Banjarmasin, 7-8 Oktober 2015
Pembakaran
Rice Husk
dan
Coconut Shell
Dalam
Fluidized Bed Combustor
Tri Agung Rohmat1,a*, Dhito F. Nugroho2,b, I Made Suardjaja3,c 1,3Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
Jl. Grafika No.2 Yogyakarta, Indonesia 55262
2Program Studi S1 Teknik Mesin, JTMI FT-UGM
Jl. Grafika No.2 Yogyakarta, Indonesia 55262
atriagung_rohmat@ugm.ac.id,bdhito.fasagi@gmail.com,cmadesuar@ugm.ac.id Abstrak
Di tengah-tengah usaha memperkokoh ketahanan energi nasional, pemanfaatan biomassa dengan teknologi fluidized bed combustion mempunyai berbagai keuntungan, yaitu diantaranya dapat menangani berbagai jenis biomassa dengan rentang kualitas yang lebar dan polutan udara yang relatif rendah. Pada penelitian ini pembakaran sekam padi dan/atau batok kelapa dilakukan di dalam
fluidized bed combustor (FBC). Ruang bakar yang digunakan terdiri dari 2 bagian utama yaitu
berbentuk conical dan silindris. Bagian conical memiliki diameter besar 63 cm dan diameter kecil 12,5 cm serta tinggi 60 cm. Ruang bakar silindris memiliki diameter 63 cm dan tinggi 180 cm. Di bagian conical diletakkan material bed berupa pasir silika dengan rentang diameter 300~600 μm
dan ketinggian 25 cm. Sebagai bahan bakar rice husk (sekam padi) dan coconut shell (batok kelapa) masing-masing dialirkan dengan screw feeder yang berbeda. Adapun tujuan penelitian ini adalah meneliti karakteristik pembakaran single firing dan co-firing dari sekam padi dan batok kelapa dengan mengukur temperatur radial, temperatur aksial dan konsentrasi CO dan NO.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (a) pembakaran dengan bahan bakar sekam padi dominan menghasilkan distribusi temperatur aksial yang lebih merata, (b) penambahan batok kelapa menghasilkan temperatur yang lebih tinggi meskipun dengan nilai kalor yang hampir sama, (c) kebutuhan jumlah udara yang menghasilkan temperatur maksimal tidak sama dengan kebutuhan jumlah udara untuk menghasilkan CO minimal, (d) perlu menjadi pertimbangan jenis biomassa apa yang dominan apabila akan didesain fluidized bed boiler berbahan bakar campuran biomassa. Kata kunci : rice husk, coconut shell, co-firing, single firing, fluidized bed combustor
Pendahuluan
Salah satu sumber energi terbarukan yang masih kecil nilai rasio kapasitas terpasang dan sumber daya (KT/SD) adalah biomassa. Hal ini dapat dikarenakan beberapa faktor. Diantaranya adalah densitas energi yang terkandung dalam biomassa relatif kecil dan ketersediaannya yang dipengaruhi oleh musim. Pemanfaatan biomassa yang paling efektif dan efisien adalah dibakar dengan metode langsung in situ.
Fluidized bed combustion adalah salah satu
teknologi pembakaran yang sangat cocok digunakan untuk pembakaran bahan bakar padat. Keunggulan utama dari fluidized bed
combustion ialah mampu mengurangi emisi
NOx dikarenakan temperatur pembakaran
yang rendah 800~900 oC. Selain itu, penggunaan fluidized bed combustor (FBC) memiliki beberapa kelebihan unik yang membuatnya lebih menarik dibandingkan teknologi pembakaran bahan bakar padat lainnya, antara lain [1]:
fleksibilitas bahan bakar yang tinggi, baik dari sisi jenis, dimensi, maupun kualitas bahan bakar itu sendiri.
mampu menggunakan bahan bakar padat dengan kualitas rendah (kadar air mencapai 60% dan abu mencapai 70%).
tidak diperlukan pengkondisian yang mahal untuk mempersiapkan bahan bakarnya.
emisi SO2rendah.
