• Tidak ada hasil yang ditemukan

Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan negara. Dalam bahasa latin, kata Konstitusi merupakan gabungan dari dua kata, yaitu cume dan statuere. Cume

adalah sebuah preposisi yang berarti “ bersama dengan…”, sedangkan statuere

bersal dari kata sta yang membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar itu, kata statuere mempunyai arti ” membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan/ menetapkan”. Dengan demikian bentuk tunggal (constitutio) berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama dan bentuk jamak (constitusiones) berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan. Pengertian konstitusi menurut C.F. Strong yang dikutip oleh Dahlan Thaib dalam bukunya Teori dan Hukum Konstitusi adalah 11constitution is a collection of principles according to which the power of the government, the rights of the governed, and the relations between the two are adjusted.

Jika dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu kumpulan asas-asas yang menyelenggarakan :

1. Kekuasaan Pemerintah (dalam arti luas) 2. Hak-hak dari yang diperintah

3. Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah (menyangkut di dalamnya masalah Hak Asasi Manusia)

Konstitusi memuat suatu aturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan suatu bangunan besar yang disebut negara. Sendi-sendi itu tentunya harus kokoh, kuat dan tidak mudah runtuh agar bangunan negara tetap tegak berdiri. Ada dua macam konstitusi di dunia, yaitu “Konstitusi Tertulis” (Written Constitution) dan “Konstitusi Tidak Tertulis” (Unwritten Constitution), ini diartikan seperti halnya “Hukum Tertulis” (Geschreven Recht) yang termuat dalam undang-undang dan “Hukum Tidak Tertulis” (Ongeschreven Recht) yang berdasar adat kebiasaan. Dalam karangan “Constitution of Nations”, Amos J. Peaslee menyatakan hampir semua negara di dunia mempunyai konstitusi tertulis, kecuali Inggris dan Kanada.

Di beberapa negara ada dokumen tetapi tidak disebut konstitusi walaupun sebenarnya materi muatannya tidak berbeda dengan apa yang di negara lain disebut konstitusi. Ivor Jenning yang dikutip oleh Mirza Nasution menyatakan di negara-negara dengan konstitusi tertulis ada dokumen tertentu yang menentukan12

a. Adanya wewenang dan tata cara bekerja lembaga kenegaraan :

b. Adanya ketentuan berbagai hak asasi dari warga negara yang diakui dan dilindungi

Di Inggris baik lembaga-lembaga negara termaksud dalam huruf a maupun pada huruf b yang dilindungi, tetapi tidak termuat dalam suatu dokumen tertentu. Dokumen-dokumen tertulis hanya memuat beberapa lembaga-lembaga negara dan beberapa hak asasi yang dilindungi, satu dokumen dengan yang lain tidak sama. Karenanya dilakukan pilihan-pilihan di antara dokumen itu untuk dimuat dalam konstitusi. Pilihan di Inggris tidak ada. Penulis Inggris yang akhirnya memilih lembaga-lembaga mana dan hak asasi mana oleh mereka yang dianggap “constitutional.” Ada konstitusi yang materi muatannya sangat panjang dan sangat pendek. Konstitusi yang terpanjang adalah India dengan 394 pasal. Kemudian Amerika Latin seperti uruguay 332 pasal, Nicaragua 328 pasal, Cuba 286 pasal, Panama 271 pasal, Peru 236 pasal, Brazil dan Columbia 218 pasal, selanjutnya di Asia, Burma 234 pasal, di Eropa, belanda 210 pasal. Konstitusi terpendek adalah Spanyol dengan 36 pasal, Indonesia 37 pasal, Laos 44 pasal, Guatemala 45 pasal, Nepal 46 pasal, Ethiopia 55 pasal, Ceylon 91 pasal dan Finlandia 95 pasal. 13

