• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PROFITABILITAS DAN TATANIAGA KEMENYAN DI DESA SAMPEAN, KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN, SUMATERA UTARA EXAS DANIEL LUMBAN GAOL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS PROFITABILITAS DAN TATANIAGA KEMENYAN DI DESA SAMPEAN, KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN, SUMATERA UTARA EXAS DANIEL LUMBAN GAOL"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

EXAS DANIEL LUMBAN GAOL

DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

i Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Profitabilitas Dan Tataniaga Kemenyan di Desa Sampean, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2012

Exas Daniel Lumban Gaol NIM E24080017

(3)

ii EXAS DANIEL LUMBAN GAOL. Profitability Analysis and Market Chain of Benzoin in Sampean Village, Humbang Hasundutan District, North Sumatera.

Under direction of BINTANG C.H. SIMANGUNSONG.

The benzoin forest in Indonesia were traditionally managed to produce benzoin resin, one of non-timber forest products. Lack of farmer’s access to the market and a fluctuated benzoin resin prices were major disincentives in the benzoin forest management. This study was conducted at Sampean village, Humbang Hasundutan district, one of major benzoin forest location in North Sumatera, and tried to determine a production cost of benzoin resin, calculate a farmer’s profit, analyze farmer’s share and describe benzoin resin market chain.

The results showed there are about 60 families with total benzoin forest area of 350 ha at Sampean village. Of which, 15 families were then interviewed and observed. An average benzoin forest area managed by each family was about 5 ha with benzoin resin production of 201.6 kg per year (super benzoin of 134.4 kg and tahir benzoin of 67.2 kg). The production cost to produce those benzoin resin were estimated about Rp4.99 million/year. With benzoin resin prices of super of Rp90 thousand/kg and of tahir of Rp50 thousand/kg, each farmer would generate a revenue of Rp15.46 million per year, or a profit of Rp10.47 million per year.

If farmers take into account their labor spent in this activity as part of their production cost, then total production cost increase to Rp13.99 million per year.

Hence, farmer’s profit was drastically decline to Rp1.47 million/year, which was much lower compare with profit/income generated from other sectors, such as agriculture (rice plant) and crops (coffee estates).

The results also showed there were 2 kinds of benzoin resin market chains, a main line (farmers – local collectors – district collectors – processors – exporters) and a secondary line (farmers – district collectors – processors – exporters). The most efficient of market chain and the highest farmer’s share was found at a secondary line. They were Rp43 thousand/kg and 69.29% for super benzoin, respectively; and Rp34 thousand/kg and 62.22% for tahir benzoin, respectively.

Keywords: benzoin forest, benzoin resin, production cost, farmer’s share, market chain, non-timber forest products.

(4)

iii EXAS DANIEL LUMBAN GAOL. Analisis Profitabilitas dan Tataniaga Kemenyan di Desa Sampean, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

Dibimbing oleh BINTANG C.H. SIMANGUNSONG.

Hutan kemenyan di Indonesia dikelolah secara tradisional untuk menghasilkan kemenyan, salah satu hasil hutan bukan kayu. Kurangnya akses petani ke pasar dan berfluktuasinya harga kemenyan merupakan penyebab utama hutan kemenyan tidak dikelolah secara intensif. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sampean Kabupaten Humbang Hasundutan, salah satu lokasi hutan kemenyan utama di Sumatera Utara dengan tujuan untuk menghitung biaya produksi, menghitung keuntungan petani, menganalisis farmer’s share dan menggambarkan tataniaga kemenyan.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat 60 kk yang mengelola hutan kemenyan seluas 350 ha di Desa Sampean. Lima belas keluarga di antaranya kemudian diwawancarai dan diamati dalam penelitian ini. Rata-rata luas hutan kemenyan yang dikelolah oleh setiap keluarga adalah 5 ha dengan produksi kemenyan setiap tahun sebesar 201.6 kg (kemenyan super sebesar 134.4 kg dan kemenyan tahir sebesar 67.2 kg). Biaya produksi untuk menghasilkan kemenyan tersebut diperkirakan sebesar Rp4.99 juta/tahun. Setiap petani akan menghasilkan pendapatan sebesar Rp15.46 juta/tahun atau keuntungan sebesar Rp10.47 juta/tahun dengan harga kemenyan super Rp90 ribu/kg dan kemenyan tahir Rp50 ribu/kg.

