• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HUBUNGAN KONSTITUSI DAN HAK ASASI MANUSIA

B. Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum

Sejarah negara hukum dimulai pada tahun 1500-1700 di negara-negara Eropa yang melawan absolutisme dari raja yang bertahta.81 Kecaman terhadap absolutisme raja ini dikemukakan oleh Dugoit dan Harold J. Laski.82 Kedua sarjana ini berpendapat bahwa negara adalah alat untuk menciptakan kesejahteraan umum. Hukum bukanlah perintah, melainkan cara-cara penyelenggaraan kesejahteraan untuk umum. Sehingga negara harus bertanggungjawab dan individu menaati negara. Sarjana lain yang menentang absolutisme raja adalah John Locke. John Locke berpendapat bahwa kekuasaan penguasa tidak pernah mutlak, melainkan terbatas karena dalam mengadakan perjanjian dengan individu-individu dan sekelompok orang tidak lah seluruh hak-hak yang diberikan kepada penguasa.83

Dalam perkembangannya, pemikiran John Locke banyak mempengaruhi pemikiran tentang negara hukum. John locke mengatakan bahwa untuk membatasi kekuasaan negara agar melindungi hak-hak warga negaranya, maka kekuasaan pemerintah harus dibagi, sehingga muncullah teori pembagian kekuasaan oleh John Locke dimana kekuasaan pemerintah dibagi atas kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan federatif. Oleh karena itu, pembagian Selain para sarjana, masyarakat pada golongan menengah (middle class) juga melontarkan kecaman terhadap absolutisme raja. Hal ini diakibatkan majunya tingkat ekonomi dan mutu pendidikan.

81

M. Busyro Muqodas, Negara Hukum, Ham, dan Peran Masyarakat Sipil (Bandung: Komisi Yudisial RI, 2010)

82

kekuasaan menjadi elemen penting dalam negara hukum untuk menjamin tegaknya hak asasi manusia

Menyadari akan pentingnya hak asasi manusia dalam kehidupan bernegara, maka hak asasi manusia diberikan penghargaan untuk dilindungi secara hukum dan menjadi unsur dalam negara hukum. Eksistensi hak asasi manusia dalam negara hukum dapat dilihat dalam pendeklarasian oleh International Commussion of Jurist (ICJ) dalam kongresnya di Athena tahun 1955 bahwa: 84

1. Negara tunduk pada hukum

2. Pemerintah harus menghargai hak-hak individu menurut rule of law dan memberikan piranti yang efektif untuk penegakannya.

3. Para hakim harus dipandu oleh rule of law, melindungi dan menegakkannya tanpa rasa takut atau pandang bulu dan menentang setiap campur tangan pemerintah atau partai politik terhadap kemandirian mereka sebagai hakim.

Dalam deklarasi itu juga dijelaskan bahwa ICJ menaruh perhatian sepenuhnya atas perjuangan manusia demi kebebasan, termasuk kebebasan mengeluarkan pendapat, beragama, berserikat dan berkumpul, hak untuk dipilih dan memilih dan perlindungan bagi semuanya.85

Perlindungan terhadap hak asasi manusia menjadi syarat bagi suatu negara hukum didukung juga oleh pendapat Julius Stahl yang mengatakan bahwa dalam pengertian rechtstaat setidaknya terdapat empat pondasi yang harus dimiliki, yaitu: adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia (grondrechten), adanya pembagian kekuasaan (scheiding van machten), pemerintahan yang berdasarkan undang undang (wetmatigheid van bestuur), dan adanya peradilan tata usaha

84

negara (administratieve rechspraak)86. Sementara dalam tradisi Anglo Saxon, seperti diungkapkan oleh A.V. Dicey, suatu negara hukum dalam pengertian the rule of law setidaknya harus memiliki tiga karakteristik, yaitu: tegaknya supremasi hukum (supremacy of law), persamaan di depan hukum ( equality before the law), dan adanya jaminan serta mekanisme perlindungan diri atas hak (due process of law).87

Perlindungan hak asasi manusia dalam negara hukum dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang disebut konstitusi. Hal ini merupakan kesepakatan ICJ yang mengadakan kongres di lagos pada tahun 1961 yang menyatakan bahwa hak-hak asasi manusia, terutama kemerdekaan individu hendaknya dicantumkan dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar semua negara.

