• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Stres Kerja

2.1.2 Aspek-aspek Stres Kerja

Menurut Robbins (2001) stres muncul dalam sejumlah cara. Misalnya, seorang individu yang mengalami tingkat stres yang tinggi dapat menderita tekanan darah tinggi, tukak lambung, mudah marah, sulit membuat keputusan rutin, hilang selera makan, rawan kecelakaan, dan yang serupa. Semua ini dapat dibagi dalam tiga kategori umum: gejala fisiologis, psikologis dan perilaku.

a. Gejala Fisiologis

Kebanyakan perhatian dini atas stres diarahkan pada gejala fisiologis seperti perubahan dalam metabolisme, meningkatkan laju detak jantung, dan pernapasan, meningkatkan tekanan darah, menimbulkan sakit kepala, dan menyebabkan serangan jantung.

b. Gejala Psikologis

Stres dapat menyebabkan ketidakpuasan. Stres yang berkaitan dengan pekerjaan dapat menimbulkan ketidakpuasan yang berkaitan dengan pekerjaan. Hal ini adalah efek psikologis yang paling sederhana dan paling jelas dari stres. Tetapi stres muncul dalam keadaan psikologis lain, misalnya ketegangan, kecemasan, mudah marah, kebosanan dan suka menunda-nunda.

c. Gejala Perilaku

Gejala stres yang dikaitkan dengan prilaku mencakup perubahan dalam produktifitas, absensi, dan tingkat keluarnya karyawan, juga perubahan dalam kebiasaan makan, meningkatnya merokok dan konsumsi alkohol, bicara cepat, gelisah, dan gangguan tidur. Uraian diatas menunjukkan bahwa stres kerja merupakan aspek yang kompleks, yang dapat mempengaruhi kondisi fisiologis, psikologis, maupun perilaku sehingga dapat muncul dalam bentuk tingkah laku yang dilakukan tanpa disadari atau bahkan dilakukan dengan sengaja. Misalnya, perubahan dalam metabolisme, meningkatnya tekanan darah, sakit kepala, mudah marah, kecemasan, meningkatkya merokok. Perubahan dalam hasil kerja, absensi, gelisah, gangguan tidur, bahkan juga beresiko mendapat serangan jantung.

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres

Kondisi-kondisi yang cenderung menyebabkan stres disebut stresors. Meskipun stres dapat diakibatkan oleh hanya satu stresors, biasanya karyawan mengalami

stres karena kombinasi stresors. Menurut Robbins (2001) ada tiga sumber utama yang dapat menyebabkan timbulnya stres yaitu :

(1) Faktor Lingkungan

Keadaan lingkungan yang tidak menentu akan dapat menyebabkan pengaruh struktur organisasi yang tidak sehat terhadap karyawan. Dalam faktor lingkungan terdapat tiga hal yang dapat menimbulkan stres bagi karyawan, yaitu ketidakspastian ekonomi, politik dan teknologi. Perubahan yang sangat cepat karena adanya penyesuaian terhadap ketiga hal tersebut membuat seseorang mengalami ancaman terkena stres. Hal ini dapat terjadi, misalnya perubahan teknologi yang begitu cepat. Perubahan yang baru terhadap teknologi akan membuat keahlian seseorang dan pengalamannya tidak terpakai karena hampir semua pekerjaan dapat terselesaikan dengan cepat dan dalam waktu yang singkat dengan adanya teknologi yang digunakannya.