Banjarmasin, 7-8 Oktober 2015 Studi single firing sekam padi sebagai
bahan bakar dalam swirling fluidized bed
combustor dilakukan oleh Kuprianov dkk. [2].
Kondisi operasi yang digunakan adalah 80 kg/h sekam padi dengan 40% udara lebih dan sebagai parameter penelitian adalah tingkat kelembaban sekam padi. Dari penelitian tersebut diketahui dengan meningkatnya kelembaban bahan bakar, temperatur mengalami penurunan pada semua posisi. Untuk kondisi yang sama diperoleh bahwa konsentrasi CO dan NO sangat dipengaruhi oleh kandungan air bahan bakar (fuel
moisture) sehingga semakin besar kandungan
air maka semakin menurun konsentrasi CO dan NO.
Atimtay dan Kaynak meneliti co-firing antara 75% (wt) biji buah persik dan 25% batubara. Sebagai hasilnya ditunjukkan bahwa temperatur maksimal terjadi pada daerah beberapa sentimeter di atas bed material karena terbakarnya kandungan volatil biji buah persik dan juga batubara di daerah tersebut [3]
Penulis beserta tim sebelumnya telah melakukan serangkaian penelitian pembakaran single firing batu bara pada FBC, dimana diteliti pengaruh udara lebih [4] dan tinggi bed [5]. Juga untuk pemanfaatan biomassa sebagai usaha diversifikasi sumber energi, maka dilakukan co-firing antara batu bara dengan sekam padi [6] dalam FBC. Selanjutnya untuk melengkapi database pembakaran dalam FBC maka pada penelitian ini dilakukan single firing sekam padi atau batok kelapa, dan co-firing antara sekam padi dan batok kelapa untuk mengetahui karakteristik pembakaran batok kelapa dan sekam padi di dalam bubbling fluidized bed
combustor.
Metode Eksperimental
Bubbling fluidized bed combustor (BFBC)
yang digunakan terdiri dari dua bagian. Bagian atas berbentuk silinder dengan diameter 63 cm dan tinggi 180 cm. Sedangkan untuk bagian bawah berbentuk kerucut terpotong dengan diameter besar 63 cm, diameter kecil 12,7 cm dan tinggi 60 cm. Keseluruhan material dari dinding BFBC ini
Untuk mencegah terjadinya rugi-rugi kalor
combustor dibalut dengan glass-wool dengan
ketebalan 5 cm. Gambar skematis dari BFBC, peralatan utama, dan peralatan pendukung ditunjukkan pada Gambar 1. Alat ini sama dengan yang digunakan oleh penulis beserta tim peneliti pada penelitian-penelitian sebelumnya [4, 5, 6].
Sebagai bed material digunakan pasir kuarsa dengan diameter berorde 300~600 m yang diletakkan di atas distributor udara. Udara dialirkan melalui distributor udara dari arah bawah dengan menggunakan blower berdaya 20 HP yang dilengkapi saluran by
pass. Debit udara diatur menggunakan stop valve dan diukur menggunakan orifis. Sebagai
bahan bakar digunakan biomassa berupa batok kelapa dan sekam padi yang masing-masing disuplai dengan menggunakan screw
feeder. Untuk pemanasan awal, digunakan gas
LPG sebagai bahan bakar yang dialirkan secara konsentrik dengan udara. Pemanasan awal diperlukan untuk menaikkan temperatur
bed sampai autoignition temperature dari volatile matter biomassa sehingga ketika
biomassa disuplai maka dapat terjadi pembakaran secara sendiri dan mandiri.