Dari pendapat di atas dapatlah disimpulkan bahwa dalam perspektif negara hukum bahwa negara hukum harus ditopang oleh elemen-elemen fundamental, yang diantaranya perlindungan Hak asasi manusia. Dalam konsep negara hukum baik rechstaat, maupun rule of law, terdapat perlindungan hak asasi manusia yang tidak hanya menjadi persyaratan normatif bagi ada atau tidaknya negara hukum, tetapi secara empirik persyaratan tersebut harus dilaksanakan oleh negara yang mengklaim dirinya sebagai negara hukum.

88

Perlunya konstitusi memberi perlindungan HAM merupakan pemikiran yang tidak terbantahkan, setidaknya semenjak lahirnya pemikiran tentang konstitusi sebagai hukum yang paling mendasar dalam negara. Oleh karena HAM itu bersifat mendasar, maka dalam konteks negara, harus ada jaminan HAM dalam hukum

86

Wahyudi Jahfar, Jurnal Konstitusi Volume 7 Number 5 (Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI, 2010), hal 2

87

yang bersifat mendasar, dalam hal ini adalah konstitusi. Adanya konstitusi dalam suatu negara yang memberi jaminan HAM merupakan wujud konkrit dari komitmen negara dalam memberi perlindungan bagi umat manusia.

Menurut Mr. J. G. Steenbeek yang dikutip oleh muntoha mengatakan bahwa konstitusi pada umumnya memuat tiga hal pokok yaitu:89

1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara

2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental

3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental.

HAM sebagai salah satu materi muatan konstitusi menunjukkan dua makna perlindungan yang dijamin oleh negara hukum. Pertama, makna bagi penguasa negara adalah agar dalam menjalankan kekuasaannya , penguasa dibatasi oleh adanya hak-hak manusia dan warga negaranya. Ini berarti bahwa perlindungan HAM dalam konstitusi merupakan imbangan adanya prinsip konstitusionalisme. Dengan demikian prinsip konstitusionalisme harus dimaknai secara luas, bukan hanya sekedar memberi prinsip bagaiman praktik kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi konstitusionalisme menjadi prinsip bagaimana praktik kekuasaan negara dijalankan. Oleh karena itu, konstitusionalisme tidak hanya berbicara tentang pembatasan kekuasaan semata.

Kedua, makna bagi warga negara, adalah agar ada jaminan perlindungan yang dimuat dalam hukum dasar negara (konstitusi), sehingga warga negara dapat

89

menjadikan konstitusi sebagai instrumen untuk mengingatkan penguasa supaya tidak melanggar HAM yang telah tercantum dalam konstitusi dalam menjalankan kekuasaannya.

Indonesia sebagai negara hukum, sejak kemerdekaan sampai saat ini mematuhi unsur-unsur negara hukum dengan memberikan perlindungan hak asasi manusia melalui konstitusi Indonesia. Sepanjang sejarah bernegara, Indonesia mempunyai pengalaman berada pada empat konstitusi dan empat konstitusi itu mengatur mengenai hak asasi manusia.

Pertama, Undang-Undang Dasar 1945. Jaminan perlindungan HAM dalam Undang-undang Dasar 1945 merupakan hasil kompromi antara Soekarno-Soepomo di satu pihak, dan Yamin-Hatta di pihak lain. Soekarno-Soekarno-Soepomo ketika sidang BPUPKI yang membahas hak-hak dasar, cenderung tidak menyetujui adanya perlindungan HAM dalam Undang-Undang Dasar (UUD) karena bagi mereka pandangan HAM berbasisi Individualisme. Sementara itu bagi Yamin dan Hatta, hak asasi manusia harus tetap diberikan pada warga negara. Meskipun ada dua pandangan mengenai HAM, tetapi pada akhirnya UUD 1945 mengatur mengenai HAM sekalipun substansi HAM sangat sedikit jika kita bandingkan dalam Konstitusi Amerika.90 Ketentuan mengenai HAM dalam UUD 1945 hanya tiga pasal yang berisikan tentang Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, Kemerdekaan fikiran, Hak bekerja dan hidup, dan Kemerdekaan beragama. Hal ini terjadi menurut M.Solly Lubis yang dikutip oleh Herlambang bahwa,91

