• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2. Aspek Ekonomi Pengelolaan Hutan Kemenyan

Ditinjau dari aspek ekonomi, kemenyan juga memberikan manfaat bagi petani pengelolanya. Hutan kemenyan telah menjadi bagian dari sejarah hidup yang sudah sejak ratusan tahun lalu hingga sekarang menjadi sumber penghasilan. Secara umum penghasilan petani responden bersumber dari pertanian termasuk di dalamnya kebun kemenyan. Besar kecilnya penghasilan petani, berbanding lurus dengan berapa luas lahan yang dimiliki dan berapa luas lahan yang mampu diusahakan petani yang bersangkutan. Penghasilan disini adalah penghasilan kotor seluruhnya yang diperoleh petani selama satu tahun. Pada umumnya petani responden memperoleh penghasilan rata-rata dari hasil panen sawah, kebun dan kemenyan sebesar Rp 21.641.900 dengan sebaran seperti pada Tabel 13.

Tabel 13. Sebaran petani responden berdasarkan pendapatan

No Penghasilan (Rp juta/tahun) Jumlah Responden (Jiwa) Persentase (%)

1 10-19 22 37

2 20-29 35 58

3 ≥ 30 3 5

Total 60 100

Bila dilakukan pengelompokan terhadap petani responden berdasarkan desa dimana mereka tinggal, maka diketahui bahwa rata-rata pendapatan dari petani di Desa Sampean lebih tinggi jika dibandingkan dengan penghasilan yang diperoleh petani di Desa Simarigung (Tabel 14). Namun perbedaan yang terjadi tidak terlalu signifikan, melihat kondisi petani di kedua desa juga hampir tidak ditemukan perbedaan, baik dari sumber mata pencaharian, luas lahan yang diolah dan juga cara bertani.

Tabel 14. Pendapatan rata-rata petani responden berdasarkan desa No Nama Desa Penghasilan (Rp/Tahun)

Sawah Kebun Kemenyan Total 1 Simarigung 554.400 7.795.200 12.381.667 20.731.267 2 Sampean 772.800 7.734.400 13.901.667 22.008.867

Khusus penghasilan dari penyadapan getah kemenyan, dibahas untuk mengetahui berapa persentase pendapatan yang diperoleh dari hutan kemenyan dibandingkan terhadap pendapatan total selama satu tahun. Mayoritas masyarakat yang tinggal di kedua desa masih memiliki kebun kemenyan dengan luasan yang bervariasi mulai dari 0,5 sampai 2 hektar. Dari hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata dalam setahun petani kemenyan memperoleh penghasilan sebesar Rp 21.641.900 dimana Rp 13.233.600 diperoleh dari hasil penjualan getah kemenyan. Jika pendapatan dari menyadap getah kemenyan dibandingkan dengan pendapatan secara keseluruhan maka sebesar 60,69% diperoleh dari hasil kebun kemenyan, artinya kebun kemenyan masih memiliki andil yang besar sebagai sumber mata pencaharian.

Besarnya pendapatan tentunya dipengaruhi oleh luas kemenyan yang dimiliki. Oleh karena itu, dalam analisa selanjutnya, responden distratifikasi menjadi 3 kelompok berdasarkan luas kebun kemenyan. Hal ini dilakukan untuk melihat perbandingan pendapatan dari masing-masing strata dan sebagai hasilnya disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15. Persentase pendapatan (kotor) petani dari kemenyan terhadap pendapatan total No Luas Kemenyan (ha) Jumlah Responden

Rata-Rata Pendapatan (Rp/tahun) Persentase pendapatan

(%)

Sawah Kebun Kemenyan Total

1 < 1 22 1.260.000 7.069.091 8.463.636 16.792.727 50,99

2 1 - 1,99 33 366.545 7.899.455 15.649.091 23.905.091 65,61

3 ≥ 2 5 0 7.603.200 18.278.000 25.881.200 70,95

Rata-rata 60 663.300 7.564.800 13.233.500 21.641.900 60,69

Dari kedua desa yang menjadi lokasi penelitian, getah kemenyan masih menjadi andalan petani untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, baik yang luas lahannya dibawah 1 hektar, 1-1,99 hektar maupun 2 hektar ke atas dimana pendapatan dari hutan kemenyan memberikan proporsi di atas 50%. Artinya adalah lebih dari setengah penghasilan petani secara keseluruhan diperoleh dari hasil penyadapan getah kemenyan.

