• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

2. Aspek-aspek Perkembangan Remaja

Perkembangan merupakan perubahan yang menyangkut aspek kualitatif. Menurut Herdiansiska dan Ediana (1999: 5) perubahan kualitatif mempunyai ciri-ciri, yaitu: progresif, teratur, berkesinambungan, dan akumulatif. Perkembangan remaja meliputi tujuh aspek perkembangan, (Hediansiska dan Ediana, 1999: 5) seperti yang diuraikan pada bagian berikut ini:

a. Perkembangan kepribadian

Menurut Allport (Hurlock, 1994:236) kepribadian adalah susunan sistem-sistem psikofisik yang dinamis dalam diri suatu individu yang menentukan penyesuaian individu yang unik terhadap lingkungan. Istilah “dinamis” menunjukkan adanya perubahan dalam kepribadian, menekankan bahwa perubahan dapat terjadi dalam kualitas perilaku seseorang. “Susunan” mengandung arti bahwa kepribadian tidak dibangun dari berbagai ciri yang satu ditambahkan pada yang lain begitu saja, melainkan ciri-ciri ini saling berkaitan, beberapa ciri bertambah dominan sedang yang lain semakin berkurang, sejalan dengan perubahan yang terjadi pada anak dan dalam lingkungan. Sebagai contoh sejalan dengan perkembangan usia, sebagai remaja semakin terikat dengan teman-teman sebayanya daripada orangtuanya, rasa sosialitasnya semakin meningkat sedangkan rasa individualis semakin berkurang. “Sistem psikofisik” adalah kebiasaan, sikap, nilai, keyakinan,

keadaan emosional, perasaan dan motif yang bersifat psikologis tetapi mempunyai dasar fisik dalam kelenjar, saraf, dan keadaan fisik anak secara umum. Sistem psikofisik merupakan kekuatan motivasi yang menentukan jenis penyesuaian yang akan dilakukan anak. Karena tiap anak mempunyai pengalaman belajar yang berbeda, jenis penyesuaian anak adalah “unik”, dalam arti bahwa tidak seorang anak pun, bahkan juga kembar identik pun akan bereaksi dengan cara yang persis sama.

Aspek perkembangan kepribadian remaja yang terpenting ialah konsep diri. Konsep diri merupakan gambaran remaja tentang dirinya, yang meliputi penilaian diri, penilaian sosial, dan citra diri. Penilaian diri mengandung arti bahwa remaja menyadari keinginan atau dorongan yang datang dari dalam dirinya. Sedangkan penilaian sosial, mengandung arti bahwa remaja mampu mengevaluasi penilaian sosial terhadap dirinya. Citra diri menunjuk “siapa saya?”, “saya ingin jadi apa?”, dan “bagaimana orang lain memandang saya?”. Keberhasilan remaja dalam mengembangkan kepribadiannya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Hurlock (1994:238) menjelaskan tiga faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian, yaitu:

Pertama, faktor bawaan yang dibentuk oleh temperamen dan lingkungan yang terus-menerus saling mempengaruhi. Kedua pengalaman awal dalam lingkungan keluarga. Ketiga, pengalaman-pengalaman dalam kehidupan selanjutnya.

b. Perkemba ngan identitas diri

Menurut Havighurst (Rifai, 1984) identitas diri adalah kemampuan dalam menjalankan peran-peran sosial menurut jenis kelamin masing- masing, artinya menerima jenis kelamin secara kodrati sehingga mempunyai perasaan puas terhadap diri sendiri, mempelajari dan menerima peran masing- masing sesuai dengan ketentuan atau norma-norma masyarakat. Identitas atau jati diri remaja tergantung pada keberadaan kelompok yang dapat memberikan makna bagi dirinya. Salah satu identitas diri yang diharapkan dapat dimiliki pada masa remaja adalah identitas jenis kelamin.

Setiap remaja harus dipersiapkan agar bisa memahami bahwa perbedaan jenis kelamin merupakan kodrat, merupakan kehendak Tuhan yang harus diterima apa adanya.

c. Perkembangan sosial

Menurut Hurlock (1994) perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Pada masa remaja terjadi perluasan area sosial. Remaja mulai memperluas relasinya dengan teman sebaya. Ada dorongan yang kuat untuk berga ul dengan orang lain dan ingin diterima oleh orang lain, khususnya yang sebaya. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi, remaja tersebut tidak akan bahagia. Sebaliknya jika kebutuhan ini terpenuhi, remaja tersebut akan bahagia. Hal ini

mendorong remaja menilai penting hubungan dengan teman sebaya (peer group), teman yang merupakan tempat berbagi pengalaman dan perasaan serta tempat untuk membentuk identitas diri (Gunarsa dan Gunarsa, 1990:198). Ciri khas perkembangan sosial remaja, yaitu kuatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, serta pengelompokkan sosial baru. Ciri khas ini tampak dari konformitas, yaitu gejala menyesuaikan diri dengan keinginan kelompok sebaya. Ciri khas konformitas pada usia remaja itulah seseorang lebih terikat kepada teman sebaya ( peer-group) daripada orang tua. Remaja merasa kelompok sebayalah yang bisa memahami dirinya, karena dengan kelompok sebaya remaja secara umum bersikap konformitas, sebaliknya dengan yang lain menunjukkan penolakan atau konfrontasi.

