SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S1)
Program Studi Bimbingan da n Konseling
Disusun oleh
Nama : A. Frisca Ema Ratna Furi NIM : 021114043
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv MOTTO
? Mendengarkan keluhan dengan penuh kesabaran walau keluhan itu
merupakan harapan sia-sia adalah salah satu dari sekian kewajiban dalam
menjalin persahabatan (Dr. Samuel Johnson).
? Kebahagiaan sejati bukan karena banyak teman, tapi karena hidup yang
memihak pada pilihan kebajikan (Ben Jonson).
? Keindahan yang paling agung dalam kehidupan manusia adalah
persahabatan. Rahasia persahabatan adalah saling berbagi dan peduli.
? Harta yang paling berharga adalah keluarga dan Istana yang paling indah adalah keluarga
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
♥ Yesus Kristus dan Bunda Maria yang begitu mengasihi dan memberi
semangat dalam hidupku untuk menyelesaikan skripsi ini.
♥ Kedua orangtua dan adikku yang selalu memberiku dorongan baik secara
materi maupun non materi.
♥ Paskalis Roydian Parta yang kusayangi dan selalu memberiku semangat
dalam menyelesaikan skripsi ini.
♥ Almamater USD Yogyakarta yang telah memberi kesempatan kepadaku
v
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis
ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah
disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
vi
KETERAMPILAN MENDENGARKAN AKTIF IBUNYA
A. Frisca Ema Ratna Furi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2007
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi siswa-siswa kelas XI SMA Negeri I Depok Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2006/2007 tentang keterampilan mendengarkan aktif ibunya.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode survei. Pertanyaan yang secara khusus dijawab dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah persepsi siswa-siswi kelas XI SMA Negeri I Depok Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2006/2007 tentang keterampilan mendengarkan aktif ibunya? Subjek penelitian adalah siswa-siswi kelas XI SMA Negeri I Depok Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2006/2007 yang berjumlah 208 siswa.
Insrtumen penelitian adalah kuesioner yang disusun oleh peneliti sendiri. Kuesioner ini memiliki 96 butir pernyataan yang mengungkapkan 4 aspek keterampilan mendengarkan aktif ibunya, yaitu: (1) Kemampuan ibu dalam mendengarkan dan mengerti pesan (pendapat/ pikiran) pembicara; (2) Kemampuan ibu dalam mendengarkan dan mengerti perasaan pembicara; (3) Kemampuan ibu dalam mengungkapkan/ memantulkan kembali pesan (pendapat/ pikiran); (4) Kemampuan ib u dalam mengungkapkan/ memantulkan kembali perasaan pembicara.
Teknik analisis data yang digunakan adalah penggolongan keterampilan mendengarkan aktif ibunya berdasarkan Penilaian Acuan Patokan (PAP) Tipe I, dengan kualifikasi “sangat tinggi”, “tinggi”, “cukup tinggi”, “rendah”, dan “sangat rendah”.
vii
ACADEMIC YEAR 2006/2007 ON MOTHER’S ACTIVE LISTENING SKILL
A. Frisca Ema Ratna Furi
Sanata Dharma University of Yogyakarta 2007
This research was to determine the perception of students in the eleventh grade of “SMA Negeri I” Depok Sleman Yogyakarta during academic year 2006/2007 on their mother’s active listening skill.
This was descriptive research with survey method. Specifically-answered questions in this research were: what did the perception of students in the eleventh grade of “SMA Negeri I” Depok Sleman Yogyakarta during academic year 2006/2007 on their mother’s active listening skill? The subject of research was all of students in the eleventh grade of “SMA Negeri I” Depok Sleman Yogyakarta during academic year 2006/2007, 208 samples.
The research instument was questionnaire composed by researcher. This questionnaire had 96 items of questions covering 4 mother’s active listening skill aspects, including: (1) mother’s ability listening and understanding message (argument/ thought) of speaker; (2) mother’s ability listening and understanding feeling of speaker; (3) mother’s ability in delivering/ reflecting message (argument/ thought); and (4) mother’s ability in delivering/ reflecting feeling of speaker.
The technique of data analysis used was grouping the mother’s active listening skill based on Standard Based Assessment (Penilaian Acuan Patokan) Type I, with qualification of: "very high", "high", "high enough", "low", and "very low".
The results of research indicated that there were 18 students (8,65%) who qualified "very high"; there were 38 students (18,27%) who had qualification of "high"; there were 62 students (29,80%) who had perception that their mother's active listening skill was "high enough"; there were 75 students (36,07%) who had perception that their mother's active-listening skill was "low"; and there were 15 students (7,21%) who had perception that their mother's active listening skill was "very low.
viii
Segala syukur dan puji kepada Tuhan Yang Maha Penyayang, atas
cinta-Nya yang besar dan yang telah mencurahkan Roh Kudus-cinta-Nya untuk menerangi
dan membimbing hati, budi, dan pikiran penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul : ”Persepsi Siswa -Siswi Kelas XI SMA Negeri I Depok Sleman Yogyakarta Tahun Ajaran 2006/2007 tentang Keterampilan Mendengarkan Aktif Ibunya” dengan baik.
Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling,
Jurusan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan karena bantuan banyak pihak,
yang dengan penuh kesetiaan, penuh kesabaran, dan penuh kasih mendukung
penulis melalui doa, memberikan motivasi, dan menyumbangkan ide- ide yang
baik demi kelancaran kelancaran penulisan skripsi.
Untuk itu semua, penulis mengucapkan banyak terimakasih yang tulus dan
dalam, secara khusus kepada:
1. Bapak Drs. R.H..Dj. Sinurat, M.A, selaku pembimbing I yang dengan penuh
kesungguhan dan kesabaran telah memberikan motivasi, meluangkan waktu,
serta kesetiaan dalam membimbing, mendampingi penulis dalam setiap
tahap dan seluruh proses demi kelancaran penyusunan skripsi ini.
2. Dra. C.L. Milburga, M.Ed, selaku pembimbing II yang dengan penuh
ix
3. Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si, selaku ketua Program Studi Bimbingan dan
Konseling yang telah memberikan ijin untuk penulisan skripsi ini.
4. Para dosen Program Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma
yang telah mendidik dan memberikan bekal hidup yang berharga kepada
penulis selama menjalani studi.
5. Bapak Sugiarto dan Mas Moko yang telah memberikan dukungan dan
bantuan kepada penulis selama menyusun skripsi ini.
6. Keluarga besar SMA Negeri I Piyungan Bantul yang telah memperlancar
proses uji coba kuesioner.
7. Keluarga besar SMA Negeri I Depok Sleman Yogyakarta yang telah
memperlancar proses pengumpulan data.
8. Orang tua dan adik Nora yang sudah memberikan dukungan lewat doa,
kesabaran dan cinta ya ng begitu luar biasa.
9. Bapak Yosep dan Mama Maria, Nana Roy, Adik Ryan, Adik Loly, serta
kakak Dino yang selalu mendoakanku dari jauh dan memberikan dukungan.
10. Amang Gode, Rm. Kres SVD, Rm. Biyanto PR, Betlin, Dodo, anak-anak
kos tambak bayan yang selalu memberikan dukungan dan doa.
11. Teman-teman angkatan 2002: Ola, Teti, Ida, Ute, Ima, Mega, Sr. Franselin,
Sr. Cresensia, Br. Toni, Br. Teguh, Sr. Gaudensia, Mas Gugun, Arya yang
telah memberikan sukacita dan persahabatan yang indah selama proses
x menyusun skripsi ini.
13. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang dengan
caranya masing- masing ikut mendukung dan membantu penulis dalam
penyusunan skripsi.
Semoga Tuhan yang penuh kasih membalas budi baik mereka semua dengan
berkat yang melimpah. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca dan dapat memberikan sumbangan bagi
pengembangan bidang Bimbingan dan Konseling.
xi
HALAMAN JUDUL...
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...
HALAMAN PENGESAHAN ...
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……….
ABSTRAK ...
ABSTRACT ...
KATA PENGANTAR ...
DAFTAR ISI ...
DAFTAR TABEL ...
DAFTAR LAMPIRAN ...
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………..
B. Perumusan Masalah ………..
C. Tujuan Penelitian ………..
D. Manfaat Penelitian ………
E. Definisi Operasional ……….
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
A. Hakekat Persepsi ………...
1. Pengertian Persepsi ……….
2. Aspek-aspek Persepsi ……….. i
ii
iii
iv
v
vi
vii
viii
xi
xiv
xv
1
5
6
6
7
9
9
xii
1. Pengertian Siswa sebagai Remaja ………...
2. Aspek-aspek Perkembangan Remaja ………..
C. Keterampilan Mendengarkan Aktif Ibu ………
1. Pentingnya Komunikasi dalam Keluarga ………
2. Empat Jenis Tanggapan yang Konstruktif ………..
3. Keterampilan Mendengarkan Aktif Ibu ………..
a. Pengertian Keterampilan Mendengarkan Aktif ………
b. Syarat-syarat yang Perlu Diperhatikan dalam Mendengarkan
Aktif ………..
c. Manfaat Mendengarkan Aktif ………...
d. Hambatan-hambatan dalam Mendengarkan Aktif ………
D. Persepsi Siswa-Siswi tentang Keterampilan Mendengarkan Aktif
Ibunya ………
BAB III: METODOLOGI
A. Jenis Penelitian ………..
B. Subjek Penelitian ………...
C. Instrumen Penelitian ……….
1. Alat Pengumpul Data ………..
2. Validitas dan Reliabilitas ………
a. Validitas Instrumen ……….
b. Reliabilitas Instrumen ………. 15
16
26
26
28
30
30
35
36
37
42
44
44
46
46
53
53
xiii
2. Tahap Pelaksanaan Pengumpulan Data ………..
E. Teknik Analisa Data ………..
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persepsi Siswa-siswi Kelas XI SMA Negeri I Depok Sleman
Yogyakarta Tahun Ajaran 2006/2007 tentang Keterampilan
Mendengarkan Aktif Ibunya ...