Jika petani memperhitungkan tenaga yang dicurahkannya di dalam pemanenan kemenyan sebagai komponen dari biaya produksi maka biaya produksi total meningkat menjadi Rp13.99 juta/tahun. Hal ini menyebabkan keuntungan petani menurun secara drastis ke Rp1.47 juta/tahun yang mana keuntungan ini jauh lebih rendah dibandingkan keuntungan yang akan diperoleh petani tersebut jika bekerja di sektor lain, seperti sektor pertanian (tanaman padi) dan sektor perkebunan (perkebunan kopi).

Hasil penelitian juga menunjukkan terdapat 2 macam saluran tataniaga kemenyan, saluran utama (petani – pengumpul desa – pengumpul kecamatan/

kabupaten – pengolah – eksportir) dan saluran lain (petani – pengumpul kecamatan/kabupaten – pengolah – eksportir). Saluran tataniaga yang paling efisien dan farmer’s share paling tinggi ditemukan pada saluran lain. Nilainya secara berturut-turut Rp43 ribu/kg dan 69.29% untuk kemenyan super; dan berturut-turut Rp34 ribu/kg dan 62.22% untuk kemenyan tahir.

Kata kunci: hutan kemenyan, getah kemenyan, biaya produksi, farmer’s share, tataniaga, hasil hutan bukan kayu.

(5)

iv

EXAS DANIEL LUMBAN GAOL E24080017

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(6)

v Judul Penelitian : Analisis Profitabilitas dan Tataniaga Kemenyan di Desa Sampean, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara

Nama : Exas Daniel Lumban Gaol

NIM : E24080017

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Ir. Bintang C.H. Simangunsong, MS, Ph.D NIP. 19630413 198703 1 004

Mengetahui,

Ketua Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc NIP. 1966 0212 199103 1 002

Tanggal Lulus:

(7)

vi Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan selama menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan. Pada kesempatan ini, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Ir. Bintang C.H. Simangunsong, MS, Ph.D sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, pengarahan dan saran selama penelitian hingga penyelesaian skripsi ini.

2. Bapak Ir. E.G. Togu Manurung, MS, Ph.D dan Bapak Dr. Ir. Achmad, MS selaku ketua sidang dan penguji sidang yang telah meluangkan waktu untuk menguji dan memberikan nasehatnya kepada penulis.

3. Keluarga tercinta Bapak (Sampe Lumban Gaol), Ibu (Revi Gultom), Kakak (Heni Maniar Lumban Gaol) dan Adik (Vestar Lumban Gaol) beserta Keluarga Besar Lumban Gaol Ompu Manungkar yang telah memberi semangat dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Jamanat Lumban Gaol dan Bapak Jawasmer Lumban Gaol beserta petani dan pedagang pengumpul kemenyan yang lain, Ibu Mariana Mahulae selaku kepala Desa Sampean yang telah meluangkan waktu dan bantuan kemudahan saat penulis melakukan penelitian.

5. Bapak Mangatur Lumban Gaol beserta staf Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Humbang Hasundutan yang telah memberikan waktu dan bantuan kemudahan saat penulis melakukan penelitian.

6. Anggresia Adylastri Manalu dan Gpc Sarai Silaban yang telah meluangkan waktu dan bantuan saat penulis akan menghadapi seminar dan sidang.

7. Teman-teman THH’45, PF Fahutan, Komkes IPB,Kontrakan Lapet beserta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Bogor, Agustus 2012

Penulis

(8)

vii Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April sampai Mei 2012 ialah Analisis Profitabilitas dan Tataniaga Kemenyan di Desa Sampean, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir. Bintang C.H.

Simangunsong, MS, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingannya kepada penulis. Di samping itu, penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Penulis juga menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna. Segala kritikan dan saran yang bersifat membangun penulis terima dengan senang hati. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2012

Penulis

(9)

viii Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 30 September 1990 dari ayah Sampe Lumban Gaol dan ibu Revi Gultom. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 64 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih mayor Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis menjadi ketua Persekutuan Fakultas Kehutanan pada tahun 2010/2011, serta ketua pelaksana Pelatihan Papan Partikel 2011. Pada tahun 2010 penulis ikut serta dalam PKM dan berhasil didanai Dikti untuk kategori PKM-P dengan judul Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) sebagai Agen Peningkatan Kualitas Papan Serat Pelepah Pisang (Musa sp.) Bermutu Tinggi. Penulis menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Hutan (HIMASILTAN) IPB dan Komisi Kesenian Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB pada tahun 2010/2011. Selain itu penulis juga melakukan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di PT Toba Pulp Lestari, Tbk.