(2) Faktor Organisasi

Didalam organisasi terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan stres yaitu tuntutan tugas, tuntutan peran, tuntutan antar pribadi dan struktur organisasi.Pengertian dari masing-masing faktor organisasi tersebut adalah sebagai berikut :

a. Role Demands

Peraturan dan tuntutan dalam pekerjaan yang tidak jelas dalam suatu organisasi akan mempengaruhi peranan seorang karyawan untuk memberikan hasil akhir yang ingin dicapai bersama dalam suatu organisasi tersebut.

b. Interpersonal Demands

Mendefinisikan tekanan yang diciptakan oleh karyawan lainnya dalam organisasi. Hubungan komunikasi yang tidak jelas antara karyawan satu dengan karyawan lainnya akan dapat menyebabkan komunikasi yang tidak sehat. Sehingga pemenuhan kebutuhan dalam organisasi terutama yang berkaitan dengan kehidupan sosial akan menghambat perkembangan sikap dan pemikiran antara karyawan.

c. Organizational Structure

Mendefinisikan tingkat perbedaan dalam organisasi dimana keputusan tersebut dibuat dan jika terjadi ketidak jelasan dalam struktur pembuat keputusan atau peraturan maka akan dapat mempengaruhi kinerja seorang karyawan dalam organisasi.

d. Organizational Leadership

Berkaitan dengan peran yang akan dilakukan oleh seorang pimpinan dalam suatu organisasi. Karakteristik pemimpin menurut The Michigan group (Robbins, 2001) dibagi dua yaitu karakteristik pemimpin yang lebih mengutamakan atau menekankan pada hubungan yang secara langsung antara pemimpin dengan karyawannya serta karakteristik pemimpin yang hanya mengutamakan atau menekankan pada hal pekerjaan saja. Empat faktor organisasi di atas juga akan menjadi batasan dalam mengukur tingginya tingkat stres. Pengertian dari tingkat stres itu sendiri adalah muncul dari adanya kondisi-kondisi suatu pekerjaan atau

masalah yang timbul yang tidak diinginkan oleh individu dalam mencapai suatu kesempatan, batasan-batasan, atau permintaan-permintaan dimana semuanya itu berhubungan dengan keinginannya dan dimana hasilnya diterima sebagai sesuatu yang tidak pasti tapi penting (Robbins, 2001).

(3) Faktor Individu

Pada dasarnya, faktor yang terkait dalam hal ini muncul dari dalam keluarga, masalah ekonomi pribadi dan karakteristik pribadi dari keturunan. Hubungan pribadi antara keluarga yang kurang baik akan menimbulkan akibat pada pekerjaan yang akan dilakukan karena akibat tersebut dapat terbawa dalam pekerjaan seseorang. Sedangkan masalah ekonomi tergantung dari bagaimana seseorang tersebut dapat menghasilkan penghasilan yang cukup bagi kebutuhan keluarga serta dapat menjalankan keuangan tersebut dengan seperlunya. Karakteristik pribadi dari keturunan bagi tiap individu yang dapat menimbulkan stres terletak pada watak dasar alami yang dimiliki oleh seseorang tersebut. Sehingga untuk itu, gejala stres yang timbul pada tiap-tiap pekerjaan harus diatur dengan benar dalam kepribadian seseorang.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hurel dkk (dalam Munandar, 2001) sumber-sumber stres kerja dapat dikelompokkan sebagai berikat:

a. faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, seperti tuntutan fisik dan tuntutan tugas.

c. pengembangan kerier, seperti ketidakpastian pekerjaan dan kepincangan status

d. hubungan dalam pekerjaan, seperti interaksi antar sesama karyawan. e. struktur iklim organisasi.

2.1.4 Tahapan Stres kerja

Sarafino (2008) mencoba mengkonseptualisasikan proses terjadinya stres kedalam ke dalam tiga pendekatan, yaitu :

1. Stimulus

Keadaan atau situasi dan peristiwa yang dirasakan mengancam atau membahayakan yang menghasilkan perasaan tegang disebut sebagai stressor. Beberapa ahli yang menganut pendekatan ini mengkategorikan stressor menjadi tiga :

a. Peristiwa katastropik, misalnya angin tornado atau gempa bumi.

b. Peristiwa hidup yang penting, misalnya kehilangan pekerjaan atau orang yang dicintai.

c. Keadaan kronis, misalnya hidup dalam kondisi sesak atau bising.