90

Sri Hastuti Puspitasari, Kontribusi Pemikiran untuk 50 Tahun Prof.Dr. Moh. Mahfud MD ( Yogyakarta: FH UII, 2007), hal 16

91

R. Herlambang P W, Konstitusionalisme dan Hak-Hak Asasi Manusia (UNAIR: FH- UNAIR,

hak-hak asasi yang dirumuskan dalam UUD lebih menunjukkan asas kekeluargaan, sedangkan negara-negara lain mendasarkan versinya pada asas liberalisme.

Kedua, Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 (KRIS 1949). Dalam KRIS, hak asasi manusia diatur begitu detail dalam pasal 7 hingga pasal 33 tentang Hak-Hak dan Kebebasan-kebebasan dasar manusia, mulai dari pengakuan hak sebagai pribadi, sampai hak-hak yang menyangkut kehidupan sosialnya. Dalam konstitusi ini juga disertakan pengaturan tentang kewajiban warga negara yang harus dilakukan untuk tunduk pada Undang-Undang, termasuk pada hukum yang tidak tertulis, kepada penguasa-penguasa yang sah, dan kepada siapa saja yang bertindak sah.

Ketiga, Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950). Perlindungan HAM dalam konstitusi ini terdapat dalam pasal 7 hingga pasal 32 tentang hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar manusia.92

Dalam KRIS 1949 dan UUDS 1950 banyak pandangan yang mengatakan bahwa kompleks nya pengaturan hak asasi manusia dibandingkan dengan UUD 1945, karena KRIS 1949 dan UUDS 1950 dipengaruhi oleh diskursus hak-hak asasi manusia yang mendunia pasca penetapan Declaration Universal of Human Rights 1948 oleh United Nations (Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia/DUHAM 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB). Hal ini pula sangat dimungkinkan oleh

Secara substansial perlindungan HAM dalam UUDS 1950 tidak terlalu berbeda dengan dengan KRIS, kecuali pada pasal 21 UUDS 1950 yang memberi hak berdemonstrasi dan hak mogok yang diakui dan diatur dengan undang-undang.

suasana politik internasional saat itu, yang mana isu tuntutan jaminan hak asasi manusia memang sangat mengemuka di negara manapun sebagai upaya mengakhiri perang dunia ke-2. Oleh sebab itu, pandangan hak asasi manusia yang lebih liberal cukup kelihatan dalam dua konstitusi tertulis di Indonesia tersebut (1949-1950).

Keempat, UUD 1945 setelah perubahan. Melalui perubahan kedua UUD 1945, terjadi perkembangan yang sangat luar biasa dalam pengaturan HAM. HAM diatur dalam ketentuan yang begitu banyak. Secara Khusus HAM diatur dalam satu bab pada pasal 28A hingga pasal 28J, dan hak-hak yang ada di dalamnya, meliputi hak dasar, hak sipil, hak polik, maupun hak ekonomi, sosial dan budaya. Pengaturan HAM ini mencerminkan adanya atensi yang begitu besar para penguasa terhadap persoalan HAM.

Di dalam UUD 1945 ini juga mengatur konsepsi tanggung jawab negara dalam hak asasi manusia (state responsibilities), sebagaimana terlihat dalam pasal 28I (4) dan (5), yang menyatakan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah dan Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.” Keduanya, merupakan kunci dalam melihat tanggung jawab konstitutional yang harus dilakukan oleh negara, dalam hal ini pemerintah, untuk melaksanakan upaya-upaya pemajuan hak asasi manusia.

