• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian pengelolaan hutan kemenyan (Styrax sp.) di Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian pengelolaan hutan kemenyan (Styrax sp.) di Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara"

Copied!
167
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PENGELOLAAN HUTAN KEMENYAN (Styrax sp.)

DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN, PROVINSI

SUMATERA UTARA

MARUARI SITOMPUL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Pengelolaan Hutan Kemenyan (Styrax sp.) Di Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2011

Maruari Sitompul

(3)

ABSTRACT

MARUARI SITOMPUL. Studi on Incence (Styrax sp.) Forest Management at Humbang Hasundutan Regency, North Sumatra Province. Under direction of LETI SUNDAWATI and DODIK RIDHO NURROCHMAT.

Incense gum as non timber forest product has high economic value and used as raw material for perfumes, pharmaceuticals, cosmetics, soaps and ciggaret industry. The incense forest need to be developed to increase farmer’s income. The purpose of this study is to identify social, economic and ecological aspect, to identify incense forest management problems and to formulate strategies for developing incence forest management. The research was conducted in Simarigung and Sampean Villages, Humbang Hasundutan Regency, North Sumatra Province from May to August 2010. Incense forest management is a part of culture and local people knowledge. Incense forest has social, economic and ecological benefits. In average, farmers acquired income Rp 13,233,500/year (60.69% of total income) from incence. Result of SWOT analysis shows that to develop the incense forest, it is needed to reduce internal weakness and use or optimize opportunity throught strategies such as: intensify extension activities, forming farmer groups and/or cooperative, supervision of the incense gum marketing system, intensive farming system and the use of incense superior seedlings.

(4)

RINGKASAN

MARUARI SITOMPUL. Kajian Pengelolaan Hutan Kemenyan (Styrax sp.) di Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara. Dibimbing oleh LETI SUNDAWATI dan DODIK RIDHO NURROCHMAT.

Getah kemenyan sebagai hasil hutan bukan kayu memiliki nilai ekonomi tinggi dan berpeluang untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Namun sampai saat ini masih banyak permasalahan-permasalahan yang dialami petani kemenyan. Selain sistem pengelolaannya yang masih bersifat tradisional dan belum banyak disentuh oleh upaya-upaya pengembangan, dalam hal pemasaran petani sering kali kurang menikmati hasil dari penjualan getah kemenyan. Tujuan penelitian ini yang pertama, yaitu mengkaji aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya dari pengelolaan hutan kemenyan dijawab melalui analisa deskriftif. Sedangkan tujuan kedua dan ketiga, yaitu menganalisis permasalahan-permasalahan dan merumuskan strategi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan.

Penelitian dilaksanakan di Desa Simarigung dan Desa Sampean, Kec. Dolok Sanggul, Kab. Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara pada pertengahan Bulan Mei sampai Agustus 2010. Bentuk data yang dikumpulkan dalam penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder yang diperoleh dengan wawancara, observasi langsung serta melalui studi pustaka. Jumlah petani kemenyan yang dijadikan sebagai responden sebanyak 60 orang yang terdiri dari 30 orang dari Desa Simarigung dan 30 orang dari Desa Sampean serta 14 orang informan kunci.

Bentuk kearifan lokal nyata dapat dilihat dari pengelolaan hutan kemenyan. Petani mengetahui dan meyakini bahwa tidak semua pohon dapat disadap secara bersamaan. Kesalahan dalam memilih pohon konsekuensinya adalah hasil panen tidak maksimal bahkan terkadang pohon tersebut tidak mengeluarkan getah. Kebiasaan petani yang lain dan telah menjadi bagian dari pengelolaan hutan kemenyan bahwa sebelum melakukan penyadapan, harus terlebih dahulu melakukan pembersihan kulit batang yang dalam istilah lokal disebut dengan “mangguris”.

Petani memiliki motivasi dan persepsi yang positif terhadap hutan kemenyan. Petani menyadari betul hutan kemenyan bukan hanya sebagai sumber mata pencaharian tetapi lebih dari itu, keberadaan hutan kemenyan juga memberikan manfaat-manfaat ekologi dalam menjaga kualitas lingkungan. Pada kedua desa lokasi penelitian penggunaan lahan oleh masyarakat diperuntukkan sebagai tempat tinggal beserta pekarangannya, fasilitas umum, kebun, sebagian kecil sawah dan hutan termasuk di dalamnya hutan kemenyan.

(5)

sebesar Rp 21.641.900 dan sebesar Rp 13.233.600 (60,69%) diperoleh dari hasil penjualan getah kemenyan.

Letak hutan kemenyan yang pada umumnya di daerah perbukitan menjadi penyangga terhadap daerah di bawahnya dan sekaligus menjadi daerah tangkapan air (catchment area). Hutan kemenyan sangat berperan dalam menjaga ketersediaan air bersih bagi masyarakat yang berdomisili disekitarnya. Sebagai tegakan hutan, tanaman kemenyan juga memiliki fungsi ekologi dalam menahan laju erosi oleh air hujan, mengendalikan banjir dan longsor. Disamping itu hutan kemenyan berperan dalam membentuk iklim mikro disekitarnya dan menjadi tempat tinggal atau habitat makro dan mikro organisme lainnya.

Dengan menggabungkan nilai selisih antara kekuatan (strength) terhadap kelemahan (weakness). serta peluang (opportunity) terhadap ancaman (threat) pada diagram SWOT maka diketahui situasi pengelolaan hutan kemenyan berada pada sel ketiga. Dari sisi eksternal memiliki peluang namun dari sisi internal memiliki kelemahan, sehingga strategi yang direkomendasikan adalah mereduksi kelemahan-kelemahan internal untuk dapat mempergunakan, mengoptimalkan dan merebut peluang yang lebih baik (support a turnaround oriented strategy). Upaya-upaya yang dapat dilakukan antara lain: (1) mengintensifkan kegiatan penyuluhan dan bimbingan teknis dari dinas kehutanan terhadap petani kemenyan, (2) membentuk kelompok tani dan/atau koperasi di tingkat desa untuk menghindari spekulasi harga yang dilakukan oleh para agen pengumpul, (3) pengawasan terhadap sistem pemasaran getah kemenyan oleh pemerintah daerah untuk menghindari praktek-praktek monopoli, (4) pengelolaan hutan kemenyan dilakukan dengan sistem budidaya intensif dan (5) penggunaan bibit tanaman kemenyan unggul untuk meningkatkan produktivitas.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

KAJIAN PENGELOLAAN HUTAN KEMENYAN (Styrax sp.)

DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN, PROVINSI

SUMATERA UTARA

MARUARI SITOMPUL

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul : Kajian Pengelolaan Hutan Kemenyan (Styrax sp.) di Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara.

Nama : Maruari Sitompul NRP : E.151080061

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Pengelolaan Hutan

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat kasih dan rahmat-Nya yang selalu menyertai penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pemilihan judul tesis “Kajian Pengelolaan Hutan Kemenyan (Styrax sp.) di Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi sumatera Utara” berangkat dari kerinduan dan keprihatinan atas kondisi hutan yang semakin lama semakin terdegradasi. Begitu juga dengan kondisi masyarakat yang berdomisili disekitar hutan yang semakin lama semakin terpinggirkan.

Melalui tesis ini, penulis mencoba mengangkat kearifan lokal masyarakat di Sumatera Utara dalam mengelola hutan kemenyan yang sebenarnya memiliki prospek dalam meningkatkan kesejahteraan petani pengelolanya sekaligus menjamin terpeliharanya hutan secara lestari. Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini memberi manfaat bagi kita semua.

Bogor, Februari 2011

(11)

UCAPAN TERIMAKASIH

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang sangat berperan dalam penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan beliau-beliau mustahil tesis ini akan selesai. Oleh karena itu dengan tulus ikhlas penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan, pengarahan dan dukungan kepada penulis, khususnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S., selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodiharjo, M.S., selaku Ketua Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

3. Ibu Dr. Ir. Leti Sundawati, M. Sc. F, selaku Pembimbing Pertama dengan segala kesabaran, perhatian dan kemurahan hatinya untuk membimbing penulis dalam penyusunan tesis ini.

4. Bapakr Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M. Sc. F, selaku Pembimbing Kedua atas segala kesabaran dan kemurahan hatinya dalam memberikan tambahan ilmu yang sangat membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.

5. Bapakr Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS., selaku Dosen Penguji atas segala masukannya yang sangat membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini. 6. Bapak/ Ibu Dosen dan seluruh Civitas Akademika Mayor Ilmu Pengelolaan

Hutan yang selalu memberikan pelayanan ilmu pengetahuan kepada penulis. 7. Kedua orangtuaku Guntur Sitompul dan Erika Batubara serta seluruh keluarga

atas dukungan semangat dan doanya.

8. Keluarga Ir. Bungaran Sinaga, M.Si dan Lisbeth Simanjuntak beserta seluruh keluarga atas dukungan semangat dan doanya.

(12)

10. Pemerintah Kabupaten Dairi yang telah memberikan kesempatan melaksanakan tugas belajar serta seluruh rekan-rekan kerja di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Dairi atas dukungannya.

11. Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kab. Humbang Hasundutan, terutama Saudara Maju H.O. Manik, S. Hut. dan Togu P. Sinurat, SP atas bantuan dan kerjasamanya selama pelaksanaan penelitian di lapangan.

12. Masyarakat Desa Simarigung dan Desa Sampean Kecamatan Dolok Sanggul, Kab. Humbang Hasundutan, khususnya kepada Kepala Desa dan Petani Kemenyan atas kerjasamanya selama pelaksanaan penelitian di lapangan. 13. Rekan-rekan mahasiswa Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumbul pada tanggal 21 September 2010 dari pasangan Guntur Sitompul dan Erika Batubara. Penulis merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara.

Untuk jenjang pendidikan SD dan SLTP, penulis menyelesaikannya di Sumbul sedangkan sekolah menengah umum diselesaikan di Medan, tepatnya di SMU Negeri 14 Medan. Setelah tamat dari sekolah menegah umum, penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Sumatera Utara, Jurusan Kehutanan. Pada saat kuliah, penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan untuk ditekuni dan selesai pada tahun 2004. Pada tahun 2008 penulis memperoleh tugas belajar dari Pemerintah Kabupaten Dairi untuk mengikuti program magister di Institut Pertanian Bogor, Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan.

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 5

1.5 Kerangka Pemikiran ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) ... 9

2.2. Hutan Kemenyan ... 11

2.2.1. Budidaya Tanaman Kemenyan ... 11

2.2.2. Potensi dan Peluang Pasar Kemenyan ... 13

2.2.3. Pemanfaatan dan Pengolahan Kemenyan ... 15

2.3. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat ... 17

2.3.1. Hutan Desa ... 17

2.3.2. Hutan Kemasyarakatan ... 19

2.3.3. Hutan Rakyat ... 21

2.4. Perumusan Strategi Pengembangan dengan Analisis SWOT ... 23

2.5. Analisa Finansial Kelayakan Usaha ... 26

III. METODOLOGI ... 27

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 27

3.2. Data dan Metode Pengolahan Data ... 27

3.3. Penentuan Responden ... 28

3.4. Metode Pengolahan Data dan Analisa Data ... 29

3.5. Definisi Operasional ... 32

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 35

(15)

4.2. Kondisi Demografi ... 36

4.3. Kondisi Hutan ... 37

4.4. Penyebaran Hutan Kemenyan ... 38

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39

5.1. Aspek Sosial Pengelolaan Hutan Kemenyan ... 39

5.1.1. Karakteristik Petani Responden ... 39

5.1.2. Status Kepemilikan Lahan ... 43

5.1.3. Bertani Kemenyan sebagai Budaya dan Kearifan Lokal ... 44

5.1.4. Motivasi dan Persepsi Petani terhadap Hutan Kemenyan ... 46

5.2. Aspek Ekonomi Pengelolaan Hutan Kemenyan ... 47

5.2.1. Pendapatan Petani responden ... 47

5.2.2. Analisa Finansial Kelayakan Usaha Pengelolaan Hutan kemenyan ... 49

5.2.3. Produktivitas Petani dan Hutan Kemenyan ... 50

5.2.4. Pemasaran Getah Kemenyan ... 51

5.3. Aspek Ekologi Pengelolaan Hutan Kemenyan ... 52

5.4. Faktor Internal dan Ekternal Pengelolaan Hutan Kemenyan ... 56

5.4.1. Unsur Kekuatan (Strenght) ... 56

5.4.2. Unsur Kelemahan (Weakness) ... 59

5.4.3. Unsur Peluang (Oppurtunity) ... 61

5.4.4. Unsur Ancaman (Threath) ... 63

5.5. Diagram SWOT Pengelolaan Hutan Kemenyan ... 66

5.6. Strategi Pengembangan Pengelolaan Hutan Kemenyan ... 67

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

6.1. Kesimpulan ... 71

6.2. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Luas dan produksi kemenyan di Sumatera Utara tahun 2005 ... 14

2. Standar lokal kualitas kemenyan... 16

3. Standar mutu berdasarkan sifat fisik dan kimia kemenyan... 17

4. Matrik Swot ... 26

5. Nama kecamatan beserta luasannya di Kabupaten Humbahas ... 35

6. Sebaran luas kawasan hutan di Kabupaten Humbang Hasundutan ... 37

7. Sebaran tanaman kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan ... 38

8. Sebaran petani responden berdasarkan usia ... 39

9. Sebaran petani responden berdasarkan tingkat pendidikan ... 40

10. Luas rata-rata pemilikan lahan petani responden ... 42

11. Sebaran petani responden berdasarkan kepemilikan luas kebun kemenyan ... 43

12. Sebaran petani responden berdasarkan persepsi terhadap hutan kemenyan ... 46

13. Sebaran petani responden berdasarkan pendapatan ... 47

14. Pendapatan rata-rata petani responden berdasarkan desa ... 47

15. Persentase pendapatan petani dari hutan kemenyan terhadap pendapatan total ... 48

16. Analisa finansial pengelolaan hutan kemenyan per satuan hektar selama 50 tahun ... 49

17. Unsur kekuatan dan nilai pengaruhnya ... 58

18. Unsur kelemahan dan nilai pengaruhnya ... 60

19. Unsur peluang dan nilai pengaruhnya ... 62

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian ... 7

2. Diagram SWOT ... 24

3. Rantai pemasaran getah kemenyan ... 52

4. Sketsa tata letak hutan kemenyan berdasarkan topografi ... 53

5. Hutan kemenyan produktif pada masa istirahat (a) dan masa panen (b) .. 55

6. Diagram SWOT strategi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan ... 67

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Karakteristik petani kemenyan ... 77

2. Karakteristik pemilikan lahan ... 78

3. Produktivitas kemenyan ... 79

4. Sumber pendapatan rumah tangga petani responden ... 80

5. Biaya pengelolaan budidaya kemenyan (Rp/Tahun) ... 81

(19)

I. PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Indonesia memiliki hutan tropis yang di dalamnya terkandung kekayaan alam yang melimpah. Pernyataan ini bukan hanya diakui oleh bangsa Indonesia saja, bangsa-bangsa lain di dunia juga setuju dengan klaim ini bahkan menyebut hutan tropis Indonesia sebagai mega biodiversity. Sebutan ini diberikan berdasarkan fakta sebenarnya bahwa Indonesia memiliki luas hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire (Republic Demokratic Congo) dimana di dalamnya terkandung keanekaragaman hayati (Dephut 2007).

Kekayaan alam yang terkandung di dalam hutan Indonesia seharusnya dapat diandalkan sebagai modal pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur. Sejak Indonesia merdeka hutan sudah dimanfaatkan untuk tujuan pembangunan, namun kenyataanya masih banyak warga Indonesia yang tinggal di sekitar atau berdekatan dengan hutan hidup di bawah garis kemiskinan. Pada tahun 2010 sebanyak 64,23% penduduk miskin tinggal di pedesaan (Hamzirwan 2010) yang umumnya berdekatan dengan hutan. Dengan laju perusakan hutan yang mencapai 1,08 juta ha per tahun pada tiga tahun terakhir (Kemenhut 2010) sebagai akibat dari eksploitasi sumberdaya hutan yang berpaham antroposentris (Keraf 2006) dan timbulnya berbagai konflik di daerah akibat dari terpinggirkannya masyarakat lokal semakin memperjelas bahwa ada yang kurang dengan sistem pengelolaan hutan.

(20)

meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Walaupun memiliki nilai ekonomi tinggi namun pengembangan usaha dan pemanfaatan HHBK selama ini belum dilakukan secara intensif sehingga belum dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat.

Untuk lebih mengembangkan dan meningkatkan produksi hasil hutan bukan kayu ini pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan terkait upaya pengembangan hasil hutan bukan kayu dimaksud. Dengan pengembangan hasil hutan bukan kayu baik yang berasal dari kawasan hutan maupun luar kawasan hutan melalui kebijakan pengembangan HHBK diharapkan mampu mengurangi ketergantungan pada hasil hutan kayu, meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan dari HHBK serta menumbuhkan kesadaran memelihara kawasan hutan, meningkatkan devisa sektor kehutanan bukan kayu dan terciptanya lapangan kerja baru di sektor kehutanan yang berasal dari komoditas HHBK (Dephut 2009). Selain itu dengan pengembangan hasil hutan bukan kayu ini diharapkan terjadinya optimalisasi pemanfaatan HHBK, yang meliputi jumlah jenis, bentuk dan tahap pengolahan serta mutunya dan terjadinya optimalisasi potensi daerah dalam pengembangan HHBK sebagai alternatif sumber pangan, sumber bahan obat-obatan, penghasil serat, penghasil getah-getahan dan lainnya yang dapat meningkatkan ekonomi lokal dan nasional.

