29
BAB II
PERLINDUNGAN DAN PENGHORMATAN
MASYARAKAT HUKUM ADAT DARI
PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
Bab II menjelaskan terkait dengan perlindungan dan penghormatan masyarakat adat dari prespektif hak asasi manusia berdasarkan aturan-aturan internasional dan aturan nasional dalam rangka pengakuan terhadap masyarakat hukum adat di Indonesia dari Pra Kemerdekaan dan Pasca kemerdekaan.
A. Perlindungan dan Penghormatan Masyarakat Hukum Adat Berdasarkan Instrumen HAM Internasional
1. Konvensi ILO 107
Penaklukan terhadap Bangsa-bangsa Pribumi
dilakukan dengan sistematis. Mulai dari penyeragaman penggunaan bahasa, agama, hingga kepada penggunaan hukum. Gereja Katolik, misalnya memainkan peranan yang penting dalam proses ini dengan mengendalilkan
pembagian teritori, yakni “Christian territories” dan
30
“Conquest and slavery were justified by the fact that the indigenous peoples were not Christian.” tutur Robert A. W illiams.1
Hal yang sama juga terlihat dari segi hukum teori hukum dikembangkan untuk memberi justifikasi terhadap penaklukan Barat terhadap Bangsa Pribumi, antara lain,
doktrin hukum “Terra Nullius”, yang membenarkan
pendudukan wilayah-wilayah Bangsa Pribumi oleh para
pendatang (western). Doktrin “terra nullius” ini ditolak oleh
Mahkamah Agung Australia dalam putusan perkara Mabo.2
Dalam konteks penaklukan (conquest) yang panjang
itulah ILO melibatkan diri dan yang membuka jalan adalah Francisco de Victoria dan Bartholome de Las Casas, yang merintis penulisan mengenai hak-hak bangsa-bangsa Pribumi di bawah hukum internasional, dan mendalilkan bahwa hak-hak pribadi dan kepemilikan bangsa-bangsa pribumi sejajar
dengan hak-hak para penakluknya (Conquistadores).
1 Ifdhal Kasim, Konvensi ILO 169:Relevansi dan Urgensinya dalam Upaya Perlindungan MasyarakatAdat di Indonesia. UII Article,Yogyakarta, 2007 , h. 2.
2 Mabo And Others V. Queensland (No. 2) (1992) 175 CLR 1 F.C.
92/014 Lihat Ifdhal Kasim, Konvensi ILO 169: Relevansi dan Urgensinya
dalam Upaya Perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia. UII Article,
31
tulisan mereka mulai membuka horison kesadaran. Selain karena memang munculnya perlawanan di kalangan Bangsa-bangsa Pribumi sendiri. Keterlibatan ILO jelas tidak bisa dipisahkan dengan sejarah perjuangan kaum buruh bangsa
Pribumi dan Masyarakat Adat di dataran Amerika Selatan.3
Penderitaan yang panjang selama berabad-abad pada akhirnya mendorong mereka mengorganisir dan mulai memperjuangkan hak-hak mereka melalui berbagai forum baik ditingkat nasional maupun internasional, termasuk melalui ILO selaku organisasi internasional. Akhirnya ILO mengadopsi untuk pertama kalinya hak-hak bangsa-bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat pada tahun 1957 melalui Konvensi No.107, yang lengkapnya disebut “Konvensi
Perlindungan dan Integrasi dari Penduduk Pribumi,
Masyarakat Adat dan Masyarakat Semi-adat di
Negara-Negara Merdeka” (Convention on the Protection and
Integration of Indigenous and other Tribal and Semi-Tribal Population in Independent Countries). Konvensi ini terlihat masih kental merefleksikan pandangan kaum penakluk atau
3 Ifdhal Kasim, Konvensi ILO 169:Relevansi dan Urgensinya dalam Upaya Perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia. UII Article,Yogyakarta, 2007, h. 3-4.
32
“settler societies”, yang memperlihatkan keinginan
memasukkan atau menyatukan “absorption” Bangsa Pribumi
dan Masyarakat Adat ke dalam masyarakat yang menguasai.
Itulah mengapa digunakan istilah “integration”.4
Konvensi ILO 107 ini berisi hal-hal yang berkenaan dengan perlindungan dan integrasi masyarakat adat dan masyarakat kesukuan dan semi kesukuan di negara-negara merdeka. Konvensi yang disetujui tahun 1957 ini mengakui eksistensi masyarakat adat beserta hak-hak mereka yang sederajat dengan hak-hak masyarakat lainnya yang lebih besar. Kemudian karena dilihat sudah tidak mencukupi dan tidak efektif lagi, ILO kemudian merevisi Konvensi 107 ini. Setelah melalui perdebatan hampir dua tahun lamanya, pada Juni 1989 lahirlah Konvensi No. 169, yang disebut “Konvensi Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di
4 Ifdhal Kasim, Konvensi ILO 169:Relevansi dan Urgensinya dalam Upaya Perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia. UII Article,Yogyakarta, 2007, h. 4.