B. Pembahasan ………...
BAB V: PENUTUP
A. Ringkasan ………..
B. Kesimpulan ………...
C. Saran-saran ………
1. Bagi SMA Negeri I Depok Sleman Yogyakarta ……….
2. Bagi Peneliti Lain ………
DAFTAR PUSTAKA ...
LAMPIRAN ... 59
60
62
64
72
74
74
74
75
76
xiv
Tabel 1: Rincian Siswa-Siswi Kelas XI SMA Negeri I Depok, Sleman
Yogyakarta Tahun Ajaran 2006/2007 ... Tabel 2: Kisi-kisi Kuesioner Sebelum Ujicoba ... Tabel 3: Klasifikasi Koefisien Korelasi Suatu Alat Ukur ...
Tabel 4: Kisi-kisi Kuesioner Penelitian Setelah Ujicoba ………
Tabel 5: Penggolongan Keterampilan Mendengarkan Aktif Berdasarkan Penilaian Acuan Patokan ………. Tabel 6: Penggolongan Persepsi Siswa-Siswi Kelas XI SMA Negeri I Depok
Sleman Yogyakarta Tahun Ajaran 2006/2007 Tentang
Keterampilan Mendengarkan Aktif Ibunya ………...
47
53
57
59
63
xv
Lampiran 1 : Kuesioner Penelitian ………...
Lampiran 2 : Hasil Analisis Uji Validitas ………...
Lampiran 3 : Hasil Analisis Uji Reliabilitas ………...
Lampiran 4 : Tabulasi Skor-skor Penelitian ………....
Lampiran 5 : Persepsi Siswa-Siswi Kelas XI SMA Negeri I Depok, Sleman
Yogyakarta Tahun Ajaran 2006/2007 Tentang Keterampilan
Mendengarkan Aktif Ibunya ………...
Lampiran 6 : Surat Ijin Ujicoba ………...
Lampiran 7 : Surat Ijin Penelitian ………...
Lampiran 8 : Surat Keterangan Penelitian SMA ……….
83
89
95
96
100
105
106
1
Bab ini memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian dan definisi operasional.
A. Latar Belakang Masalah
Komunikasi sangat penting untuk menumbuhkan relasi yang hangat,
terutama relasi di dalam keluarga. Gray (Gultom, 2002) menegaskan bahwa
komunikasi merupakan unsur yang paling penting dalam suatu hubungan.
Mendengarkan merupakan unsur pokok dari komunikasi. Agar komunikasi
menjadi lebih intim dan personal, kita perlu mengkomunikasikan kepada
lawan bicara bahwa kita telah mendengarkan dan memahaminya (Supratiknya,
1995).
Nichols (Gultom, 2002) berpendapat bahwa satu hal yang
menjengkelkan dalam hidup adalah menyadari bahwa orang yang paling
dicintai atau paling dekat tidak mau mendengarkan dan mema hami apa yang
disampaikan. Setiap orang tidak pernah dapat menghilangkan keinginan untuk
menceritakan pengalaman-pengalaman pribadinya yang khas kepada
orang-orang yang dekat dengannya. Oleh karena itu, mendengarkan dengan penuh
empati merupakan kekuatan dahsyat dalam hubungan antar manusia;
sebaliknya merasa tidak didengarkan dan tidak dipahami merupakan sesuatu
Menurut Johnson (Sinurat, 1999), salah satu cara membangun
komunikasi yang intim dan personal adalah dengan cara membiasakan diri
memberikan parafrase atau tanggapan penuh pemahaman dalam
mendengarkan.
Untuk mendengarkan apa yang sebenarnya dimaksudkan lawan bicara,
pendengar perlu juga mendengarkan apa yang tidak diucapkan oleh
pembicara. Pendengar harus berusaha memahami dahulu, baru dipahami;
pendengar perlu mendengarkan dahulu, baru berbicara (Covey, 2001).
Dari beberapa pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa agar
terjalin komunikasi yang hangat dan menyenangkan, pendengar harus
memiliki keterampilan mendengarkan aktif agar pembicara merasa dipahami,
didengarkan, dihargai, dan diterima. Mendengarkan secara aktif merupakan
modal dasar bagi terjalinnya relasi yang baik dengan siapa pun dalam
berkomunikasi dan berinteraksi. Demikian juga dalam keluarga, dengan
kemampuan berkomunikasi yang baik, suasana relasi yang tercipta antar
anggota keluarga akan terasa nyaman, rileks, dan aman. Apabila anggota
keluarga (ayah, ibu, anak) memiliki kemampuan mendengarkan aktif, maka
komunikasi akan berjalan dengan baik dalam keluarga.
Apabila orang terampil mendengarkan aktif, maka komunikasi akan
berjalan dengan baik. Namun, keterampilan mendengarkan aktif bukanlah hal
yang mudah dan tidak terbentuk secara alamiah. Setiap orang dapat belajar
agar terampil mendengarkan aktif, karena keterampilan mendengarkan aktif
mendengarkan aktif akan menjadi kebiasaan dan bagian hidup dengan jalan
berlatih menggunakannya.
Dewasa ini, suasana komunikasi yang baik, nyaman, dan rileks sering
tidak tercipta dalam keluarga. Pada umumnya, hal ini terjadi karena tidak
adanya kerelaan anggota keluarga dalam mendengarkan secara aktif, entah
karena sibuk dengan pekerjaan masing- masing ataupun karena kurangnya
pemahaman mereka tentang mendengarkan aktif.
Ketika penulis melakukan praktek pengalaman Bimbingan dan
onseling di Sekolah Menengah Atas (SMA) Pangudi Luhur Sedayu Bantul,
dalam suatu kesempatan penulis melakukan observasi terhadap siswa-siswi
yang sedang terlibat dalam suatu sharing pengalaman tentang keluarga
mereka. Hasil observasi tersebut memperlihatkan bahwa kebanyakan
siswa-siswi beranggapan bahwa ibu selaku pendengar kurang memberi perhatian
pada pesan siswa-siswi selaku pembicara. Kalau memberi umpan balik, ibu
cenderung menilai pribadi lawan bicaranya, sering mengalihkan topik
pembicaraan karena ibu selaku pendengar mungkin kurang menyukai pesan
yang disampaikan lawan bicaranya. Sering pula terjadi, ada pembicara
(siswa-siswi) belum selesai mengungkapkan pesannya sudah langsung ditanggapi
pendengarnya (ibu) bahkan pendengar menolak perasaan lawan bicaranya
sehingga komunikasi antar mereka tidak terjalin dengan baik. Berdasarkan
pengalaman praktek di atas, penulis tertarik untuk mendalami keterampilan
Suasana komunikasi yang buruk sudah tentu berpengaruh buruk
terhadap perkembangan remaja yang pada umumnya masih dalam usia labil.
Seperti yang dikatakan Nic hols di depan, merasa tidak didengarkan dan
diperhatikan merupakan sebuah pengalaman buruk. Pada titik ia merasa tidak
diperhatikan, remaja akan berusaha mencari kompensasi di luar lingkungan
keluarga. Remaja pun dapat terjerumus ke dalam hal- hal yang negatif seperti
menyalahgunakan narkoba.
Siswa-siswi SMA sebagai remaja mungkin saja akan mencari
kompensasi di luar lingkungannya jika mereka menganggap tidak didengarkan
atau diperhatikan oleh keluarganya, khususnya ibu. Hal ini terjadi karena
secara tradisional pada umumnya tugas pengasuhan anak lebih dibebankan
kepada ibu daripada ayah, sebaliknya tugas pencaharian nafkah lebih
dibebankan kepada ayah daripada ibu. Pembagian peran ayah dan ibu yang
demikian, membuat anak lebih memiliki ikatan batin yang lebih kuat dan leih
dekat dengan ibu, dengan ibulah anak lebih sering berkeluh kesah, sharing
tentang berbagai hal (Gunawan, 1995).
Mengingat anak merasa lebih dekat dengan ibu, merasa lebih berani
terbuka dengan ibunya, maka agar ibu dapat berperan optimal ibu sudah
seharusnya memiliki keterampilan mendengarkan aktif. Dengan ibu memiliki
keterampilan mendengarkan aktif diharapkan anak dapat merasakana
manfaatnya.
