kesepakatan
universal, bahwa suatu negara diperbolehkan tidak mengijinkan orang-orang lain selain warga negaranya sendiri untuk memperoleh benda-benda tetap di wilayah
kekuasaannya, sebagaimana yang dirumuskan “Rule number 6”.
Supaya tanah itu tetap dalam kekuasaan negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, kemungkinan orang asing juga mempunyai hak terhadap tanah di Indonesia, akan tetapi seberapa jauh yang diperlukan oleh kepentingan Indonesia,
bukan sebaliknya oleh kepentingan orang asing saja70.
3. Dasar Demokrasi atau Kerakyatan
Ketentuan Pasal 9 UUPA, menyebutkan :
1) Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya
dengan bumi, air dan ruang angksa, dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2.
69
Boedi Harsono, Op.cit, hlm. 220
70
2) Tiap-tiap warganegara, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi sendiri maupun keluarganya.” Ini menunjukkan dasar demokrasi atau kerakyatan serta konsepsi Komunalistik Hukum Tanah Nasional. Oleh karena para warga negara Indonesia masing- masing mempunyai hak yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas sebagian dari tanah bersama (semua tanah di seluruh wilayah Indonesia), dan penguasaan tanah tidak diadakan pembedaan antara laki-laki dan perempuan, serta mengutamakan kepentingan rakyat banyak, khususnya kaum ekonomi lemah (petani)71.
4. Asas Musyawarah
Asas musyawarah merupakan ciri khas bangsa Indonesia dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Berkaitan dengan masalah pertanahan, asas musyawarah ini dapat dilihat dalam pengaturan tata cara memperoleh tanah kepunyaan rakyat yang diperlukan bagi kegiatan pembangunan untuk kepentingan
umum72.
Musyawarah merupakan proses atau kegiatan saling mendengar, sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kerelaan antara pihak
71
Pasal 11, 15 dan 26 ayat (1) UUPA.
72
Kepres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang memperhatikan peran tanah dalam kehidupan manusia dan prinsip penghormatan terhadap hak-hak atas tanah serta dilakukan melalui musyawarah.
pemegang hak atas tanah dengan pihak yang memerlukan tanah, untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi yang layak.
5. Dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
Perwujudan dari dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, dapat disimak dari ketentuan Pasal 10 UUPA yang menegaskan dicegahnya cara-cara pemerasan, Pasal 11 ayat (1) UUPA yang menegaskan diaturnya hubungan hukum dengan tanah dicegah jangan sampai terjadi penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas.
Selanjutnya, Penjelasan Umum II angka 7 UUPA menegaskan untuk dicegah hubungan-hubungan hukum yang bersifat menindas si lemah oleh si kuat, dipertimbangkannya rasa keadilan dan dicegahnya cara-cara pemerasan
(“exploitation de I’homme par I’homme”).
6. Dasar keadilan sosial
Pengejewantahan dasar keadilan sosial dalam UUPA menyangkut perlindungan
bagi golongan lemah dan landreform yang bertujuan untuk meningkatkan dan
meratakan kemakmuran dengan meratakan pemilikan dan penguasaan tanah serta
melakukan perbaikan persyaratan-persyaratan dalam penguasaan tanah
kepunyaan pihak lain oleh penggarap tanah.
Perwujudan dasar keadilan sosial dalam UUPA diatur dalam pasal 11 ayat (2), 13 dan 15 serta Penjelasan Umum angka 11/4, sedangkan yang mengatur landreform tercantum dalam pasal 7, 10, 17 dan 53 serta Penjelasan Umum II/7 UUPA.
Bidang hukum yang mengatur pertanahan memperhatikan kepentingan nasional. Perbedaan keadaan masyarakat dan keperluan golongan rakyat diperhatikan, namun menjamin perlindungan bagi kepentingan golongan yang ekonomi lemah. Pemerintah harus berupaya memajukan kepastian dan jaminan sosial, termasuk bidang perburuhan di dalam usaha-usaha di lapangan agraria.
