• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

A. Resiliensi

2. Aspek-aspek Resiliensi

Reivich & Shatte (2002: 33) menyebutkan bahwa individu yang resilien atau mampu menghadapi masalah memiliki 7 aspek, yaitu pengaturan emosi (emotion regulation), optimisme (optimism), empati (empathy), efikasi diri (self

efficacy), kontrol terhadap impuls (impulse control), kemampuan menganalisis

masalah (causal analysis), dan pencapaian (reaching out).

Pengaturan emosi (emotion regulation) diartikan sebagai kemampuan individu untuk mampu mengontrol emosi atau perasaannya, sehingga tetap tenang meskipun sedang mengalami hal yang tidak mengenakkan atau sedang berada dalam situasi yang tertekan. Reivich & Shatte (2002: 37) menegaskan bahwa kontrol emosi adalah hal yang penting dimiiki setiap individu, karena hal itu membantu dalam membangun komunikasi dan hubungan baik dengan orang lain. Mereka juga menggaris bawahi 2 hal penting untuk membangun kontrol emosi yang baik, yaitu tenang (calming) dan fokus (focusing). Individu yang terampil dalam mengelola kedua hal tersebut, akan dapat membantu

14

meredakan emosi yang negatif, memfokuskan pada pokok dan akar masalahnya serta mampu mengurangi stres.

Tugade dan Fredrickson (2004: 20) dalam penelitiannya tentang “Resilient Individuals Use Positive Emotions to Bounce Back from Negative

Emotional Experiences” menjelaskan bahwa kemampuan menghadapi masalah

dengan kontrol emosi positif dapat membantu seseorang untuk bisa resilien. Artinya, dengan kontrol emosi yang baik (menghadapi permasalahan dengan emosi positif) dapat menjadikan individu bertahan dan bisa pulih dari keadaan yang menekan.

Optimisme (optimism) merupakan kemampuan individu untuk meyakini dirinya bahwa dia mampu bangkit dari keadaan yang tidak nyaman dan memandang masa depan dengan semangat, namun tetap realistis. Reivich & Shatte (2002: 41) menerangkan bahwa optimisme mampu memberikan dorongan pada individu untuk mencari jalan keluar dari setiap permasalahan, dan memberikan dorongan energi untuk terus berjuang dengan keras memperbaiki situasi yang ada. Individu yang optimis memiliki kepercayaan diri bahwa dia mampu mengontrol arah hidupnya.

Scheier dan Carver (1985; Carver & Scheier, 2003; dalam Moneta, 2014: 160) menjelaskan optimis sebagai suatu kecenderungan seseorang untuk percaya bahwa satu hal akan berlangsung dengan baik bahkan lebih baik walaupun sebenarnya hidup ini ada sisi buruknya.

Beberapa penelitian tentang optimism (lihat review dari Scheier & Carver, 1992 dan dari Scheier, Carver, & Bridges, 2001; dalam Moneta, 2014: 161) menunjukkan bahwa kecenderungan optimisme memiliki hubungan dengan beberapa cara adaptasi strategi koping yang digunakan seseorang untuk menghadapi suatu permasalahan, seperti penerimaan diri, interpretasi positif terhadap suatu hal yang negatif, dan adanya respon humor.

Penelitian yang dikemukakan Reivich & Shatte (2002: 41) menunjukkan individu yang optimis memiliki tingkat kesehatan fisik yang lebih baik, lebih produktif dalam bekerja, dan lebih jarang mengalami depresi dibandingkan individu yang pesimis. Mereka juga menambahkan bahwa optimis memiliki hubungan terhadap efikasi diri individu. Jika seseorang memiliki kepercayaan diri yang baik maka dia akan optimis untuk menghadapi permasalahan yang menimpa.

Empati (emphaty), diartikan sebagai kemampuan individu untuk dapat memahami, mengerti perasaan dan keadaan orang lain. Menurut Smith, A. (2006) empati menunjukkan suatu kepedulian, rasa sensitif, dan pengertian terhadap kondisi mental orang lain. Individu dengan kemampuan ini mampu memahami keadaan orang lain dari bahasa non-verbalnya, seperti ekspresi wajahnya, intonasi suaranya saat berbicara, dan gerak-gerik bahasa tubuhnya.

Reivich & Shatte (2002: 44) juga mengatakan seseorang yang berempati mampu membaca keadaan orang lain dan memahaminya dari bahasa non-verbal tersebut. Dia menambahkan bahwa orang yang memiliki kemampuan empati

16

baik cenderung memiliki hubungan sosial yang positif. Martin L. Hoffman (dalam Taufik, 2012: 185) menambahkan bahwa empati adalah keterlibatan proses psikologis yang membuat seseorang memiliki feelings yang lebih kongruen dengan situasi orang lain daripada dengan situasi sendiri.