Sejauh mana seorang remaja mempersepsikan keterampilan
berkomunikasi dengan ibunya. Jika ibunya dipersepsikan tidak cukup baik
keterampilannya dalam mendengarkan aktif, remaja bisa saja akan
menghindari berkomunikasi secara intens dengan ibunya atau keluarganya.
Sebaliknya jika remaja beranggapan bahwa ibunya baik dalam mendengarkan
aktif, maka ia akan banyak berkomunikasi dengan ibunya; hubungannya
dengan ibunya atau keluarganya akan baik, dan ini akan berpengaruh pada
perkembangan kepribadiannya, dia akan terbantu menjadi pribadi yang
dewasa dan bertanggung jawab.
Berdasarkan hasil praktek pengalaman Bimbingan dan Konseling di
SMA Pangudi Luhur Sedayu Bantul terkesan kalau siswa-siswi kelas XI di
SMA tersebut beranggapan bahwa ibu mereka kurang mampu mendengarkan
secara aktif. Mengingat latar belakang siswa-siswi ya ng tidak jauh berbeda,
penulis berasumsi bahwa siswa-siswi kelas XI SMA Negeri i Depok Sleman
Yogyakarta ini pun akan beranggapan sama bahwa ibu mereka kurang mampu
mendengarkan secara aktif. Dugaan itu tidak terlalu jauh berbeda
dibandingkan pengalaman teman penulis yang melakukan praktek pengalaman
Bimbingan dan Konseling di SMA tersebut, bahwa banyak siswa-siswi di
SMA tersebut yang mengeluh kepadanya kalau ibu mereka kurang mampu
mendengarkan mereka secara aktif. Hal ini diperkuat pula oleh pengalaman
konselor SMA tersebut yang ternyata sering menemukan siswa-siswi
bermasalah dalam tugasnya, terutama karena ibu mereka terlalu sibuk dengan
Penulis tertarik untuk mengetahui persepsi siswa-siswi kelas XI SMA
Negeri I Depok Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2006/2007 tentang
keterampilan mendengarkan aktif ibunya. Dengan mengetahui persepsi para
siswa-siswi SMA Negeri I Depok Sleman mengenai keterampilan
mendengarkan aktif ibunya, maka bisa dipikirkan upaya- upaya yang perlu
dilakukan untuk meningkatkan keterampilan mendengarkan aktif ibu.
B. Perumusan Masalah
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui persepsi siswa-siswi
kelas XI SMA Negeri I Depok Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2006/2007
tentang keterampilan mendengarkan aktif ibunya. Pertanyaan yang dijawab
adalah:
Bagaimanakah persepsi siswa-siswi kelas XI SMA Negeri I Depok Sleman
Yogyakarta tahun ajaran 2006/2007 tentang keterampilan mendengarkan aktif
ibunya?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi siswa-siswi
kelas XI SMA Negeri I Depok Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2006/2007
tentang keterampilan mendengarkan aktif ibunya.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Peneliti
Peneliti dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai bekal untuk
2. Peneliti lain
Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber inspirasi atau bahan
pembanding apabila penulis lain ingin mengembangkan penelitian di
seputar objek yang sama.
3. Pembaca
Penulis berharap bahwa skripsi ini dapat memberikan informasi yang
berguna bagi para pembaca untuk melengkapi dan mengembangkan
pengetahuan tentang keterampilan mendengarkan aktif.
4. Guru pembimbing di SMA Negeri I Depok Sleman Yogyakarta
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu menyadarkan guru
pembimbing tentang pentingnya pelatihan mendengarkan aktif bagi
orang tua, khususnya ibu siswa- siswi.
5. Ibu Siswa-siswi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu menyadarkan mereka
bahwa keterampilan mendengarkan secara aktif yang mereka kuasai
masih perlu ditingkatkan. Diharapkan mereka terdorong untuk
meningkatkannya.
E. Definisi Operasional
1. Persepsi adalah tanggapan individu atas informasi yang diterima,
setelah informasi yang bersangkutan diolah dan ditafsirkan. Tanggapan
individu ini dapat berbentuk pendapat, anggapan, keyakinan atau
yang satu dengan yang lainnya terhadap objek yang sama dapat
berbeda-beda.
2. Keterampilan dalam arti sempit adalah kemudahan, kecepatan, dan
ketepatan dalam melakukan sesuatu, yang juga disebut manual skill.
Keterampilan dalam arti luas meliputi manual skill, intellectual skill,
dan social skill.
3. Keterampilan mendengarkan aktif adalah kemampuan pendengar
untuk mendengarkan dan me ngerti pesan termasuk perasaan
pembicara, serta mengungkapkannya atau memantulkannya kembali
sesuai dengan maksud pembicara secara cepat, mudah, dan tepat
(Safaria, 2005: 172).
4. Siswa-siswi SMA Negeri I Depok Sleman Yogyakarta adalah
siswa-siswi kelas XI SMA Negeri I Depok Sleman Yogyakarta tahun ajaran
2006/2007.
5. Ibu adalah ibu kandung dari siswa-siswi kelas XI SMA Negeri I
Depok Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2006/2007.
6. Persepsi siswa-siswi kelas XI SMA Negeri I Depok Sleman
Yogyakarta tahun ajaran 2006/2007 tentang keterampilan
mendengarkan aktif ibunya adalah pendapat atau keyakinan para
siswa-siswi tersebut mengenai kemampuan ibu mereka untuk
9
Bab ini memuat pembahasan tentang hakekat persepsi, siswa
sebagai remaja dan aspek-aspek perkembangannya, keterampilan
mendengarkan aktif, persepsi siswa-siswi kelas XI SMA Negeri I Depok
Sleman Yogyakarta tahun ajaran 2006/2007 tentang keterampilan
mendengarkan aktif ibunya.
A. Hakekat Persepsi 1. Pengertian Persepsi
Banyak ahli yang memberikan pengertian persepsi. Menur ut
Hilgard (Dharma dan Adryanto, 1983: 201) persepsi adalah proses
mengorganisasi dan menafsirkan pola stimulus dalam lingkungan.
Persepsi sangat berkaitan dengan proses kognitif, seperti ingatan dan
berpikir.
Persepsi merupakan proses diterimanya rangsangan melalui alat
indera sampai rangsangan itu disadari dan dimengerti, dan merupakan
interpretasi terhadap rangsang yang bersangkutan (Irwanto, dkk, 1989:
71). Irwanto, dkk (1989: 71) menyatakan bahwa persepsi adalah
interpretasi dari pengalaman subjek. Pengalaman-pengalaman subjek
yang disadari dan dimengerti merupakan suatu penafsiran dari
rangsang yang diterima. Persepsi bukan ditentukan oleh benda yang
memberikan tanggapan (Rahmat, 2000: 80). Salah satu hal ya ng
menentukan persepsi adalah karakteristik orang yang memberikan
tanggapan. Sebagai contoh anak cuek/ yang tidak memperdulikan
lingkungan biasanya menganggap sikap ibunya yang diam ketika anak
berbicara menganggap orangtuanya mendengarkan aktif, anak yang
berperasaan halus mudah menganggap sikap diam orang tuanya
sebagai bentuk ketidakpedulian.
Persepsi didefinisikan sebagai pandangan, pengamatan, atau
tanggapan individu terhadap benda, kejadian, tingkah laku manusia,
atau hal- hal yang ditemui dalam hidup sehari- hari (Mulyono, 1978:
22). Persepsi terhadap suatu objek dapat saja berbeda antara individu
yang satu dengan lainnya (Nasution, 1982: 157). Hal ini menunjukkan
setiap individu ketika menerima rangsangan dari luar melalui indera
dicoba dipahami lalu memberikan tanggapan atau reaksi baik berupa
pendapat maupun tingkah laku. Tanggapan tersebut walaupun terhadap
objek yang sama bisa saja beragam tergantung individunya sendiri.
Dari beberapa pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa
persepsi merupakan suatu proses di dalam diri individu yang terjadi
dengan langkah- langkah tertentu. Awalnya, melalui indera individu
menerima rangsangan dari luar yang dicoba dipahami oleh individu
yang bersangkutan sehingga dapat memberikan tanggapan. Tanggapan
individu dapat berbentuk pendapat dan dapat juga berbentuk tingkah
2. Aspek-aspek Persepsi
Menurut Irwanto, dkk (1989) aspek-aspek pokok persepsi adalah
seperti yang diuraikan di bawah ini:
a. Rangsang
Rangsang yang diterima harus sesuai dengan modalitas tiap-tiap
indera, yaitu sifat sensoris dasar dari masing- masing indera (cahaya
untuk penglihatan; bau untuk penciuman; suhu bagi perasa; sifat
permukaan bagi peraba; bunyi bagi pendengaran).
b. Tanggapan
Proses persepsi bermula dari adanya objek yang menimbulkan
rangsang, lalu rangsang mengenai reseptor. Tahap ini disebut
kealaman karena terjadi secara alamiah. Rangsang yang diterima
oleh reseptor diteruskan ke syaraf sensoris setelah mengalami
penyeleksian dan dilanjutkan oleh syaraf ke otak sebagai pusat
kesadaran. Proses yang terjadi di otak merupakan persepsi yang
sebenarnya. Setiap rangsang yang disadari kemudian ditanggapi
oleh individu melalui syaraf motorik. Tanggapan yang diberikan
bisa berupa sikap menerima atau menolak, suka atau tidak, senang
atau tidak senang. Tanggapan bisa berupa perbuatan, misalnya
ketika individu menganggap atau mempersepsikan bahwa
seseorang menghina atau mempermalukannya ia bisa saja marah
c. Perilaku
Persepsi yang diperoleh dalam proses penyadaran ditentukan juga
oleh nilai- nilai yang dianut individu. Dalam proses penyadaran,
persepsi merupakan suatu penilaian atau pandangan individu.