2. Hak Asasi Manusia

Tema Hak Asasi Manusia (HAM) walau baru dirumuskan secara eksplisit pada abad ke – 18, namun aspek hak asasi manusia telah dikenal sejak zaman Yunani dengan permunculan teori hukum kodrat sekitar 600- 400 SM. Masalah HAM juga telah dibahas oleh beragam agama ratusan tahun lampau, seperti Kristen sebagaimana termaktub dalam Alkitab dan Islam termaktub di dalam Al- Quran. Tonggak sejarah keberpihakan Islam terhadap HAM adalah dideklarasikannya Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) atau dikenal juga

dengan sebutan Konstitusi Madinah. Menurut Al-Sayyid Muhammad Ma’ruf al Dawalibi dari Universitas Islam Internasional Paris, seperti dikutip Nurcholish Madjid, “yang paling menakjubkan dari semuanya tentang Konstitusi Madinah itu ialah bahwa dokumen itu memuat, untuk pertama kalinya dalam sejarah, prinsip- prinsip dan kaedah- kaedah kenegaraan dan nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya tidak pernah dikenal manusia”14

Di Abad Reformasi dan Pencerahan, pribadi insan dalam hubungannya dengan penguasa memperoleh tempat yang lebih sentral dalam pemikiran hukum. Filosof John Locke, misalnya, meletakkan dasar pengakuan hak fundamental manusia, yang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, dan harus dijamin oleh

Muhammad Hamidullah dalam Majmu’at Watsa’iq Siyasiyyah li al-‘Ahd al-Khilafat al-Rasyidah (kumpulan-kumpulan dokumen-dokumen Politik pada masa Nabi dan al-Khulafa’ al –Rasyidun) mengatakan bahwa Piagam Madinah sangat dikagumi para sarjana modern karena meletakkan prinsip Kebebasan Beragama dan Berusaha (ekonomi). Keberpihakan Islam terhadap HAM ini melalui Piagam Madinah dilanjutkan oleh Deklarasi Kairo (The Cairo Declaration of Human Rights in Islam) pada 5 Agustus 1990. Deklarasi ini dinyatakan oleh 45 negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI), sebagai hasil konferensi Islam di Kairo, Mesir, pada 31 Juli- 5 Agustus 1990. Pada intinya, Deklarasi Kairo menyatakan penghapusan diskriminasi berbasis ras, warna kulit, bahasa, kepercayaan, jenis kelamin, agama, afiliasi politik, maupun status sosial dengan mendasarkan kepada Syariat Islam.

14

penguasa. Pemikiran Locke berpengaruh besar terhadap kemajuan di bidang kodifikadasi HAM. Kodifikasi dimaksud antar lain adalah English Bill of Rights

tahun 1689, The United States Declaration of Independence tahun 1776, dan

France Declaration Des Droits de I’homme et Du Citoyen tahun 1789.

Di Indonesia, perkembangan pemikiran Hak Asasi Manusia sudah dimulai sejak sebelum proklamasi kemerdekaan. Hal ini merupakan pendapat dari Bagir Manan dalam bukunya Perkembangan pemikiran dan pengaturan HAM di Indonesia yang dikutip oleh Dahana Putra, yaitu :15

1. Periode Sebelum Kemerdekaan (1905-1954)

Sebagai organisasi pergerakan, Boedi Utomo menaruh perhatian terhadap masalah HAM. Dalam konteks pemikiran HAM, Pemimpin Boedi Utomo memperlihatkan kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial maupun tulisan yang dimuat surat kabar Goeroe Desa. Selanjutnya, pemikiran HAM pada perhimpunan indonesia banyak dipengaruhi oleh tokoh organisasi seperti Muhammad Hatta, AA Maramis dsb. Pemikiran HAM para tokoh lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination). Selanjutnya, serikat islam organisasi yang dimotori oleh H. Agus Salim dan Abdul Muis menekankan pada usaha – usaha memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial.

Sedangkan pemikiran HAM dalam PKI sebagai partai paham Marxisme condong pada hak – hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu – isu alat produksi. Konsen kepada terhadap HAM juga ada pada Indische Partij yang menyatakan bahwa hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapat perlakuan yang sama. Sedangkan pemikiran HAM partai Nasional Indonesia mengedepankan hak memperoleh kemerdekaan. Adapun pemikiran HAM

dalam organisasi Pendidikan Nasional Indonesia yang didirikan oleh M. Hatta setelah Partai Nasional Indonesia dibubarkan lebih menekankan hak politik yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri, hak untuk mengeluarkan pendapat, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan dimuka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan negara. Pemikiran HAM sebelum Indonesia merdeka juga terjadi perdebatan disidang BPUPKI antara Soekarno dan Soepomo ( satu pihak ) dengan M. Hatta dan M. Yamin ( lain pihak ).