Hurlock (1994: 213-216) menambahkan ciri khas pada perubahan sosial remaja, yaitu remaja memiliki nilai- nilai baru dalam hal persahabatan, dukungan atau penolakan sosial, serta seleksi pemimpin. Nilai- nilai baru adalah nilai-nilai anutan remaja yang baru yang membedakannya dengan nilai-nilai lama. Dalam hal persahabatan, misalnya : muncul geng-geng remaja dimana antar anggotanya memperlihatkan kesetiaan dan keterikatan lebih, apa yang menjadi anutan kelompok akan diterima sebaliknya yang ditolak kelompok akan ditolaknya pula. Nilai anutan kelompok terlepas itu benar atau salah akan diterima dan mengikat anggota

kelompok. Biasanya yang paling dominan pengaruhnya akan menjadi pemimpin kelompok atau geng tersebut.

Minat remaja terhadap kehidupan sosial muncul karena beberapa alasan, antara lain: (1) remaja menyadari bahwa penerimaan sosial (terutama kelompoknya) sangat dipengaruhi oleh kesan keseluruhan yang dinampakkan oleh si remaja itu kepada sekitarnya; (2) adanya kesadaran para remaja bahwa lingkungan sosial menilai dirinya dengan melihat miliknya, sekolahnya, keuangannya, benda-benda lain yang dimilikinya, dan teman-teman sepergaulannya. Apa yang ada pada diri remaja dapat mengangkat atau memerosotkan pandangan orang lain terhadap dirinya, terutama pandangan dari teman-teman sebayanya.

Pada masa ini, remaja mulai menyesuaikan diri dengan keadaan sosial dan orang dewasa di luar keluarga dan sekolah. Mereka juga menjalin hubungan yang baik di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok. Remaja mulai menyadari sifat-sifat yang baik dan yang buruk dalam dirinya dan membandingkan sifat-sifat itu dengan sifat teman-temannya. Mereka akan berusaha untuk memperbaiki kekurangan yang ada padanya dengan harapan untuk meningkatkan dukungan sosial. Banyak remaja menggunakan standar kelompok sebagai dasar konsep mereka mengenai kepribadian yang “ideal” untuk menilai kepribadian mereka sendiri (Hurlock, 1994: 224). Remaja ingin

diterima oleh temen-teman kelompoknya. Mereka akan merasa sedih bila dikucilkan dan dihindari oleh teman-temannya. Pengaruh teman sebaya sangat besar bagi remaja bahkan lebih besar dari orang tua, misalnya dalam perilaku dan penampilan. Hal ini yang sering menimbulkan konflik antara remaja dan orang dewasa.

d. Perkembangan emosi

Menurut Hurlock (1994) semua emosi memainkan peran yang penting dalam kehidupan manusia seperti terhadap penyesuaian pribadi dan sosialnya. Perkembangan emosi dikendalikan oleh proses pematangan dan proses belajar secara bersama-sama. Ada lima bentuk cara belajar yang menunjang perkembangan emosi, yaitu: coba ralat (trial and error), dengan menirukan (imitation), dengan mempersamakan (identification), dengan pengkondisian (conditioning), dan dengan pelatihan (training).

Banyak faktor yang mempengaruhi kematangan emosi remaja, antara lain: lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan teman sebaya. Lingkungan keluarga yang mampu menciptakan hubungan yang baik antar anggota keluarga, misalnya adanya saling percaya, saling menghargai, dan penuh tanggungjawab, dan membantu remaja untuk mencapai kematangan emosionalnya. Penerimaan yang hangat dan penghargaan yang diterima dari teman sebaya juga mempengaruhi emosi remaja.

Hurlock (1994: 213) menjelaskan bahwa remaja dapat mencapai kematangan emosi melalui katarsis emosi. Katarsis emosi merupakan suatu cara untuk mengungkapkan atau menyalurkan luapan emosi yang disadari.

Menurut Hurlock (1994) ciri-ciri perkembangan emosi remaja, yaitu:

1) Emosi lebih mudah bergejolak dan biasanya diekspresikan secara meledak- ledak.

2) Kondisi emosi berlangsung cukup lama, sampai pada akhirnya kembali ke keadaan semula.