(21)

Menurut Jayusman (1997) ada dua jenis kemenyan yang tersebar di Sumatera Utara, yaitu kemenyan toba (Styrax sumatrana J.J.SM) dan kamenyan durame (Styrax benzoin). Kedua jenis tanaman kemenyan ini termasuk Ordo Ebenales, Family Styraceae dan Genus Styrax. Sebaran hutan kemenyan di Sumatera Utara pada tahun 2007, Kabupaten Tapanuli Utara memiliki luas tanaman kemenyan yang terluas yaitu kurang lebih 16.359 ha, sementara Kabupaten Humbang Hasundutan memiliki hutan kemenyan kurang lebih seluas 5.593 ha. Berbanding lurus dengan luasan tanaman kemenyan yang dimiliki, Kabupaten Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan juga merupakan dua kabupaten yang paling banyak memproduksi getah kemenyan. Pada tahun yang sama, Tapanuli Utara memproduksi sebanyak 3.634,12 ton dan Humbang Hasundutan sebanyak 1.403,23 ton (BPS Provinsi Sumatera Utara 2008). Berdasarkan luasan dan jumlah produksi, Kabupaten Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan merupakan dua kabupaten yang potensial untuk dijadikan sebagai sentra produksi dan pengembangan tanaman kemenyan di Provinsi Sumatera Utara.

(22)

Melihat ketersediaan sumberdaya yang ada, hutan kemenyan ini memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai sarana meningkatkan pendapatan petani kemenyan secara langsung dan meningkatkan perekonomian pedesaan secara tidak langsung. Selain sebagai sumber pendapatan, melalui pengelolaan hutan kemenyan dapat dijadikan sebagai sarana dalam melestarikan hutan melalui pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan manfaat dari hutan kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan ini diperlukan penelitian-penelitian baik dari aspek ekologi maupun sosial-ekonomi petani pengelolanya.

1.2.

Perumusan Masalah

Pengelolaan hutan kemenyan yang terdapat di Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan kearifan lokal masyarakat yang diwariskan secara turun temurun dan sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu. Kearifan ini muncul sebagai bagian dari cara masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada guna memenuhi kebutuhan hidup. Dengan keberadaan atau eksistensinya bertahan sampai sekarang merupakan bukti bahwa sistem pengelolaan hutan kemenyan ini selain memiliki manfaat ekologi dan nilai-nilai sosial, juga mememiliki potensi dan prospek yang baik bila dilihat dari aspek ekonomi untuk dikembangkan ke depan.

Namun sampai saat ini masih banyak permasalahan-permasalahan yang dialami masyarakat. Selain sistem pengelolaannya yang masih bersifat tradisional dan belum banyak disentuh oleh upaya-upaya pengembangan, dalam hal pemasaran petani sering kali kurang menikmati hasil dari penjualan getah kemenyan karena menerima margin keuntungan yang lebih kecil bila dibandingkan dengan pelaku pasar (pedagang pengumpul). Selain karena posisi tawar yang rendah, informasi harga dan pasar yang kurang menjadi penyebabnya. Disamping itu harga getah kemenyan sering mengalami fluktuasi terutama menjelang dan sesudah hari raya besar keagamaan (Jayusman 1997).

(23)

positif khususnya terhadap petani kemenyan. Selain akan mengalami peningkatan pendapatan secara langsung bagi petani kemenyan, dampak yang lebih luas adalah terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan perekonomian daerah. Kondisi kondusif seperti ini pada akhirnya akan menambah keinginan masyarakat untuk mengembangkan tanaman kemenyan sebagai sumber mata pencaharian. Sejalan dengan hal di atas, melalui pengelolaan hutan kemenyan akan mampu menciptakan kelestarian hutan berbasis masyarakat sesuai dengan visi dan misi baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Dalam rangka mewujudkan pengelolaan hutan kemenyan yang lebih baik dan memberikan manfaat yang lebih optimal baik terhadap sosial, ekonomi dan ekologinya, melalui kajian ini, ada beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dan dijadikan sebagai permasalahan penelitian, antara lain:

1. Bagaimana kondisi pengelolaan hutan kemenyan yang ada sekarang?

2. Apa permasalahan yang dihadapi petani dalam pengelolaan hutan kemenyan saat ini?

3. Bagaimana upaya meningkatkan manfaat hutan kemenyan terhadap sosial, ekonomi dan ekologi petani kemenyan?

1.3.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah:

1. Mengkaji aspek sosial, ekonomi dan ekologi dari pengelolaan hutan kemenyan.

2. Menganalisa permasalahan-permasalahan dalam pengelolaan hutan kemenyan. 3. Merumuskan strategi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan.

1.4.

Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini nantinya diharapkan memberikan manfaat-manfaat penelitian sebagai berikut:

(24)

2. Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang ingin mengembangkan usaha di bidang budidaya tanaman kemenyan dan menjadi referensi bagi pihak-pihak yang ingin mengkaji lebih dalam upaya pengembangan kemenyan.

1.5.

Kerangka Pemikiran

Sistem pengelolaan hutan kemenyaan yang terjadi sekarang, mulai dari penanaman (regenerasi tanaman), pemeliharaan (perawatan), pemanenan getah, pengolahan getah pasca panen hingga pemasaran dikaji informasinya secara menyeluruh berdasarkan aspek sosial, ekonomi dan ekologi baik dari petani kemenyan maupun para stake holder yang terlibat, seperti instansi pemerintah, swasta, akademisi, tokoh masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat.

Seluruh informasi yang meliputi aspek ekologi (manfaat hutan kemenyan terhadap tanah, air dan udara), ekonomi dan sosial ini dikelompokkan menjadi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities) dan ancaman (threats). Tentunya kekuatan dan peluang yang dimiliki menjadi faktor pendukung pengembangan pengelolaan hutan kemenyan dan sebaliknya kelemahan dan ancaman tentunya menjadi faktor penghambat dalam upaya-upaya pengembangan.

(25)

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

KEKUATAN PELUANG KELEMAHAN

ANCAMAN

ANALISIS SWOT

STRATEGI PENGEMBANGAN

Pengelolaan Hutan

Kemenyan

Aspek Ekonomi

(26)
(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)

Hutan tidak hanya menghasilkan kayu, tetapi hutan juga menghasilkan aneka ragam benda hayati lainnya berupa hasil hutan bukan kayu antara lain bambu, rotan, buah-buahan, rumput-rumputan, jamur-jamuran, tumbuhan obat, getah-getahan, madu, satwa liar, satwa elok, serta sumber plasma nuftah. Selain itu hutan juga menghasilkan jasa lingkungan berupa pengatur hidrologis, pembersih udara, jasa wisata, jasa keindahan dan keunikan serta jasa perburuan (Supriadi 2003).

Sesuai dengan Permenhut Nomor 35 Tahun 2007 tentang hasil hutan bukan kayu, bahwa yang dimaksud dengan hasil hutan bukan kayu yang selanjutnya disingkat HHBK adalah hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya

kecuali kayu yang berasal dari hutan. Hasil hutan bukan kayu yang terdapat di Indonesia terbagi menjadi HHBK nabati dan HHBK hewani dan masing-masing kelompok dibagi lagi, seperti yang diuraikan berikut ini:

1. Hasil hutan bukan kayu (HHBK) nabati, yaitu meliputi semua hasil bukan kayu dan turunannya yang berasal dari tumbuhan dan tanaman dan yang termasuk ke dalam kelompok ini antara lain:

a. Kelompok resin, antara lain damar, gaharu, kemenyan, pinus, kapur barus; b. Kelompok minyak atsiri, antara lain cendana, kayu putih, kenanga;

c. Kelompok minyak lemak, pati dan buah-buahan, antara lain buah merah, rebung bambu, durian;

d. Kelompok tannin, bahan pewarna dan getah, antara lain kayu kuning, jelutung, perca;

e. Kelompok tumbuhan obat-obatan dan tanaman hias, antara lain akar wangi, brotowali, anggrek hutan;

f. Kelompok palma dan bambu, antara lain rotan manau, rotan tohiti; g. Kelompok alkaloid antara lain kina.

(28)

2. Hasil hutan bukan kayu (HHBK) hewani, yaitu meliputi semua hasil bukan kayu dan turunannya yang berasal dari hewan dan yang termasuk dalam kelompok ini antara lain:

a. Kelompok hewan buru (babi hutan, kelinci, kancil, rusa, buaya). b. Kelompok hewan hasil penangkaran (arwana, kupu-kupu, rusa, buaya). c. Kelompok hasil hewan (sarang burung walet, kutu lak, lilin lebah, ulat

sutera, lebah madu).

HHBK dalam pemanfaatannya memiliki beberapa keunggulan dibanding hasil hutan kayu, sehingga HHBK memiliki prospek yang besar dalam pengembangannya. Pemanfaatan HHBK tidak menimbulkan kerusakan yang besar terhadap hutan dibandingkan dengan pemanfaatan kayu. Pada umumnya pemanenan HHBK tidak dilakukan dengan menebang pohon melainkan dengan cara yang ramah lingkungan seperti dengan cara penyadapan, pemetikan, pemangkasan, pemungutan. Pemanfaatan HHBK dilakukan oleh masyarakat secara luas dan membutuhkan modal kecil sampai menengah. Dengan demikian pemanfaatannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan usaha pemanfaatannya dapat dilakukan oleh banyak kalangan masyarakat. Teknologi yang digunakan untuk memanfaatkan dan mengolah HHBK adalah teknologi sederhana sampai menengah. Bagian yang dimanfaatkan adalah daun, kulit, getah, bunga, biji, kayu, batang, buah dan akar cabutan. Dengan demikian pemanfaatan HHBK tidak menimbulkan kerusakan ekosistem hutan (Dephut 2009).