33
negara Merdeka” (Convention No. 169 concerning Indigenous
and Tribal Peoples in Independent Countries).5
2. Konvensi ILO 169
Masyarakat hukum adat di negara-negara merdeka dianggap sebagai pribumi karena mereka adalah keturunan
dari penduduk yang mendiami Negara-negara yang
bersangkutan atau berdasarkan wilayah geografis tempat Negara bersangkutan berada. Masyarakat adat sebagai bagian dari rakyat secara keseluruhan suatu bangsa atau Negara, memiliki kepentingan yang harus dihormati oleh Pemerintah atau Negara berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat tersebut tanpa memandang status dan tetap mempertahankan beberapa atau keseluruhan terkait institusi sosial, ekonomi, budaya, dan politik mereka sendiri.
Pandangan yang sama dikemukakan dalam
merangkum konsep orang-orang suku dan populasi/orang-orang asli dari Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB
5 Ifdhal Kasim, Konvensi ILO 169:Relevansi dan Urgensinya dalam Upaya Perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia.UII Article,Yogyakarta, 2007, h. 5.
34
dengan merujuk kepada Konvensi ILO 107 (1957) dan 169 (1989).
Sem Karoba menyatakan dalam bukunya yang menerjemahkan Deklarasi Masyarakat Hak Asasi Adat (atau Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Masyarakat Adat, atau disebut juga Deklarasi Masyarakat Adat) menyatakan "secara praktis ternyata mereka yang menyebut dirinya sebagai orang asli atau orang suku
menyetujui agar kedua istilah ini digunakan secara sinonim6:
“…many of these peoples refer to themselves as “indigenous” in order to fall under discussions taking place at the United Nations. For practical purposes the terms “indigenous” and “tribal” are used as synonyms in the UN system when the peoples concerned identify themselves under the indigenous agenda. ”
Kebanyakan dari mereka yang menyebut diri sebagai "bumiputra" agar mereka dapat dimaksukkan ke dalam diskusi-diskusi yang sedang belangsung di tingkat PBB. Untuk tujuan praktis istilah "bumiputra" dan "masyarakat
6 Karoba, Sem dan Gebse, H. L., Papua Menggugat, Galang press,
35
adat" dipakai sebagai sinonim dalam sistem PBB, saat orang-orang yang bersangkutan mengidentifikasi diri mereka di bawah agenda masyarakat asli.
Masih ada debat panjang tentang makna kedua istilah secara semantik, normatif, kronologis, politis dan sebagainya, tetapi secara praktis masyarakat yang merasa dirinya sedang ditangani dan dilayani lewat Deklarasi ini mengidentifikasi
diri mereka sebagai bumiputra (indigenous).
Dalam Konvensi ILO dan Deklarasi ini sendiri disebutkan bahwa identifikasi diri sendiri dari masyarakat merupakan kunci dalam menempatkan sebuah entitas sosial sebagai masyarakat adat. Idenfitikasi diri merupakan hak dasar yang dijamin dalam berbagai hukum universal yang sudah berlaku sejak pendirian PBB. Dalam Konvensi ILO No. 169 tahun 1986 menyatakan bahwa:
“bangsa, suku, dan masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi dan penjajahan, yang berkembang di daerah mereka, menganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada di daerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut. Mereka bukan merupakan bagian yang dominan dari masyarakat dan bertekad untuk memelihara, mengembangkan, dan
36
mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya; sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu sukubangsa, sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka.”
Pasal 2 Ayat (1) Konvensi ILO No. 169 menyatakan Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menyusun dengan partisipasi dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan, aksi terkordinasi dan sistematis untuk melindungi hak-hak dan menjamin dihormatinya keutuhan mereka.
B. Perlindungan dan Penghormatan Masyarakat Hukum Adat Berdasarkan Hukum Indonesia.
1. Pengakuan Masyarakat Adat Pra Kemerdekaan
Sejarah pengakuan hukum adat oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang secara tidak langsung juga mengakui
masyarakat hukum adat tidak terlepas dari awal
dikembalikannya daerah jajahan Belanda dari Pemerintah Kerajaan Inggris kembali ke Pemerintah Kerajaan Belanda.
Pada tanggal 13 Agusutus 1814 di London terjadi
37
semua jajahan Belanda di waktu peperangan antara kedua Negeri tadi diduduki oleh Inggris dikembalikan ke Belanda termasuk didalamnya Hindia-Belanda (Indonesia). Perjanjian
itu dilakukan oleh tiga Commissarissen-General yang
diangkat oleh Pemerintahan Kerajaan Belanda yakni Mr. C.Th. Elout, G.A.G.Ph. Baron van der Capellen, dan
A.A.Buyskes.7
Sebagai pedoman dan dasar kekuasaan kepada ketiga perwakilan Pemerintahan Kerajaan Belanda diberikan “Reglement op het beleid van de Regerring, het Justitiewezen, de cultuur en den Handel in’s Lands Aziatische Bezitngen”
(R.R 1815) yaitu Undang-Undang tentang kebijakasanaan
Pemerintah, susunan pengadilan, pertanian dan perdagangan dalam daerah jajahan di Asia yang ditetapkan pada tanggal 3
Januari 1815.8
Pada 12 Maret 1816 Commissarissen-General datang
ke Jakarta dan pada tanggal 19 Agustus 1816 dikeluarkan “Proclamatie” atau maklumat untuk penyerahan daerah
7
Supomo, Sejarah Politik Hukum Adat. Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, h. 82.