Untuk meningkatkan dan meratakan kemakmuran rakyat, melaksanakan
landreform merupakan salah satu upaya dalam rangka mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menyimak uraian di atas, UUPA berhasil menjelmakan tiap-tiap sifat dari Pancasila dalam pasal-pasalnya yang penting, sehingga UUPA tersebut :
1) Tidak menganut sistem hak privat saja seperti halnya negara-negara blok barat
(individualistik kapitalistis).
2) Tidak menganut sistem hak kolektif saja seperti halnya negara-negara blok timur
(negara komunis), akan tetapi mendasarkan diri pada sifat dan hakekat kodrat manusia sebagai individu dan mahkluk sosial, oleh karena itu mengenai hak-hak privat maupun kolektif dalam mengatur hubungan manusia dengan tanah, mementingkan kerjasama, koperasi, gotong royong, mencegah pemerasan dan melindungi golongan ekonomi lemah.
Bangsa Indonesia terdiri dari beraneka suku, bahasa, adat istiadat, agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Keanekaragaman ini telah terpatri dalam semboyan bangsa kita yang “Bhinneka Tunggal Ika”. Keanekaragaman
tersebut juga menjadi kekayaan budaya bangsa Indonesia yang terpelihara dengan baik dan diarahkan untuk memajukan budaya bangsa Indonesia.
Kenyataan keanekaragaman tersebut kalau ditelaah secara seksama selain sebagai kekayaan budaya bangsa, juga akan dapat menjadi sumber atas telah terjadinya pertentangan/konflik diantara sesama warga masyarakat. Konflik tersebut dapat terjadi antara lain karena perbedaan kepentingan, perbedaan kebutuhan maupun perbedaan pandangan terhadap berbagai persoalan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun kita sempat bersyukur kepada sang pencipta dan para pemimpin bangsa kita, sebab keanekaragaman tersebut tidak menjadi celah untuk timbulnya suatu perpecahan, karena kita secara keseluruhan telah menyadari bahwa persatuan dan kesatuan adalah hal yang sama dalam hidup bangsa Indonesia. Dalam aplikasinya maka perwujudan persatuan dan kesatuan bangsa adalah sikap dan budaya untuk selalu menerapkan asas musyawarah dan mufakat dalam mengambil setiap keputusan atau kebijaksanaan terutama yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Musyawarah dan mufakat bukanlah sesuatu yang baru bagi bangsa Indonesia, karena kristalisasi nilai-nilai asas musyawarah dan mufakat tersebut telah lama tercermin
dalam setiap pola kehidupan masyarakat Indonesia.73
Kabupaten Deli Serdang, yang merupakan Kabupaten dengan luas wilayah terbesar di Sumatera Utara, juga memiliki keanekaragaman penduduk dan lembaga suku dan etnis. Dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar penduduk di Kabupaten
73
Hasim Purba, dkk, Sengketa Pertanahan dan Alternatif Pemecahan, Cahaya Ilmu, Medan, 2006, hlm. 3.
Deli Serdang memiliki keterikatan kebutuhan dengan tanah untuk menafkahi hidupnya dan keluarganya. Oleh karena itu tanah merupakan kebutuhan yang cukup penting bagi masyarakat di Kabupaten Deli Serdang sebagai sumber utama pencahariannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Disebabkan pentingnya tanah sebagai sumber mata pencaharian bagi masyarakat di Kabupaten Deli Serdang, maka dalam kehidupan dalam masyarakat tak jarang terjadi konflik dalam memperebutkan hak kepemilikan atas tanah antara sesama anggota masyarakat atau antara masyarakat dengan badan-badan hukum yang juga membutuhkan tanah sebagai lahan
dalam menjalankan aktivitas usahanya.74
Sengketa dibidang pertanahan yang disampaikan ke Kantor Pertanahan Deli
Serdang untuk dimohonkan penyelesaian permasalahannya, apabila bisa
dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang lebih memprioritaskan penyelesaian sengketa pertanahan melalui cara musyawarah dan mufakat. Kantor Pertanahan Deli Serdang bertindak sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa pertanahan tersebut dengan lebih
mengutamakan prinsip win-win solution dan dilakukan dengan cara yang damai dan
saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa apakah terjadi penyelesaian secara musyawarah dan mufakat, maka para pihak yang bersengketa dan pihak kantor pertanahan Kabupaten Deli Serdang membuat suatu bukti tertulis yang berisikan telah terjadi perdamaian atas permasalahan sengketa pertanahan tersebut dan para pihak
74
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 46.