Setiap nilai dan pandangan yang dianggap penting oleh individu
akan menuntut individu untuk melaksanakannya, dan itu berarti
individu tersebut melaksanakan perilaku tertentu. Misalnya ketika
individu menganggap ia dihormati orang lain dan juga
menunjukkan perilaku menghormati orang lain. Namun jika
individu menganggap orang meremehkannya ia akan berperilaku
mengabaikan orang lain.
3. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Persepsi
Menurut Irwanto, dkk (1989) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi persepsi, yakni:
a. Perhatian yang selektif
Perhatian merupakan persiapan dalam proses pembentukan
persepsi. Ada tidaknya perhatian individu atas rangsangan yang
diterima akan mempengaruhi tanggapan individu atas rangsangan
tersebut. Rangsang yang mendapat perhatian individu akan disadari
secara lebih mendalam dan ditanggapi dengan cepat. Sedangkan
rangsang yang kurang mendapat perhatian individu akan kurang
disadari dan kurang ditanggapi. Perhatian dan kesadaran individu
perhatian individu, semakin besar kesadarannya akan rangsang itu,
dan semakin besar pula kemungkinan individu menanggapinya.
Semakin kecil perhatian individu, semakin kecil kesadarannya
akan rangsang itu, dan semakin kecil pula kemungkinan individu
menanggapinya. Dalam hal ini jika remaja menganggap bahwa
ibunya memberikan reaksi yang memperlihatkan bahwa orang tua
mendengarkannya, berempati dan bersimpati dengan pesan yang
disampaikan remaja, maka remaja akan merasa dipahami dan
dihargai. Sebaliknya jika remaja menganggap bahwa ibunya
memberikan reaksi yang tidak antusias, bersikap antipati dan
cenderung melakukan nasehat maka remaja akan merasa tidak
dipahami dan kurang dihargai.
b. Sifat-sifat rangsang
Berdasarkan gerakan, individu lebih menaruh perhatian kepada
rangsang yang bergerak daripada rangsang yang diam. Berdasarkan
ukuran, individu lebih menaruh perhatian kepada rangsang yang
besar daripada rangsang yang kecil. Berdasarkan intensitas,
individu lebih menaruh perhatian kepada rangsang yang kuat
daripada rangsang yang lemah. Berdasarkan kontrasitas, individu
lebih menaruh perhatian kepada rangsang yang kontras dengan
latar belakang daripada rangsang yang biasa. Jika remaja melihat
ibunya memberikan gerakan yang menyatakan simpati, seperti
mendengarkan denga n antusias maka, remaja akan merasa
dipahami dan dihargai.
c. Nilai-nilai dan kebutuhan individu
Perhatian individu terhadap rangsang turut ditentukan oleh sejauh
mana rangsang itu bernilai bagi individu dan sesuai dengan
kebutuhannya. Individu akan lebih menaruh perhatian kepada
rangsang yang bernilai baginya daripada kepada rangsang yang
kurang bernilai. Individu juga akan lebih menaruh perhatian
kepada rangsang yang sesuai dengan kebutuhannya daripada yang
kurang sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu perhatian
individu terhadap rangsang bersifat subjektif, berbeda antara
individu yang satu dari yang lainnya.
d. Pengalaman terdahulu
Perhatian individu terhadap rangsang turut ditentukan oleh
pengalaman akan rangsang itu yang dimiliki individu sebelumnya.
Pengalaman-pengalaman terdahulu sangat mempengaruhi individu
dalam mempersepsi dunianya. Pengalaman dalam berkomunikasi
dengan orang tua akan mempengaruhi atau membentuk persepsi
B. Siswa sebagai Remaja dan Aspek-aspek Perkembangannya 1. Pengertian Siswa sebagai Remaja
Siswa-siswi SMA sedang menjalani masa remaja. Menurut Alwi,
dkk (2002: 717) yang dimaksudkan dengan masa adalah jangka waktu
tertentu yang ada permulaan dan batasnya. Pengertian ini dipertegas oleh
Poerwadarminta (1976) yang mengatakan bahwa masa adalah periode
waktu tertentu yang punya batas yang jelas awal dan akhirnya. Menurut
Rifai (1984) remaja adalah pemuda dan pemudi yang berada pada masa
perkembangan yang disebut “adolesensi” (masa remaja sebagai masa
menuju kedewasaan). Masa ini merupakan suatu tahap perkembangan
dalam kehidupan manusia, di mana individu sudah tidak dapat lagi disebut
anak kecil, tetapi juga belum dapat disebut orang dewasa. Menurut
Darajad (1959) masa remaja adalah suatu masa dari umur manusia yang
paling banyak mengalami perubaha n, yang membawa individu pindah dari
masa anak-anak menuju masa dewasa. Perubahan-perubahan yang terjadi
meliputi aspek jasmani, rohani, pikiran, perasaan, dan aspek sosial. Masa
remaja merupakan masa peralihan atau transisi ke masa dewasa.
Gunarsa dan Gunarsa (1986: 203) mengemukakan bahwa masa
remaja merupakan masa peralihan dari masa anak menuju masa dewasa
yakni antara usia 12 sampai 21 tahun. Masa remaja merupakan periode
yang sangat penting bagi remaja karena perkembangannya pada masa ini
2. Aspek-aspek Perkembangan Remaja
Perkembangan merupakan perubahan yang menyangkut aspek
kualitatif. Menurut Herdiansiska dan Ediana (1999: 5) perubahan kualitatif
mempunyai ciri-ciri, yaitu: progresif, teratur, berkesinambungan, dan
akumulatif. Perkembangan remaja meliputi tujuh aspek perkembangan,
(Hediansiska dan Ediana, 1999: 5) seperti yang diuraikan pada bagian
berikut ini:
a. Perkembangan kepribadian
Menurut Allport (Hurlock, 1994:236) kepribadian adalah
susunan sistem-sistem psikofisik yang dinamis dalam diri suatu
individu yang menentukan penyesuaian individu yang unik
terhadap lingkungan. Istilah “dinamis” menunjukkan adanya
perubahan dalam kepribadian, menekankan bahwa perubahan dapat
terjadi dalam kualitas perilaku seseorang. “Susunan” mengandung
arti bahwa kepribadian tidak dibangun dari berbagai ciri yang satu
ditambahkan pada yang lain begitu saja, melainkan ciri-ciri ini
saling berkaitan, beberapa ciri bertambah dominan sedang yang
lain semakin berkurang, sejalan dengan perubahan yang terjadi
pada anak dan dalam lingkungan. Sebagai contoh sejalan dengan
perkembangan usia, sebagai remaja semakin terikat dengan
teman-teman sebayanya daripada orangtuanya, rasa sosialitasnya semakin
meningkat sedangkan rasa individualis semakin berkurang.
keadaan emosional, perasaan dan motif yang bersifat psikologis
tetapi mempunyai dasar fisik dalam kelenjar, saraf, dan keadaan
fisik anak secara umum. Sistem psikofisik merupakan kekuatan
motivasi yang menentukan jenis penyesuaian yang akan dilakukan
anak. Karena tiap anak mempunyai pengalaman belajar yang
berbeda, jenis penyesuaian anak adalah “unik”, dalam arti bahwa
tidak seorang anak pun, bahkan juga kembar identik pun akan
bereaksi dengan cara yang persis sama.
Aspek perkembangan kepribadian remaja yang terpenting
ialah konsep diri. Konsep diri merupakan gambaran remaja tentang
dirinya, yang meliputi penilaian diri, penilaian sosial, dan citra diri.
Penilaian diri mengandung arti bahwa remaja menyadari keinginan
atau dorongan yang datang dari dalam dirinya. Sedangkan
penilaian sosial, mengandung arti bahwa remaja mampu
mengevaluasi penilaian sosial terhadap dirinya. Citra diri
menunjuk “siapa saya?”, “saya ingin jadi apa?”, dan “bagaimana
orang lain memandang saya?”. Keberhasilan remaja dalam
mengembangkan kepribadiannya dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Hurlock (1994:238) menjelaskan tiga faktor yang mempengaruhi
perkembangan kepribadian, yaitu:
b. Perkemba ngan identitas diri
Menurut Havighurst (Rifai, 1984) identitas diri adalah
kemampuan dalam menjalankan peran-peran sosial menurut jenis
kelamin masing- masing, artinya menerima jenis kelamin secara
kodrati sehingga mempunyai perasaan puas terhadap diri sendiri,
mempelajari dan menerima peran masing- masing sesuai dengan
ketentuan atau norma-norma masyarakat. Identitas atau jati diri
remaja tergantung pada keberadaan kelompok yang dapat
memberikan makna bagi dirinya. Salah satu identitas diri yang
diharapkan dapat dimiliki pada masa remaja adalah identitas jenis
kelamin.