8 Grashuis “De Regegeeringsreglementen van N.I. 1893. H. 235
Lihat Supomo, Sejarah Politik Hukum Adat Jilid I. Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, h. 82.
38
jajahan Belanda yakni Hindia-Belanda (Indonesia) yang diduduki oleh Inggris dikembalikan lagi kepada Belanda (Staatsblad N.I 1816 No.5) disitu diumumkan juga bahwa
kepada Commissarissen-General diberikan kekuasaan atas
nama Raja Belanda untuk melakukan kekuasaan tertinggi serta mengatur dan menjalankan pemerintahan dalam segala
bagian-bagiannya “de ooperste macht … en de regeering in
alle derzelver deelen te regelen en in werking te brengen”.9
Berkaitan dengan penegakan hukum
Commissarssen-General untuk sementara waktu menggunakan peraturan-peraturan peninggalan Inggris yang berlaku di Indonesia, baru
nanti setelah diadakan penyelidikan akan diadakan
perubahan-perubahan jika dianggap perlu. Teristimewa terkait
lapangan kehakiman, Commisarissen-General berpendapat
“het beginsel, dat steeds voor Europeesche wetgeving hier te lande had gegolden,n.l overeenstemming met de wetgeving in Nederland, ook thans weer moest worden in topassing gebracht” bahwa dasar yang berlaku untuk bangsa Eropa di
9 Staatsblad N.I 1816 No. 5 Lihat Supomo, Sejarah Politik Hukum Adat. Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, h. 83.
39
Negeri ini, yakni persamaan dengan susunan hukum di Negeri
Belanda, sekarang juga harus dijalankan.10
Commissarissen-General terhadap bangsa Indonesia diberikan kekuasan untuk melakukan perubahan-perubahan sendiri pada lapangan kehakiman, terlepas dari
peraturan-peraturan bangsa Eropa ini terdapat pada Pasal 17 istructie 3
Januari 1815, selanjutnya mereka harus memeriksa kembali undang-undang serta kebiasaan mereka tentang administrasi pengadilan buat anak Negeri, dan membuat peraturan menurut pendapat mereka baik dan perlu untuk melakukan keadilan menurut Reglement terutama Pasal 73 R.R 1815 berbunyi: “Pemerintah Tinggi di Hindia Belanda harus memperhatikan keadilan untuk bangsa bumiputera hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi kesewenang-wenangan yang masuk dalamnya daerah yang langsung dikuasai oleh Belanda.” Akan tetapi
menurut Commissarissen- General aturan-aturan untuk
bangsa Indonesia hanyalah dipadang sebagai pengecualian dari aturan-aturan yang berlaku bagi bangsa Eropa.
10 Van Helsdingen” Geschiedenis der Ned. Indische Codificatie” Hal
43 Lihat Supomo, Sejarah Politik Hukum Adat. Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, h. 9.
40
Hal ini dapat dibuktikan dengan peraturan yang
termuat di dalam Pasal 17 Instructie voor de Raden van justie
in Ned. Indie”, Staatsblad 1819 No.20 yang berbunyi:
“Raad van Justie itu dibuat sebagai sebagai hakim dan biasa untuk mengadili perkara sipil dan perkara pidana, walaupun besarnya, dalam pemeriksaan pertama pada daerah yang
ditunjukkan padanya masing-masing,
terkecuali mengenai orang-orang atau benda yang menurut peraturan umum atau istimewa harus dikemukan dengan langsung atau
diadukan pada Hooggerechtshof, atau dicabut
dari kekuasaan Raad Van Justitie menurut
undang-undang tetang melakukan pengadilan
untuk landrad serta pengadilan serta
pengadilan yang berpindah-pindah.11”
Melihat keadaan tersebut dengan aturan-aturan yang
diberlakukan maka dapat disimpulkan bahwa
Commissarissen-General berkehendak untuk melakukan hukum Eropa pada umumnya atas bangsa Indonesia, sampai
buku-buku hukum di Negeri Belanda dapat diselesaikan.12
Pada 1 Mei 1848, berlaku undang-undang baru ”nieuwe wetgeving” yang memuat pembaruan hukum
11 Logemann” Over Indies Staatsorde voor 1854, h. 30 Supomo, Sejarah Politik Hukum Adat. Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, h. 9.
12 Supomo,Sejarah Politik Hukum Adat. Pradnya Paramita, Jakarta,
41
diseluruh lapangan kehakiman berlaku juga di Indonesia dimana Pemerintah Kerajaan Belanda juga bersandar atas
hikmat politik hukum yang insyaf “bewuste rechtpolitiek”.