15

Dahana Putra,

2. Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang ) a) Periode 1945 – 1950

Pemikiran HAM periode awal kemerdekaan masih menekankan hak untuk merdeka (self Determination) hak kebebasan berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena memperoleh pengaturan dan masuk ke dalam hukum dasar negara (konstitusi) yaitu UUD 1945 dan prinsipkedaulatan rakyat dan berdasarkan atas hukumdijadikan sebagai sendi bagi penyelenggaraan Negara Indonesia Merdeka. Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada Rakyat untuk mendirikan partai politik. Pemerintah menyukai timbulnya partai politik karena dengan adanya partai poltik dapat dipimpin kejalan yang teratur segala aliran yang ada dalam masyarakat. Pemerintah juga berharap partai tersebut telah tersusun sebelum dilangsungkannya pemilihan Anggota Badan Perwakilan Rakyat pada Januari 1946. Hal yang sangat penting dalam kaitannya dengan HAM adalah adanya perubahan mendasar dan signifikan terhadap sistem pemerintahan dari presidensil manjadi sistem parlementer sebagaimana tertuang dalam

b) Periode 1950 – 1959

Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode Demokrasi Parlemen. Dalam pemikiran HAM di periode ini mendapat tempat di kalangan elit politik karena semangat, pemikiran dan aktualisasi HAM periode ini mengalami “pasang” dan menikmati “Bulan Madu” kebebasan.

Pertama : Semakin banyak tumbuh partai politikdengan beragam ideologinya masing – masing.

Kedua : kebebasan pers sebagai salah asatu pilar demokrasi menikmati kebebasannya.

Ketiga: pemilihan umum sebagai pilar lain demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair (adil) dan demokratis.

Keempat : Parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai representasi dari kedaulatan rakyat menunjukan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif.

Kelima : Wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.

c) Periode 1959 – 1966

Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem Demokrasi terpimpin sebagai reaksi soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer. Pada sistem ini (Demokrasi Terpimpin) kekuasaan terpusat dan berada ditangan presiden, akibat dari sistem demokrasi terpimpin presiden melakukan tindakan Inkonstitusional baik pada tatanan supra struktur politik maupun dalam tatanan infrastruktur politik. Dalam kaitan dengan HAM telah terjadi pemasungan Hak Asasi Masyarakat yaitu hak sipil dan hak politik seperti

hak untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan fikiran dengan tulisan. Dengan kata lain telah terjadi sikap restriktif (pembatasan yang ketat oleh kekuasaan) terhadap hak sipil dan hak politik warga negara.

d) Periode 1966 – 1998

Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto ada semangat untuk menetapkan HAM dan telah diadakan berbagai seminar tentang HAM, salah satunya dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM. Pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah asia. Selanjutnya pada tahun 1968 diadakanseminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materi (Judicial review) dilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS NO. XIV/MPRS 1966, MPRS melalui panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang HAM dan hak – hak serta kewajiban warga negara. Pada awal tahun 1970 sampai periode ahir 1980 an persoalan HAM di Indonesia mengalami kemunduran karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemikiran elit politik pada masa ini diwarnai penolakan terhadap HAM sebagai produk barat dan individualistik serta bertentangan dengan faham kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia. Pemerintah pada masa ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari produk hukum yang restriktif terhadap HAM. Sikap Defensif ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM digunakan negara barat untuk memojokan negara berkembang seperti Indonesia. Meskipun fihak pemerintah mengalami kemandegan, pemikiran HAM terus ada dikalangan LSM dan akademisi yang cocern terhadap penegakkan HAM. Upaya yang dilakukan masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi Internasional terkait dengan pelanggaran HAM seperti kasus tanjung priok, kedung ombo dan sebagainya. Pada periode 1990 an memperoleh hasil yang menggembirakan karena pergeseran strategi pemerintah dari represif dan depensif ke strategi akomodatif terhadap tuntutan penegakan HAM. Hal ini ditandai dengan dibentuknya KOMNAS HAM berdasar KEPRES NO. 50 tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993 yang bertugas untuk memantau, menyelidiki pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat, pertimbangan dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM sesuai dengan pancasila dan UUD 1945 (termasuk hasil amandemen) piagam PBB, Deklarasi Unuversal HAM. Dampak sikap akomodatif pemerintah dan dibentuknya KOMNAS HAM sebagai lembaga independen adalah bergesernya paradigma pemerintah terhadap HAM dari partikularistik ke Universalistik serta semakun kooperatifnya pemerintah terhadap upaya penegakan HAM di Indonesia.

