• Tidak ada hasil yang ditemukan

konsentrasi ambien 600

4. Estimasi Emisi Total per Grid

7.3 Aspek Ekonomi

7.3 Aspek Ekonomi

Simulasi model dinamis menghasilkan bahwa kerugian ekonomi meningkat secara kuadratik sebanding dengan meningkatnya konsentrasi ambien PM10. Dengan asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi konstan sebesar 2 persen selama masa estimasi maka persentase biaya kerusakan lingkungan dapat dipetakan dan diberikan pada Gambar 35.

Gambar 35 memperlihatkan bahwa biaya kerusakan lingkungan yang dihasilkan dari model pada tahun 2005 lebih dari 8 persen dari PDRB Jakarta pada tahun tersebut.

Biaya kerusakan tersebut akan terus meningkat apabila tidak ada upaya menurunkan tingkat pencemaran. Data pertumbuhan ekonomi Jakarta menunjukkan angka rata-rata pertumbuhan antara tahun 2000-2004 sekitar 4 persen. Jadi sekalipun digunakan tingkat pertumbuhan ekonomi 4 persen per tahun, tingkat pertumbuhan tersebut belum dapat mengatasi biaya kerusakan lingkungan.

Persentase Biaya Kerusakan Lingkungan Thp PDRB Jakarta 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 2005 2007 2009 2011 2013 2015 2017 2019 2021 2023 2025 Tahun (% )

Gambar 35 Persentase Kerugian Ekonomi terhadap PDRB Model

Tingginya persentase biaya kerusakan tersebut memperlihatkan bahwa biaya kerusakan lingkungan harus dimasukan dalam perhitungan PDRB atau PDB. Tidak terinternalisasinya biaya kerusakan lingkungan dalam PDRB menyebabkan tidak tersedianya biaya abatemen bagi kerusakan lingkungan. Dengan demikian, sekalipun pertumbuhan ekonomi terjadi, namun titik balik dari EKC tidak akan dicapai (Bartz & Kelly, 2004).

Hubungan antara pendapatan per kapita di Jakarta dan emisi PM10 dari kendaraan diberikan dalam bentuk persamaan sebagai berikut:

2 3

1 2

Y =α − β xx

di mana Y adalah emisi kendaraan (kiloton/tahun)

x adalah pendapatan per kapita (juta Rupiah).

Hubungan antara pendapatan per kapita dan emisi PM10 dari kendaraan diberikan pada Gambar 36, menunjukkan bahwa titik balik (turning point) dari kurva EKC tidak diperoleh. Panayotou (2000) menyatakan bahwa turning point dari EKC sulit ditentukan bagi negara yang berpenghasilan rendah. Selain itu, dapat juga terjadi bahwa data

pendapatan per kapita kurang lengkap seperti yang terjadi di Malaysia untuk parameter lingkungan yang sama.

Namun yang penting dicatat adalah semakin tinggi grafik hubungan antara pendapatan per kapita dan pencemaran maka semakin jauh grafik tersebut dari titik ambang batas lingkungan dan hal tersebut akan menyebabkan terjadinya atau akan meningkatnya dampak pencemaran yang tidak terpulihkan. Kenaikan grafik hubungan antara pendapatan dan pencemaran tersebut merupakan indikasi bahwa terdapat kekeliruan dalam kebijakan pembangunan ekonomi yang ada (Panayoutou 2000). Karena itu, kebijakan perbaikan lingkungan merupakan hal yang mendesak agar tidak memperparah kerusakan yang telah terjadi. Sekalipun nilai NPV menunjukkan angka yang cukup tinggi dalam penelitian ini, namun kerusakan kesehatan penduduk Jakarta mungkin tidak dapat dikembalikan dengan biaya tersebut.

Em isi PM10 dari Kendaraan

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 8.51 8.71 8.91 9.12 9.33 9.55 9.77 10.00 10.23 10.47 10.71

Pendapatan per Kapita (jt Rp)

k ilo to n /t h n

Gambar 36 Pendapatan per Kapita vs Emisi PM10 Kendaraan

Panayoutou (2000) memberikan hubungan antara pencemaran dan pendapatan per kapita serta kaitannya dengan kebijakan pemerintah antara lain dengan melakukan subsidi terhadap bahan bakar minyak dan tidak terinternalisasinya biaya kerusakan lingkungan diberikan pada Gambar 37. Gambar 37 memperlihatkan bahwa adanya hak kepemilikan tidak terdefinisi dengan baik, subsidi terhadap BBM dan tidak terinternalisasinya biaya kerusakan lingkungan menyebabkan titik balik dari EKC diperoleh pada tingkat pencemaran yang tinggi. Penghapusan subsidi pada BBM menyebabkan titik balik EKC dapat dicapai pada tingkat pencemaran yang lebih rendah

dibandingkan dengan pada saat subsidi masih dilakukan. Lebih lanjut dengan menghilangkan subsidi, melakukan internalisasi biaya kerusakan, dan mendefinisikan hak kepemilikan dengan jelas akan menurunkan EKC di bawah ambang batas lingkungan.

Gambar 37 Pendapatan per Kapita, Pencemaran dan Kebijakan Pemerintah Sumber: Panayoutou 2000.