2. Respon

Respon adalah reaksi sesorang terhadap stresor. Untuk itu dapat diketahui dari dua komponen yang saling berhubungan, yaitu komponen psikologis dan komponen fisiologis.

b. Komponen fisiologis, seperti detak jantung, mulut yang mongering (sariawan), keringat dan sakit perut. Kedua respon tersebut disebut dengan strain atau ketegangan.

3. Proses

Stres sebagai suatu proses terdiri dari stesor dan strain ditambah dengan satu dimensi penting yaitu hubungan antara manusia dengan lingkungan. Proses ini melibatkan interaksi dan penyesuaian diri yang kontinyu, yang disebut juga dengan istilah transaksi antar manusia dengan lingkungan, yang didalamnya termasuk perasaan yang dialami dan bagaimana orang lain merasakannya.

Pendapat lain dikemukakan Oleh Hans Seyle (dalam Sopiah, 2008), yang tertarik pada bagaimana cara stres mempengaruhi badan dan mengamati serangkaian perubahan biokimia dalam sejumlah organisme yang beradaptasi terhadap berbagai macam tuntutan lingkungan. Rangkaian perubahan ini dinamakan (general adaption syndrome), yang terdiri dari tiga tahap, antara lain: 1. Alarm

Persepsi yang menantang atau mengancam menyebabkan otak mengirimkan pesan biokimia keberbagai bagian tubuh. Akibatnya terjadi peningkatan kecepatan pernafasan, tekana darah, detak jantung, ketegangan otot dan respon fisik lainnya. Tingkat energi dan efekititas penanggulangan dengan segera merespon awal shock. Dalam hal ini syok yang ekstrem mungkin mengakibatkan tidak adanya kekuatan atau bahkan kematian sebab tubuh tidak sanggup menghasilkan cukup energi dengan cukup cepat. Pada sebagian besar

situasi, reaksi alarm seseorang terus berjaga-jaga terhadap kondisi lingkungan dan mempersiapkan tubuh kearah resisten.

2. Resistensi

Kemampuan mengatasi perkembangan tuntutan lingkungan yang dimiliki seseorang berada pada tingkat diatas normal selama tingkat resistensi, karena tubuh digerakkan oleh berbagai mekanisme biokimia, psikis dan perilaku. Sebagi contoh, kita memiliki tingkat adrenalin diatas normal selama resistensi ini. Kita mencurahkan energi lebih untuk menanggulangi atau menghilangkan sumber stres. Bagaimanapu resistensi yang kita miliki sebenarnya hanya untuk satu atau dua tuntutan lingkungan. Akibatnya kita mudah diserang oleh sumber-sumber stres yang lain.

3. Keletihan

Orang memiliki kapasitas resistensi yang terbatas sehingga jika sumber stres berlangsung lama maka pada akhirnya mereka akan pindah ketingkat keletihan. Pada sebagian besar situasi, tingkatan ini merupakan bagian terakhir dari proses panjang sindroma adaptasi umum.

2.1.5 Pengukuran Stres Kerja

Stres kerja diukur dengan menggunakan skala stres kerja berdasarkan teori Robbins (2001) dengan menggunakan tiga aspek yaitu gejala fisiologis, gejala psikologis, dan gejala perilaku.

2.2 RELIGIUSITAS 2.2.1 Definisi Religiusitas

Religiusitas berasal dari akar kata religion (agama). Menurut Bouma (1992) religion bertugas untuk mengatur kehidupan orang sehari-hari agar selalu berada dalam bimbingan Tuhan Sang Pencipta. Harun Nasution (dalam Arifin, 2008) merunut pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu al-Din, religi (relegare, religere), dan agama. Al-din (semit) berarti undang-undang atau hukum. Kemudian dalam bahasa Arab, kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan. Sedangkan dari kata religi (latin) atau relegare berarti mengumpulkan dan membaca. Kemudian religare berarti mengikat. Adapun kata agama tediri dari a = tidak; gam= pergi mengandung arti tidak pergi, tetap di tempat atau diwarisi turun temurun.