BAB IV

JAMINAN KEBEBASAN BERAGAMA MENURUT UUD NRI TAHUN 1945

A. Kebebasan Beragama sebagai Suatu Hak Asasi Manusia.

Tak bisa dipungkiri bahwa perang dunia II yang berlangsung di berbagai negara telah merengut jutaan nyawa. Jutaan rakyat sipil dan militer menjadi korban. Hal ini lah yang mempengaruhi ditetapkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tahun 1948. penetapan Deklarasi tersebut memunculkan harapan yang besar dari masyarakat internasional untuk melindungi harkat dan martabat manusia dari bahaya perang, permusuhan, pelecehan, diskriminasi dan tindakan-tindakan lain berdasarkan warna kulit, jenis kelamin, etnik, bahasa, dan agama. Hal ini lah yang kemudian DUHAM juga mengatur kebebasan beragama seperti yang tercantum dalam pasal 18.

Pencatuman hak tersebut dalam Deklarasi Universal HAM, diakui tidaklah mudah karena adanya perbedaan perspektif yang sangat besar. Salah satu perbedaan yang sangat krusial adalah adanya anggapan dari sebagian masyarakat internasional bahwa konsep dasar kebebasan beragama seringkali bertentangan dengan hukum suci agama. Tidak jarang anggapan seperti itu, menjadi pemicu utama terjadinya pelanggaran terhadap kebebasan beragama yang seringkali berujung pada radikalisme agama yang sering terjadi di berbagai negara.

Menurut kelompok yang menentang kebebasan beragama, hak tersebut dinilai menjadi kesempatan bagi manusia untuk menafsirkan agama secara sembarangan. Misalnya, seseorang boleh melakukan ritual keagamaan menurut

hak asasi manusia mereka. Mereka juga diperbolehkan untuk tidak beragama. Padahal agama cenderung membatasi manusia dengan doktrin sucinya.

Memang permasalahan tentang pasal 18 yang mengatur tentang kebebasan beragama telah ada sejak awal mula rapat pleno Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ketika sedang menyusun draft pasal tersebut. Sampai pada saat penetapan, Deklarasi tersebut disetujui oleh 48 negara anggota PBB dengan tidak ada satu pun dari negara anggota yang menolak. Akan tetapi, ada 8 negara anggota yang abstain, diantaranya adalah Saudi Arabia.93

Permasalahan tersebut mengindikasikan bahwa sejak semula ada beberapa negara yang tidak siap untuk menerima kebebasan beragama diatur dalam

Adapaun alasan Saudi Arabia abstain adalah karena pasal 18 yang mengatur tentang hak kebebasan beragama. Pasal tersebut menyatakan bahwa kebebasan beragama mencakup hak untuk berpindah atau berganti agama. Klausul ini dinilai oleh Saudi Arabia mengancam inti dari kepercayaan Islam yang menyatakan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar karena penyempurnaan agama-agama terdahulu.

Sebenarnya tidak semua negara Islam pada waktu itu menolak ketentuan yang ada didalam pasal 18. Misalnya Lebanon dan Pakistan justru menerima semua aturan yang ada di pasal 18. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya aturan pasal 18 tentang kebebasan beragama tidak ditolak oleh agama Islam, melainkan penolakan oleh Saudi Arabia adalah perbedaan tafsir agama saja yang mana pemerintah Saudi Arabia beranggapan bahwa kebebasan beragama tidak sesuai dengan Al Quran dan Hadits sebagai dua sumber hukum utama didalam Islam.

deklarasi tersebut karena adanya keraguan terhadap kebebasan beragama sebagai bagian dari hak asasi manusia. Namun, kenyataannya hak tersebut dilindungi oleh instrumen internasional sampai pada akhirnya disepakati Deklarasi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi dan Permusuhan Berdasarkan Agama dan Kepercayaan pada tahun 1981. Kedua Deklarasi ini menunjukkan bahwa agama ada karena ada manusia dan status sebagai manusia lah yang menyebabkan manusia berhak atas hak-hak yang melekat pada manusia, yang salah satunya adalah hak beragama. Sehingga seharusnya kebebasan beragama sudah diakui dan dilindungi sejak pertama kali manusia ada di dunia. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika kebebasan beragama adalah salah satu hak asasi manusia yang diatur dalam hukum internasional.