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penulis melaksanakan kegiatan praktik khusus (skripsi) dalam bidang hasil hutan bukan kayu dengan judul Analisis Profitabilitas dan Tataniaga Kemenyan di Desa Sampean, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara di bawah bimbingan Ir. Bintang C.H.

Simangunsong, MS, Ph.D.

(10)

ix Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Kemenyan ... 3

2.2 Kemenyan ... 5

2.2.1 Manfaat Kemenyan ... 6

2.2.2 Kualitas Kemenyan ... 7

2.3 Biaya Produksi ... 9

2.4 Analisis Profitabilitas ... 10

2.5 Tataniaga Kemenyan ... 10

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 16

3.2 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 16

3.3 Analisis Data ... 16

3.3.1 Biaya Produksi ... 16

3.3.2 Profitabilitas ... 17

3.3.3 Analisis Farmer’s Share ... 19

3.3.4 Analisis Margin Tataniaga ... 19

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis ... 21

4.2 Kondisi Demografis ... 21

4.3 Kondisi Hutan Kemenyan ... 21

4.4 Pasar Dolok Sanggul ... 22

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengelolaan Hutan Kemenyan di Desa Sampean ... 23

5.2 Biaya Produksi Kemenyan ... 26

5.3 Profitabilitas ... 29

5.4 Farmer’s Share ... 31

5.5 Tataniaga Kemenyan ... 33

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan... 38

6.2 Saran ... 38

DAFTAR PUSTAKA ... 39

LAMPIRAN ... 41

(11)

x

No. Halaman

1. Standar mutu berdasarkan sifat fisis dan kimia kemenyan ... 8

2. Standar lokal kualitas kemenyan ... 9

3. Jenis, sumber dan cara pengumpulan data ... 18

4. Tata waktu kegiatan pemanenan desa sampean ... 25

5. Biaya produksi pemanenan kemenyan dari 1 petani ... 28

6. Rugi laba produksi kemenyan dari 1 petani desa sampean ... 30

7. Pendapatan 1 petani desa sampean ... 31

8. Farmer’s share di setiap saluran rantai tataniaga kemenyan ... 32

(12)

xi

No. Halaman

1. Rantai pemasaran getah kemenyan ... 12

2. Kurva marjin tataniaga ... 14

3. Rantai tataniaga kemenyan ... 19

4. Hutan kemenyan dan pasar kemenyan ... 22

5. Saluran utama (main line) rantai tataniaga kemenyan desa sampean ... 36

6. Saluran lain (secondary line) rantai tataniaga kemenyan desa sampean .. 36

(13)

xii

No. Halaman

1. Peta Kabupaten Humbang Hasundutan ... 42 2. Produksi kemeyan di Kabupaten Humbang Hasundutan ... 43 3. Rugi laba produksi kemenyan dari 1 petani desa sampean ... 44 4. Marjin tataniaga, farmer's share dan rasio keuntungan

biaya tataniaga kemenyan tahir ... 45 5. Saluran utama (main line) rantai pemasaran

kemenyan desa sampean tahun 2012 ... 46 6. Saluran lain (secondary line) rantai pemasaran

kemenyan desa sampean tahun 2012 ... 47 7. Batang, pohon dan anakan kemenyan ... 48 8. Penyadapan, pengambilan getah dan peralatan pemanenan

kemenyan ... 49 9. Kemenyan di pengumpul desa, pasar dan pengolah ... 50 10. Surat keterangan dari Desa Sampean ... 51

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Permasalahan pemanfaatan hasil hutan yang tidak lestari mengakibatkan semakin terbatasnya sumber daya hutan yang dapat dimanfaatkan demi memenuhi kebutuhan hidup manusia. Isu lingkungan global, seperti global climate change dan meningkatnya kerusakan hutan telah mendorong kompetisi penggunaan hasil hutan sebagai bahan berbagai produk agar lebih dimanfaatkan hasilnya secara efisien dan bertanggung jawab. Indonesia sebagai negara yang dijuluki mega biodiversity country justru mengalami kesulitan dalam mengelola sumber daya yang ada. Salah satu hasil hutan yang sampai saat ini pengelolaannya masih sangat lamban berkembang ialah kemenyan asal Kabupaten Humbang Hasundutan. Nama perdagangan internasional kemenyan adalah gum benjamin, tetapi kemenyan lebih dikenal dengan sebutan haminjon oleh masyarakat batak yang tinggal di Kabupaten Humbang Hasundutan.