Bertitik tolak dari pengertian kata-kata tersebut menurut Harun Nasution, intisarinya adalah ikatan. Karena itu agama mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan dimaksud berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia sebagai kekuatan gaib yang tak dapat ditangkap dengan pancaindera, namun mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Nasution (dalam Arifin, 2008).

Dalam pengertian Glock dan Stark (1970) yang dikutip oleh Jamaludin Ancok agama atau relligion adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan perilaku yang terlambangkan yang semuanya berpusat pada persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning) (Ancok, 2001). Sedangkan menurut Thuoless (1995) agama adalah hubungan praktis yang

dirasakan dengan apa yang dipercaya sebagai makhluk atau wujud yang lebih tinggi daripada manusia.

Religiusitas menurut Fetzer (1999) adalah sesuatu yang lebih menitikberatkan pada masalah perilaku, social dan merupakan sebuah doktrin dari setiap agama atau golongan. Karenanya doktrin yang dimiliki setiap agama wajib diikuti oleh setiap pengikutnya.

Abdul Mujib (2006) menjelaskan bahwa religiusitas adalah kemampuan individu untuk menjalankan ajaran agama secara benar dan baik dengan landasan keimanan dan ketakwaan.

Dari penjelasan para ahli yang memaparkan tentang religiusitas peneliti menyimpulkan bahwa religiusitas adalah kemampuan individu menyesuaikan diri dengan dunia luar dan menjalankan, mengamalkan atau mengaplikasikan sitem nilai atau keyakinannya secara benar dengan berlandaskan keimanan dan ketakwaan

2.2.2 Aspek-aspek Religiusitas

Dalam sebuah laporan penelitian yang diterbitkan oleh Jhon E. Fetzer (1999) yang berjudul Multidimensional Measuremen Religiusness, Spiritually For Use In Heath Research menjelaskan 12 dimensi religiusitas yaitu: daily spiritual, experienc, meaning, value, belief, forgivness, private religious practices, religious/spiritual coping, religous support, religious/spiritual history, comitmen, ooganizational religiousness dan religious preference .

1. Dailly Spiritual Experience

Merupakan dimensi yang memandang dampak agama dan spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini daily spiritual experiences merupakan persepsi individu terhadap sesuatu yang berkaitan dengan transeden dalam kehidupan sehari-hari dan persepsi terhadap interaksinya pada kehidupan tersebut, sehingga dailly spiritual experiences lebih kepada pengalaman kognitif, Underwood (dalam Fetzer, 1999).

2. Meaning

Meaning adalah mencari makna dari kehidupan dan berbicara mengenai pentingnya makna atau tujuan hidup sebagai bagian dari rasa koherensi fungsi penting untuk mengatasi hidup atau unsur kesejahteraan psikologis. Konsep meaning dalam hal religiusitas sebagaiman konsep meaning yang dijelaskan oleh Fiktor Frankl yang biasa disebut dengan istilah kebermaknaan hidup. Adapun meaning yang dimaksud disini adalah yang berkaitan dengan religiusitas atau disebut religion-meaning yaitu sejauh mana agama dapat menjadi tujuan hidupnya. Pragament (dalam Fetzer 1999).

3. Value

Konsep value menurut Idler (dalam Fetzer Instute, 1999) adalah pengaruh keimanan terhadap nilai-nilai hidup, seperti mengajarkan tentang nilai cinta, saling menolong, saling melindungi dan sebagainya. Value dimaksudkan untuk mengukur dimensi-dimensi berbeda dari nilai tempat keberadaan seorang

individu dalam agamanya (“seberapa penting agama dalam hidupmu?”) dimana dalam hal tersebut berkaitan dengan komitmen seseorang. Teori-teori lain memandang value sebagai kriteria yang biasa digunakan orang-orang untuk memilih dan menilai tindakan. Dimensi ini mencoba untuk menaksir tingkat dimana suatu perilaku individu mencerminkan suatu ungkapan normative dari keyakinannya atau agamanya sebagai nilai tertinggi (ultimate value). Bentuk sederhana dari dimensi ini secara langsung menaksir pengaruh keyakinan dalam kehidupan sehari-hari.