Van Vollenhoven berkaitan dengan persesuaian tentang hikmat atau politik hukum Pemerintahan Belanda terhadap bangsa Indonesia di dalam masa 1848 samapai 1928 terletak
di dalam pertanyaan yang berbunyi sebagai berikut: “wat
verwachenten wij Europeanen van het adatrecht voor onze regering-soogmerken en onze economische oogmerken? Wat kunnen Wij in te passen, of het daaruit weg te werken?13” (Apakah yang kita bangsa Eropa harapkan dari hukum adat untuk kepentingan Pemerintahan kita dan kepentingan perekonomian kita?). Oleh sebab sikap Pemerintahan Kerajaan Belanda berpedoman pada syarat-syarat yang terletak di luar lingkungan hukum adat, maka tak mengherankan jika di dalam melakukan terhadap bangsa
Indonesia tidak menjadi pertimbangan.14
13 Van Vollenhoven. Het Adatrecht.v.N.I” Bag. II h. 815 Lihat
Supomo, Sejarah Politik Hukum Adat Jilid I I. Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, h. 9.
14 Van Vollenhoven. Het Adatrecht.v.N.I” Bag. II h. 815 Lihat
Supomo, Sejarah Politik Hukum Adat Jilid II. Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, h. 7.
42
Perjuangan dari Van Vollenhoven dan pengikutnya yang fenomenal adalah saat melawan para sarjana hukum dari Utrecht University yang mempromosikan unifikasi hukum tanah untuk pembangunan ekonomi kolonial pasca
Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) 1870. Inti pandangan
sarjana-sarjana dari kubu Utrecht seperti GJ Nolst Trenité, Izak A. Nederburgh, dan Eduard H. s‟Jacob, bahwa adalah “tak terelakkan” bahwa negara menjadi pemilik tanah dan seluruh sumber daya alam dalam wilayah jajahan. Sebuah beschikkingsrecht, menurut mereka, harusnya menjadi hak publik dari pemerintah yang seharusnya diserap oleh kedaulatan negara. Setiap hak publik yang dilakukan oleh pemerintah desa atas wilayah desa, untuk tetap tunduk pada kedaulatan negara.
Sebaliknya, Van Vollenhoven dan para pengikutnya berpendapat bahwa interpretasi tersebut didasarkan pada
kesalahpahaman mendasar sifat beschikkingsrecht, yang
memiliki baik sebagai hak publik maupun hak private, dan
karenanya harus tidak termasuk di bawah klausul Domein
43
waarop niet door anderen recht van eigendomwordt bewezen”, artinya “domein negara adalah semua tanah yang mana di atasnya tidak dapat dibuktikan”. Tanah milik negara
dibedakan dalam dua jenis yaitu „tanah negara bebas‟ (vrj
lands/staatsdomein) dan „tanah negara tidak bebas‟ (onvrj sands/staatsdomenin).15
Dalam pandangan mereka, rakyat bumiputra atau masyarakat hukum adat adalah mereka yang menduduki, menguasai dan memanfaatkan tanah milik negara berdasar hukum-hukum adat setempat. Mereka tidak diakui hak kepemilikan tanahnya dan tidak berhak menjadi pemilik tanah
dengan konsep hak eigendom. Mereka hanyalah bewerkers
alias penggarap. „Tanah negara tidak bebas‟, adalah tanah-tanah yang sudah dan sedang dikuasai, diduduki, digunakan dan dimanfaatkan secara nyata oleh rakyat berdasarkan hukum-hukum adatnya. Sedangkan „tanah negara bebas‟ adalah tanah-tanah yang tidak dikuasai, diduduki dan dimanfaatkan rakyat ini, dan secara umum oleh pemerintah kolonial Belanda, dinyatakan sebagai tanah „di luar‟ wilayah
15 Van Vollenhoven, Cornelis, De Indische Domeinverklaring,
Wageningen: Landsdrukkerij. 1932. Lihat Supomo, Sejarah Politik Hukum Adat. Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, h. 9.
44
atau kawasan desa (buiten dorps gebied), sesuai dengan
ketentuan Pasal 3 Agrarische Wet 1870. Tanah-tanah Negeri/Negara tidak bebas yang berada „di luar‟ wilayah atau kawasan desa itu, yang dikategorikan sebagai daerah atau
wilayah tanah hutan belukar (woeste grond).16
Agar dapat menyatukan hukum perdata bagi bangsa Indonesia itu membawa suatu hasil maka diperlukan suatu kesabaran dan ketentangan. Ini adalah suatu usaha untuk menciptakan hukum perdata atas dasar hukum Eropa dan bukan hukum Asia, untuk kepentingan Hindia-Belanda dan kepentingan kepastian hukum. Kepentingan yang melepaskan masyarakat bumiputera dan keadaannya yang terbelakang dan yang akan membawanya ke arah perkembangan baru. Pada 1904, Van Den Berg memberi usulan dalam penetapan Pasal 75 R.R yakni ambilah saja kitab undang-undang sipil orang Eropa, perlakukanlah dia dengan beberapa pengecualian atas semua orang Indonesia dan Timur Asing, dan dengan
16 Ibid
45
demikian dapatlah kepastian hukum disemua tempat di
Indonesia.17
Pada tahun 1910 di Den Haag, Panitia Perancangan Undang-Undang kesatuan itu meninggalkan pendapat atau usulan Van Den Berg dan merancang ulang kitab undag-udanng sipil dan berlaku bagi semua golongan rakyat, tetapi selalu ditetapkan apa yang berlaku dan apa yang tidak berlaku
bagi rakyat tertentu.18
Pada tahun 1927 Pemerintah Hindia-Belanda mencoba melihat hubungan perhubungan dan peraturan-peraturan itu (demikian pun dalam urusan swapraja, agrarian,
persekutuan-persekutuan hukum bumiputera, dan pangrehpraja
bumiputera), menghendaki peninjauannya kembali, berusaha
kearah persiapan-persiapan baru, sedapat-dapatnya
berhubungan dengan yang tumbuh karena sejarah.19
Sejak arah politk yang baru Pemerintah Belanda, pada tanggal 7 November 1928 Direktur Justisi, Mr. Spit, atas
17 Van Vollenhoven. Het Adatrecht.v.N.I” Bag. II h .719 Lihat
Supomo, Sejarah Politik Hukum Adat. Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, h. 156.