Pohon kemenyan tidak banyak tumbuh di Indonesia. Tanaman kemenyan di Indonesia terbatas dijumpai di Kabupaten Humbang Hasundutan dengan di daerah lain. Dalam jumlah yang terbatas, kemenyan didapat di Sumatera Selatan, Thailand, Laos, Kamboja dan Vietnam, yang disebut siam benzoin. Pada tahun 2010, Tapanuli Utara memproduksi kemenyan sebanyak 3623.28 ton dan Humbang Hasundutan sebanyak 866.73 ton (BPS Provinsi Sumatera Utara 2011).

Di Kabupaten Humbang Hasundutan dari 10 kecamatan yang ada 6 kecamatan di antaranya terdapat sebaran tanaman kemenyan, Dolok Sanggul merupakan kecamatan yang memiliki luas hutan kemenyan paling besar (BPS Kabupaten Humbang Hasundutan 2011).

Berdasarkan informasi laporan dan artikel terdahulu diketahui bahwa jumlah produksi kemenyan setiap tahun mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh kondisi pohon kemenyan yang sudah uzur dan produktivitasnya menurun serta adanya konflik lahan kemenyan. Menurut Sitompul (2011), pengelolaan hutan kemenyan menghadapi banyak permasalahan yang kebanyakan, di antaranya

(15)

kurangnya informasi pasar, harga getah kemenyan yang tidak stabil dan belum adanya budi daya intensif terhadap pengelolaan hutan kemenyan.

Dalam hal pemasaran, petani kurang menikmati hasil dari penjualan getah kemenyan karena menerima marjin keuntungan yang lebih rendah dibandingkan dengan para pengumpul. Kondisi tersebut dikhawatirkan dapat membuat petani beralih ke usaha lain. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sampean Kecamatan Dolok Sanggul karena tempat tersebut merupakan sentra pengelolaan hutan kemenyan di Kabupaten Humbang Hasundutan.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan penelitian adalah:

1. Menghitung biaya produksi dan tingkat keuntungan usaha kemenyan di tingkat petani.

2. Mengidentifikasi lembaga dan saluran yang ada pada tataniaga kemenyan.

3. Menganalisis efisiensi tataniaga kemenyan pada setiap saluran.

1.3 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna bagi Pemerintah Kabupaten dan semua pihak yang terkait dalam mengembangkan kemenyan.

(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Kemenyan

Kemenyan adalah jenis pohon yang tumbuh di lereng-lereng bukit dan pada tanah berpasir pada ketinggian 1000-5000 m di atas permukaan laut. Pohon ini banyak ditemui di Kabupaten Tapanuli Utara yang dikenal dengan nama Haminjon atau Kemenyan Toba. Kemenyan dapat tumbuh pada tanah-tanah tinggi yang berpasir maupun lempung rendah di hutan alam, tapi secara umum kemenyan menghendaki tanah yang memiliki kesuburan yang baik (Panggaribuan 2004).

Kemenyan (Styrax sp.) termasuk jenis pohon berukuran besar yaitu dari famili Styracaceae, salah satu jenis tanaman asli Sumatra Utara. Klasifikasi tanaman kemenyan dalam sistematika tumbuhan dapat disusun sebagai berikut:

kingdom : Plantae

superdivision : Spermatophyta division : Angiospermae class : Dikotil

ordo : Styracales family : Styracaceae genus : Styrax

species : Styrax sumatrana dan Styrax benzoin (Oetomo 1974).

Ciri dari pohon kemenyan berbatang lurus dengan kulit berwarna coklat kemerah-merahan dan sedikit adanya percabangan. Pohon kemenyan berdaun tunggal, tersusun spiral, bentuk daun oval (bulat memanjang dan ujungnya meruncing). Buah kemenyan bentuknya bulat dan lonjong dengan biji berwarna coklat di dalamnya (Sasmuko 2003). Pohon kemenyan yang sudah dapat disadap getahnya berkisar pada umur 7-8 tahun (Dede 1998).

