a. Aspek Pengakuan Masyarakat Hukum Adat
Berbicara penghormatan dan perlindungan
masyarakat hukum adat maka tidak akan terlepas dari pengakuan terhadap masyarakat itu sendiri. Secara terminologis, ”pengakuan” berarti proses, cara, perbuatan mengaku atau mengakui, sedangkan kata “mengakui” berarti menyatakan berhak. Pengakuan dalam konteks ilmu hukum internasional, misalnya terhadap keberadaan suatu Negara/pemerintahan biasanya mengarah pada istilah pengakuan de facto dan de yure. Pengakuan yang secara nyata terhadap entitas tertentu untuk menjalankan kekuasaan efektif pada suatu wilayah disebut dengan pengakuan de facto. Pengakuan de facto adalah pengakuan yang bersifat sementara, karena pengakuan ini
ditunjukkan kepada kenyataan-kenyataan mengenai
kedudukan pemerintahan yang baru, apakah ia didukung oleh rakyatnya dan apakah pemerintahannya efektif yang menyebabkan kedudukannya stabil. Jika kemudian bisa
53
dipertahankan terus dan makin bertambah maju, maka pengakuan de facto akan berubah dengan sendirinya menjadi pengakuan de jure. Pengakuan de jure bersifat tetap yang diikuti dengan tindakan tindakan hukum lainnya. Sedangkan pengakuan secara hukum (de jure) adalah pengakuan suatu negara terhadap negara lain yang diikuti dengan tindakan-tindakan hukum tertentu,misalnya
pembukaan hubungan diplomatic dan pembuatan
perjanjian antar kedua Negara.27
Dalam buku General Theory of Law and State, Hans Kelsen menguraikan terminology “pengakuan” dalam kaitannya dengan keberadaan suatu Negara sebagai berikut:
Terdapat dua tindakan dalam suatu pengakuan yakni tindakan politik dan tindakan hukum. Tindakan politik mengakui suatu negara berarti megara mengakui berkehendak untuk mengadakan hubungan-hubungan politik dan hubungan-hubungan lain dengan masyarakat yang diakuinya. Sedangkan tindakan hukum adalah
27 H. R. Otje Salman Soemadiningrat. Rekonseptualisasi Hukum Adat
Kontemporer :Telaah Kritis terhadap Hukum Adat sebagai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat, cetakan ke-1, Alumni, Bandung, 2002, h. 12.
54
prosedur yang dikemukakan di atas yang ditetapkan oleh hukum internasional untuk menetapkan fakta Negara (masyarakat adat) dalam suatu kasus konkrit.
Berdasarkan rujukan diatas, dalam kaitannya dengan pengertian pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat atas tanah, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat atas tanah mengarah pada pengertian pengakuan dari negara/pemerintah baik secara politik maupun secara hukum, melalui pengaturan hak dan kewajiban pemerintah dalam memberikan penghormatan, kesempatan, dan perlindungan bagi berkembangnya masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang dimiliki dalam bingkai Negara Kesatuan Republik.
Pengakuan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum penyandang hak tradisional menjadi isu sentral dalam pelaksanaan pemenuhan dan perlindungan hak. Wiratraman menjelaskan rumusan masyarakat hukum
55
adat sebagai subjek hak dalam UUD NRI Tahun 1945
sebagai berikut 28:
1. Perlindungan hak-hak masyarakat adat tidak bersifat individual, melainkan pengakuan atas suatu “kolektiva” (bersifat kolektif).
2. Pengakuan terhadap hak-hak yang bersifat “kolektiva” tersebut terkait dengan Pertama, unit sosial „kesatuan masyarakat hukum adat.‟ dan Kedua, Hak-hak tradisional dari unit sosial tersebut.