Setiap remaja harus dipersiapkan agar bisa memahami
bahwa perbedaan jenis kelamin merupakan kodrat, merupakan
kehendak Tuhan yang harus diterima apa adanya.
c. Perkembangan sosial
Menurut Hurlock (1994) perkembangan sosial berarti
perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan
sosial. Pada masa remaja terjadi perluasan area sosial. Remaja
mulai memperluas relasinya dengan teman sebaya. Ada dorongan
yang kuat untuk berga ul dengan orang lain dan ingin diterima oleh
orang lain, khususnya yang sebaya. Jika kebutuhan ini tidak
dipenuhi, remaja tersebut tidak akan bahagia. Sebaliknya jika
mendorong remaja menilai penting hubungan dengan teman sebaya
(peer group), teman yang merupakan tempat berbagi pengalaman
dan perasaan serta tempat untuk membentuk identitas diri (Gunarsa
dan Gunarsa, 1990:198). Ciri khas perkembangan sosial remaja,
yaitu kuatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam
perilaku sosial, serta pengelompokkan sosial baru. Ciri khas ini
tampak dari konformitas, yaitu gejala menyesuaikan diri dengan
keinginan kelompok sebaya. Ciri khas konformitas pada usia
remaja itulah seseorang lebih terikat kepada teman sebaya (
peer-group) daripada orang tua. Remaja merasa kelompok sebayalah
yang bisa memahami dirinya, karena dengan kelompok sebaya
remaja secara umum bersikap konformitas, sebaliknya dengan
yang lain menunjukkan penolakan atau konfrontasi.
Hurlock (1994: 213-216) menambahkan ciri khas pada
perubahan sosial remaja, yaitu remaja memiliki nilai- nilai baru
dalam hal persahabatan, dukungan atau penolakan sosial, serta
seleksi pemimpin. Nilai- nilai baru adalah nilai-nilai anutan remaja
yang baru yang membedakannya dengan nilai-nilai lama. Dalam
hal persahabatan, misalnya : muncul geng-geng remaja dimana
antar anggotanya memperlihatkan kesetiaan dan keterikatan lebih,
apa yang menjadi anutan kelompok akan diterima sebaliknya yang
ditolak kelompok akan ditolaknya pula. Nilai anutan kelompok
kelompok. Biasanya yang paling dominan pengaruhnya akan
menjadi pemimpin kelompok atau geng tersebut.
Minat remaja terhadap kehidupan sosial muncul karena
beberapa alasan, antara lain: (1) remaja menyadari bahwa
penerimaan sosial (terutama kelompoknya) sangat dipengaruhi
oleh kesan keseluruhan yang dinampakkan oleh si remaja itu
kepada sekitarnya; (2) adanya kesadaran para remaja bahwa
lingkungan sosial menilai dirinya dengan melihat miliknya,
sekolahnya, keuangannya, benda-benda lain yang dimilikinya, dan
teman-teman sepergaulannya. Apa yang ada pada diri remaja dapat
mengangkat atau memerosotkan pandangan orang lain terhadap
dirinya, terutama pandangan dari teman-teman sebayanya.
Pada masa ini, remaja mulai menyesuaikan diri dengan
keadaan sosial dan orang dewasa di luar keluarga dan sekolah.
Mereka juga menjalin hubungan yang baik di luar rumah bersama
dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok. Remaja mulai
menyadari sifat-sifat yang baik dan yang buruk dalam dirinya dan
membandingkan sifat-sifat itu dengan sifat teman-temannya.
Mereka akan berusaha untuk memperbaiki kekurangan yang ada
padanya dengan harapan untuk meningkatkan dukungan sosial.
Banyak remaja menggunakan standar kelompok sebagai dasar
konsep mereka mengenai kepribadian yang “ideal” untuk menilai
diterima oleh temen-teman kelompoknya. Mereka akan merasa
sedih bila dikucilkan dan dihindari oleh teman-temannya. Pengaruh
teman sebaya sangat besar bagi remaja bahkan lebih besar dari
orang tua, misalnya dalam perilaku dan penampilan. Hal ini yang
sering menimbulkan konflik antara remaja dan orang dewasa.
d. Perkembangan emosi
Menurut Hurlock (1994) semua emosi memainkan peran
yang penting dalam kehidupan manusia seperti terhadap
penyesuaian pribadi dan sosialnya. Perkembangan emosi
dikendalikan oleh proses pematangan dan proses belajar secara
bersama-sama. Ada lima bentuk cara belajar yang menunjang
perkembangan emosi, yaitu: coba ralat (trial and error), dengan
menirukan (imitation), dengan mempersamakan (identification),
dengan pengkondisian (conditioning), dan dengan pelatihan
(training).
Banyak faktor yang mempengaruhi kematangan emosi
remaja, antara lain: lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan
teman sebaya. Lingkungan keluarga yang mampu menciptakan
hubungan yang baik antar anggota keluarga, misalnya adanya
saling percaya, saling menghargai, dan penuh tanggungjawab, dan
membantu remaja untuk mencapai kematangan emosionalnya.
Penerimaan yang hangat dan penghargaan yang diterima dari
Hurlock (1994: 213) menjelaskan bahwa remaja dapat
mencapai kematangan emosi melalui katarsis emosi. Katarsis
emosi merupakan suatu cara untuk mengungkapkan atau
menyalurkan luapan emosi yang disadari.
Menurut Hurlock (1994) ciri-ciri perkembangan emosi
remaja, yaitu:
1) Emosi lebih mudah bergejolak dan biasanya diekspresikan
secara meledak- ledak.
2) Kondisi emosi berlangsung cukup lama, sampai pada akhirnya
kembali ke keadaan semula.
3) Jenis-jenis emosi sudah lebih bervariasi, bahkan ada kalanya
emosi bercampur baur, sehingga remaja menjadi bingung
karena sulit mengenali emosi yang terjadi pada dirinya.
4) Mulai muncul ketertarikan dengan lawan jenis yang melibatkan
emosi.
5) Sangat peka terhadap cara orang lain memandang dirinya,
sehingga menjadi mudah tersinggung dan malu.
e. Perkembangan kognitif
Teori perkembangan kognitif menurut Piaget (Herdiansiska
dan Ediana, 1999: 34) menyebutkan bahwa kemampuan kognitif
remaja berada pada tahap formal operational. Pada tahap ini:
dan menyelesaikan dengan mengambil banyak faktor sebagai landasan pertimbangan.
Gunarsa dan Gunarsa (1990: 197) mengungkapkan bahwa
remaja memiliki kemampuan berpikir secara abstrak, idealis, dan
logis. Kemampuan berpikir remaja yang demikian itu membuat
remaja, antara lain:
1) Kritis: segala sesuatu harus rasional dan jelas sehingga remaja
cenderung mempertanyakan kembali aturan-aturan yang
diterima.
2) Memiliki rasa ingin tahu yang kuat: perkembangan intelektual
remaja membuatnya ingin mengetahui dan mempertanyakan
banyak hal. Keingintahuannya yang kuat, bersamaan dengan
kebutuhannya bereksplorasi terhadap hal- hal yang ada di
sekitarnya.
3) Ego sentris: remaja memusatkan perhatian dan pikiran pada
sudut pandangnya.
f. Perkembangan moral
Perkembangan moral remaja dipengaruhi juga oleh tempat
mereka tinggal. Pada masa ini remaja perlu mempelajari apa yang
diharapkan oleh kelompok dari dirinya dan mampu berperilaku
sesuai dengan harapan masyarakatnya, tanpa harus selalu
dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang
kecenderungan untuk membentuk prinsip moral yang otonom,
yang berlaku untuk dirinya sendiri, walaupun seringkali tidak
sesuai dengan prinsip kelompok dan lingkungan sekitarnya. Hal ini
sering menyebabkan konflik dengan orang tua dan orang dewasa
lainnya. Remaja harus mampu me ngendalikan perilakunya sendiri,
dan tidak selalu bergantung pada orang tua dan para guru (Hurlock,
1994: 225).
Hurlock (1994) menjelaskan bahwa perkembangan moral
berarti perkembangan perilaku yang sesuai dengan kode moral
kelompok sosial.
Menurut Piage t (Hurlock, 1994: 79-80) perkembangan
moral remaja terjadi dalam dua tahap, yaitu:
1) Perilaku remaja ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap
peraturan tanpa penalaran atau penilaian. Dalam tahap
perkembangan moral ini, remaja menilai tindakan sebagai
“benar” atau “salah” atas dasar konsekuensinya dan bukan
berdasarkan motivasi di belakangnya serta sama sekali
mengabaikan tujuan tindakan.
2) Remaja menilai perilaku atas dasar tujuan yang mendasarinya.