(29)

secara selektif terhadap jenis tertentu yang ditetapkan melalui penetapan jenis unggulan dilakukan pada sentra wilayah tertentu. Permasalahan yang terkait dengan produk HHBK yang saat ini mendesak untuk diperhatikan secara serius adalah terjadinya penurunan potensi sebagai akibat adanya pemanfaatan dan belum dikuasainya teknologi budi daya yang tepat. Hal ini menyebabkan rendahnya kemampuan produk HHBK untuk memasok kebutuhan masyarakat, baik permintaan dari dalam maupun luar negeri (Dephut 2009).

2.2. Hutan Kemenyan

2.2.1. Budidaya Kemenyan

Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu, menetapkan bahwa kemenyan masuk dalam kategori hasil hutan bukan kayu (HHBK) nabati kelompok resin. Pada kelompok resin ini ada dua komoditi selain kemenyan, yaitu damar dan gaharu. Getah kemenyan diperoleh dari pohon kemenyan (Styrax spp) dengan cara penyadapan. Pohon kemenyan berukuran sedang sampai besar, diameter antara 20-30 cm dan tinggi mencapai 20-30 meter. Batangnya lurus, percabangannya sedikit dan kulit batangnya berwarna coklat kemerah-merahan. Tanaman kemenyan berdaun tunggal, tersusun spiral, dan berbentuk oval, yaitu bulat memanjang dan ujungnya meruncing. Buah kemenyan berbentuk bulat, dan lonjong (agak gepeng) dan di dalamnya terdapat biji berwarna coklat (Sasmuko 2003).

Tempat tumbuh tanaman kemenyan bervariasi, mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi, yaitu pada ketinggian tempat 60-2.100 meter dari permukaan laut. Tanaman kemenyan tidak memerlukan persyaratan tempat tumbuh yang istimewa. Tanaman ini dapat tumbuh pada jenis-jenis tanah: podsolik, andosol, lotosol, dan regosol. Kemenyan juga dapat tumbuh pada berbagai asosiasi lainnya, mulai dari tanah yang bertekstur berat sampai ringan, dan tanah yang kurang subur sampai yang subur. Selain itu, tanaman ini juga dapat tumbuh pada tanah yang berporositas tinggi, yaitu yang mudah meneruskan atau meresapkan air.

(30)

kemenyan memerlukan sinar matahari penuh. Selain itu, untuk pertumbuhan optimal kemenyan memerlukan curah hujan yang cukup tinggi, dan intensitas merata sepanjang tahun (Sasmuko 2003).

Budidaya tanaman kemenyan diawali dengan pengambilan benih kemenyan dari pohon induknya. Kriteria pohon induk kemenyan adalah : bergetah banyak dan berkualitas baik; bebas hama dan penyakit; berbatang lurus dan silindris; bertajuk normal dan baik; serta bercabang sedikit dan berbatang bebas cabang relatif tinggi. Buah kemenyan yang dipilih untuk benih adalah yang masak dan berwarna coklat tua.

Pembuatan bibit kemenyan dilakukan dengan cara: persemaian dan cabutan anakan dari permudaan alam. Cara lainnya, yaitu: stump, stek dan kultur jaringan masih dalam tahap penelitian pihak-pihak terkait. Persemaian merupakan cara yang mudah dilakukan. Awalnya benih kemenyan ditabur pada bedeng tabur. Setelah berkecambah, kemudian dipindahkan pada polybag dan dipelihara sampai bibitnya siap tanam di lapangan. Sebelum penanaman bibit kemenyan, terlebih dahulu dilakukan persiapan lapangan, yaitu membuat jalur tanam dan lubang tanam. Jarak tanamnya disesuaikan dengan kondisi tanah dan kelerengan lahannya. Karena setengah toleran, anakan kemenyan yang ditanam di tempat terbuka harus diberi naungan. Anakan kemenyan bisa juga ditanam di bawah pohon lainnya, misalnya di bawah pohon durian dan kaliandra

(31)

Pemeliharaan tanaman kemenyan yang biasa dilakukan adalah: penyiangan, pendangiran, penyulaman, pemupukan, penjarangan, dan perlindungan tanaman dari hama dan penyakit. Kegiatan ini dilakukan pada tahun pertama, kedua dan ketiga. Penjarangan pohon pelindung perlu dilakukan secara bertahap untuk memberi ruang tumbuh lebih luas kepada tanaman kemenyan, agar memperoleh banyak sinar matahari. Kemenyan hasil sadapan yang masih bercampur aduk dengan kulit pohon kemenyan, selanjutnya disortir menjadi empat golongan, yaitu: mata kasar, mata kacang/mata halus, “jurur” dan “tahir”. Golongan pertama harganya lebih mahal dan golongan selanjutnya lebih murah. Selain itu, dikenal juga kemenyan tampangan, yaitu kemenyan yang dicampur dengan damar. Pengolahannya melalui pemanasan, pencampuran dan pencetakan. Perbandingan campurannya disesuaikan dengan permintaan konsumen/pembeli (Sasmuko 2003).

2.2.2. Potensi dan Peluang Pasar Kemenyan di Sumatera Utara

Sebelumnya telah disampaikan bahwa Sumatera Utara memiliki dua jenis kemenyan yang telah dikenal, yaitu Styrax sumatrana ”J.J.SM” atau yang dikenal dengan nama kemenyan toba dan Styrax benzoinDRYAND” yang dikenal dengan nama kemenyan durame. Secara umum kedua jenis tersebut dibedakan berdasarkan aroma yaitu getah kemenyan toba beraroma lebih tajam dibandingkan dengan kemenyan durame. Secara botani kedua jenis tersebut juga dapat dibedakan dari bentuk dan ukuran daun serta buahnya. Kemenyan durame mempunyai ukuran daun lebih besar dan berbentuk bulat memanjang (oblongus). Di antara kedua jenis ini, kemenyan toba lebih banyak diproduksi oleh masyarakat karena harga jualnya di pasar lokal lebih tinggi (Sasmuko 1998).

(32)
[image:32.612.133.511.157.315.2]

luasan dan jumlah produksi hutan kemenyan di Provinsi Sumatera Utara seperti yang ditampilkan pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Luasan dan produksi getah kemenyan di Provinsi Sumut tahun 2007 No Kabupaten Luas (ha) Produksi (ton)

1 Tapanuli Tengah 5,00 1,35

2 Tapanuli Utara 16.395,00 3.634,12

3 Toba Samosir 370,75 54,06

4 Dairi 213,00 107,29

5 Humbang Hasundutan 5.593,00 1403,23 6 Pakpak Bharat 1.501,20 860,80

Total 24.077,95 6.060,89

Sumber: BPS Provinsi Sumatera Utara, 2008

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan merupakan dua kabupaten yang memiliki luasan hutan kemenyan terbesar dan potensial untuk dikembangkan menjadi sentra produksi getah kemenyan di Sumatera Utara. Penggunaan getah kemenyan di dalam negeri sebagian besar untuk bahan baku industri rokok dan dupa dan pemasarannya terutama ke pulau Jawa. Sementara untuk pemasarannya ke luar negeri antara lain: Singapura, Malaysia, Hongkong, Taiwan, Jepang UEA, Switzerland, Perancis dan USA. Produk kemenyan yang dipasarkan biasanya kemenyan yang sudah diolah atau kemenyan tampangan, namun ada juga dalam keadaan mentah (Yuniandra 1998).

(33)

2.2.3. Pemanfaatan dan Pengolahan Kemenyan

Potensi kemenyan cukup besar yang tersebar di beberapa daerah penghasil dan telah sekian lama dikenal masyarakat secara luas. Pemanfaatan kemenyan oleh masyarakat di beberapa daerah telah menjadi sumber pendapatan mereka terutama petani kemenyan yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Selain itu, perdagangan kemenyan yang berlangsung sejak permulaan abad ke-17 telah membangkitkan pergerakan perekonomian masyarakat. Dampak dari perdagangan kemenyan tersebut telah nyata dirasakan oleh para petani dan pedagang lokal meskipun kontribusinya bagi pemerintah daerah belum signifikan (Sasmuko 1998).

Sejak permulaan tahun 1985, perdagangan kemenyan di Tapanuli Utara terutama di tingkat petani mengalami penurunan. Masalah ini terjadi seiring dengan penurunan potensi kemenyan. Sistem tata niaga yang ada kurang menguntungkan petani dan harga kemenyan menjadi tidak stabil sehingga kurang merangsang petani untuk tetap mengusahakan kebun kemenyannya. Harga kemenyan di tingkat petani pada waktu itu berkisar Rp. 7.000 per kg tidak sebanding dengan biaya (cost) produksi sebesar Rp. 8.000 per kg. Kondisi ini menyebabkan beralihnya sebagian besar petani kemenyan menjadi petani tanaman semusim dan perkebunan. Kebun kemenyan menjadi terlantar dan sebagian telah dikonversi untuk tanaman perkebunan. Petani yang masih bertahan adalah mereka yang tidak memiliki pilihan usaha lain. Jumlah petani kemenyan di Tapanuli Utara pada tahun 1990 adalah 18.098 KK sedangkan pada tahun 2001 menjadi 28.320 KK (Sasmuko 2003).