Kemenyan (Styrax sp.) merupakan salah satu jenis pohon yang secara alami tumbuh di Kabupaten Humbang Hasundutan dan tidak banyak tumbuh di daerah dan negara lain. Dalam jumlah terbatas, kemenyan memang terdapat di Sumatera Selatan, dan lumayan banyak di Thailand, Malaysia, Laos, Myanmar, Kamboja

(17)

dan Vietnam. Di Indonesia jenis ini terdapat di Sumatera, Jawa dan Kalimantan Barat. Di pulau Sumatera kemenyan dijumpai secara alami di pantai barat, hidupnya berkelompok dan berasosiasi dengan pohon lain. Sumatera Utara dan Sumatera Selatan dua daerah penghasil kemenyan di Indonesia. Di Sumatera Utara jenis kemenyan sampai saat ini masih dibudidayakan secara luas di daerah Tapanuli (Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah) dan Kabupaten Dairi, sedangkan di Sumatera Selatan seluruhnya tumbuhan alami (Jayusman et al. 1999).

Untuk mendapatkan getah, petani sumatera utara melakukan penyadapan, sedangkan penduduk sumatera selatan memungut getah setelah tanggal dan jatuh dari bekas luka batang akibat gigitan ulat. Getah kemenyan paling sohor ialah produksi Vietnam, Laos dan Myanmar dan hampir seluruhnya diserap industri parfum eropa terutama Prancis. Kemenyan sumatera juga dikenal tetapi eskpornya melalui pulau Jawa.

Menurut Dede (1998), hutan rakyat kemenyan merupakan hutan campuran berbagai jenis pohon tidak seumur, mempunyai pola tanam yang tidak teratur yang menyerupai struktur hutan alam dan dapat dikatakan juga merupakan agroforestry yang didominasi oleh pohon kemenyan. Yuniandra (1998) mengatakan bahwa hutan rakyat kemenyan merupakan warisan dari orang tua atau leluhur (nenek moyang). Hutan rakyat kemenyan mempunyai fungsi ekonomis dan ekologis yaitu sebagai sumber pendapatan masyarakat, pengaturan tata air, dan mempertahankan kesuburan tanah.

Secara tradisional pengelolaan hutan rakyat kemenyan oleh petani di Tapanuli Utara meliputi kegiatan penanaman dan pemanenan. Dalam penelitian Sinaga (2009) di Desa Sibaganding, pengelolaan hutan rakyat kemenyan dilakukan dengan cara sangat sederhana yang merupakan tanah warisan keluarga secara turun temurun dari nenek moyang dan dibiarkan tumbuh secara alami, serta hampir tanpa pemeliharaan yang intensif. Upaya pembibitan yang terseleksi atau upaya khusus lainnya untuk menjaga mutu dan produktivitas tanaman masih sangat jarang dilakukan bahkan belum pernah ada. Rajagukguk (2009) dalam penelitiannya di Desa Tangga Batu Barat Kabupaten Tobasa, mengatakan bahwa

(18)

tanaman kemenyan ditanam oleh para nenek moyang mereka dengan bibit yang diperoleh dari hutan kemenyan yang terdapat di Dolok Sanggul.

Bibit kemenyan berasal dari sebatang pohon kemenyan yang bijinya jatuh ke tanah dan tumbuh secara alami menjadi anakan. Anakan ini dapat menjadi sumber bibit dengan memilih tanaman yang tumbuh sehat dan normal. Bibit tersebut dicabut bersama akarnya tetapi tidak mengikutsertakan tanahnya. Cara menanam adalah dengan membuat lubang tanam dan ditutup dengan tanah galian, selanjutnya ditandai dengan ajir (Sinaga 2009).

Pemeliharaan kemenyan yang dilakukan petani berupa penyiangan batang dari tumbuhan pengganggu. Menurut Sinaga (2009), petani kemenyan di Desa Sibaganding tidak melakukan kegiatan pemupukan tetapi sekedar pembersihan gulma/rumput yang mengganggu sekitar tanaman kemenyan. Penyiangan dilakukan sebelum dilakukannya penyadapan getah dan daerah yang dibersihkan berupa piringan batang tanaman kemenyan (Rajagukguk 2009). Perawatan terhadap tanaman kemenyan jarang dilakukan, kegiatan yang dilakukan berupa peninjauan ke lokasi hutan tempat tumbuh kemenyan serta melihat ada tidaknya batang yang diserang hama dan penyakit.