Tahap perkembangan moral ini bertepatan dengan “tahapan
operasi formal” artinya remaja mampu mempertimbangkan
semua cara yang mungkin untuk memecahkan masalah tertentu
memungkinkan remaja untuk melihat masalahnya dari berbagai
sudut pandang dan mempertimbangkan berbagai faktor untuk
memecahkannya.
g. Perkembangan peran seks
Menurut Hurlock (1994) perkembangan peran seks berarti
pola perilaku dari anggota kedua jenis kelamin yang disetujui dan
diterima kelompok sosial, tempat individu mengidentifikasikan
diri. Block (Hurlock, 1994) mendefinisikan peran seks sebagai
gabungan sejumlah sifat yang diterima seseorang sebagai
karakteristik yang membedakan pria dan wanita. Perkembangan
peran seks remaja mencakup pembentukan hubungan baru dan
yang lebih matang dengan lawan jenis.
Selain ketujuh aspek perkembangan remaja yang dikemukakan oleh
Herdiansiska dan Ediana (1999: 5). Zulkifli (2003: 73) menambahkan satu
aspek perkembangan remaja, yaitu: perkembangan religius. Pengalaman
religius merupakan sesuatu yang diterima sebagai keyakinan terhadap
hubungan yang bersifat Ketuhanan.
Aspek-aspek perkembangan remaja sebagaimana telah dipaparkan di
atas akan berkembang dengan baik bila dalam perkembangannya itu
terjalin suatu komunikasi yang intens dengan keluarganya, khususnya ibu.
Dengan terjalinnya suatu komunikasi yang baik, anak bisa terbuka
mengungkapkan masalah yang dihadapinya, dan ibu bisa memberikan
C. Keterampilan Mendengarkan Aktif
1. Pentingnya komunikasi dalam Keluarga
Berkomunikasi merupakan keharusan bagi manusia. Manusia
membutuhkan dan senantiasa berusaha membuka serta menjalin
komunikasi atau hubungan dengan sesamanya. Selain itu, ada sejumlah
kebutuhan di dalam diri manusia yang hanya dapat dipuaskan lewat
komunikasi dengan sesamanya. Oleh karena itu, penting bagi kita menjadi
terampil dalam komunikasi.
Secara luas komunikasi adalah setiap bentuk tingkah laku
seseorang baik verbal maupun nonverbal yang ditanggapi oleh orang lain.
Komunikasi mencakup pengertian yang lebih luas dari sekedar
wawancara. Johnson (Supratiknya, 1995: 30) menjelaskan bahwa setiap
bentuk tingkah laku mengungkapkan pesan tertentu, sehingga juga
merupakan sebentuk komunikasi.
Secara sempit komunikasi diartikan sebagai pesan yang dikirimkan
seseorang kepada satu atau lebih penerima dengan maksud sadar untuk
mempengaruhi tingkah laku penerima. Dalam setiap bentuk komunikasi
setidaknya dua orang saling mengirimkan lambang- lambang yang
memiliki makna tertentu. Lambang- lambang tersebut bisa bersifat verbal
berupa kata-kata, atau bersifat nonverbal berupa ekspresi atau ungkapan
tertentu dan gerak tubuh (Supratiknya, 1995: 30).
Johnson (Supratiknya, 1995: 9) menunjukkan beberapa peranan
Komunikasi membantu perkembangan intelektual dan sosial kita; (2)
Identitas atau jati diri kita terbentuk dalam dan lewat komunikasi dengan
orang lain; (3) Dalam rangka memahami realitas di sekeliling kita serta
menguji kebenaran kesan-kesan dan pengertian yang kita miliki tentang
dunia di sekitar kita, kita perlu membandingkannya dengan kesan-kesan
dan pengertian orang lain tentang realitas yang sama dengan jalan
berkomunikasi; (4) Kesehatan mental kita sebagian besar juga ditentukan
oleh kualitas komunikasi atau hubungan kita dengan orang lain,
lebih-lebih orang-orang yang merupakan tokoh-tokoh signifikan dalam hidup
kita, seperti orang tua, guru.
Lane dan Stevens (1999) menyatakan bahwa komunikasi dalam
keluarga bagaikan nafas dalam kehidupan. Komunikasi merupakan faktor
dominan penentu keberhasilan dalam suatu keluarga. Tidak ada seorang
pun dalam keluarga bebas dari pengaruh komunikasi. Komunikasi yang
efektif mampu menyingkirkan masalah- masalah yang potensial sebelum
muncul dan merebak dalam keluarga. Komunikasi yang efektif juga
menambah keakraban yang menumbuhkan cinta kasih dalam keluarga.
Kualitas sebuah keluarga sangat dipengaruhi oleh suasana komunikasi
yang tercipta dalam keluarga itu sendiri. Bila komunikasi berjalan baik,
maka relasi di dalam keluarga pun akan baik. Bila komunikasi dalam
keluarga tidak berjalan dengan baik, maka relasi di dalam keluarga pun
Menurut Lane dan Stevens (1999), kegiatan mendengarkan akan
berhenti di tengah jalan, apabila orang yang berkomunikasi melakukan
interpretasi atau menilai apa yang didengarkan dari mitra komunikasinya
berdasarkan kebiasaan atau pengalaman hidup nya sendiri, orang
cenderung menghakimi, menilai, menyetujui atau menolak pernyataan atau
pendapat orang lain.
Sebagaimana telah dinyatakan di atas, bahwa tugas pengasuhan
dan pendampingan anak merupakan tugas utama seorang ibu. Agar ibu
dapat melaksanakan tugas pengasuhannya secara efektif dan efisien maka
diperlukan keterbukaan komunikasi antara anak dan ibunya. Melalui
keterbukaan komunikasi anak dapat menyampaikan berbagai persoalan
yang dihadapi mereka, ibu mereka pun dapat membantu mengatasi
berbagai persoalan yang mereka hadapi. Agar ibu dapat membantu
perkembangan remaja, ibu harus memiliki keterampilan mendengarkan
aktif. Dengan keterampilan mendengarkan aktif ibu dapat menangkap
pesan dan perasaan anaknya, dan dapat memantulkannya kembali dengan
kata-katanya sendiri.
2. Empat Jenis Tanggapan yang Konstruktif
Agar mampu memulai, mengembangkan dan memelihara komunikasi
yang akrab, hangat, dan produktif baik dalam keluarga maupun dengan
orang lain kita perlu mengetahui jenis-jenis tanggapan yang konstruktif.
Menurut Gordon (1999) ada empat jenis tanggapan yang konstruktif,
ajakan untuk melanjutkan; dan (4) mendengarkan aktif. Masing- masing
diuraikan pada bagian berikut.
a. Mendengarkan pasif: diam
“Silence is golden”. Dengan diam si pemilik masalah:
diajak untuk mengungkapkan masalahnya, diberi kesempatan
untuk mengalami proses katarsis dan mengungkapkan
perasaannya, dibuat bertahan (didasarkan) sebagai pemilik
masalah, didorong untuk menggali perasaan-perasannya lebih
dalam, ditunjukkan bahwa dia diterima.
b. Tanggapan pengakuan-penerimaan
Isyarat-isyarat verbal dan non verbal yang menunjukkan
bahwa sungguh-sungguh mendengarkan dengan penuh
perhatian. Isyarat non verbal misalnya mengangguk, agak
menunduk ke arah depan, tersenyum, mengerutkan dahi, dan
gerakan tubuh lain. Isyarat verbal misalnya “saya mengerti”.
“Mm, sangat menarik”. “Oh begitu”.
c. Ajakan untuk melanjutkan
Membuka pintu atau mengajak untuk berbicara lebih
banyak, misalnya: Apakah mau bicara lebih banyak lagi
tentang itu?, Itu sangat menarik, maukah melanjutkannya
lagi?, Apakah kau mau membicarakan hal itu?. Ini merupakan
pertanyaan terbuka, dan tanpa pernyataan, penilaian terhadap
d. Mendengarkan aktif
Dalam mendengarkan aktif pendengar atau penerima
berusaha mengerti perasaan pengirim atau pembicara serta arti
pesan yang dikirimnya. Kemudian pengertiannya dinyatakan
dalam kalimat dan dikirimkan kembali ke pengirim. Penerima
tidak mengirimkan pesannya sendiri, seperti penilaian,
pendapat, nasehat, analisis dan pertanyaan, melainkan apa yang
dianggapnya sebagai arti pesan si pengirim. Maksudnya untuk
mencocokkan ketepatan si penerima dalam mendengarkan dan
untuk meyakinkan si pengirim bahwa ia dimengerti pada saat
ia mendengar pesannya “diumpanbalikkan” secara tepat.
Ketiga cara mendengarkan yaitu mendengarkan pasif, tanggapan
pengakuan-penerimaan, dan ajakan untuk melanjutkan memiliki banyak
keterbatasan seperti tidak banyak interaksi, konseli atau pengirim yang
lebih aktif (dominan), dia tidak tahu apakah dia sudah dimengerti, dia
hanya tahu bahwa dia didengarkan tetapi tidak tahu sejauh mana penerima
menerima dirinya dengan segala persoalan dan perasaannya yang
sesungguhnya dan penyebab persoalannya belum digali secara optimal.