Kebebasan beragama sebagai suatu hak asasi manusia, seperti yang tertulis dalam pasal 18 DUHAM “ Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.”94 Menerangkan bahwa kebebasan beragama mempunyai dua unsur yaitu unsur internal dan unsur eksternal. Unsur internal adalah kebebasan untuk melakukan semua hal berdasarkan ajaran agama. Misalnya: keyakinan tentang Tuhan, nabi, rasul, malaikat, roh, kitab suci, dan lainnya. Unsur internal ini bersifat abstrak, tidak tampak karena ada di dalam hati dan pikiran setiap manusia

mempercayainya dan pelaksanaannya tidak boleh dibatasi oleh kekuasaan apapun. Unsur inilah yang menjadikan kebebasan beragama menjadi suatu hak asasi manusia yang bersifat mutlak dan tergolong dalam non derogable rights. Menurut Frans H Winarta, karena kebebasan beragama adalah non derogable rights maka kebebasan beragama tidak dapat ditunda, dihambat, dikurangi, dicegah, apa lagi dirampas dalam keadaan apapun termasuk dalam keadaan bahaya, seperti perang dan invasi militer.95

Menurut Asma Jahangir di dalam laporan khususnya kepada Lembaga Hak Asasi Manusia PBB yang dikutip oleh Al-Khanif mengatakan bahwa kebebasan beragama terdiri dari “keyakinan” dan “manifestasi”. Keyakinan disebut sebagai forum internum sedangkan manifestasi disebut sebagai forum eksternum

Sedangkan unsur eksternal agama adalah kebebasan untuk menjalankan praktik-praktik keagamaan atau keyakinan tesebut. Misalnya: beribadah ke Gereja, shalat lima waktu, menyembah patung. Unsur ini lah yang menjadi perwujudan dari keyakinan yang ada di dalam hati dan pikiran manusia melalui ritual-ritual keagamaan yang beraneka ragam.

96

95

Frans H Winarta, Agama Tidak Memerlukan Pengakuan Negara Secara Resmi dan Diatur Hukum ( Tangerang: FH- Universitas Pelita Harapan, 2008), hal 91

. Forum internum adalah hak beragama yang bersifat abstrak karena ada di dalam hati sanubari manusia, tidak bisa dibatasi, dilarang atau didefinisikan kedalam produk perundang-undangan karena sifatnya yang abstrak. Hanya manusia yang meyakini agama-agama yang bisa mendefinisikan “keyakinan” sebagai bagian dari forum internum. Dengan demikian, maka ada kuasa bagi manusia secara bebas untuk memiliki atau menetapkan agama atau keyakinan sebagai pilihannya. Hal ini juga mencakup untuk berpindah agama atau

menetapkan pandangan tertentu tentang agama teistik dan mempertahankan suatu agama dan kepercayaan yang dianutnya.

Paul M. Taylor yang dikutip oleh Al Khanif mengatakan bahwa forum internum menandakan wilayah pribadi dari hak seseorang yang bersifat internal dimana negara tidak bisa mencampuri hak tersebut dalam kesempatan apapun juga.97

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, membagi dua jenis forum internum

yaitu:

Oleh karena itu hak untuk meyakini suatu agama atau kepercayaan tertentu dalam berbagai bentuknya tidak mungkin dibatasi oleh negara. Hal ini memberikan konsekuensi bahwa semua jenis pembatasan tidak diperbolehkan berdasarkan hukum baik dalam keadaan apapun.

98

a. Kebebasan beragama dan keyakinan yang pasif

Kebebasan pasif menyangkut hak untuk memiliki agama atau keyakinan sesuai dengan pilihannya, ini termasuk hak untuk pindah agama. Negara dilarang melakukan tindakan berupa mendikte atau melarang pengakuan seseorang atas sebuah agama atau keyakinan, atau keanggotaan atas sebuah agama atau keyakinan, melepaskan agama atau keyakinannya atau mengubahnya. Kebijakan negara yang mempunyai efek atau maksud yang sama seperti di atas, tidak sesuai dengan Pasal 18 ayat (2) Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik jo. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 yaitu Ada larangan koersi yang mengakibatkan pelanggaran hak untuk memiliki dan mengadopsi agama atau keyakinan termasuk penggunaan ancaman kekuatan fisik atau sanksi pidana terhadap seorang untuk patuh terhadap agama atau keyakinannya, mengubah agama atau keyakinannya, melepaskan agama atau keyakinannya.