Gambar 1. Skema Alat Penelitian BFBC Pengukuran temperatur dilakukan dengan menggunakan termokopel tipe K, yang
Banjarmasin, 7-8 Oktober 2015 dipasang pada beberapa posisi seperti pada
Tabel 1, yang dihubungkan dengan OMRON RX-45 Data Logger. Pada tiap posisi diukur temperatur dari pusat silinder ke arah radial tiap 50 mm. Temperatur radial di tiap posisi kemudian diolah menjadi temperatur aksial dengan metode area-weighed-averaging.
Untuk pengukuran CO dan NO digunakan
Bacharach Portable Combustion and Emissions Anlyzer tipe PCA@3.
Sekam padi yang digunakan didapatkan dari petani di daerah Bantul, DIY. Adapun batok kelapa didapatkan dari pasar-pasar tradisional. Proximate analysis dari sekam padi dan batok kelapa dapat dilihat pada Tabel 2.
Kondisi eksperimental dibagi menjadi 6 kasus seperti pada Tabel 3. Yaitu 1 kasus
single-firing sekam padi, 2 kasus kasus co-firing dengan sekam padi dominan, 1 kasus single-firing batok kelapa, dan 2 kasus co-firing dengan batok kelapa dominan.
Tabel 1 Posisi Termokopel
TC Posisi Aksial (cm)
T1 15
T2 30
T3 65
T4 125
Tabel 2Proximate Analysis
No Analysis results
Air % Abu % KaloriKal/g MatterVolatile% CarbonFix % SP 3,99 22,79 3227,8 52,021 21,15 BK 11,62 0,63 4572,7 60,39 27,72 Catatan SP: sekam padi; BK: batok kelapa
Tabel 3. Kondisi Eksperimental
Ca
se msp
(kg/h) (kg/h)mbk (kg/h)mudara (kal/g)CVsp (kal/g)CVbk Heat Rate(kkal/h)
A 12 - 62,4 3227 4572 38724 B 8 2,7 52,8 3227 4572 38160 C 6 4,2 47,1 3227 4572 38564 D - 8,5 62,4 3227 4572 38862 E 3,5 6 52,8 3227 4572 38726 F 4,8 5 47,1 3227 4572 38349
Hasil dan Pembahasan
Gambar 2 Distribusi Temperatur Radial Gambar 2 menunjukkan contoh perubahan temperatur secara radial pada masing-masing posisi aksial termokopel. Di sini tidak ditunjukkan semua hasil dari semua kasus, karena kecenderungan untuk tiap kasusnya adalah mirip. Dari gambar ini dapat diketahui bahwa temperatur maksimal didapatkan bukan pada pusat sumbu silinder tetapi pada posisi 50100 mm. Walaupun begitu temperatur bervariasi dengan beda tidak lebih dari 25 oC dalam suatu penampang ruang bakar.
Gambar 3 menggambarkan perubahan temperatur terhadap posisi aksial dengan masing-masing kurva di dalamnya menunjukkan variasi laju massa udara. Adapun (a)(c) menunjukkan perubahan komposisi bahan bakar dalam keadaan sekam padi dominan sesuai dengan kasus AC
Dari Gambar 3 (a), kasus single-firing sekam padi, dapat dilihat bahwa temperatur sepanjang arah aksial relatif sama, dengan temperatur di sekitar permukaan bed sedikit lebih tinggi dibandingkan yang jauh dari bed. Hal ini diperkirakan karena sekam padi tidak menumpuk di permukaan bed, tetapi tertahan oleh aliran udara dari bawah sehingga proses pembakaran terjadi merata di sepanjang ruang bakar. Laju udara 47,1 dan 52,8 kg/h menghasilkan temperatur yang lebih tinggi berkisar antara 720750 oC dibandingkan ketika laju udara 57,6 dan 62,4 kg/h yang berkisar 680720 oC. Penurunan temperatur akibat peningkatan laju udara diyakini sebagai
Banjarmasin, 7-8 Oktober 2015
(a) Kasus A
(b) Kasus B
(c) Kasus C
Gambar 3 Temperatur Aksial (Sekam Padi Dominan)
efek pengenceran oleh udara yang membuat kondisi campuran bahan bakar dan udara menjauh dari kondisi stoikiometris.