Kemenyan hanya dihasilkan dari provinsi Sumatera Utara dan sampai saat ini belum ada daerah lain di Indonesia yang menghasilkan komoditi serupa. Pengelolaan kemenyan di Sumatera Utara sebagai sentra produksi nasional relatif belum dilakukan secara optimal dan cenderung mengalami penurunan potensi dan nilai ekonomis pada dasawarsa terakhir ini. Penurunan ini mengakibatkan berkurangnya produksi dan pendapatan petani kemenyan yang dapat mengancam kelangkaan komoditi ini di masa yang akan datang (Sasmuko 1998).

(34)

yang dipasarkan baik lokal maupun ekspor pada umumnya masih berupa bahan mentah (raw material). Pengolahan kemenyan menjadi bentuk barang setengah jadi (semifinal goods) atau barang jadi (final goods) berupa hasil-hasil ekstrak sesuai dengan kandungan kimianya belum ada industri yang melakukannya di Sumatera Utara. Pemanfaatan kemenyan yang diketahui oleh masyarakat secara umum masih terbatas pada penggunaannya untuk industri rokok dan kegiatan tradisional atau religius (Sasmuko 2003). Pohon kemenyan merupakan satu-satunya jenis pohon yang menghasilkan getah yang mengandung senyawa asam balsamat. Senyawa ini digunakan secara luas dalam industri farfum dan kosmetik. Kegunaan getah kemenyan secara tradisional adalah sebagai bahan pembantu dalam kegiatan-kegiatan ritual dan industri rokok. Sedangkan sebagian besar kegunaan lainnya adalah sebagai bahan baku dalam industri antara lain industri parfum, farmasi, obat-obatan, kosmetik, sabun, kimia dan industri pangan. Ekstraksi kimia getah kemenyan menghasilkan tincture dan benzoin resin yang digunakan sebagai fixative agent dalam industri parfum. Ekstraksi kemenyan juga dapat menghasilkan beberapa senyawa kimia yang diperlukan oleh industri farmasi, antara lain asam balsamat, asam sinamat, benzyl benzoat, sodium benzoat, benzophenone, dan ester aromatis (Sasmuko 1995).

Perdagangan kemenyan di dalam negeri telah mengenal penggolongan kualitas baik lokal maupun standar kualitas kemenyan nasional menurut SII. 2044-87. Kualitas lokal hanya berlaku untuk perdagangan kemenyan toba bukan durame. Sedangkan kemenyan durame tidak terbagi dalam kelas kualitas karena bukan komoditi utama yang diperdagangkan (Sasmuko 1995).

Tabel 2. Standar lokal kualitas kemenyan

No Kualitas Mutu

I II III IV Abu

1 Warna Putih Putih

kekuningan

Putih kekuningan

Coklat

kemerahan Campur 2 Ukuran

(cm)

L : 3 – 4 P : 5 – 6

L : 2 – 3 P : 3 – 5

L : 1 – 2 P : 2 – 3

L : 0,5 – 1 P : 1 – 2

(35)

Tabel 3. Standar mutu berdasarkan sifat fisis dan kimia kemenyan

No Kualitas Mutu

I II III IV Abu 1 Kadar Asam Balsamat (%) 33,2 32,7 25,3 21,8 20,1 2 Kadar Air (%) 1,56 1,75 2,35 2,19 2,29 3 Kadar Abu (%) 0,99 0,91 1,48 1,44 1,52 4 Kadar Kotoran (%) 2,89 3,44 12,0 11,2 12,5

5 Titik Lunak (0C) 58,9 59,3 64,3 65,7 57,8

Sumber : Sasmuko (1995)

2.3. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat merupakan upaya dalam membangun kerjasama sinergis antara masyarakat dan pemerintah dalam mengelolala sumberdaya hutan. Diharapkan dari pola pengelolaan ini, masyarakat tidak lagi merasa sebagai obyek dalam pengelolaan sumberdaya hutan melainkan berlaku sebagai subjek. Beberapa tujuan yang ingin dicapai dengan pola ini, antara lain: mewujudkan kelestarian dan keberlanjutan fungsi hutan, meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat (dan pemerintah daerah) setempat dalam pemanfaatan sumber daya hutan, peningkatan manfaat hutan serta distribusi manfaat sumber daya hutan yang berkeadilan.

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6 Tahun 2007, tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan. Pada pasal 84 disebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat setempat dapat dilakukan melalui hutan desa dan hutan kemasyarakatan.

2.3.1. Hutan Desa

(36)

pengetahuan lokal tentang hutan dan mengerti arti penting hutan dalam kehidupan mereka.

Dalam regulasi tentang Hutan Desa, penetapan areal kerja hutan desa dilakukan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan usulan Bupati/Walikota yang ditembuskan kepada Gubernur. Areal kerja hutan desa sendiri merupakan hutan lindung atau hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau izin pemanfaatan dan berada dalam wilayah administrasi desa. Sementara itu, aspek penentuan kriteria dilakukan oleh komponen pemerintahan, yaitu didasarkan atas rekomendasi dari Kepala Kawasan Pengelolaan Hutan (KPH) atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan.

Partisipasi masyarakat dalam penetapan areal kerja hutan desa terbatas pada pengajuan permohonan Kepala Desa kepada Bupati/Walikota. Oleh karena itu, pada tingkat ini diperlukan keaktifan yang tinggi dari masyarakat untuk melakukan permohonan penetapan areal kerja hutan desa. Kecil kemungkinan bagi masyarakat untuk melewatkan potensi pemanfaatan hutan yang ada di sekitar mereka, apalagi bagi masyarakat yang berinteraksi dengan hutan secara intensif.

Agar dapat mengelola hutan dan kelestariannya secara lebih terorganisir, masyarakat desa perlu membentuk suatu kelompok yang memang dikhususkan untuk pengelolaan hutan desa. Aspek yang dicakup dalam penatausahaan hutan desa cukup luas, mulai dari tahap pengusulan penetapan areal hutan desa sampai dengan pengelolaan hutan desa itu sendiri. Karenanya diperlukan kompetensi yang memadai dari lembaga desa bukan hanya dalam aspek pengelolaan hutan, tapi juga dari segi administrasi dan hukum yang terkait (Dephut 2008).

(37)

masyarakat juga perlu dibantu agar dapat menyusun Rencana Kerja Hutan Desa (RKHD) dan Rencana Tahunan Hutan Desa (RTHD).

Manajemen hutan lestari atau Sustainable Forest Management harus mampu mengakomodir tiga macam fungsi kelestarian, yaitu kelestarian fungsi produksi (ekonomi), kelestarian fungsi lingkungan (ekologi) dan kelestarian fungsi sosial, ekonomi, dan budaya bagi masyarakat setempat. Ketiga hal ini akan diakomodir sekaligus dalam pengelolaan hutan desa. Masyarakat desa merupakan pelaku utama dalam pengelolaan sumber daya hutan, karenanya kelestarian fungsi produksi dapat terjaga dengan mengedepankan pengelolaan hutan berdasarkan kearifan lokal yang didukung penguasaan teknologi. Masyarakat desa bertempat tinggal di sekitar hutan dan secara otomatis merupakan bagian dari ekosistem hutan yang juga akan terpengaruh oleh perubahan-perubahan pada hutan, karenanya kelestarian fungsi lingkungan dapat terjaga dengan mempertahankan kesadaran masyarakat akan fakta tersebut.

Ujung tombak pengelolaan hutan desa berada pada masyarakat. Kearifan lokal sangat dihargai dalam pola pengelolaan hutan desa sehingga adanya diversifikasi pola pengelolaan hutan desa di daerah yang berbeda merupakan suatu hal yang sangat mungkin dan ini merupakan hal yang positif. Ditambah lagi, pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat desa sebenarnya relevan dengan konsep konservasi hutan menurut ilmu pengetahuan modern. Kemampuan dan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan hutan secara lestari ini merupakan hal yang perlu dijaga agar tidak memudar, misalnya melalui pendidikan dan pelatihan yang dapat dilaksanakan secara periodik dalam lembaga desa pengelola hutan. Dengan mendorong masyarakat desa untuk mengelola hutan desa secara optimal maka kepedulian masyarakat terhadap kelestarian hutan juga akan terbangun dengan sendirinya.

2.3.2. Hutan Kemasyarakatan

(38)

negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Penyelenggaraan hutan kemasyarakatan dimaksudkan untuk pengembangan kapasitas dan pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat. Dengan adanya kebijakan ini diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup.

Kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi dengan ketentuan bahwa kawasan hutan lindung dan hutan produksi dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Dalam penyelenggaraan hutan kemasyarakatan adapun azas yang dipakai adalah manfaat dan lestari secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, musyawarah-mufakat dan keadilan. Ketiga azas ini harus dipegang teguh oleh masyarakat pengelola sebagai dasar peyelenggaraan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan pola hutan kemasyarakatan.

(39)

adalah pada hutan lindung, meliputi kegiatan: pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan bukan kayu sedangkan pada hutan produksi, meliputi kegiatan: pemanfaatan kawasan, penanaman tanaman hutan berkayu, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung dan hutan produksi dapat dilakukan melalui kegiatan usaha: budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah, budidaya pohon serbaguna, budidaya burung wallet, penangkaran satwa liar dan rehabilitasi hijauan makanan ternak. Sementara pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung dan hutan produksi dapat dilakukan melalui kegiatan usaha, seperti: pemanfaatan jasa aliran air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan atau penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.