yang bersengketa telah menerima kesepakatan perdamaian yang ditawarkan dalam pelaksanaan musyawarah dan mufakat tersebut. Bukti tertulis telah terjadi kesepakatan para pihak yang bersengketa untuk berdamai tersebut dituangkan dalam akta perdamaian yang pada umumnya dibuat oleh pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang dan ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa dan juga pihak kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang yang mematuhi pelaksanaan musyawarah dan mufakat tersebut. Apabila akta perdamaian tersebut telah ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa dan disaksikan oleh pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, maka sejak saat penandatanganan tersebut maka para pihak yang bersengketa wajib mematuhi dan mentaati butir-butir kesepakatan yang telah dituangkan ke dalam akta perdamaian tersebut. Pelaksanaan akta perdamaian yang telah dicapai melalui jalan musyawarah dan mufakat tersebut, diawasi oleh pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang dalam pelaksanaan perdamaiannya di lapangan. Hal ini bertujuan agar para pihak yang bersengketa dapat melakukan kesepakatan perdamaian tersebut dengan sebaik-baiknya tanpa melanggar
hak-hak dan kewajibannya masing-masing.75
Apabila pelaksanaan perdamaian tersebut dilanggar oleh salah satu pihak maka pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang akan memanggil pihak yang melanggar kesepakatan perdamaian tersebut mengingatkannya bahwa perbuatan tersebut telah melanggar kesepakatan perdamaian tersebut. Apabila penyelesaian
75
Wawancara dengan Muhammad Ridwan Nasution, Staf Administrasi Bagian Sengketa Pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang tanggal 23 April 2010 di Ruang Kerjanya.
melalui musyawarah dan mufakat diantara para pihak yang bersengketa tidak tercapai, maka penyelesaiannya pada umumnya akan ditempuh oleh para pihak
melalui jalur litigasi (pengadilan). Penyelesaian sengketa bidang pertanahan di Kabupaten Deli Serdang melalui jalur musyawarah dan mufakat dapat terlaksana
bila kedua belah pihak yang bersengketa setuju dengan menggunakan cara tersebut. Penyelesaian secara mediasi ini adalah penyelesaian yang berada diluar pengadilan. Dengan demikian maka pihak Kantor Pertanahan Deli Serdang yang menangani
sengketa pertanahan melalui jalur mediasi tidak bertentangan dengan PMNA Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 126, karena di dalam Pasal 126 tersebut yang dimaksud
dengan penghapusan atas hak yang telah dicatat dalam buku tanah adalah dalam konteks terjadi sengketa di Pengadilan bukan dalam konteks penyelesaian sengketa mediasi sebagaimana yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Deli Serdang.
Pilihan jalur penyelesaian sengketa bidang pertanahan di Kabupaten Deli Serdang ini memang sepenuhnya tergantung pada kehendak para pihak yang jalur melalui mediasi dapat ditempuh apabila kedua belah pihak yang bersengketa menyetujui penyelesaian tersebut dengan segala konsekuensinya. Apabila diantara para pihak tidak tercapai persetujuan dan kesepakatan dalam penyelesaian sengketa dengan cara mediasi maka pelaksanaan mediasi tidak dapat dilakukan.
Pada umumnya bila jalur musyawarah dan mufakat dan mediasi tidak berhasil dilaksanakan maka satu-satunya cara yang dapat ditempuh adalah dengan menggunakan jalan litigasi (Pengadilan).