18 Supomo,Sejarah Politik Hukum Adat. Pradnya Paramita, Jakarta,
1982, h. 156.
19 Supomo,Sejarah Politik Hukum Adat. Pradnya Paramita, Jakarta,
46
nama pemerintah menyatakan dihadapan Dewan Rakyat
Jakarta, menurut asas principeel menolak pernyataaan hukum,
dengan kata-kata sebagi berikut bertahun-tahun Pemerintah Hindia-Belanda dengan penuh keyakian mengira telah
membela perundang-undanngan perdata bagi rakyat
bumiputera, dengan jalan mencoba mengadakan cakupan hukum yang berlaku bagi rakyat itu dengan hukum yang berlaku bagi golongan rakyat lainnya, dalam suatu kitab undang-undang, disertai dengan banyak penunjukkan pada hukum kebiasaan. Oleh karena hasil-hasil pekerjaan itu ternyata makin lama makin tidak terpakai, maka Pemerintah Hindia-Belanda mulai mencari jalan lain untuk mengurus kepentingan-kepentingan ini. Dalam bulan Juni 1930 menyusullah keterangan asas yang sangat prinsipil dari Pemerintah mengenai arah yang sejak itu terus diturutinya dan persetujuan yang sangat prinsipiil dari Dewan Rakyat, yaitu penyelenggaraan peradilan dan penyelidikan hukum adat
dengan jalan melukiskannya daerah demi daerah20.
20 ibid
47
Dalam bukunya Van Vollenhoven memperlihatkan tentang perkembangan pemikiran yang sejatinya adalah sejarah penemuan ilmu hukum adat atau dengan kata lain Ilmu hukum adat dilihat dari proses sejarah. Van Vollenhoven menunjukkan bahwa ada para sarjana asing yang menyadari, menyelidiki, menganalisa, melaporkan, dan menyusun hukum adat itu menjad sebuah ilmu yaitu ilmu hukum adat. Mereka menyadari bahwa rakyat Hindia Belanda (Indonesia Pribumi)
memiliki sekumpulan aturan-aturan normatif sebagai
pedoman hidup mereka atau dengan kata lain dengan masyarakat Indonesia telah hidup dengan aturan-aturan hidup yang mempunya sanksi yaitu hukum adat. Van Vollenhoven berjuang selama beberapa tahun untuk memberi pengertian kepada kalangan ilmuwan bahwa hukum adat Indonesia tak
kalah deradnya dengan hukum-hukum lain.21
Pengakuan hukum adat dan masyarakat hukum adat pada masa Pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda terlihat dengan diakomodirnya dalam peraturan perundang-undangan
Pemerintahan Hindia Belanda yaitu Indische Staatstregeling
21 Dominikus Rato. Hukum Adat Di Indonesia (Suatu Pengantar).
48
(I.S) yaitu Undang-Undang Dasar pada masa Hindia-Belanda khusus untuk daerah jajahannya. Bentuk pengakuan terhadap masyarakat hukum adat oleh Pemerintahan Kolonial Belanda ada pada Pasal 163 I.S Ayat (1) yang menyebutkan golongan penduduk Hindia-Belanda yang digolongkan kedalam masing-masing golongan hukum, yaitu salah satunya adalah setiap orang pada peraturan-peraturan golongan hukum adat ialah penduduk pribumi (Indonesia Asli) terkecuali mereka yang telah masuk atau tunduk pada suautu golonngan hukum lain22
2. Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dari Pasca Kemerdekaan s/d Masa Reformasi
Pengakuan hukum terhadap masyarakat adat di Indonesia, sejak pasca kemerdekaan sampai saat ini telah mengalami 4 fase pengakuan, pertama; setelah Indonesia merdeka tahun 1945, pendiri negara ini telah telah merumuskan dalam konstitusi negara (UUD NRI Tahun 1945) mengenai pengakuan terhadap masyarakat adat. Di
22 Logeman,147, Staatrecht Van Nederlands Indie.S’ Gravenhage, h.
86 Lihat Pula E. Utrecht, 1960 Pengantar Dalam hukum Indonesia, Jakarta, Ichtiar Lihat Dominikus Rato. Hukum Adat Di Indonesia (Suatu Pengantar). Laksbang Justisia, Surabaya, 2014.