Ketiga cara itu relatif termasuk pasif, dan tidak menunjukkan bahwa
pembicara sudah dipahami. Hal ini sangat berbeda pada cara
3. Keterampilan Mendengarkan Aktif
a. Pengertian keterampilan mendengarkan aktif
Menurut Vembrianto (Sinurat, 1999: 14) keterampilan dapat
diartikan secara luas dan sempit. Keterampilan dalam arti sempit ialah
kemudahan, kecepatan, dan ketepatan dalam tingkah laku motorik,
yang juga disebut manual skill. Dalam arti luas, keterampilan meliputi
aspek manual skill, intellectual skill, dan social skill.
Adams dan Lenz (1995) mengemukakan bahwa keterampilan
mendengarkan aktif merupakan kecakapan esensial untuk membantu
orang lain pada saat mereka mempunyai masalah. Mendengarkan aktif
merupakan kegiatan yang penting untuk mengkomunikasikan
penerimaan pada saat berperan sebagai penolong.
Devito (Safaria, 2005: 164) mendefinisikan mendengarkan
sebagai proses aktif menerima rangsangan telinga dalam bentuk
gelombang suara. Mendengarkan tidak terjadi begitu saja, menuntut
perhatian, energi dan komitmen. Mendengarkan (listening) berbeda
dengan mendengar (hearning) sebagai proses pasif. Kata menerima
dalam mendengarkan menegaskan bahwa orang menyerap rangsangan
dan memprosesnya dengan cara tertentu, setidaknya selama beberapa
waktu, rangsangan yang diterima ditahan untuk diproses.
Menurut Wursanto (1987: 34) mendengarkan mempunyai dua
pengertian, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti
terhadap suatu berita atau pesan dengan mempergunakan indera
pendengar, terbatas pada penerimaan pesan secara lisan. Dalam arti
luas, mendengarkan adalah usaha untuk memperoleh pengertian
dengan mempergunakan indera pendengar dan kemampuan pikiran
untuk mengadakan interpretasi terhadap berita atau pesan yang
diterima, baik secara lisan maupun tertulis.
Menurut Safaria (2005: 172) mendengarkan aktif adalah
pendengar memahami, menangkap, dan merumuskan kembali denga n
kata-kata sendiri dan pesan pembicara berupa pikiran termasuk
perasaan pembicara. Mendengarkan aktif melibatkan sikap empati dari
pendengar sehingga mampu memantulkan kembali sesuai dengan
maksud pembicara secara cepat, mudah, dan tepat.
Gordon (Sinurat, 1999: 82) menegaskan bahwa dalam
mendengarkan aktif, pendengar berusaha mengerti perasaan pengirim
serta arti pesan yang dikirimkannya. Kemudian pengertiannya
dinyatakan dalam kalimat dan dikirimkan kembali kepada pengirim.
Penerima tidak mengirimkan pesannya sendiri, seperti penilaian,
pendapat, analisa, nasehat, dan pertanyaan. Yang diumpanbalikkan
hanyalah apa yang dianggapnya sebagai arti pesan pengirim.
Dalam mendengarkan aktif penerima berusaha mengerti
perasaan pengirim serta arti pesan yang dikirimkannya. Kemudian
pengertiannya dinyatakan dalam kalimat dan dikirimkan kembali
membicarakan apa yang telah kita capai”. Pemimpin: “Kedengarannya
Anda tidak menyetujui acara rapat”; (2) Bawahan: “Mengapa si Partini
itu banyak sekali membuat kesalahan?”. Pemimpin: “Anda
menyesalkan penampilannya”.
Berkomunikasi dengan remaja, tidak dapat diartikan
semata-mata sebagai kemampuan mengemukakan isi pikiran atau perasaan
orang tua kepada anak. Komunikasi dalam keluarga hanya dapat
berlangsung dengan melibatkan tiga komponen, yaitu: pembicara
(orang tua/ remaja), pendengar (remaja/ orang tua), dan pesan yang
dikomunikasikan. Artinya bahwa komunikasi hanya dapat berjalan
dengan lancar apabila orang tua dan remaja mampu mengemukakan
diri secara jelas dan bersedia mendengarkan pesan yang bersifat verbal
maupun isyarat (non verbal) atau gerakan tubuh lawan bicaranya.
Untuk itu, keterampilan mendengarkan aktif sangat penting diterapkan
dalam keluarga baik ole h remaja maupun oleh orang tua, karena
denga n mendengarkan aktif mereka bisa saling mengerti dan
memahami perasaan orang lain sebagaimana adanya. Remaja akan
terbuka mengungkapkan berbagai perasaan dan keinginannya bila
secara psikologis dia merasa aman, diterima oleh lingkungannya.
Penerimaan dari lingkungan merupakan faktor yang sangat penting
agar remaja dapat tumbuh, berkembang dan melakukan perubahan
demi peningkatan diri, belajar memecahkan masalah, menjadi lebih
Jadi, sikap menerima yang ditunjukkan orang tua kepada remaja
merupakan media yang subur bagi perkembangan anak.
Menurut Paleg (2004), ada tiga cara yang perlu diperhatikan
dalam keterampilan mendengarkan aktif, yaitu:
1) Pendengar mendengarkan apa yang dikatakan pembicara
dengan penuh perhatian, bukan separuh-separuh. Pendengar
melawan godaan untuk meremehkan, mengkritik,
menganalisa, atau mencoba memecahkan masalah yang
diungkapkan oleh pembicara. Pendengar mempertahankan
kontak mata, mengangguk, badan sedikit membungkuk ke
arah pembicara, tersenyum, dan mengerutkan dahi untuk
menunjukkan bahwa pendengar memberikan perhatian total
kepada pembicara.
2) Pendengar memperhatikan perasaan pembicara dan bukan
memperhatikan kata-katanya saja. Pendengar menyadari
adanya perasaan yang mendalam. Pendengar perlu
memperhatikan pesan-pesan non verbal pembicara,
misalnya: ekspresi wajah, nada suara, dan gerak tubuh.
3) Pendengar secara aktif memahami apa yang didengar.
Memahami tidak berarti menyetujui. Memahami berarti
membiarkan pembicara tahu secara verbal bahwa
pendengar sedang mendengarkan apa yang sedang
Mengacu pada definisi-definisi di atas, penulis menyimpulkan
dua hal, yaitu: (1) Keterampilan mendengarkan aktif adalah
kemampuan pendengar untuk mendengarkan dan mengerti pesan
termasuk perasaan pembicara, serta mengungkapkannya atau
memantulkannya kembali sesuai dengan maksud pembicara secara
mudah, tepat, dan cepat. (2) Ciri-ciri orang yang terampil
mendengarkan aktif, yaitu: Pertama, dapat mendengarkan dan mengerti
pesan pembicara. Kedua, dapat mendengarkan dan mengerti perasaan
pembicara. Ketiga, dapat mengungkapkan atau memantulkan kembali
pesan pembicara tanpa adanya penilaian, pendapat, analisa atau
pernyataan. Keempat, dapat mengungkapkan atau memantulkan
kembali perasaan pembicara.
b. Syarat-syarat yang Perlu Diperhatikan dalam Mendengarkan Aktif
Keterampilan mendengarkan aktif sebagai salah satu
keterampilan berkomunikasi memiliki syarat-syarat yang perlu
diperhatikan dalam menggunakannya. Menurut Gordon (1999)
syarat-syarat yang dimaksudkan adalah:
1) Pendengar harus mempercayai kemampuan pembicara untuk
mengatasi perasan-perasaannya, dan mencari penyelesaian
terhadap masalahnya. Tujuan mendengarkan aktif ialah
memberikan kesempatan kepada pembicara untuk menemukan
2) Pendengar harus benar-benar dapat menerima
perasaan-perasaan pemb icara, apa pun perasan itu atau walaupun
perasaan itu berlainan dengan perasaan pendengar.
3) Pendengar harus menyadari bahwa perasaan hanyalah
sementara, tidak permanen. Karena itu ungkapan-ungkapan
perasaan tidak perlu ditakutkan; perasaan-perasaan tidak akan
selamanya berada dalam diri orang yang bersangkutan.
4) Pendengar harus mau mendengarkan apa yang akan dikatakan
pembicara. Ini berarti pendengar harus bersedia meluangkan
waktu untuk mendengarkan.
5) Pendengar harus sungguh-sungguh mau menolong pemb icara
menghadapi masalahnya.
6) Pendengar harus dapat melihat pembicara sebagai seseorang di
luar pendengar, seorang pribadi yang unik, seorang individu
yang terpisah, yang mempunyai kehidupan sendiri dan identitas
sendiri.
7) Pendengar harus sadar bahwa banyak orang jarang dapat
langsung mengungkapkan masalah yang sesungguhnya
dihadapi. Mendengarkan aktif membantu pembicara untuk
memperjelas masalahnya, menggali masalahnya secara lebih
dalam.
8) Pendengar harus menghargai “privacy” pembicara menjaga
Dari pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa agar
terampil mendengarkan aktif, pendengar harus selalu belajar dan
memperhatikan syarat-syarat yang perlu dipenuhi dalam
melaksanakannya.
c. Manfaat Mendengarkan Aktif
Keterampilan mendengarkan aktif memberikan manfaat bagi
orang-orang yang sedang mengadakan komunikasi. Menurut Gordon
(1999) manfaat keterampilan mendengarkan aktif antara lain adalah:
1) Mendorong terjadinya katarsis (perasaan negatif berkurang/
hilang dengan jalan mengungkapkannya secara terbuka).
