• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek-aspek penyesuaian Sosial

BAB II KAJIAN TEORITIS

2. Aspek-aspek penyesuaian Sosial

a. Ada beberapa aspek penyesuaian sosial yang mempengaruhi kemampuan penyesuaian sosial seseorang (Hurlock, 1980):

1) Penampilan Fisik

Penampilan fisik berarti penampilan seseorang yang dapat dilihat secara kasatmata, yaitu bagaimana bentuk wajah dan tubuh seseorang serta penampilan dirinya. Penampilan fisik seseorang sangat berpengaruh pada penyesuaian sosial seseorang karena orang lain akan menilai secara langsung dari penampilan diri. Penilaian orang lain tersebut tentu dapat memengaruhi pembawaan diri dalam lingkungan sosial. Bentuk tubuh yang tidak patut, seperti anak perempuan yang terlalu tinggi atau anak laki-laki yang terlalu kurus, menimbulkan penilaian sosial yang kurang baik (Hurlock, 1980).

Perasaan-perasaan seperti ini membuat seseorang merasa tidak betah, tidak nyaman dan merasa jengah di dalam kelompoknya, sehingga dalam berkomunikasi dengan orang lain kurang spontan dan lebih membatasi diri dalam berperilaku. Hal ini menghambat penyesuaian sosial seseorang. Penampilan fisik lainnya adalah tentang cara berpakaian. Menurut Hurlock (1980) salah satu

persyaratan utama dalam berpakaian bagi kawula muda adalah bahwa pakaian yang dikenakan harus disetujui oleh kelompok. Jadi berpakaian sangat memengaruhi penyesuaian sosial seseorang. 2) Penyesuaian Diri Terhadap Kelompok

Penyesuaian diri terhadap kelompok dapat dibedakan menjadi dua (Hurlock, 1980) yaitu :

a) Kelompok kecil atau klik (cliques)

Kelompok kecil ini biasanya terdiri dari teman-teman dekat, jumlah anggotanya kurang lebih lima sampai enam orang dan memunyai jenis kelamin yang sama. Hubungan emosional dalam kelompok kecil lebih dekat dibanding dengan kelompok besar.

b) Kelompok besar (crowds)

Kelompok besar merupakan persatuan dari kelompok-kelompok kecil. Kelompok ini beranggotakan lebih dari enam orang dengan jenis kelamin yang dapat sama ataupun berbeda. Bila seseorang ingin diterima dalam kelompok harus memiliki kriteria-kriteria yang ditentukan oleh kelompok. Menurut Hurlock (1980) beberapa kondisi yang dapat menyebabkan seseorang dapat diterima dengan baik dalam kelompok sehingga dapat melakukan penyesuaian sosial adalah :

i. Kesan pertama yang menyenangkan sebagai akibat dari penampilan yang menarik perhatian, sikap yang tenang, dan gembira.

ii. Reputasi sebagai seseorang yang sportif dan menyenangkan.

iii. Penampilan diri yang sesuai dengan penampilan teman-temannya.

iv. Perilaku sosial yang ditandai oleh kerjasama, tanggung jawab, panjang akal, kesenangan bersama orang lain, bijaksana dan sopan.

v. Matang terutama dalam hal pengendalian emosi serta kemauan untuk mengikuti peraturan-peraturan. vi. Sifat kepribadian yang menimbulkan penyesuaian

sosial yang baik seperti : jujur, setia, tidak mementingkan diri sendiri dan terbuka.

vii.Status sosial ekonomi yang sama atau sedikitnya di atas anggota-anggota yang lain dalam kelompoknya dan hubungan yang baik dengan anggota keluarga. viii. Tempat tinggal yang dekat dengan kelompok

sehingga mempermudah hubungan dan partisipasi dalam berbagai kegiatan kelompok.

Sedangkan beberapa kondisi yang dapat menyebabkan seseorang sulit diterima dengan baik dalam

kelompok sehingga tidak dapat dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik adalah :

i. Kesan pertama yang kurang baik karena penampilan diri yang kurang menarik atau sikap menjauhkan diri, yang mementingkan diri sendiri.

ii. Terkenal sebagai orang yang tidak suportif.

iii. Penampilan yang tidak sesuai dengan standar kelompok dalam hal daya tarik fisik atau tentang kerapihan.

iv. Perilaku sosial yang ditandai oleh perilaku menonjolkan diri, menganggu dan menggertak orang lain, senang memerintah, tidak dapat bekerja sama dan kurang bijaksana.

v. Kurangnnya kematangan, terutama kelihatan dalam hal pengendalian emosi, ketenangan, kepercayaan diri dan kebijaksanaan.

vi. Sifat-sifat kepribadian yang mengganggu orang lain seperti mementingkan diri sendiri, keras kepala, gelisah, dan mudah marah.

vii. Status sosial ekonomi berada di bawah status sosioekonomi kelompok dan hubungan yang buruk dengan anggota-anggota keluarga.

viii. Tempat tinggal yang terpencil dari kelompok atau ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan kelompok karena tanggung jawab keluarga atau karena bekerja sambilan.