Artinya, perlindungan hukum masyarakat hukum adat terkait dengan sifatnya yang kolektif sebagai suatu persekutuan masyarakat hukum, yang juga berkaitan dengan hak-haknya yang bersifat kolektif. Hak-hak individual masyarakat hukum adat adalah bagian dari ruang lingkup hak kewarganegaraan. Konsep hukum hak masyarakat hukum adat dalam konstitusi kita berarti
28
Wiratman, Herlambang P, dkk, 2014, Laporan Akhir Tim Pengkajian Konstitusi tentang Perlindungan Hukum terhadap Masyarakat Hukum Adat, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Diambil dari hasil peneltian Nurul Firmansyah, Perlindungan
56
perlindungan terhadap “hak kolektiva‟ masyarakat hukum adat yang bersifat khusus, karena identitas budaya dan tradisi yang melekat dalam masyarakat hukum adat.
b. Aspek Non-Interfensi atau Otonomi
Setelah hadirnya Undang Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah seharusnya menjadi lebih baik lagi, karena memberikan kewenangan untuk Komunitas Masyarakat Hukum Adat untuk mengatur dan mengurus pemerintahan adatnya. Pada Pasal 1 angka 12 daerah Otonom yang dimaksud disebut sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai batas-batas
wilayah, berwenang mengatur dan mengurus
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.29
Hal tersebut memperkuat Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria Pasal 2 angka 4. Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
29
57
daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional, menurut
ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sejalan dengan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Pasal 67 dan Pasal penjelasan 67 ayat (1) Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
1. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap),
2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat
penguasa adatnya,
3. ada wilayah hukum adat yang jelas,
4. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati,
5. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
58
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sejalan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang No. 27 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil Pasal 1 angka 31 Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah,
wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata
pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.30
Undang Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sejalan dengan Undang Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam Pasal 1 angka 31 Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu
30 Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sejalan dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
59
karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
c. Aspek Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat
Konsep dasar tentang masyarakat hukum adat31
dan hak-haknya dalam sistem hukum Indonesia terdapat dalam Pasal 18 b ayat (2) dan Pasal 28 I UUD NRI Tahun 1945. Dua Pasal ini secara eksplisit menjelaskan pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat, namun tidak menjelaskan secara eksplisit rumusan definisi masyarakat
hukum adat. Pasal 18 b ayat (2) dan Pasal 28 I32
menjelaskan posisi hukum masyarakat hukum adat sebagai subjek hak. Artinya, Konstitusi kita mengatur jaminan konstitusional atas keberadaan masyarakat
hukum adat sebagai subjek hukum penyandang hak33 dan
31 A. Safitri, Myma , Luluk Uliyah, Adat Di Tangan Pemerintah
Daerah: Panduan Penyusunan Produk Hukum Daerah Untuk Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Epistema Institute, Jakarta, 2014,
h. 19.
32 Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I UUD NRI Tahun 1945.
33 Hak-hak khusus masyarakat adat terkait dengan identitas dan kebutuhan khusus masyarakat hukum adat, yang juga disebut dengan hak tradisional dalam UUD NRI TAHUN 1945 paska perubahan atau hak asal usul
60
kewajiban. Pasal 18 b ayat (2) menyebutkan bahwa; “Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.” Pengakuan negara tersebut kemudian diriingi dengan persyaratan (conditionalities) pelaksanaan hak, yaitu:
1. Masyarakat adatnya masih hidup
2. Sesuai dengan perkembangan masyarakat
3. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutnya, konstitusi mempertegas
penghormatan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat dalam BAB X (Perubahan kedua) tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 28 I, yang mengatur tentang “identitas budaya‟ masyarakat hukum adat, yang salah satu unsur pembentuk identitas budaya tersebut adalah relasi masyarakat hukum adat dengan tanah dan sumber-sumber alamnya, yang juga disebut dengan hak ulayat
dalam UUD NRI TAHUN 1945. Hak asal usul kemudian digunakan kembali untuk menjelaskan hak tradisional masyarakat hukum adat dalam bentuk desa adat dalam UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa. Hak tradisional atau hak asal usul adalah hak yang bersifat “hak bawaan” yang melekat karena identitas khusus masyarakat adat tersebut.
61
atau hak-hak atas wilayah adat.34 Selain itu, UUD NRI
Tahun 1945 menghormati nilai-nilai budaya masyarakat dan bahasa daerah. Penghormatan terhadap budaya dan bahasa daerah ini dijelaskan secara implisit dalam BAB XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan pada Pasal 32 ayat (1) dan (2).