Pada Gambar 3 (b), kasus dimana batok kelapa mulai ditambahkan tetapi sekam padi masih dominan, mulai terlihat perubahan yang cukup signifikan. Di semua posisi dan pada semua kondisi laju udara, temperatur naik mendekati 800 oC. Di sekitar permukaan
bed temperatur mencapai lebih dari 790 oC.
I n i
(a) Kasus A
(b) Kasus B
(c) Kasus C
Gambar 4 Temperatur Aksial (Batok Kelapa Dominan)
menunjukkan bahwa penambahan batok kelapa efektif untuk menghasilkan energi kalor lebih dibandingkan tanpa batok kelapa walaupun input heat rate relatif sama. Gradasi distribusi temperatur di sepanjang ruang bakar mulai terlihat. Perbedaan temperatur di sekitar permukaan bed dengan temperatur yang jauh dari permukaan bed semakin besar mencapai lebih dari 50 oC. Pada Gambar 2(c), kasus dimana laju batok kelapa semakin besar, fenomena gradasi temperatur di sepanjang
Banjarmasin, 7-8 Oktober 2015
(a) Sekam Padi Dominan
(b) Batok Kelapa Dominan Gambar 5 Konsentrasi CO
ruang bakar semakin jelas terlihat, terjadi perbedaan temperatur mendekati 100oC.
Bagaimanakah perubahan yang terjadi apabila laju batok kelapa dominan dibandingkan dengan laju sekam padi dapat dilihat pada Gambar 4 (a)(c).
Dari Gambar (a) dan (b) yaitu kasus
single-firing batok kelapa dan batok kelapa
dominan sekam padi, jelas terlihat pengaruh keberadaan batok kelapa yang terbakar di sekitar permukaan bed. Hal ini ditandai dengan semakin tingginya temperatur di permukaan bed (posisi aksial 15 dan 30 cm) yang mencapai sekitar 820 oC. Gradien temperatur sepanjang ruang bakar semakin besar, berkisar 150 oC, akibat tidak ada atau sedikitnya sekam padi yang terbakar pada posisi jauh dari permukaan bed. Batok kelapa dengan densitas yang relatif besar mengakibatkan batok kelapa tidak dapat ditahan oleh aliran udara ke atas, sehingga jatuh dan terbakar di permukaan bed. Hal ini semakin berkurang intensitasnya ketika sekam
(a) Sekam Padi Dominan
(b) Batok Kelapa Dominan Gambar 6 Konsentrasi NO
padi ditambahkan semakin banyak. Karena densitas sekam padi yang kecil, sekam padi jatuh dari screw feeder dan terbakar sebelum mencapai permukaan bed.
Gambar 5 (a) dan (b) masing-masing menunjukkan konsentrasi CO untuk kasus sekam padi dominan dan batok kelapa dominan. Secara umum emisi CO mengalami penurunan seiring dengan penambahan laju massa udara. Dengan kata lain emisi CO pada berbanding terbalik dengan laju massa udara. Hal ini dikarenakan semakin banyak udara yang disuplai maka kebutuhan udara dalam pembakaran akan mudah terpenuhi sehingga semakin besar laju massa udara semakin besar kemungkinan pembakaran sempurna terjadi sehingga kandungan CO semakin kecil. Tetapi kecenderungan ini berbalik pada laju udara berkisar 55-60 kg/h, yaitu teramati konsentrasi CO naik dengan kenaikan laju udara. Hal ini dapat dipahami karena pada laju udara yang tinggi temperatur yang dihasilkan turun sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3 dan 4. Seiring dengan itu laju
Banjarmasin, 7-8 Oktober 2015 reaksi juga turun sehingga menyebabkan
reaksi pembakaran terjadi tidak sempurna. Dari sisi kuantitas, secara keseluruhan produksi CO sangat rendah di bawah 200 ppm. Juga dapat dilihat bahwasanya CO yang dihasilkan dari kasus sekam padi dominan lebih tinggi dibandingkan kasus batok kelapa dominan. Hal ini diakibatkan setelah proses
drying dan devolatilization, char (arang) yang
terbentuk dari kasus sekam padi dominan dalam kondisi melayang-layang tertahan oleh aliran udara. Akibatnya seiring dengan reaksi pembakaran yang terjadi maka densitas partikel char semakin kecil sehingga mudah terlempar keluar dari ruang bakar dan proses pembakaran menjadi tidak sempurna.