Konstitusi Indonesia yang pertama yaitu UUD 1945 telah mencantumkan pengaturan mengenai hak-hak asasi. Hak-hak asasi yang tercantum dalam UUD 1945 tidak termuat dalam suatu piagam yang terpisah, tetapi tersebar dalam pasal 27-31. Pasal-pasal ini sangat terbatas jumlahnya dikarenakan dirumuskan secara

singkat. Tidak cukup waktunya untuk membahas hak-hak asasi secara mendalam karena waktu yang mendesak. Selain itu, diantara Founding Fathers kita terdapat perbedaan pendapat mengenai peranan hak-hak asasi di dalam negara demokratis. Pendapat-pendapat pada waktu itu banyak dipengaruhi oleh Declration des droits de I’homme et du citoyen, yang dianggap sebagai sumber individualisme dan liberalisme. Oleh karena itu, dianggap bertentangan dengan asas kekeluargaan dan asas gotong-royong. Mengenai hal ini Ir. Soekarno pada waktu itu menyatakan sebagai berikut : jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong-royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham Individualisme dan liberalisme daripadanya.

Sebaliknya Dr. Hatta berpendapat walaupun menyetujui prinsip kekeluargaan, dan menentang individualisme dan liberalisme, namun tetap masih diperlukan hak-hak asasi manusia diatur oleh Undang-Undang Dasar agar mencegah timbulnya negara kekuasaan (machtstaat). Akhirnya, tercapailah pengaturan secara terbatas HAM diatur dalam Undang-Undang Dasar

3. Negara Hukum

Secara konseptual istilah negara hukum di Indonesia dipadankan dengan dua istilah dalam bahasa asing, yaitu:

a. Bahasa Belanda istilahnya rechtstaat, digunakan untuk menuju tipe negara hukum yang diterapkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law system.

b. Bahasa Inggris menggunakan istilah rule of law untuk menunjuk tipe negara hukum dari Anglo Saxon atau negara-negara yang menganut common law system.

Perbedaan antara rechtstaat dan rule of law, antara lain dapat disebut bahwa konsep rechstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme, karena itu berwatak revolusioner, sedangkan rule of law lahir dari perkembangan Yurispundensi, sehingga perkembangannya bersifat evolusioner.16

Menurut Friedrich Julius Stahl yang dikutip oleh I Dewa Gede Atmaja, unsur-unsur Rechstaat, terdiri atas empat unsur-unsur pokok, yaitu:17

a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia

b. Negara didasarkan pada trias politika (pemisahan kekuasaan negara atas kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial)

c. Pemerintahan diselenggarakan atas undang-undang dasar (wetmatigheid van bestuur)

d. Ada peradilan administrasi negara yang berwenang menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (

onrechtsmatigoverheidsdaad )

Ciri-ciri rechtstaat tersebut menunjukkan bahwa ide sentral rechstaat adalah pengakuan dan perlindungan hak- hak asasi manusia yang bertumpu pada prinsip kebebasan dan persamaan. Sehingga dibentuklah UUD yang akan menjadi jaminan konstitusional atas hak-hak manusia. Dan pembagian kekuasaan yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penumpukan kekuasaan dalam satu tangan. Kekuasaan yang berlebihan yang dimilki seseorang cenderung mengekan kebebasan dan persamaan.

Sedangkan menurut A.V. Dicey, terdiri atas tiga unsur, yaitu:18

16

Iriyanto A. Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi ( Bandung: Alumni Bandung, 2008), hal 33

a. Supremasi hukum (supremacy of law)

b. Persamaan di muka hukum (equality before the law)

c. Hak asasi individu (individual rights). Tidak memerlukan peradilan administrasi, karena peradilan umum dianggap berlaku untuk semua orang baik bagi warga negara maupun pejabat pemerintah.

Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (Independence and Impartiality of Judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut The International Commission of Jurist yang dikutip oleh Jimly Assidhiqie adalah:19

Sebelum perubahan UUD 1945, prinsip negara hukum Indonesia ditegaskan dalam penjelasan UUD 1945, yang menentukan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat) tidak berdasar kekuasaan belaka. menurut Philiipus M. Hadjon yang berpendapat berdasar sudut pandang yuridisme Pancasila, maka negara hukum Indonesia secara ideal adalah negara hukum

1. Negara harus tunduk pada hukum.

2. Pemerintah menghormati hak-hak individu. 3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.

18

Ibid, hal 159

19

pancasila, yang unsur-unsurnya dikutip oleh I Dewa Gede Atmaja, sebagai berikut:

a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan Rakyat berdasar asas kerukunan nasional

b. Hubungan yang fungsional dan proporsional antara kekuasaan negara

c. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir

d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Setelah perubahan UUD 1945, dalam pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dituliskan bahwa negara indonesia adalah negara hukum. Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggris untuk menyebut prinsip negara hukum adalah ‘the rule of law, not of man’. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.

4. Kebebasan Beragama

Ada banyak pengertian kebebasan, dan pengertian yang paling sederhana dan klasik adalah tidak adanya larangan. Meskipun demikian konsep dasar kebebasan juga harus memperhatikan tidak adanya intervensi dari kebebasan yang telah dilakukan tersebut terhadap kebebasan orang lain. jadi, ada dua kebebasan yang seimbang, yakni bebas untuk melakukan dan bebas untuk tidak diintervensi oleh tindakan tersebut.

Dalam Blacks Law dictionary yang dikutip oleh Al-khanif mengartikan kebebasan sebagai sebuah kemerdekaan dari semua bentuk-bentuk larangan

kecuali larangan-larangan yang diatur dalam undang-undang.20

Kebebasan beragama adalah bagian dari hak beragama yang tergolong dalam Hak Asasi Manusia (HAM). hal ini dituliskan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam pasal 28E ayat (1) “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”

Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa sesungguhnya manusia mempunyai hak untuk bebas selama hak-hak tersebut tidak bertentangan dengan larangan yang ada dalam hukum.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, kebebasan didalam hak asasi manusia adalah kebebasan untuk menunggalkan atau mengerjakan sesuatu hal seperti yang telah diatur didalam peraturan-peraturan internasional dan nasional tentang hak asasi manusia. Dalam kaitannya dengan kebebasan beragama, setiap individu mempunyai kebebasan seperti yang diatur dalam sebuah peraturan misalnya dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia mengatur seperti hak untuk menganut, berpindah, mempertahankan atau tidak memeluk suatu keyakinan apapun, serta menjalankannya baik dimuka umum maupun sendiri.

21

Dalam pasal 28I ayat (1) “hak untuk hidup, hak untuk tidak dapat disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak dapat diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, hak untuk tidak

20

Al Khanif, Hukum dan Kebebasan Beragama (Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2010), hal 87

21

dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”22

Sedangkan forum eksternum ialah menyangkut kebebasan memanifestasikan agama seperti; penyembahan (worship), upacara keagamaan (observance), dan pengajaran (teaching). Penyembahan mengandung arti bentuk berdoa dan kebebasan ritual, serta kotbah/dakwah. Upacara keagamaan menyangkut prosesi agama dan menggunakan pakaian agama. Sementara pengajaran menyangkut penyebaran substansi ajaran agama dan keyakinan. Kebebasan berkumpul dalam hubungannya dengan agama, mendirikan dan Hak beragama mempunyai dua dimensi yaitu forum internum (ruang privat) dan forum eksternum (ruang publik). Forum internum menyangkut eksistensi spiritual yang melekat pada setiap individu, sementara forum eksternum adalah mengkomunikasikan eksistensi spiritual individu tersebut kepada publik dan membela keyakinannya di publik.

Forum internum menyangkut kebebasan untuk memiliki dan mengadopsi agama atau keyakinan sesuai pilihan setiap individu, juga kebebasan untuk mempraktekan (to practice) agama atau keyakinannya secara privat. Hak atas kebebasan berfikir dan keyakinan juga mengandung arti setiap orang punya hak untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran dan keyakinan bebas dari pengaruh eksternal yang tidak layak (impermissible external influence) seperti doktrinisasi, cuci otak, manipulasi, mempengaruhi pikiran melalui obat-obat psikoaktif, atau koersi.

menjalankan institusi kemanusiaan yang layak, menerbitkan dan publikasi yang relevan. Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa forum internum adalah internalisasi kebebasan beragama sedangkan forum eksternum adalah pengaplikasian kebebasan beribadah.

Dokumen terkait