49
dalam UUD NRI Tahun 1945 dikatakan bahwa di Indonesia terdapat sekitar 250 daerah-daerah dengan susunan asli (zelfbesturende, volksgemeenschappen), seperti marga, desa, dusun dan nagari, hal ini merupakan bentuk pengakuan dari UUD NRI Tahun 1945 yang tidak terdapat dalam kontitusi-konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia seperti UUD RIS
dan UUDS.23
Kedua; pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat terjadi pada tahun 1960 dengan diundangkannya Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak ulayat dilakukan sepanjang menurut kenyataan masih eksis serta sesuai dengan kepentingan nasionaldan selaras dengan perundang-undangan diatasnya. Konsep pengakuan dalam UUPA berbeda dengan konsep pengakuan dalam UUD NRI Tahun 1945 karena konsep pengakuan dalam UUPA adalah konsep pengakuan bersyarat.24
23 Dominikus Rato, Hukum Adat,Laksbang Pressindo.Yogyakarta,
2011, h. 121.
24 Dominikus Rato, Hukum Adat,Laksbang Pressindo.Yogyakarta,
50
Ketiga; pada awal rejim Orde Baru dilakukan legislasi terhadap beberapa bidang yang terkait erat dengan Masyarakat Hukum Adat dan Hak-haknya atas tanah seperti, Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan dan Undang-undang No. 11 Tahun 1966 Tentang Pertambangan. Dalam kedua undang-undang ini mengatur pengakuan terhadap hak-hak Masyarakat Hukum Adat sepanjang masih ada. Kemudian pada perkembangannya setiap peraturan perundang-undangan yang dilegislasi pada masa Orde Baru selalu mensyaratkan pengakuan apabila memenuhi unsur-unsur: (1) dalam kenyataan masih ada; (2) tidak bertentangan dengan kepentingan nasional; (3) tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (4) ditetapkan dengan peraturan daerah, konsep ini dikenal dengan nama konsep pengakuan bersyarat berlapis. Yang intinya untuk diakui eksistensinya suatu Masyarakat Hukum Adat harus memenuhi syarat sosiologis, politis, normatif yuridis dan prosedural (ditetapkan dengan Peraturan Daerah),
51
memberikan kebebasan bagi masyarakat adat melainkan
memberikan batasan-batasan.25
Keempat; pasca reformasi UUD NRI Tahun 1945 diamandemen, pada amandemen kedua tahun 2000 dihasilkan pengaturan pengakuan masyarakat hukum adat dan hak-haknya. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 Amandemen Kedua, Pasal 41 Tap. MPR No.XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia II. Piagam HAM, Pasal 6 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan ketentuan undang-undang lain yang terkait, maka dapat ditarik benang merah bahwa pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya pada masa reformasi masih menerapkan pola pengakuan yang sama
dengan Orde Baru yaitu pengakuan bersyarat berlapis.26
25ibid.
26 Dominikus Rato, Hukum Adat,Laksbang Pressindo.Yogyakarta,
52
3. Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
a. Aspek Pengakuan Masyarakat Hukum Adat
Berbicara penghormatan dan perlindungan
masyarakat hukum adat maka tidak akan terlepas dari pengakuan terhadap masyarakat itu sendiri. Secara terminologis, ”pengakuan” berarti proses, cara, perbuatan mengaku atau mengakui, sedangkan kata “mengakui” berarti menyatakan berhak. Pengakuan dalam konteks ilmu hukum internasional, misalnya terhadap keberadaan suatu Negara/pemerintahan biasanya mengarah pada
istilah pengakuan de facto dan de yure. Pengakuan yang
secara nyata terhadap entitas tertentu untuk menjalankan kekuasaan efektif pada suatu wilayah disebut dengan
pengakuan de facto. Pengakuan de facto adalah
pengakuan yang bersifat sementara, karena pengakuan ini
ditunjukkan kepada kenyataan-kenyataan mengenai
kedudukan pemerintahan yang baru, apakah ia didukung oleh rakyatnya dan apakah pemerintahannya efektif yang menyebabkan kedudukannya stabil. Jika kemudian bisa
53
dipertahankan terus dan makin bertambah maju, maka
pengakuan de facto akan berubah dengan sendirinya
menjadi pengakuan de jure. Pengakuan de jure bersifat
tetap yang diikuti dengan tindakan tindakan hukum
lainnya. Sedangkan pengakuan secara hukum (de jure)
adalah pengakuan suatu negara terhadap negara lain yang diikuti dengan tindakan-tindakan hukum tertentu,misalnya
pembukaan hubungan diplomatic dan pembuatan
perjanjian antar kedua Negara.27
Dalam buku General Theory of Law and State,
Hans Kelsen menguraikan terminology “pengakuan” dalam kaitannya dengan keberadaan suatu Negara sebagai berikut:
Terdapat dua tindakan dalam suatu pengakuan yakni tindakan politik dan tindakan hukum. Tindakan politik mengakui suatu negara berarti megara mengakui berkehendak untuk mengadakan hubungan-hubungan politik dan hubungan-hubungan lain dengan masyarakat yang diakuinya. Sedangkan tindakan hukum adalah
27 H. R. Otje Salman Soemadiningrat. Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer :Telaah Kritis terhadap Hukum Adat sebagai Hukum yang
54
prosedur yang dikemukakan di atas yang ditetapkan oleh hukum internasional untuk menetapkan fakta Negara (masyarakat adat) dalam suatu kasus konkrit.