Selain kelompok besar dan kelompok kecil, menurut Hendropuspito (1989) masih ada delapan jenis kelompok lagi yaitu:

a) Kelompok primer

Kelompok primer adalah satuan hidup yang ditandai dengan hubungan yang akrab mesra di antara anggota-anggotannya. Dua unsur yang mempengaruhi terbentuknnya kelompok primer adalah adanya rasa solidaritas dan menyandang nasib yang sama.

b) Kelompok sekunder

Kelompok sekunder adalah kelompok yang hubungan antar anggota-anggotannya tidak akrab, bahkan sangat renggang dan asing satu dengan yang lain.

c) Kelompok dalam

Kelompok dalam adalah para anggota di dalam kumpulan yang memiliki cita-cita yang sama dan menaati kaidah-kaidah yang sama.

d) Kelompok luar

Kelompok luar adalah satu orang atau lebih yang tidak masuk dalam kumpulan keanggotaan

e) Kelompok keanggotaan

Kelompok keanggotaan adalah kelompok di mana seseorang secara resmi dan secara fisik menjadi anggota. Orang lain dapat mengenal secara pasti anggota kelompok dari tanda-tanda pengenalnya.

f) Kelompok patokan

Kelompok patokan adalah kelompok di mana seseorang mempunyai ikatan batin. Seseorang menerima pengaruh dari suatu kelompok dan menyesuaikan hidupnya dengan kelompok itu karena kelompok itu dipandangnya berguna untuk mengembangkan hidupnya.

g) Kelompok penekan

Kelompok penekan adalah suatu kelompok yang anggota-anggotannya bertujuan memperjuangkan kepentingan mereka di tenganh kelompok yang lebih besar dengan menggunakan tekanan sosial.

h) Kelompok dasar

Kelompok dasar adalah kelompok yang dibentuk secara spontan daaari bawah untuk melindungi anggota-anggotannya terhadap tekanan yang dipandang negatif dari kelompok yang lebih besar dan sekaligus berfungsi sebagai sumber kegiatan bagi anggotanya.

3) Sikap Sosial

Menurut Ahmadi (1990) sikap sosial adalah suatu kesadaran individu yang menentukan perbuatan-perbuatan nyata ataupun yang terjadi didalam kegiatan-kegiatan sosial. Sikap sosial menunjukan bagaimana peran seseorang melakukan partisipasi dalam kegiatan sosial. Jadi kegiatan sosial tidak hanya berfokus pada diri individual saja, namun pada kegiatan-kegiatan yang bersifat umum atau sosial. 4) Kepuasan Pribadi

Dalam melakukan hubungan dengan teman sebayanya, baik dengan kelompoknya sendiri maupun dengan kelompok lain seseorang akan merasa puas jika ia sendiri memiliki banyak relasi, diterima dan merasa dikenal orang lain. Seseorang akan lebih puas lagi dalam hubungan sosialnya jika ia menjadi pemimpin. Menurut Hurlock (1980) untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik secara sosial, seseorang harus merasa puas terhadap kontak sosialnya dan terhadap peran yang dimainkannya dalam situasi sosial, baik sebagai pemimpin maupun sebagai anggota .

5) Sifat Kepribadian

Sifat kepribadian seseorang turut menentukan taraf keberhasilan seseorang dalam melakukan penyesuaian sosial. Sifat kepribadian seseorang juga memunyai pengaruh besar dalam melakukan pemilihan relasi.

b. Menurut Hendriati (2006) penyesuaian sosial yang dilakukan individu dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu sebagai berikut :

1) Kondisi fisik, yang meliputi keturunan, kesehatan, bentuk tubuh, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan fisik

2) Pertumbuhan dan kematangan, yang meliputi perkembangan intelektual, sosial, moral dan kematangan emosional. Pertumbuhan yang bersifat biologis berhubungan dengan perkembangan reproduksi, remaja diharapkan mampu mengelola dorongan seksualnya sehingga sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Perkembangan fisik selama pubertas bagi remaja merupakan masa yang membutuhkan kemampuan penyesuaian diri yang baik, remaja akan menemukan bentuk tubuh yang baru dan proses-proses alamiah yang sebelumnya tidak pernah mereka rasakan.