4. Belief

Konsep belief menurut Idler (dalam Fetzer, 1999) merupakan sentral dari religiusitas. Religiusitas merupakan keyakinan akan konsep-konsep yang dibawa oleh suatu agama. Dalam bahasa Indonesia belief disebut keimanan yaitu kebenaran yang diyakini dengan hati dan diamalkan dengan amal perbuatan. Dalam ajaran agama Islam keyakinan itu seperti itu seperti yakin kepada Allah, yakin kepada kitab malaikat, yakin kepada hal Kitab suci Al-Quran, yakin kepada Rasullullah, yakin kepada hari akhir, dan yakin kepada Qadha dan Qadar.

5. Forgiveness

Forgivness adalah memafkan, yaitu suatu tindakan memaafkan dan bertujuan untuk memafkan bagi orang yang melakukan kesalalahan dan berusaha keras untuk melihat orang itu dengan belas kasihan, kebajikan dan cinta.

Dimensi forgiveness menurut Idler (dalam Fetzer, 1999) mencangkup 5 dimensi turunan, yaitu:

a. Pengakuan dosa

b. Merasa diampuni oleh Tuhan c. Merasa dimaafkan oleh orang lain d. Memafkan orang lain

e. Memafkan diri sendiri

6. Private Religious Practice

Private religious practice menggambarkan kegiatan yang dilakukan oleh individu secara pribadi berbeda dengan public religious practice yang dilakukan lebih formal, terorganisir dan berhubungan dengan orang lain yang melibatkan waktu dan tempat tertentu. Pada private religious practice tidak selalu terjadi pada tempat dan waktu yang pasti atau telah ditentukan.

Private religious practice dapat dilakukan dirumah baik itu sendiri ataupun bersama keluarga tidak melibatkan pengalaman secara kolektif atau dengan masyarakat umum. Private religious practice menurut Levin (dalam Fetzer, 1999) merupakan perilaku beragama dalam praktek agama, meliputi ibadah, mempelajari kitab, dan kegiatan lain-lain untuk meningkatkan religiusitasnya.

7. Religiuos / Spiritual Coping

Religious spiritual coping menurut Pragrement (dalam Fetzer, 1999) merupakan coping stres dengan menggunakan pola dan metode religious. Seperti dengan berdoa, beribadah untuk menghilangkan stres, dan sebagainya. Menurut Pragement (dalam Fetzer, 1999) menjelaskan bahwa ada tiga jenis coping secara religious, yaitu:

a. Deffering Style, yaitu meminta penyelesaian masalah kepada Tuhan saja. Yaitu dengan cara berdoa dan meyakini bahwa Tuhan akan menolong Hamba-Nya dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan.

b. Collaborative style, yaitu hamba meminta solusi kepada Tuhan dan hambanya senantiasa berusaha melakukan coping

c. Self- Directing Style, yaitu inidvidu bertanggung jawab sendiri dalam menjalankan coping

8. Konsep Religious Support

Konsep ini menurut Krause (dalam Fetzer, 1999) adalah aspek hubungan sosial antara individu dengan dengan pemeluk agama sesamanya. Dalam Islam hal ini sering disebut dengan Al-Ukhuwah Al-Islamiyah.

9. Religious Spiritual History

Adalah seberapa jauh individu berpartisipasi untuk agamanya selama hidupnya dan seberapa jauh agama mempengaruhi perjalanan hidupnya. Pengukuran area ini dimaksudkan untuk mengukur sejarah keberagamaan/spiritual seseorang.