Berdasarkan rujukan diatas, dalam kaitannya dengan pengertian pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat atas tanah, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat atas tanah mengarah pada pengertian pengakuan dari negara/pemerintah baik secara politik maupun secara hukum, melalui pengaturan hak dan kewajiban pemerintah dalam memberikan penghormatan, kesempatan, dan perlindungan bagi berkembangnya masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang dimiliki dalam bingkai Negara Kesatuan Republik.
Pengakuan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum penyandang hak tradisional menjadi isu sentral dalam pelaksanaan pemenuhan dan perlindungan hak. Wiratraman menjelaskan rumusan masyarakat hukum
55
adat sebagai subjek hak dalam UUD NRI Tahun 1945
sebagai berikut 28:
1. Perlindungan hak-hak masyarakat adat tidak
bersifat individual, melainkan pengakuan atas suatu “kolektiva” (bersifat kolektif).
2. Pengakuan terhadap hak-hak yang bersifat
“kolektiva” tersebut terkait dengan Pertama, unit
sosial „kesatuan masyarakat hukum adat.‟ dan
Kedua, Hak-hak tradisional dari unit sosial tersebut.
Artinya, perlindungan hukum masyarakat hukum adat terkait dengan sifatnya yang kolektif sebagai suatu persekutuan masyarakat hukum, yang juga berkaitan dengan hak-haknya yang bersifat kolektif. Hak-hak individual masyarakat hukum adat adalah bagian dari ruang lingkup hak kewarganegaraan. Konsep hukum hak masyarakat hukum adat dalam konstitusi kita berarti
28
Wiratman, Herlambang P, dkk, 2014, Laporan Akhir Tim Pengkajian Konstitusi tentang Perlindungan Hukum terhadap Masyarakat Hukum Adat, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Diambil dari hasil peneltian Nurul Firmansyah, Perlindungan
56
perlindungan terhadap “hak kolektiva‟ masyarakat
hukum adat yang bersifat khusus, karena identitas budaya dan tradisi yang melekat dalam masyarakat hukum adat.
b. Aspek Non-Interfensi atau Otonomi
Setelah hadirnya Undang Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah seharusnya menjadi lebih baik lagi, karena memberikan kewenangan untuk Komunitas Masyarakat Hukum Adat untuk mengatur dan mengurus pemerintahan adatnya. Pada Pasal 1 angka 12 daerah Otonom yang dimaksud disebut sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai batas-batas
wilayah, berwenang mengatur dan mengurus
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.29
Hal tersebut memperkuat Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria Pasal 2 angka 4. Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
29
57
daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional, menurut
ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sejalan dengan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Pasal 67 dan Pasal penjelasan 67 ayat (1) Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
1. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban
(rechtsgemeenschap),
2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat
penguasa adatnya,
3. ada wilayah hukum adat yang jelas,
4. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya
peradilan adat, yang masih ditaati,
5. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di
wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
58
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sejalan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang No. 27 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil Pasal 1 angka 31 Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah,
wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata
pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.30
Undang Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sejalan dengan Undang Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam Pasal 1 angka 31 Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu
30 Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sejalan dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
59
karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
c. Aspek Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat
Konsep dasar tentang masyarakat hukum adat31
dan hak-haknya dalam sistem hukum Indonesia terdapat dalam Pasal 18 b ayat (2) dan Pasal 28 I UUD NRI Tahun 1945. Dua Pasal ini secara eksplisit menjelaskan pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat, namun tidak menjelaskan secara eksplisit rumusan definisi masyarakat
hukum adat. Pasal 18 b ayat (2) dan Pasal 28 I32
menjelaskan posisi hukum masyarakat hukum adat sebagai subjek hak. Artinya, Konstitusi kita mengatur jaminan konstitusional atas keberadaan masyarakat
hukum adat sebagai subjek hukum penyandang hak33 dan
31 A. Safitri, Myma , Luluk Uliyah, Adat Di Tangan Pemerintah
Daerah: Panduan PenyusunanProduk Hukum Daerah Untuk Pengakuan dan
Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Epistema Institute, Jakarta, 2014,
h. 19.
32 Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I UUD NRI Tahun 1945.
33 Hak-hak khusus masyarakat adat terkait dengan identitas dan
kebutuhan khusus masyarakat hukum adat, yang juga disebut dengan hak tradisional dalam UUD NRI TAHUN 1945 paska perubahan atau hak asal usul
60
kewajiban. Pasal 18 b ayat (2) menyebutkan bahwa; “Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.” Pengakuan negara tersebut kemudian diriingi dengan
persyaratan (conditionalities) pelaksanaan hak, yaitu:
1. Masyarakat adatnya masih hidup
2. Sesuai dengan perkembangan masyarakat
3. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Selanjutnya, konstitusi mempertegas
penghormatan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat dalam BAB X (Perubahan kedua) tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 28 I, yang mengatur tentang
“identitas budaya‟ masyarakat hukum adat, yang salah
satu unsur pembentuk identitas budaya tersebut adalah relasi masyarakat hukum adat dengan tanah dan sumber-sumber alamnya, yang juga disebut dengan hak ulayat
dalam UUD NRI TAHUN 1945. Hak asal usul kemudian digunakan kembali untuk menjelaskan hak tradisional masyarakat hukum adat dalam bentuk desa adat dalam UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa. Hak tradisional atau hak asal usul adalah hak yang bersifat “hak bawaan” yang melekat karena identitas khusus masyarakat adat tersebut.