Dalam penyelenggaraan hutan kemasyarakatan, yang menjadi kewajiban dari masyarakat pengelola sebagai pemegang izin adalah melakukan penataan batas areal kerja, menyusun rencana kerja, melakukan penanaman, pemeliharaan dan pengamanan, membayar provisi sumberdaya hutan sesuai ketentuan dan menyampaikan laporan kegiatan pemanfatan hutan kemasyarakatan kepada pemberi izin. Sementara yang menjadi hak dari pemegang izin antara lain: mendapat fasilitasi, memanfaatkan hasil hutan non kayu, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan kawasan, memungut hasil hutan kayu sedangkan khusus untuk pemegang IUPHHK HKm berhak untuk menebang hasil hutan kayu yang merupakan hasil penanamannya dan mendapat pelayanan dokumen sahnya hasil hutan sesuai ketentuan.

2.3.3. Hutan Rakyat

(40)

perundang-undangan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 49/Kpts-II/1997 tanggal 20 Januari 1997 bahwa hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 hektar dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan/atau jenis tanaman lainnya lebih dari 50% dan/atau pada tanaman tahun pertama dengan tanaman sebanyak minimal 500 tanaman per hektar. Hutan rakyat tumbuh atau berada pada areal lahan yang dibebani hak atas tanah yang dalam hal ini dibebani hak milik.

Hutan rakyat sebenarnya telah dikenal sejak puluhan tahun yang lalu dan terbukti sangat bermanfaat, tidak hanya bagi pemiliknya tetapi juga bagi masyarakat dan lingkungannya. Awalnya keberadaan dan peran hutan rakyat kurang dilirik, hingga ditemukan fakta bahwa kekurangan bahan baku kayu untuk industri pertukangan dari hutan alam disuplai dari hutan rakyat (Hardjanto 2003). Selanjutnya hutan rakyat diarahkan sebagai salah satu upaya dalam rangka rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan saat ini hutan rakyat telah mampu memberi manfaat sosial ekonomi seperti dalam menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat melalui perdagangan kayu yang diproduksi.

Hutan rakyat menyimpan potensi yang sangat besar dalam percaturan pengelolaan hutan nasional. Hal tersebut dibuktikan dengan dimasukkannya hitungan potensi hasil hutan rakyat dalam penyediaan bahan baku industri pengolahan kayu. Keyakinan tersebut semakin bertambah sejak terjadinya penurunan potensi hutan negara, baik yang berasal dari hutan alam maupun hutan tanaman.

(41)

Untuk meningkatkan peran hutan rakyat dalam perekonomian desa maka perlu adanya intensifikasi pengelolaan hutan rakyat, sehingga hutan rakyat lebih mampu melebarkan spektrum perannya dalam meningkatkan perekonomian khususnya di pedesaan. Makin intensifnya pengelolaan hutan rakyat secara umum akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan memberikan kontribusi pendapatan yang lebih luas, karena para pelaku yang terlibat dalam pengelolaan hutan rakyat makin bertambah. Dengan terjadinya peningkatan pendapatan dari maing-masing individu yang terlibat maka secara tidak langsung usaha hutan rakyat ini akan mampu mendongkrak perekonomian pedesaan.

Selain hal diatas mengingat kehutanan dunia sedang mengampanyekan peningkatan luas kawasan hutan dunia, Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia harus ikut berpartisipasi. Upaya yang dilakukan dikombinasikan dengan tujuan pemerintah yang diwujudkan dalam program Hutan Rakyat. Dengan demikian program ini dilucurkan dengan memiliki banyak ekspektasi, antara lain : 1. Sebagai sumber bahan baku industri kehutanan yang selama ini banyak

dicukupi dari hutan alam.

2. Dengan adanya hutan rakyat diharapkan mampu mengurangi tekanan masyarakat sekitar terhadap kawasan hutan.

3. Dengan adanya hutan rakyat memberi peluang kerja bagi masyarakat.

4. Hutan rakyat diharapkan sebagai adsorbsi atau penyerap emisi gas rumah kaca, kaitannya dengan pemanasan global (Hardjanto 2003).

2.4. Perumusan Strategi Pengembangan dengan Analisis SWOT

(42)
[image:42.612.120.507.318.525.2]

sistematik untuk merumuskan strategi, berdasarkan logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang dimana secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Sementara menurut Start dan Hovland (2004), analisis SWOT merupakan sebuah alat perencanaan strategis yang klasik. Dengan mempergunakan kerangka kekuatan dan kelemahan faktor internal serta peluang dan ancaman dari faktor eksternal, menyediakan sebuah cara yang sangat sederhana untuk mengkaji strategi terbaik yang dapat diterapkan. Analisis SWOT didasarkan pada asumsi bahwa suatu strategi yang efektif harus memaksimumkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan kelemahan dan ancaman. Dengan bantuan analisis SWOT, perencana menjadi realistis terhadap apa yang akan dicapai dan pada bagian mana yang harus difokuskan.

Gambar 2. Diagram SWOT (Rangkuti 2008)

Diagram SWOT merupakan perpaduan antara kekuatan dan kelemahan (diwakili garis horizontal) dengan peluang dan ancaman (diwakili garis vertikal). Pada diagram tersebut kekuatan dan peluang diberi tanda positif sementara kelemahan dan ancaman diberi tanda negatif. Berdasarkan letak kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman pada diagram akan menentukan arah strategi yang akan digunakan dalam pengembangan pengelolaan hutan kemenyan (Gambar 2). Pada diagram SWOT terdapat 4 (empat) sel sebagai hasil perpaduan

PELUANG (O)

KELEMAHAN (W) KEKUATAN (S)

ANCAMAN (T) Sel 3 Sel 1

(43)

antara kekuatan-kelemahan dengan peluang-ancaman. Sel pertama merupakan situasi yang sangat menguntungkan dimana pengembangan pengelolaan hutan kemenyan memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat menggunakan peluang yang ada. Dalam situasi seperti ini strategi yang dipakai adalah mendukung kebijakan perkembangan yang agresif (support an aggressive strategy).

Jika posisi rencana pengembangan pengelolaan hutan kemenyan berada pada sel kedua, meskipun menghadapi berbagai macam ancaman namun masih memiliki kekuatan dari faktor internal. Strategi pengembangan yang diterapkan dalam kondisi seperti ini adalah dengan menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi diversifikasi (support a diversification strategy).

Apabila posisi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan berada pada sel ketiga, berarti rencana memiliki peluang yang besar, tetapi juga menghadapi beberapa kendala/kelemahan internal. Fokus strategi pada situasi ini adalah meminimalkan masalah-masalah internal sehingga dapat mempergunakan, mengoptimalkan ataupun merebut peluang yang lebih baik (support a turnaround oriented strategy). Namun apabila rencana pengembangan pengelolaan hutan kemenyan berada pada posisi sel keempat, berarti rencana tersebut menghadapi situasi yang tidak menguntungkan, yakni memiliki kelemahan dari sisi internal dan menghadapi berbagai ancaman dari sisi ekternal. Dalam kondisi seperti pada sel keempat strategi yang diterapkan fokus pada strategi bertahan (support a defensive strategy). Masing-masing sel pada diagram SWOT memperlihatkan kondisi atau situasi yang berbeda, sehingga untuk rencana pengembangannya dibutuhkan strategi yang berbeda (rangkuti 2008).

(44)

Tabel 4. Matriks SWOT

Internal Eksternal

Kekuatan (Strength)

Kelemahan (Weakness)

Peluang

(Opportunity) SO strategies WO strategies Ancaman

(Treaths) ST strategies WT strategies

2.5. Analisa Finansial Kelayakan Usaha

Menurut (Gittinger 1986), untuk menganalisis kelayakan usaha ada beberapa metode yang digunakan, antara lain: Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Internal Rate of Return (IRR).

Net Present Value (NPV) adalah analisis manfaat finansial yang digunakan untuk mengukur layak tidaknya suatu usaha dilaksanakan dilihat dari nilai sekarang arus kas bersih yang akan diterima dibandingkan dengan nilai sekarang dari jumlah investasi yang dikeluarkan. Konsep net present value merupakan metode evaluasi investasi yang menghitung nilai bersih saat ini dari uang masuk dan keluar dengan tingkat diskonto atau tingkat bunga yang disyaratkan. Kriteria penilaian adalah, jika NPV>0 maka usaha yang direncanakan dan jika NPV<0, jenis usaha yang direncanakan tidak layak untuk dilaksanakan.

Metode analisa kelayakan usaha yang kedua adalah Benefit Cost Ratio (BCR) atau Profitability index. Metode ini memprediksi kelayakan suatu proyek dengan membandingkan nilai penerimaan bersih dengan nilai investasi. Apabila nilai BCR lebih besar dari 1 (satu) maka rencana investasi dapat diterima, sedangkan apabila nilai BCR lebih kecil dari 1 (satu) maka rencana investasi tidak layak diusahakan. NPV dan BCR akan selalu konsisten.