3) Kondisi psikologis, yaitu faktor-faktor pengalaman individu, frustrasi, dan konflik yang dialami, dan kondisi-konsi psikologis seseorang dalam penyesuaian diri. Kebutuhan-kebutuhan psikologis juga termasuk di dalamnya seperti kebutuhan akan rasa aman, kasih sayang dan harga diri.

4) Kondisi lingkungan, yaitu kondisi yang ada di lingkungan seperti kondisi keluarga, sekolah dan masyarakat.

5) Budaya, termasuk adat istiadat dan agama yang turut memengaruhi penyesuaian sosial seseorang.

B. Homoseksualitas

1. Pengertian Homoseksual

Menurut Rahardjo (dalam Prasetyo, 2003) homoseksualitas adalah tingkah laku seksual berupa kecenderungan serta keinginan untuk berhubungan secara fisik atau tanpa hubungan seksual antara orang-orang yang berjenis kelamin sama, pada lelaki disebut homoseksualitas dan pada perempuan disebut lesbianisme.

Lawrance (dalam Kristantini, 1991) menjelaskan bahwa omoseksual berasal dari kata homo dalam bahasa Yunani yang berarti manusia, bukan dari bahasa Latin yang berarti laki-laki. Dari etimologi ini maka dapat dilihat bahwa terdapat batasan yang menekankan pada kesamaan jenis dua manusia yang terlibat dalam hubungan seksual. Istilah homoseksual merupakan antithesis dari kata heteroseksual yang diterapkan untuk hubungan seksual pada dua manusia yang berbeda. Dari pengertian kata homo tersebut maka istilah homoseks dapat digunakan baik pada lelaki maupun perempuan dalam hubungan sejenis. Oetomo (2003) menyatakan bahwa di Indonesia kata homoseks oleh awam cenderung digunakan pada laki-laki sedangkan untuk perempuan lebih dikenal dengan istilah lesbian.

Hawkins (dalam Swan, 2003), mengemukakan bahwa homoseksual merupakan suatu gaya hidup alternatif, bukan suatu gangguan patologis, dan homoseksual terjadi dengan keteraturan sebagai suatu varian seksualitas manusia. Homoseksualitas dapat didefinisikan sebagai orientasi

atau pilihan seks yang diarahkan kepada seseorang atau orang-orang dari jenis kelamin yang sama atau ketertarikan orang secara emosional dan seksual kepada seseorang atau orang-orang dari jenis kelamin yang sama (Oetomo,2003). Lebih lanjut lagi Master dan Johnson (dalam Prasetyo, 1998) beranggapan bahwa kaum homoseksual tidak berbeda dengan orang normal dalam hal respon jasmani atau respon biologis terhadap rangsangan seks dan mereka itu patut diperlakukan sebagai orang normal.

2. Sejarah Homoseksual

Pada masyarakat Yunani kuno, fenomena homoseksual tidak pernah dipermasalahkan justru dilegalkan. Filsuf Plato, pelukis Michael Angelo dan belakangan filsuf Foucault termasuk dalam kategori kelompok homoseksual. Dalam kerangka pemikiran masyarakat Yunani pada jaman itu pun tidak pernah menganggap fenomena homoseksual sebagai hal yang tabu atau menjijikkan. Pada masa inilah bisa dikatakan homoseksual mendapatkan pengakuan secara sosial.

Dalam arkeologi pengetahuan (Foucault, 1998) dijelaskan bahwa pada masa pemerintahan Ratu Victoria terjadi penindasan terhadap kelompok kecil masyarakat yang tidak tertarik pada heteroseksual. Pada Jaman Victorian ini pilihan relasi seks sangat dibatasi dan seks menjadi barang tabu yang tidak boleh diperbincangkan secara terbuka. Dengan demikian seks merupakan suatu hal yang sangat tertutup. Homoseksual dan lesbianisme pada masa ini tidak mendapat pengakuan dan dianggap

sebagai bentuk penyimpangan sosial. Kelompok homoseks hidup dalam tekanan dan keterasingan. Homoseks dianggap tabu dan melanggar norma moral sosial sehingga tidak dapat ditoleransi dalam kehidupan masyarakat.

Selama ini kebanyakan masyarakat masih ”mengikuti” paham Victorian yang memahami homoseksual merupakan hal yang tabu. Meskipun dalam sejarahnya kaum homoseks mendapatkan banyak tekanan tapi mereka masih tetap ada. Akan tetapi masyarakat awam masih memiliki pandangan bahwa homoseksual merupakan penyimpangan seksual bahkan menjadi sesuatu yang harus dihindari. Gunawan dalam (Inguliman, 2003) mengatakan bagaimanapun juga pelarangan praktek homoseksual tidak akan menyelesaikan masalah tersebut.

Dokumen terkait