3) Jenis-jenis emosi sudah lebih bervariasi, bahkan ada kalanya emosi bercampur baur, sehingga remaja menjadi bingung karena sulit mengenali emosi yang terjadi pada dirinya.

4) Mulai muncul ketertarikan dengan lawan jenis yang melibatkan emosi.

5) Sangat peka terhadap cara orang lain memandang dirinya, sehingga menjadi mudah tersinggung dan malu.

e. Perkembangan kognitif

Teori perkembangan kognitif menurut Piaget (Herdiansiska dan Ediana, 1999: 34) menyebutkan bahwa kemampuan kognitif remaja berada pada tahap formal operational. Pada tahap ini:

Remaja harus mampu mengembangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggungjawabkannya. Ia harus dapat memandang masalah dari berbagai sudut pandang

dan menyelesaikan dengan mengambil banyak faktor sebagai landasan pertimbangan.

Gunarsa dan Gunarsa (1990: 197) mengungkapkan bahwa remaja memiliki kemampuan berpikir secara abstrak, idealis, dan logis. Kemampuan berpikir remaja yang demikian itu membuat remaja, antara lain:

1) Kritis: segala sesuatu harus rasional dan jelas sehingga remaja cenderung mempertanyakan kembali aturan-aturan yang diterima.

2) Memiliki rasa ingin tahu yang kuat: perkembangan intelektual remaja membuatnya ingin mengetahui dan mempertanyakan banyak hal. Keingintahuannya yang kuat, bersamaan dengan kebutuhannya bereksplorasi terhadap hal- hal yang ada di sekitarnya.

3) Ego sentris: remaja memusatkan perhatian dan pikiran pada sudut pandangnya.

f. Perkembangan moral

Perkembangan moral remaja dipengaruhi juga oleh tempat mereka tinggal. Pada masa ini remaja perlu mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok dari dirinya dan mampu berperilaku sesuai dengan harapan masyarakatnya, tanpa harus selalu dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami sewaktu masih anak-anak. Remaja memiliki

kecenderungan untuk membentuk prinsip moral yang otonom, yang berlaku untuk dirinya sendiri, walaupun seringkali tidak sesuai dengan prinsip kelompok dan lingkungan sekitarnya. Hal ini sering menyebabkan konflik dengan orang tua dan orang dewasa lainnya. Remaja harus mampu me ngendalikan perilakunya sendiri, dan tidak selalu bergantung pada orang tua dan para guru (Hurlock, 1994: 225).

Hurlock (1994) menjelaskan bahwa perkembangan moral berarti perkembangan perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial.

Menurut Piage t (Hurlock, 1994: 79-80) perkembangan moral remaja terjadi dalam dua tahap, yaitu:

1) Perilaku remaja ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap peraturan tanpa penalaran atau penilaian. Dalam tahap perkembangan moral ini, remaja menilai tindakan sebagai “benar” atau “salah” atas dasar konsekuensinya dan bukan berdasarkan motivasi di belakangnya serta sama sekali mengabaikan tujuan tindakan.

2) Remaja menilai perilaku atas dasar tujuan yang mendasarinya. Tahap perkembangan moral ini bertepatan dengan “tahapan operasi formal” artinya remaja mampu mempertimbangkan semua cara yang mungkin untuk memecahkan masalah tertentu dan dapat bernalar atas dasar hipotesis dan dalil. Ini

memungkinkan remaja untuk melihat masalahnya dari berbagai sudut pandang dan mempertimbangkan berbagai faktor untuk memecahkannya.

g. Perkembangan peran seks

Menurut Hurlock (1994) perkembangan peran seks berarti pola perilaku dari anggota kedua jenis kelamin yang disetujui dan diterima kelompok sosial, tempat individu mengidentifikasikan diri. Block (Hurlock, 1994) mendefinisikan peran seks sebagai gabungan sejumlah sifat yang diterima seseorang sebagai karakteristik yang membedakan pria dan wanita. Perkembangan peran seks remaja mencakup pembentukan hubungan baru dan yang lebih matang dengan lawan jenis.

Selain ketujuh aspek perkembangan remaja yang dikemukakan oleh Herdiansiska dan Ediana (1999: 5). Zulkifli (2003: 73) menambahkan satu aspek perkembangan remaja, yaitu: perkembangan religius. Pengalaman religius merupakan sesuatu yang diterima sebagai keyakinan terhadap hubungan yang bersifat Ketuhanan.

Aspek-aspek perkembangan remaja sebagaimana telah dipaparkan di atas akan berkembang dengan baik bila dalam perkembangannya itu terjalin suatu komunikasi yang intens dengan keluarganya, khususnya ibu. Dengan terjalinnya suatu komunikasi yang baik, anak bisa terbuka mengungkapkan masalah yang dihadapinya, dan ibu bisa memberikan solusi atau penyelesaian atas berbagai masalah yang dihadapi anak.

Dokumen terkait