(45)

III. METODOLOGI

3.1. Waktu Dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara, meliputi Desa Simarigung dan Desa Sampean yang merupakan bagian dari Kecamatan Dolok Sanggul. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive, yaitu penentuan lokasi secara sengaja dengan pertimbangan bahwa kedua desa tersebut merupakan sentra pengelolaan hutan kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan. Penelitian dilakukan selama 3 bulan, yaitu mulai dari pertengahan bulan Mei sampai Agustus 2010.

3.2. Data dan Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini sifatnya bukan eksperimental melainkan deskriptif eksploratif. Oleh karena itu pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian diperoleh dengan cara wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sebelum penelitian, observasi langsung serta melalui studi pustaka (Singarimbun dan Effendi 2006). Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara bertanya jawab, sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat panduan wawancara (Nazir 2005).

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder yang diuraikan sebagai berikut:

1. Data Primer

(46)

2. Data Sekunder

Data sekunder sifatnya sebagai data pendukung dan penunjang untuk melengkapi data primer. Data ini diperoleh melalui studi literatur ataupun studi pustaka. Data sekunder yang dikumpulkan adalah kondisi geografis, demografi keadaan sosial ekonomi masyarakat dan kajian-kajian ataupun penelitian-penelitian terkait tanaman kemenyan. Studi pustaka ini dilakukan pada instansi-instansi pemerintahan terkait, seperti: Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Humbahas, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Humbahas, Bappeda Kabupaten Humbahas, serta Badan Penelitian Kehutanan Aek Nauli.

3.3. Penentuan Responden

Objek dari penelitian ini adalah pengelolaan hutan kemenyan rakyat yang ada di Kabupaten Humbahas, Provinsi Sumatera Utara. Oleh karena itu yang menjadi populasi sasaran penelitian ini adalah masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan hutan kemenyan dimaksud atau petani kemenyan. Jumlah petani kemenyan yang dijadikan sebagai responden sebanyak 60 orang yang terdiri dari 30 orang dari Desa Simarigung dan 30 orang dari Desa Sampean. Metode pemilihan responden dilakukan secara acak (random sampling), artinya setiap petani kemenyan yang ada di kedua desa tersebut memiliki peluang yang sama menjadi responden. Mengingat sistem pengelolaan hutan kemenyan di daerah ini cenderung homogen maka pengambilan dan penentuan jumlah responden dianggap sudah merupakan representasi dari petani pengelola hutan kemenyan yang terdapat di Kabupaten Humbang Hasundutan.

(47)

responden dan hasil studi literatur dalam melakukan analisa strategi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan (analisa SWOT).

3.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-eksploratif maka dalam pengolahan datanya menggunakan analisis deskriptif, yaitu mendeskripsikan secara jelas dan terperinci seluruh data yang diperoleh dari hasil penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. Adapun metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini untuk masing-masing tujuan adalah sebagai berikut:

1. Untuk menjawab tujuan pertama, yaitu mengkaji aspek sosial, ekonomi dan ekologi dari pengelolaan hutan kemenyan dijawab melalui analisis deskriptif. Data hasil penelitian ditelaah, dianalisa dan dideskripsikan secara detail. a. Aspek Sosial

Data diperoleh melalui wawancara, observasi lapangan dan studi literatur untuk menggali informasi-informasi yang berkaitan dengan aspek sosial, antara lain: umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, jumlah anggota keluarga, luas hutan kemenyan, hak kepemilikan (property right) lahan beserta pohonnya serta motivasi dan persepsi responden terhadap hutan kemenyan.

b. Aspek Ekonomi

Dalam penelitian ini aspek ekonomi yang ingin diketahui, yaitu jumlah pendapatan petani kemenyan baik yang diperoleh dari hutan kemenyan maupun dari sumber mata pencaharian lainnya, kontribusi pendapatan dari hutan kemenyan terhadap pendapatan petani kemenyan secara keseluruhan dan analisis kelayakan usaha sistem pengelolaan hutan kemenyan. Dalam menganalisa data, unit analisa yang digunakan adalah rata-rata dari masing-masing kelompok responden yang telah distratifikasi berdasarkan pemilikan kebun kemenyan.

(48)

selama 50 tahun. Adapun formula dari masing-masing parameter seperti yang ditampilkan di bawah ini (Gittinger 1986):

 Nilai Bersih Sekarang (Net Present Value)

 Rasio Pendapatan dan Biaya (Benefit Cost Ratio)

Internal Rate of Return (IRR)

Keterangan :

NPV = Net Present Value BCR = Benefit Cost Ratio IRR = Internal Rate of Return

Bt = Komponen pendapatan pada tahun ke - t Ct = Komponen biaya pada tahun ke - t t = Umur tanaman (1,2,3… , n) i = Suku bunga (interest rate)

n = Umur kemenyan sampai tidak produktif menghasilkan getah (n)

c. Aspek ekologi

(49)

informasi dalam mendeskripsikan secara jelas sesuai dengan kenyataan yang ditemukan di lapangan.

2. Untuk menjawab tujuan kedua dan ketiga, yaitu menganalisis permasalahan-permasalahan dan merumuskan strategi pengembangan dalam pengelolaan hutan kemenyan dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT berfungsi untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi suatu kegiatan. Sebagai dasar analisis ini adalah dengan melihat kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity) dan ancaman (threat). Faktor-faktor tersebut diperoleh dari berbagai informasi, literatur, wawancara dan temuan langsung di lapangan sehingga didapatkan sejumlah faktor yang kembali disodorkan sebagai bahan pertanyaan dalam kuisioner yang harus dijawab oleh responden dan informan kunci sehingga didapatkan peubah-peubah yang menjadi faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan. Analisis dilakukan dalam tiga (3) tahapan pokok, yaitu tahapan identifikasi dan pengumpulan data, tahapan analisis dan tahapan perumusan strategi. a. Tahapan identifikasi dan pengumpulan data

(50)

b. Tahapan Analisis

Pada tahapan ini dilakukan pemaduan antara faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) yang mempengaruhi pengelolaan hutan kemenyan. Alat analisis yang digunakan adalah diagram SWOT atau diagram internal-eksternal. Dalam diagram SWOT diperoleh titik yang merupakan perpaduan antara peubah internal dan eksternal. Nilai pada sumbu X, merupakan nilai selisih antara skor kekuatan dan kelemahan, sedang pada sumbu Y merupakan nilai selisih antara skor peluang dan ancaman.

c. Tahapan perumusan strategi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan Tahapan perumusan strategi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan digunakan untuk menetapkan strategi berdasarkan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman seperti disajikan pada matriks SWOT.

3.5. Definisi Operasional

Berikut ini disampaikan beberapa definisi untuk menghindari kesalahan dalam mengartikan istilah yang dimaksudkan, diantaranya:

1. Umur adalah usia responden yang dihitung dari tahun lahir sampai saat penelitian dilaksanakan dan dinyatakan dalam tahun.

2. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang ditempuh oleh responden yang dinyatakan dengan pilihan tidak sekolah, sekolah dasar (SD), SLTP, SLTA dan perguruan tinggi.

3. Jumlah anggota keluarga adalah jumlah keseluruhan anggota keluarga meliputi suami, istri, anak dan keluarga lain yang menjadi tanggungan keluarga.

4. Luas hutan/kebun kemenyan adalah luas keseluruhan hutan/kebun kemenyan yang diusahakan responden yang dinyatakan dalam hektar (ha).

5. Pendapatan adalah penghasilan rata-rata responden setiap bulan yang diperoleh dari berbagai sumber yang dinyatakan dalam rupiah per bulan (Rp/bln).

(51)

7. Persepsi adalah pandangan dan penilaian responden terhadap pengelolaan hutan kemenyan.

8. Motivasi adalah dorongan dari dalam maupun dari luar untuk mewujudkan harapan dengan adanya tindakan yang dilakukan.

9. Pengelolaan hutan kemenyan adalah kegiatan mengelola hutan kemenyan yang berorientasi untuk menghasilkan atau memproduksi getah kemenyan mulai dari kegiatan penanaman (regenerasi) tanaman, pemeliharaan, pemanenan getah, pengolahan getah pasca panen sampai pemasaran.

10. Kekuatan (strenght) adalah faktor yang berasal dari dalam (internal) yang sudah dimiliki dan dapat dioptimalkan dalam mendukung pengembangan pengelolaan hutan kemenyan.

11. Kelemahan (weakness) adalah faktor yang berasal dari dalam (internal) yang menjadi penghambat dalam pengembangan pengelolaan hutan kemenyan. 12. Peluang (opportunity) adalah faktor yang berasal dari luar (eksternal) yang

dapat digunakan sebagai pendukung dalam pengembangan pengelolaan hutan kemenyan.

13. Ancaman (threat) adalah faktor yang berasal dari luar (eksternal) yang dapat menghambat pengembangan pengelolaan hutan kemenyan.

(52)
(53)

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Kondisi Geografis

Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan salah satu kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara. Kabupaten ini resmi terpisah dengan kabupaten induk pada tanggal 25 Pebruari 2003 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Pakpak Bharat, dan kabupaten Humbang Hasundutan di Provinsi Sumatera Utara.