97

Ibid, hal 115

98

Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang

b. Kebebasan beragama dan keyakinan yang aktif.

Seseorang menjalankan hak atas kebebasan beragama atau keyakinan secara eksternal, dan hal ini dihubungkan dengan dunia luar seseorang. Ketika seseorang sedang menjalankan ibadah di rumah atau di tempat ibadah bersama orang lain secara privasi, maka Negara ataupun pihak ketiga tidak bisa melakukan intervensi.

Sedangkan forum eksternum adalah hak beragama yang bersifat kasat mata karena merupakan manifestasi dari keyakinan tersebut. Selain aturan pasal 18 DUHAM, pasal 18 (1) Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik juga menjadi dasar bahwa semua orang mempunyai hak untuk memanifestasikan agama melalui pengajaran, praktik, ritual, ataupun kegiatan lain yang merupakan ibadah. Hal ini menyebabkan bentuk dari manifestasi keaagamaan sangatlah bermacam ragam. Jahangir yang dikutip oleh Al Khanif berpendapat bahwa forum eksternum bisa dilakukan dalam bentuk kebebasan yang positif dimana seseorang boleh memakai atau menunjukkan simbol-simbol keagamaan.99

Menyadari bahwa forum eksternum adalah , manifestasi keyakinan yang dapat dilakukan dalam ranah privat maupun publik, maka ketika manifestasi keyakinan bersinggungan dengan kehidupan publik ataupun masyarakat lain, maka negara harus mengatur tentang manifestasi keyakinan tersebut melalui hukum. Artinya dalam ruang eksternum, ada kesempatan bagi negara untuk membatasi manusia yang mewujudkan keyakinannya dalam kegiatan yang konkret. Hal ini diatur dalam pasal 18 ayat (3) Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik , yang mengatur bahwa “Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang

diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain.” 100

Pasal 18 ayat (3) diatas menjadi batasan terhadap kebebasan untuk memanifestasikan agama yang ditujukan untuk melindungi keselamatan umum, hukum, moral atau hak-hak fundamental dan hak dasar orang lain. Jadi, ada ruang bagi negara untuk ikut campur dalam kebebasan beribadah masyarakat. Namun, sekalipun negara diberikan ruang untuk membatasi kebebasan beribadah masyarakat, tetapi pembatasan tersebut tidak boleh diterapkan untuk mendiskriminasi atau dilakukan dengan cara diskriminasi.101

Berdasarkan uraian diatas, dapatlah kita ketahui bahwa kebebasan beragama mencakup kebebasan beribadah. Dan kebebasan beribadah dapat dilakukan oleh individu maupun kelompok, dalam suasana privat maupun publik. Ketika, kebebasan beribadah dilakukan dalam suasana publik maka negara dapat melakukan pembatasan dengan dua syarat, pertama pembatasan itu dilakukan melalui hukum misalnya melalui undang-undang parlementer dan ditetapkan secara demokratis, kedua ditujukan untuk memenuhi keselamatan publik (public safety), ketertiban publik (public order), moral publik (public moral), kesehatan publik (public healty), dan hak-hak fundamental orang lain.102

Penetapan kebebasan beragama dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi dan Permusuhan Berdasarkan Agama dan Kepercayaan bukan hanya menandakan

100

Pasal 18 Ayat (3) kovenan Tentang Hak Sipil dan Politik

101

Op cit, Al khanif, hal 122

102

bahwa kebebasan beragama adalah bagian dari Hak Asasi Manusia yang harus dilindungi oleh masyarakat internasional. Tetapi juga, menjadi upaya pencegahan terjadinya konflik atas adanya perbedaan keyakinan dan agama yang berujung pada kekerasan genosida seperti yang menimpa Etnis minoritas Albania, Yugoslavia. Sehingga tidak ada satu alasan pun, bagi masyarakat untuk memberikan sentimen maupun kekerasan atas dasar agama. Karena, dengan

Dokumen terkait