Terdapat empat aspek yang dapat diukur berkaitan dengan sejarah keberagamaan/ spitualitas seseorang:

a. Biografi keagamaan

b. Pertanyaan-pertanyaan mengenai sejarah keagamaan/spiritual c. Pengalaman kegamaan/spiritual yang mengubah hidup d. Kematangan spiritual

10. Commitment

Konsep comitmen menurut menurut Williams (dalam Fetzer, 1999) adalah seberapa jauh individu mementingkan agamanya, komitmen, serta berkontribusi kepada agamanya.

11. Organizational Religiousness

Konsep organizational religiousness menurut Idler (dalam Fetzer, 1999) merupakan konsep yang mengukur seberapa jauh individu ikut serta dalam lembaga keagamaaan yang ada di masyarakat dan beraktifitas didalamnya.

12. Religious Preference

Konsep religious preference menurut Ellisson (dalam Fetzer, 1999) yaitu memandang sejauh mana individu membuat pilihan dan memastikan pilihan agamanya.

Sedangkan Menurut Glock & Stark, dimensi-dimensi relegiusitas terdiri dari lima macam yaitu:

1. Dimensi keyakinan (Ideologis).

Dimensi ini berisikan pengarapan-pengharapan dimana orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganut diharapkan akan taat. Walupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya diantara agama-agama, tetapi seringkali juga diantara tradisi-tradisi dalam agama yang sama.

2. Dimensi praktek agama (Ritual)

Dimensi ini mencakup perilaku pemujaaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya.

3. Dimensi pengalaman (Eksperensial)

Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu. Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman-pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi dan sensasi-sensasi yang dialami seorang pelaku atau didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan.

4. Dimensi pengetahuan Agama (Intelektual)

Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi.

5. Dimensi konsekuensi

Dimensi ini mengacu kepada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.

Berdasarkan dimensi-dimensi yang telah dipaparkan sebelumnya, peneliti memilih untuk menerapkan teori Fetzer (1999) karena teori tersebut lebih komprehensif dan relevan dalam mendukung penelitian yang dilakukan dan juga sesuai dengan kondisi sampel yang digunakan dalam penelitian.

2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religiusitas

Thoules (1992) mengemukakan ada 3 faktor yang dapat mempengaruhi religiusitas yaitu:

1) Faktor Sosial

Faktor sosial berpengaruh terhadap keyakinan dan perilaku keagamaan, faktor siosial mencakup semua perilaku sosial dalam perkembangan sikap keagamaan mulai dari pendidikan yang diberikan orang tua, tradisi-tradisi sosial, dan tekanan-tekanan lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat da sikap yang disepakati oleh lingkungan itu.

2) Faktor Intelektual

Faktor intelektual merupakan salah satu unsur yang bisa membantu pembentukan sikap keagamaan. Manusia adalah makhluk yang berfikir (al-hayawanun-natiq) dan sebagai salah satu akibat dari pemikirannya adalah

bahwa ia membantu diriny untuk menentukan keyakina-keyakinan mana yang harus diterimanya dan yang mana pula yang harus ditolaknya.

3) Faktor emosional

Berbagai pengalaman yang membantu sikap keagamaan, terutama pengalaman-pengalaman mengenai: (a) keindahan, keselarasan, dan kebaikan didunia lain (faktor alami), (b) konflik moral (faktor moral), dan (c) pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif).

2.2.4 Pengukuran Religiusitas

Religiusitas diukur dengan menggunakan skala religiusitas berdasarkan teori Fetzer (1999) dengan menggunakan dua belas aspek yaitu daily spiritual experiences, meaning, values, beliefs, forgivness, private religous practices, religious/spiritual coping, religious support, religious/spiritual history, commitment, organizational religiousness, religious preference.

2.3 ADVERSITY QUOTIENT

Dokumen terkait