[image:53.612.127.505.450.687.2]

Secara geografis Kabupaten Humbang Hasundutan terletak pada 02001’ – 02020’ Lintang Utara (LU) dan 98010’ – 98038’ Bujur Timur (BT). Kabupaten ini terletak pada bagian tengah Provinsi Sumatera Utara. Dilihat dari posisi kabupaten lain disekitarnya, sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Samosir, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara, sebelah Timur berbatasan Kabupaten Tapanuli Tengah dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Pakpak Bharat.

Tabel 5. Nama kecamatan beserta luasannya di Kabupaten Humbang Hasundutan No Nama Kecamatan Luas Wilayah (ha) Persentase Luas (%)

1 Pakkat 38.168,00 15,16

2 Onan Ganjang 22.256,27 8,84

3 Sijamapolang 14.018,07 5,57

4 Lintong Nihuta 18.126,21 7,20

5 Paranginan 4.778,39 1,90

6 Dolok Sanggul 20.929,53 8,31

7 Pollung 32.736,46 13,00

8 Parlilitan 72.774,71 28,91

9 Tarabintang 24.251,98 9,63

10 Baktiraja 3.726,31 1,48

TOTAL 251.765,93 100,00

(54)

Luas wilayah kabupaten Humbang Hasundutan mencapai 251.765,93 ha yang meliputi daratan dan perairan. Adapun daratan memiliki luasan 250.271,02 ha dan perairan berupa danau (bagian dari Danau Toba) seluas 149,91 ha. Kabupaten ini terdiri dari sepuluh kecamatan dengan masing-masing luasannya seperti pada Tabel 5. Dari sepuluh kecamatan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kecamatan Parlilitan merupakan kecamatan terluas dengan luas 72.774,71 ha (28,91% dari luas total kabupaten) sedangkan kecamatan yang memiliki luasan paling kecil adalah Kecamatan Bakti Raja dengan luas 3.726,31 ha (1,48 % dari luas total kabupaten).

Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan daerah yang berada pada deretan pegunungan Bukit Barisan dengan ketinggian berada pada kisaran antara 330 – 2.072 m di atas permukaan air laut. Topografi lahan Kabupaten Humbang Hasundutan sendiri sangat bervariasi mulai dari datar, landai, miring dan curam.

4.2. Kondisi Demografi

Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Humbang Hasundutan tahun 2009 bahwa jumlah penduduk di kabupaten ini mencapai 158.070 jiwa yang terdidi dari 34.971 kepala keluarga. Bila dibandingkan dengan luas wilayah maka diketahui rata-rata kepadatan penduduk di kabupaten ini mencapai 63 jiwa/km2.

Dalam hal kependudukan ini, masyarakat di Kabupaten Humbang Hasundutan termasuk daerah yang masyarakatnya heterogen, karena selain menganut agama yang berbeda-beda juga memiliki beragam suku, yaitu Batak Toba, Pakpak, Simalungun, Nias, Jawa, Padang dan Mandailing. Penduduk memeluk agama seperti Islam, Kristen Protestan dan Katholik. Walaupun penduduknya terdiri dari berbagai suku namun terbukti mereka dapat hidup berdampingan dengan baik, jarang terjadi konflik antar suku. Justru antar suku telah membaur satu sama lain, menjalin kekerabatan dengan perkawinan. Kerukunan dan toleransi beragam suku ini terlihat jelas pada saat acara-acara adat, terutama saat pesta perkawinan. Begitu juga dengan toleransi beragama diantara masyarakat terbina dan terjaga dengan baik.

(55)

sebagai mata pencaharian masyarakat adalah pedagang, pegawai negeri sipil, pegawai swasta, TNI/POLRI serta sebagian kecil industri/kerajinan tangan.

4.3. Kondisi Hutan

[image:55.612.129.507.291.535.2]

Kabupaten Humbang Hasundutan memiliki kawasan hutan negara dengan luasan 95.512,84 ha (37,9 % dari luas total kabupaten). Masing-masing kecamatan memiliki sebaran luas serta fungsi hutan yang tidak sama. Sebaran luas kawasan hutan berdasarkan kecamatan di Kabupaten Humbang Hasundutan seperti yang ditampilkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Sebaran luas kawasan hutan di Kabupaten Humbang Hasundutan No Nama Kecamatan Luas Kawasan Hutan (ha) Persentase (%)

1 Pakkat 17.100,00 17,90

2 Onan Ganjang 3.100,00 3,25

3 Sijamapolang 2.850,00 2,98

4 Lintong Nihuta 7.700,60 8,06

5 Paranginan 2.250,00 2,36

6 Dolok Sanggul 6.000,04 6,28

7 Pollung 6.062,20 6,35

8 Parlilitan 39.950,00 41,83

9 Tarabintang 8.400,00 8,79

10 Baktiraja 2.100,00 2,20

TOTAL 95.512,84 100,00

Sumber: BPS Kab. Humbang Hasundutan Tahun 2009

Bila ditinjau dari keberadaan luasan hutan di atas maka kabupaten ini masih masuk dalam kategori kabupaten yang memiliki luasan hutan yang proporsional yaitu di atas 30 % dari luas wilayahnya.

(56)

sebagian besar telah melibatkan pihak swasta dengan membangun hutan tanaman sebagai bahan baku bubur kertas (pulp).

4.4. Penyebaran Hutan Kemenyan

Potensi getah kemenyan di Sumatera Utara cukup besar yang tersebar di beberapa kabupaten daerah penghasil dan telah sekian lama dikenal masyarakat secara luas. Pemanfaatan kemenyan oleh masyarakat telah menjadi sumber pendapatan mereka terutama petani kemenyan yang tinggal di sekitar kawasan hutan.

Di Kabupaten Humbang Hasundutan sendiri, menurut data dari BPS Kab. Humbang Hasundutan (2009) tanaman kemenyan tersebar di 7 kecamatan dari sepuluh kecamatan secara keseluruhan artinya tidak semua kecamatan memiliki kebun kemenyan. Perbandingan sebaran luas tanaman kemenyan beserta produksinya pada masing-masing kecamatan disajikan pada Tabel 7.

[image:56.612.126.505.389.644.2]

Tabel 7. Sebaran tanaman kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan

No Nama Kecamatan Tanaman Kemenyan Luas (ha) Produksi (ton)

1 Pakkat 57,00 16,53

2 Onan Ganjang 1.039,00 294,25 3 Sijamapolang 592,00 125,25

4 Lintong Nihuta 0,00 0,00

5 Paranginan 0,00 0,00

6 Dolok Sanggul 1.403,50 416,99

7 Pollung 284,00 84,21

8 Parlilitan 818,50 357,09

9 Tarabintang 27,00 10,50

10 Baktiraja 0,00 0,00

TOTAL 4.221,00 1.304,82

(57)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Aspek Sosial Pengelolaan Hutan Kemenyan 5.1.1. Karakteristik Petani Responden

Karakteristik petani responden diperlukan sebagai gambaran umum keadaan petani kemenyan yang menjadi sampel dan merupakan obyek dalam penelitian. Karakteristik petani responden yang dibahas dalam penelitian ini, terdiri dari umur petani, tingkat pendidikan formal, jumlah anggota keluarga, pengalaman bertani dan luas kebun kemenyan yang diusahakan.

a. Umur Petani Responden

Umur sangat erat kaitannya dengan produktivitas ker

Gambar

Tabel 1. Luasan dan produksi getah kemenyan di Provinsi Sumut tahun 2007
Gambar 2. Diagram SWOT (Rangkuti 2008)
Tabel 5. Nama kecamatan beserta luasannya di Kabupaten Humbang Hasundutan
Tabel 6. Sebaran luas kawasan hutan di Kabupaten Humbang Hasundutan
+7

Referensi

Dokumen terkait

dalam persengketaan atau konflik lahan antara masyarakat dengan PT Toba Pulp. Lestari (TPL), adapun yang menjadi inti permasalahannya yaitu sebagai

Ini berarti berarti Pemerintah Daerah/Dinas Pertanian Subdinas Perkebunan dan masyarakat/petani secara internal (kekuatan dan kelemahan) belum baik (kuat), dalam

Potensi Pengembangan Kemenyan Sebagai Komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu Spesifik andalan Sumatera Utara.. Makalah Seminar Nasional Himpinan Alumni-IPB HAPKA Fakultas Kehutanan IPB

Tindakan demikian akan membuat harga yang diterima oleh petani tidak akan terlalu jauh berbeda dengan harga jual yang dilakukan pihak pengolah kemenyan, tetapi sampai saat ini

Tujuan dari penelitiaan ini adalah untuk mengetahui nilai ekonomi kemenyan (Styrax sumatrana), untuk mengetahui kontribusi kemenyan terhadap pendapatan petani kemenyan, dan untuk

Dengan meningkatkan pengolahan getah kemenyan akan membantu meningkatkan harga sehingga petani dapat memperoleh nilai ekonomi yang lebih tinggi lagi sehingga kontribusi

Kontribusi Hutan Rakyat Kemenyan terhadap Pendapatan Rumah Tangga (Studi Kasus di Desa Hutajulu, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan).. Kajian Pengelolaan Hutan

Ini berarti berarti Pemerintah Daerah/Dinas Pertanian Subdinas Perkebunan dan masyarakat/petani secara internal (kekuatan dan kelemahan) belum baik (kuat), dalam