Efikasi diri (self efficacy), diartikan sebagai kemampuan individu untuk yakin dan percaya bahwa dia mampu mengatasi masalah yang dihadapi dan akan berhasil. Reivich & Shatte (2002: 45) mengatakan bahwa individu dengan efikasi diri baik percaya bahwa dirinya akan mampu bangkit dari keadaan tidak nyamannya, dan dia akan berusaha untuk terus melakukan yang terbaik untuk dirinya sendiri dan lingkungannya.

Cassidy (2015: 1) menuliskan dalam jurnalnya bahwa efikasi diri adalah persepsi atau anggapan individu terhadap kemampuan dirinya. Menurut Reivich & Shatte (2002: 46), kemampuan efikasi diri yang baik akan menjadikan hubungan sosial indvidu lebih baik, memberikan dorongan pada diri untuk lebih positif, dan memberikan peluang untuk mendapatkan kepercayaan diri selanjutnya. Reed, Mikels, & Lockenhoff (2012: 1730 menguraikan penjelasan Bandura bahwa efikasi diri merupakan kepercayaan dan keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri untuk sukses dalam suatu tugas. Selain itu, kemampuan ini juga memberikan dorongan keberanian pada individu untuk menghadapi banyak tantangan hidup.

Kontrol terhadap impuls (impuls control), diartikan sebagai kemampuan individu untuk mengontrol dorongan, keinginan, dan tekanan dari dalam diri

sehingga tetap dapat berpikir secara bijak dan jernih. Menurut Reivich & Shatte (2002: 39) pengendalian impuls berhubungan dengan pengaturan emosi. Individu yang memiliki kontrol emosi baik akan menunjukkan kualitas baik dalam mengendalikan keinginan-keinginan dalam dirinya. Mereka juga percaya, jika pengendalian terhadap impuls rendah, individu akan cenderung menangkap dan meyakini impuls pertama yang mereka terima secara mentah tanpa adanya pengolahan dalam diri.

Kemampuan menganalisis masalah (causal analysis) diartikan sebagai kemampuan individu dalam menelaah permasalahan dan penyebab terjadinya suatu masalah. Reivich & Shatte (2002: 41) menjelaskan, jika individu yang tidak mampu menganalisa dan mengkaji suatu masalah dengan baik, maka akan terjadi suatu pengulangan kesalahan yang sama. Kemampuan menganalisa masalah ini erat kaitannya dengan gaya pemikiran seseorang.

Martin Seligman (Reivich & Shatte, 2002: 41-42) menerangkan bahwa terdapat 3 gaya/pola pemikiran seseorang, yaitu: 1) personal (aku-bukan aku); 2) permanent (selalu-tidak selalu), dan; 3) pervasive (semua-tidak semua).

1) Individu dengan pola pemikiran personal “aku” akan cenderung menyalahkan diri sendiri atas terjadinya suatu masalah. Sedangkan individu dengan pola pemikiran personal “bukan aku” akan cenderung menyalahkan orang lain atas terjadinya permasalan.

2) Pola pemikiran permanent “selalu-tidak selalu” berhubungan dengan kepercayaan individu terdapat adanya suatu masalah. Individu dengan

18

pola pemikiran ini “selalu” akan cenderung menganggap suatu kegagalan memang selalu untuk dirinya. Sedangkan individu dengan pemikiran “tidak selalu”, dia akan memandang masalah secara dinamis, artinya setiap permasalan pasti ada jalan keluarnya, dan kegagalan/kemalangan tidak selalu untuk dirinya.

3) Pola pemikiran pervasive “semua” dimiliki oleh individu yang menganggap satu permasalahan dalam hidupnya akan menggagalkan seluruh bagian dari usahanya bahkan kehidupannya. Sedangkan pola pemikiran pervasive “tidak semua” dimiliki oleh individu yang menganggap satu permasalahan dapat dikaji dan dicari penyebabnya sehingga dapat diperbaiki, dan bagian kehidupannya yang lain tetap dapat berjalan dengan baik.

Reivich & Shatte (2002: 43) menambahkan bahwa individu yang resilien adalah mereka yang memiliki fleksibilitas pola pikir, sehingga setiap permasalahan yang datang dalam kehidupannya dapat dianalisis dengan teliti dan baik.

Aspek yang terakhir adalah 7) pencapaian (reaching out). Aspek ini diartikan sebagai kemampuan individu untuk meningkatkan aspek-aspek yang positif dalam dirinya sehingga dapat mengatasi ketakutan yang mengancam dalam kehidupan. Menurut Reivich & Shatte (2002: 46) kemampuan seseorang untuk mencapai hal positif dalam hidupnya berkaitan erat dengan keyakinan,

kesetiaannya pada usaha yang dilakukannya dan pengetahuan akan kadar kemampuannya.

Ketujuh aspek yang telah disebutkan memiliki peran masing-masing untuk membantu individu bertahan dalam sebuah tekanan atau permasalahan. Seharusnya seluruh aspek tersebut dimiliki oleh individu agar mampu menjadi individu yang resilien. Namun, Ong, Bergeman, & Chow (2010) berpendapat bahwa memberikan respon berupa emosi positif adalah dasar untuk membangun pribadi yang resilien.

Dokumen terkait