Saran yang diberikan oleh Panayoutou (2000) adalah menghapuskan subsidi dan melakukan internalisasi biaya kerusakan melalui pajak pencemaran. Penghapusan subsidi BBM dapat dilakukan dengan pemberlakuan penggunaan bahan bakar alternatif (gas) bagi kendaraan umum. Pertimbangan rendahnya harga jual bahan bakar alternatif dibandingkan dengan biaya pengolahan bahan bakar tersebut dapat diatasi dengan melakukan pengalihan dana subsidi BBM pada pendanaan pengolahan atau produksi bahan bakar alternatif. Penghapusan subsidi BBM dengan cara ini pada tahap awal belum meningkatkan pendapatan negara, namun dalam jangka panjang penggunaan bahan bakar alternatif akan lebih menguntungkan. Keuntungan yang diperoleh adalah menurunnya penggunaan BBM untuk sektor transportasi dan menurunnya biaya kerusakan lingkungan.

Internalisasi biaya kerusakan merupakan salah satu cara untuk menurunkan tingkat pencemaran. Sebagai negara berkembang dengan pendapat per kapita yang relatif rendah maka pemerintah/pemerintah daerah membutuhkan dana bagi pembangunan yang dilakukan, sehingga lingkungan kurang mendapat perhatian. Karena itu, Fullerton (2001) menyatakan bahwa apabila pendapatan negara atau daerah bukan sebagai isu atau alasan

maka kebijakan CAC dapat didisain yang dapat mereduksi pencemaran dan menghasilkan kesejahteraan. Dengan kata lain, untuk negara yang masih harus meningkatkan pendapatan maka seharusnya kebijakan lingkungan yang diterapkan adalah kebijakan lingkungan yang menghasilkan revenu.

Beberapa alasan penggunaan instrumen ekonomi yang diterapkan di negara lain adalah internalisasi biaya kerusakan lingkungan lebih mudah dilakukan melalui penggunaan intrumen ekonomi dan bahwa instrumen ekonomi menghasilkan revenu yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai perbaikan pembangunan (Beltran 1996). Selain itu, biaya abatemen yang dibutuhkan menggunakan kebijakan BME antara 6 sampai 10 kali lebih besar dari biaya abatemen yang dibutuhkan menggunakan pajak emisi (Feng et al. 2005; Fullerton 2001). Hal ini menyimpulkan bahwa penggunaan instrumen ekonomi dalam kebijakan lingkungan merupakan alternatif perbaikan lingkungan yang lebih efisien.

Kebijakan CAC lebih banyak digunakan karena kebijakan CAC atau standar performa/emisi merupakan kebijakan yang mudah dan tidak membutuhkan dana yang besar dalam pengelolaannya. Rendahnya biaya pengelolaan kebijakan CAC karena monitoring emisi tidak perlu dilakukan oleh pemerintah. Di samping itu secara politis kebijakan CAC lebih mudah diterima sehingga kebijakan CAC lebih digemari oleh pemerintah. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak digunakannya instrumen ekonomi dalam kebijakan lingkungan untuk kendaraan bermotor di Indonesia lebih didasarkan pada pertimbangan politis yaitu menurunnya popularitas pemerintah di depan pemilihnya (Field & Field 2002).

Negara lain yang telah menggunakan instrumen ekonomi dalam kebijakan lingkungannya membuktikan bahwa PDB akan meningkat untuk beberapa polutan tertentu. Contohnya penggunaan pajak emisi pada SO2, NOx, dan PM10 di Swedia meningkatkan PDB dan menurunkan tingkat pengangguran dibandingkan dengan penggunaan BME (Menz & Seip 2004). Di samping itu, Swedia menerapkan kebijakan perbedaan pajak BBM bertimbel dan BBM bebas timbel serta perbedaan pajak solar menurut kualitas solar tersebut, revenu dari perbedaan pajak tersebut telah melampaui biaya tambahan untuk memproduksi bensin tidak bertimbel dan solar yang tingkat polusinya lebih rendah (Beltran 1996).

Contoh tersebut membuktikan bahwa menggunakan instrumen ekonomi untuk mengatasi masalah lingkungan dapat dimanfaatkan untuk membangun berbagai fasilitas lain yang juga akan memperbaiki lingkungan. Misalnya dalam meningkatkan produksi dan distribusi bahan bakar gas.

Permasalahannya adalah bagaimana mendisain instrumen pajak agar tujuan perbaikan lingkungan dapat tercapai. Selama ini, instrumen pajak termasuk pajak kendaraan yang diterapkan di Indonesia merupakan kebijakan fiskal yang penggunaannya untuk berbagai kebutuhan pembangunan. Hal ini merupakan indikasi bahwa penerapan pajak lingkungan harus didisain sedemikian rupa sehingga sebagian dari revenu pajak tersebut dapat digunakan untuk menutupi anggaran pembangunan.

Penggunaan pajak earmarked merupakan alternatif penggunaan instrumen ekonomi untuk mengatasi pencemaran udara dari kendaraan bermotor. Pajak penggunaan jalan misalnya dapat menginternalisasi biaya ekternalitas penggunaan kendaraan bermotor seperti yang dilaksanakan di Singapore. Penggunaan pajak earmarked pada kendaraan dan penggunaan jalan dapat dikembalikan dalam bentuk pembangunan prasarana dan sarana transportasi umum serta penggunaan teknologi untuk perbaikan lingkungan telah banyak di laksanakan (Beltran 1996).

Penggunaan pajak ’earmarked’ di Indonesia dalam mengatasi pencemaran dari kendaraan bermotor harus dapat dikembalikan pada pembayar pajak dan penerima dampak dari kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kendaraan bermotor. Jadi penggunaan revenu pajak tersebut dapat digunakan untuk memberikan layanan kesehatan yang lebih baik pada masyarakat, sekalipun pengguna layanan kesehatan tersebut bukan dari penduduk yang menerima dampak pencemaran dari kendaraan bermotor.