2) Menolong orang untuk menjadi tidak terlalu takut terhadap
perasan-perasaan negatif.
3) Memudahkan pemecahan masalah.
4) Mempengaruhi orang untuk mau lebih mendengarkan pendapat
orang lain.
5) Melatih orang untuk mengarahkan dirinya, bertanggung jawab,
dan berdiri sendiri.
d. Hambatan-hambatan dalam Mendengarkan Aktif
Devito (1997), Gordon (1999), maupun Wright (1997)
mencatat berbagai penghambat dalam mendengarkan aktif.
Walaupun setiap penulis berbeda penekanan, tetapi intinya bisa
diintegrasikan atas beberapa fakta:
Menurut Devito (1997) penghambat yang paling serius dan
merusak dalam mendengarkan adalah kecenderungan
pendengar untuk sibuk dengan diri sendiri, seperti memusatkan
perhatian pada tindak-tanduk diri sendiri selama interaksi.
Kesibukan dengan diri sendiri timbul boleh jadi karena
pendengar bersiap-siap berperan sebagai pembicara; pendengar
menyiapkan tanggapan dan memikirkan apa yang akan
dikatakannya untuk menjawab pembicara. Selama perhatian
pendengar berpusat pada diri sendiri, dia tidak atau kurang
memperhatikan apa yang dikatakan pembicara; pendengar bisa
kehilangan pesan yang dikirim oleh pembicara.
Hal ini disepakati Wright (1997) dan Gordon (1999) bahwa
pendengar sibuk memenuhi pikiran dengan segala
penyangkalan, alasan, atau pengecualian dari yang dikatakan
pembicara. Gordon (1999) mensinyalir pendengar cenderung
mengarahkan pembicara ke suatu arah atau tujuan tertentu,
yang justru menyebabkan pembicara merasa mendapat
perlawanan.
2) Sibuk dengan masalah- masalah ekternal
Pendengar cenderung untuk memusatkan perhatian pada
masalah- masalah yang tidak relevan dengan interaksi.
Pendengar memikirkan apa yang dilakukannya pada hari- hari
dilaksanakannya sesudah interaksi. Kesibukan memikirkan
soal-soal eksternal ini, akan menghambat untuk mendengarkan
secara aktif.
3) Mempertajam (sharpening)
Kecenderungan pendengar untuk mempertajam satu atau
dua aspek dari pesan pembicara dapat menjadi penghambat
dalam mendengarkan aktif. Pendengar menyoroti/ menekankan
hal tertentu yang kebetulan menonjol dibandingkan dengan
hal-hal lain yang diutarakan oleh pembicara.
Kuatnya upaya pendengar mempertajam persoalan tertentu,
sering mendorong pendengar melakukan interupsi menekankan
apa inti pesan yang disampaikan pembicara dan seolah-olah ia
telah mengerti dengan baik.
4) Mengasimilasi
Kecenderungan pendengar untuk merekonstruksi pesan
sedemikian sehingga sesuai dengan prasangka, kebutuhan dan
nilai pendengar sendiri dapat menjadi penghambat dalam
mendengarkan aktif. Akibatnya, pendengar membuat evaluasi
negatif terhadap pesan yang diterimanya.
5) Faktor lawan atau kawan
Pendengar cenderung mudah menerima pesan pembicara
apabila hubungan antara pendengar dan pembicara baik/
tidak baik/ bermusuhan, pendengar akan sulit mena ngkap pesan
pengirim secara tepat; pendengar akan cenderung menilai pesan
pembicara secara negatif.
6) Mendengar yang diharapkan
Pendengar cenderung mendengarkan apa yang diharapkan
dan bukan mendengarkan apa yang sebenarnya dikatakan
pembicara. Pesan yang dikirimkan akan lebih mudah ditangkap
dan dipahami pendengar, apabila pesan tersebut merupakan
hal- hal yang diharapkan daripada hal-hal yang tidak
diharapkan.
7) Membuka pintu kemudian menutupnya
Pendengar pada mulanya mulai dengan tujuan membuka
pintu bagi pembicara untuk berkomunikasi, tetapi kemudian
pendengar menutup pintu tersebut karena pendengar tidak sabar
untuk mendengarkan aktif secara tuntas.
8) Pendengar yang membeo
Pendengar cenderung mengulang atau menirukan apa yang
dikatakan oleh pembicara, dan bukan apa yang dirasakan oleh
pembicara.
9) Mendengarkan tanpa empati
Pendengar cenderung memberikan umpanbalik atau
menanggapi pembicara tanpa mengikutsertakan unsur perasaan
10)Pergumulan di dalam pendengar
Pendengar akan lebih mudah mendengarkan orang lain
daripada saudara kandung/ pasangan hidup karena emosi
pendengar tidak terlibat dengan masalah orang lain
dibandingkan masalah keluarga sendiri. Mendengarkan aktif
juga sulit jika pendengar ikut merasa bersalah atas timbulnya
masalah yang dialami pembicara.
11)Ruang pemikiran pendengar penuh dengan informasi
Ruang pemikiran pendengar sudah dipenuhi berbagai
informasi, sehingga tidak siap menerima tambahan informasi
dari pembicara. Pendengar merasa tidak memiliki cukup waktu
untuk mencerna informasi pembicara.
12)Ketepatan waktu
Sewaktu berbicara, pendengar merasa dikejar-kejar karena
masih ada acara lain yang akan dikerjakan. Pendengar
sebaiknya memberitahukan dengan jujur, bahwa saat itu bukan
saat yang tepat mendengarkan dia secara aktif, sehingga perlu
dicari waktu yang tepat. Hal itu jauh lebih baik daripada
menjadikan pembicara sebagai sampingan.
13)Kelelahan fisik
Kelelahan fisik dapat mengganggu seseorang dalam
mendengarkan aktif. Pendengar perlu memberitahukan kepada
akan memberitahukan lagi apabila sudah siap untuk
mendengarkan.
Dari hambatan yang disebutkan di atas penulis berkesimpulan
bahwa keterampilan mendengarkan aktif bukanlah hal yang mudah untuk
dilakukan. Setiap orang dapat belajar dan berlatih untuk meningkatkan
keterampilan mendengarkan aktif.
Sesungguhnya tidak ada yang khas dalam komunikasi antara
remaja dan ibu. Hanya saja efektif tidaknya komunikasi ini sangat
mempengaruhi perkembangan remaja. Jika figur ibu dianggap bisa
dipercaya maka remaja akan terdorong untuk berkomunikasi dengan
ibunya, sebaliknya jika ibu dianggap tidak bisa dipercaya mereka akan
menghindari
D. Persepsi Siswa -Siswi Kelas XI SMA Negeri I Depok Sleman Yogyakarta Tahun Ajaran 2006/2007 tentang Keterampilan Mendengarkan Aktif Ibunya
Setiap orang tidak pernah dapat menghilangkan keinginan untuk
menceritakan pengalaman-pengalaman pribadinya yang khas kepada
orang-orang yang dekat dengannya, misalnya anak terhadap ibunya,
sahabat karibnya, orang kepercayaannya. Siswa-siswi SMA sebagai
remaja biasanya tidak selalu memilih ibunya untuk mencurahkan segala
pengalaman, perasaan. Sejauh mana remaja tersebut mempersepsikan
untuk berkomunikasi dengan ibunya. Jika ibunya dipersepsikan tidak
cukup baik keterampilannya mendengarkan aktif, remaja bisa saja
menghindari berkomunikasi secara intens dengan ibunya. Sebaliknya jika
remaja tersebut mempersepsikan keterampilan mendengarkan aktif ibunya
baik remaja akan banyak berkomunikasi dengan ibunya untuk
perkembangan kepribadiannya sehingga bisa bergaul dengan baik, menjadi
pribadi yang dewasa dan bertanggung jawab, serta tidak mudah terjerumus
ke dalam hal- hal negatif.
Kemampuan orang untuk mendengarkan berbeda. Ada yang
mampu mendengarkan aktif tetapi ada juga hanya mampu mendengarkan
pasif. Mendengarkan merupakan proses intelektual dan emosional. Dengan
proses ini pendengar mengumpulkan dan mengintegrasikan masukan,
fisik, emosional, dan intelektual dari orang lain dan berusaha menangkap
pesan serta maknanya (Hunsaker dan Alessandra, 1986).
Menurut Hunsaker dan Alessandra (1986) bahwa salah satu hal
yang mempengaruhi kemampuan mendengarkan aktif adalah pengalama n
dan latar belakang pendidikan. Maksudnya, banyak orang yang tidak bisa
mendengarkan aktif karena tidak dididik atau dibiasakan untuk itu.
Sebaliknya ia akan terampil mendengarkan aktif bila dididik dan dilatih
untuk mendengarkan secara aktif.
Siswa-siswi kelas XI SMA Negeri I Depok Sleman Yogyakarta
tahun ajaran 2006/2007 ditinjau dari segi usianya masih tergolong remaja.
dan mempercayai teman-teman sebayanya daripada terbuka dengan orang
tuanya, termasuk ibunya. Apalagi bila ibunya tidak terampil