Dari Tabel 15 dapat dilihat bahwa petani yang memiliki luas hutan kemenyan ≥ 2 Ha tidak memiliki pendapatan dari sawah. Dengan pemilikan hutan kemenyan dan kebun yang sedemikian luas, petani tidak punya cukup waktu dan tenaga untuk mengelola sawah sekaligus. Selain karena keterbatasan waktu dan tenaga, petani merasa bahwa penghasilan dari kemenyan dan kebun masih mampu mencukupi kebutuhan keluarga mereka.

5.2.2. Analisa Finansial Kelayakan Usaha Pengelolaan Hutan Kemenyan

Dalam kajian pengelolaan hutan kemenyan ini, aspek ekonomi lain yang penting untuk diketahui, yaitu analisa kelayakan usaha dari pengelolaan hutan kemenyan. Untuk analisa kelayakan usaha ini ada tiga (3) parameter yang digunakan. Ketiga parameter tersebut adalah Nilai Bersih Sekarang (Net Present Value), Rasio Pendapatan dan Biaya (Benefit Cost Ratio) dan Internal Rate of Return (IRR). Dalam analisa finansial kelayakan usaha dilakukan dalam dua (2) skenario, yaitu dengan memperhitungkan sewa lahan (skenario 1) dan tanpa memperhitungkan sewa lahan (skenario 2). Nilai masing-masing parameter ini disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16. Analisa finansial pengelolaan hutan kemenyan per satuan hektar selama 50 tahun

No Analisa Finansial Nilai

Skenario 1 Skenario 2 1 Net Present Value (NPV) Rp 17.226.428 Rp 24.901.670

2 Benefit Cost Ratio (BCR) 2,37 2,85

3 Internal Rate of Return (IRR) 22,6% 28,8%

Dari analisa finansial kelayakan usaha pengelolaan hutan kemenyan, untuk nilai NPV diperoleh nilai sebesar Rp 17.226.428 dan Rp 24.901.670 pada suku bunga (interest rate) 13%. Dari hasil analisa ini dapat disimpulkan bahwa usaha ini layak dilaksanakan karena menghasilkan keuntungan. Begitu juga halnya dengan analisa kelayakan usaha dengan menggunakan metode BCR. Dengan metode ini dihasilkan indeks sebesar 2,37 pada skenario 1 dan 2,85 pada skenario 2, artinya pengelolaan hutan kemenyan ini layak dilaksanakan karena jika dibandingkan antara penerimaan dan pengeluaran cenderung memperoleh

keuntungan. Sementara untuk IRR sebesar 22,6% (skenario 1) dan 28,8% (skenario 2) masih jauh diatas tingkat suku bunga sekarang (13%) yang artinya apabila seluruh modal untuk membangun hutan kemenyan ini dipinjam, maka petani masih mampu mengembalikan pinjaman beserta bunganya sampai pada tingkat suku bunga 22,6% (skenario 1) dan 28,8% (skenario 2). Dengan demikian analisa finansial ini menyimpulkan bahwa pengelolaan hutan kemenyan layak dilaksanakan.

Dengan asumsi kebun kemenyan dibangun dari awal (bukan kebun kemenyan warisan yang siap disadap) nilai NPV yang sebesar Rp 17.226.428/ha untuk skenario 1 dan Rp 24.901.670/ha untuk skenario 2 selama 50 (lima puluh) tahun merupakan sesuatu yang kurang menarik (dari sisi ekonomi) untuk diusahakan, karena keuntungan bersih yang diperoleh sangat kecil dan sangat berbeda jauh bila dibandingkan dengan penghasilan dari usahatani kopi yang mampu menghasilkan Rp 18.850.597/Ha/Tahun (Karo-karo, 2010) dan juga masih jauh bila dibandingkan dengan upah minimum regional (daerah setempat), yaitu Rp 965.000/bulan.

Untuk menjadikan pengelolaan kemenyan ini lebih kompetitif dan lebih menarik, diperlukan upaya-upaya yang dapat meningkatkan pendapatan. Upaya- upaya dimaksud dibahas pada sub bab “Strategi Pengembangan Pengelolaan hutan Kemenyan”.