Tafsir konstitusional terhadap konsep masyarakat hukum adat dan hak-haknya terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. Pertama-tama Putusan MK No.35/PUUX/2012 menyebutkan bahwa Masyarakat hukum adat adalah subjek hukum yang merupakan penyandang hak (hak tradisional) dan pemangku kewajiban. Masyarakat hukum adat, mempunyai kedudukan hukum sama seperti subjek hukum lainnya seperti individu dan badan hukum. Kedua, Masyarakat hukum adat berkembang secara evolutif, konsep ini merujuk pada pendapat ilmuwan sosiologi klasik, Emile Durkheim tentang evolusi perkembangan masyarakat, dari
34
Relasi (penguasaan) masyarakat hukum adat dengan tanah dan sumber daya alamnya sebagai salah satu pilar identitas masyarakat hukum adat diperkuat lagi rumusan Pasal 6 (2) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyebutkan; “Identitas masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
62
masyarakat mekanis menjadi organis. Dalam pengertian ini, masyarakat hukum adat adalah tahapan awal (masyarakat mekanis) menuju masyarakat modern (masyarakat organis), sehingga dalam perkembangannya masyarakat hukum adat bisa “berubah‟ dan bahkan “punah‟ dalam bentuk baru, yang disebut dengan
“masyarakat modern.‟ 35
Rumusan hukum kita masih harus terlebih dahulu membuktikan “keberadaan masyarakat hukum adat‟ sebagai “prasyarat hukum‟ pengakuan masyarakat hukum adat. Indikator keberadaan masyarakat hukum adat dijelaskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai masyarakat hukum adat yang hidup secara de facto (actual existence), baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional, dengan setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur, sebagai berikut: Pertama, adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in group feeling); kedua, adanya pranata pemerintahan adat; ketiga, adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;
35 Penjelasan lebih lanjut tentang Putusan Mahkamah Konstitusi No.35 tahun 2012 Lihat Myrna A. Safitri dan Luluk Uliyah. Adat di Tangan
63
keempat, adanya perangkat norma hukum adat dan; kelima, terdapat unsur adanya wilayah tertentu. Jimly Asshiddiqqie menjelaskan bahwa kelima unsur tersebut tidak bersifat kumulatif, sehingga pembuktian masyarakat hukum adat bisa menggunakan salah satu unsur atau
beberapa unsur dari lima unsur tersebut.36
Selanjutnya, pengakuan hukum secara de jure terhadap masyarakat hukum adat dilaksanakan melalui suatu penetapan hukum. Pemerintah Daerah adalah otoritas Negara yang berwenang untuk menetapkan masyarakat hukum sebagai subjek hukum berdasarkan tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 18 b ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dalam Putusan MK No. 35 tahun
2012. Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa
penetapan masyarakat hukum adat oleh Pemerintah Daerah adalah bentuk pendelegasian fungsi Negara untuk menetapkan (mengakui) masyarakat hukum adat, yang merupakan upaya menghindari kekosongan hukum pada
36 Zakaria R. Yando, Kriteria Masyarakat (Hukum)Adat dan Potensi
Implikasinya terhadap Perebutan Sumberdaya Hutan Pasca-Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012: Studi Kasus Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Insist Press,Yogyakarta, 2004, h. 102-103.
64
tingkat perundang-undangan, karena belum dilahirkannya
undang-undang khusus tentang masyarakat hukum adat.37
Dengan melihat dari instrumen-instrumen hukum internasional dan hukum nasional yang berlaku terkait pengakuan dan penghormatan Hak Asasi Manusia masyarakat hukum adat, maka terlihat implikasi yuridis yang terletak pada kewajiban negara untuk melindungi dan menjamin masyarakat hukum adat baik itu masyarakat adat, aturan-aturan adat dan institusi-insitusi
adat, yanga dadi dalamnya
37 Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 35 tahun 2012 memperkuat pengaturan mekanisme penetapan masyarakat hukum adat oleh Pemerintah Daerah dalam Pasal 67 UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan melalui Peraturan Daerah. Kewenangan Pemerintah Daerah untuk menetapkan masyarakat hukum adat dan atau desa adat juga diatur dalam peraturan perundangundangan yang lain, diantaranya; Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Bentuk penetapan masyarakat hukum adat beragam dalam berbagai peraturan perundang-undangan tersebut, ada yang melalui Keputusan Kepala Daerah atau Peraturan Daerah, h. 154.