61
atau hak-hak atas wilayah adat.34 Selain itu, UUD NRI
Tahun 1945 menghormati nilai-nilai budaya masyarakat dan bahasa daerah. Penghormatan terhadap budaya dan bahasa daerah ini dijelaskan secara implisit dalam BAB XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan pada Pasal 32 ayat (1) dan (2).
Tafsir konstitusional terhadap konsep masyarakat hukum adat dan hak-haknya terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. Pertama-tama Putusan MK No.35/PUUX/2012 menyebutkan bahwa Masyarakat hukum adat adalah subjek hukum yang merupakan penyandang hak (hak tradisional) dan pemangku kewajiban. Masyarakat hukum adat, mempunyai kedudukan hukum sama seperti subjek hukum lainnya seperti individu dan badan hukum. Kedua, Masyarakat hukum adat berkembang secara evolutif, konsep ini merujuk pada pendapat ilmuwan sosiologi klasik, Emile Durkheim tentang evolusi perkembangan masyarakat, dari
34
Relasi (penguasaan) masyarakat hukum adat dengan tanah dan sumber daya alamnya sebagai salah satu pilar identitas masyarakat hukum adat diperkuat lagi rumusan Pasal 6 (2) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyebutkan; “Identitas masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
62
masyarakat mekanis menjadi organis. Dalam pengertian ini, masyarakat hukum adat adalah tahapan awal (masyarakat mekanis) menuju masyarakat modern (masyarakat organis), sehingga dalam perkembangannya
masyarakat hukum adat bisa “berubah‟ dan bahkan
“punah‟ dalam bentuk baru, yang disebut dengan
“masyarakat modern.‟ 35
Rumusan hukum kita masih harus terlebih dahulu
membuktikan “keberadaan masyarakat hukum adat‟
sebagai “prasyarat hukum‟ pengakuan masyarakat
hukum adat. Indikator keberadaan masyarakat hukum adat dijelaskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai masyarakat
hukum adat yang hidup secara de facto (actual existence),
baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional, dengan setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur, sebagai berikut: Pertama, adanya masyarakat
yang warganya memiliki perasaan kelompok (in group
feeling); kedua, adanya pranata pemerintahan adat; ketiga, adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;
35 Penjelasan lebih lanjut tentang Putusan Mahkamah Konstitusi
No.35 tahun 2012 Lihat Myrna A. Safitri dan Luluk Uliyah. Adat di Tangan Pemerintah Daerah, Epistema Institute, Jakarta, 2014, h. 9.
63
keempat, adanya perangkat norma hukum adat dan; kelima, terdapat unsur adanya wilayah tertentu. Jimly Asshiddiqqie menjelaskan bahwa kelima unsur tersebut tidak bersifat kumulatif, sehingga pembuktian masyarakat hukum adat bisa menggunakan salah satu unsur atau
beberapa unsur dari lima unsur tersebut.36
Selanjutnya, pengakuan hukum secara de jure
terhadap masyarakat hukum adat dilaksanakan melalui suatu penetapan hukum. Pemerintah Daerah adalah otoritas Negara yang berwenang untuk menetapkan masyarakat hukum sebagai subjek hukum berdasarkan tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 18 b ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dalam Putusan MK No. 35 tahun
2012. Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa
penetapan masyarakat hukum adat oleh Pemerintah Daerah adalah bentuk pendelegasian fungsi Negara untuk menetapkan (mengakui) masyarakat hukum adat, yang merupakan upaya menghindari kekosongan hukum pada
36 Zakaria R. Yando, Kriteria Masyarakat (Hukum)Adat dan Potensi Implikasinya terhadap Perebutan Sumberdaya Hutan Pasca-Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012: Studi Kasus Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Insist Press,Yogyakarta, 2004, h. 102-103.
64
tingkat perundang-undangan, karena belum dilahirkannya
undang-undang khusus tentang masyarakat hukum adat.37
Dengan melihat dari instrumen-instrumen hukum internasional dan hukum nasional yang berlaku terkait pengakuan dan penghormatan Hak Asasi Manusia masyarakat hukum adat, maka terlihat implikasi yuridis yang terletak pada kewajiban negara untuk melindungi dan menjamin masyarakat hukum adat baik itu masyarakat adat, aturan-aturan adat dan institusi-insitusi
adat, yanga dadi dalamnya
37 Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 35 tahun 2012
memperkuat pengaturan mekanisme penetapan masyarakat hukum adat oleh Pemerintah Daerah dalam Pasal 67 UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan melalui Peraturan Daerah. Kewenangan Pemerintah Daerah untuk menetapkan masyarakat hukum adat dan atau desa adat juga diatur dalam peraturan perundangundangan yang lain, diantaranya; Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Bentuk penetapan masyarakat hukum adat beragam dalam berbagai peraturan perundang-undangan tersebut, ada yang melalui Keputusan Kepala Daerah atau Peraturan Daerah, h. 154.