Gambar 6 (a) dan (b) masing-masing menunjukkan konsentrasi NO untuk kasus sekam padi dominan dan batok kelapa dominan. Produksi NO sangat tidak signifikan di bawah 10 ppm. Mengacu pada distribusi temperatur yang rendah dan terkontrol seperti pada Gambar 2 dan Gambar 3, diprediksi jenis NO yang terbentuk bukan thermal NO (baik Zeldovich NO maupun prompt NO) tetapi fuel NO yaitu NO yang terbendung dari kandungan nitrogen dalam bahan bakar [7]. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan tersebut di atas maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
1. Distribusi temperatur radial relatif uniform untuk semua kasus.
2. Pembakaran dengan bahan bakar sekam padi dominan menghasilkan distribusi temperatur aksial yang lebih merata.
3. Penambahan batok kelapa menghasilkan temperatur yang lebih tinggi meskipun dengan nilai kalor yang hampir sama. 4. Kebutuhan jumlah udara yang
menghasilkan temperatur maksimal tidak sama dengan kebutuhan jumlah udara untuk menghasilkan CO minimal.
Dari studi ini apabila akan didesain
fluidized bed boiler berbahan bakar campuran
biomassa maka perlu dipertimbangkan jenis biomassa apa yang dominan. Apabila biomassa yang dominan mempunyai densitas
kecil maka kebutuhan pembenaman pipa di dalam bed relatif berkurang karena temperatur di luar bed yang relatif uniform.
Referensi
[1] Oka, N. Simeon, & Anthony, E.J., 2004.
Fluidized Bed Combustion, Marcel Dekker Inc, New York.
[2] Kuprianov, V.I., Kaewklum, R., Chakritthakul, S., 2010, Effects of operating conditions and fuel properties on emission performance and combustion efficiency of a swirling fluidized-bed combustor fired with a biomass fuel,
Energy 36 (2011) 2038–2048.
[3] Atimtay, A.T. dan Kaynak, B., Co-combustion of Peach and Apricot Stone with Coal in a Bubbling Fluidized Bed.
Fuel Processing Technology, pp.183-97,
2008.
[4] Pandiangan, F., Rohmat, T.A., dan Purnomo, Pengaruh Excess Air terhadap Karakteristik Pembakaran dalam
Bubbling Fluidized Bed Combustor, Prosiding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin SNTTM XII, 2013, Lampung.
[5] Kristiantana, K., Rohmat, T.A., dan Purnomo, Pengaruh Tinggi Bed Terhadap Kecepatan Minimum Fluidisasi dan Distribusi Temperatur Dalam Fluidized
Bed Combustor, Prosiding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin SNTTM
XII, 2013, Lampung.
[6] Pandiangan, F., Rohmat, T.A., dan Suardjaja, I.M., Studi Eksperimental
Co-firing Batubara Dengan Sekam Padi
Dalam Bubbling Fludized Bed Combustor (BFBC), Prosiding Seminar
Nasional Teknik Mesin 9, 2014, Surabaya
[7] Nussbaumer, T., Combustion and Co-combustion of Biomass: Fundamentals, Technologies, and Primary Measures for Emission Reduction, Energy & Fuels, 17, 2003, 1510-1521.