5.2.3. Produktivitas Petani dan Hutan Kemenyan

Dalam proses pengelolaan hutan kemenyan, kegiatan yang banyak menyita waktu petani adalah penyiapan lahan, penanaman, penyiangan, pembersihan batang (penyadapan/pelukaan) serta pemanenan getah. Dalam proses penyadapan, para petani seragam menggunakan cara konvensional yaitu dengan cara penakikan membentuk luka vertikal pada batang. Produktivitas petani yang dimaksudkan disini adalah kemampuan petani melakukan pekerjaan per satuan hari kerja sementara produktivitas hutan kemenyan adalah jumlah produksi getah kemenyan yang diperoleh per satuan luas per satuan waktu.

Kemampuan petani dalam melakukan penyadapan bervariasi, sekitar 10- 15 batang/orang/hari tergantung besar diameter pohon. Diameter besar akan

memiliki tingkat kesulitan menyadap yang lebih besar (Sasmuko 1996). Begitu juga dalam kegiatan pemanenan, petani mampu mengerjakan sekitar 15-20 batang/orang/hari. Perlu diketahui bahwa tidak semua pohon dapat disadap serentak seperti pada kebun karet, tetapi harus menyesuaikan kondisi tanaman. Indikator yang digunakan adalah daun. Jika dalam satu pohon masih terdapat daun muda maka penyadapan belum dapat dilakukan. Pohon ini baru dapat disadap apabila daunnya sudah dewasa/tua.

Untuk hutan kemenyan yang diusahakan petani sekarang pada umumnya memiliki jarak tanam 3 meter x 3 meter. Dalam satu hektarnya rata-rata petani kemenyan memiliki tanaman menghasilkan (TM) sebanyak 728 batang selebihnya ditumbuhi tanaman kemenyan yang belum menghasilkan dan pohon lain. Produksi tanaman yang menghasilkan, getah mampu diproduksi sebanyak 174 kg/ha/tahun dimana rata-rata per pohonnya menghasilkan getah sebanyak 0,25 kg. Petani menyadari bahwa telah terjadi penurunan produktivitas tanaman kemenyan karena menurunnya kesuburan tanah. Faktor penyebab lain dari tanaman sendiri, dimana sebagian tanaman kemenyan banyak yang sudah tua dan mati.

5.2.4. Pemasaran Getah Kemenyan

Dalam kajian ini, pemasaran getah kemenyan tidak dibahas secara detail hanya gambaran umumnya saja. Rantai pemasaran diisi oleh pihak petani kemenyan, agen pengumpul tingkat desa, agen pengumpul tingkat kecamatan, agen pengumpul tingkat kabupaten dan pihak pengolah sekaligus eksportir.

Pada umumnya petani langsung menjual hasil sadapan ke pedagang pengumpul tingkat desa. Selain karena biaya angkutan, hubungan kekeluargaan menjadi alasan lain mengapa petani menjual langsung ke pengumpul di desa. Namun pada saat-saat tertentu, sebagian petani ada juga yang menjual ke pengumpul ditingkat kabupaten. Perlu diketahui Kota Dolok Sanggul merupakan ibukota dari kecamatan merangkap ibukota kabupaten sehingga khusus untuk Kecamatan Dolok Sanggul, agen pengumpul tingkat kecamatan merangkap agen pengumpul di kabupaten. Pengumpul (agen) di tingkat kabupaten inilah yang selanjutnya memasarkan ke pihak pengolah dan sekaligus eksportir yang berada di

Pulau Jawa (Jawa Tengah). Rantai pemasaran getah kemenyan mulai dari petani sampai ke eksportir disajikan pada Gambar 4.

Gambar 3. Rantai pemasaran getah kemenyan

Dalam penjualan getah kemenyan, hasil panen petani kemenyan dikelompokkan ke dalam dua kelas yaitu kualitas pertama yang dikenal dengan “mata kasar” dan kualitas kedua yang dikenal dengan istilah “tahir”. Pada saat pelaksanaan penelitian ini harga getah kualitas kemenyan untuk kualitas pertama dihargai Rp 100.000 per kilogram sedangkan untuk kualitas kedua dihargai Rp 70.000 per kilogram. Secara umum petani melakukan pengolahan getah kemenyan terlebih dahulu sebelum dijual karena akan memperoleh harga yang lebih tinggi. Namun pada saat tertentu karena terdesak memenuhi kebutuhan keluarga, petani menjual langsung getah tanpa melakukan pengolahan.

Dokumen terkait