Penyadapan (penakikan) merupakan hal yang penting dilakukan oleh petani kemenyan karena berhubungan dengan kualitas getah yang akan dihasilkan (Sinaga 2009). Alat-alat yang diperlukan dalam kegiatan pemanenan adalah pisau penggaruk (pisau guris/koret), pisau takik (agat panuttuk/agat panugi), pisau panen (agat pangaluak), tali polang/tambang dengan panjang 8-12 m, dua buah tongkat dengan panjang 0.5 m, parang, serta bakul sebagai tempat penampungan getah kemenyan. Menurut Rajagukguk (2009), pemanenan tanaman kemenyan ada dua tahap, yaitu (1) pemanenan getah mata kasar yang dilakukan 6 bulan setelah penyadapan dan (2) panen sisa setelah panen mata kasar, getah sisa keluar dari pohon kemenyan dan dipanen sekitar 3-4 bulan berikutnya yang disebut dengan kemenyan tahir.

2.2 Kemenyan

Kemenyan atau gum benzoin di dalam perdagangan biasa disebut sebagai sumatra benzoin atau gum benjamin. Kemenyan merupakan balsamic resin yang

(19)

diperoleh dari hasil pelunakan batang pohon Styrax benzoin Dryand atau Styrax paralleloneurus Perkins, sedangkan yang dihasilkan dari Styrax tonkinensis (Pierre) atau kemungkinan juga dari jenis-jenis lain dikenal dengan nama siam benzoin. Styrax berasal dari bahasa Yunani kuno “storax” yaitu nama yang digunakan untuk getah yang berbau harum. Kata “benzoin” berasal dari bahasa Arab, yaitu “ben” yang berarti harum dan “zoa” berarti getah jadi. Benzoin adalah getah yang berbau harum (Clause 1961, diacu dalam Widiyastuti et al. 1995).

Seorang Asisten Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Pematang Siantar bernama Sentot Adi Sasmuko membagi kemenyan sumatera dalam 3 golongan:

pertama kemenyan toba (Styrax sumatrana J.J.SM), kedua kemenyan durame (Styrax benzoin Dryand), dan ketiga kemenyan aek nauli. Pembagian oleh Sasmuko dinilai sedikit berbeda dengan pembagian yang dibuat petani kemenyan, yaitu haminjon toba, haminjon bulu, haminjon durame dan haminjon dairi.

Menurut petani, khusus haminjon toba terbagi lagi menjadi (a) pargotta porak, yakni kemenyan yang getahnya cepat kering dan (b) pargotta mendet, yakni kemenyan yang getahnya lama kering (Zuska 2005).

2.2.1 Manfaat Kemenyan

Menurut catatan sejarah pantai Barus (Fansyur) merupakan pusat perdagangan kemenyan di Sumatera pada masa lampau. Pelabuhan ini terletak di pantai barat pulau Sumatera. Pelaut timur tengah, cina dan india sejak abad pertama telah membawa kapur barus dan kemenyan dari Tapanuli. Komoditi tersebut banyak digunakan sebagai bahan pengawet mummi para raja di Romawi dan Mesir. Pada masa itu komoditi ini termasuk barang mahal yang dijual dengan harga lebih tinggi daripada emas. Secara tradisional masyarakat umumnya menggunakan kemenyan sebagai bahan pembantu dalam kegiatan-kegiatan ritual dan bahan campuran rokok (Sasmuko 2003).

Informasi yang lebih terbaru mengatakan bahwa kemenyan dapat digunakan sebagai bahan pengawet, termasuk pengawet makanan (Zuska 2005). Kemenyan sumatera mengandung senyawa kimia yang terdiri dari asam sinamat bebas (10%), sedikit asam benzoat (2-3%) dan koniferil sinamat, koniferil benzoat bersama sinamil sinamat (70-80%) (Ketaren 1985). Apabila kemenyan tersebut

(20)

diolah melalui proses kimia dapat menghasilkan berbagai senyawa seperti asam sinamat, koniferil alkohol, sinamil alkohol, serta asam benzoat, senyawa ini masing-masing memiliki aktivitas dengan kegunaan tersendri.

Kemenyan dari daerah Tapanuli Utara banyak mengandung asam sinamat.

Asam sinamat memberikan bau yang spesifik pada kemenyan, sehingga sering digunakan sebagai bahan baku industri parfum, kosmetik dan farmasi. Menurut Wells dan Billot (1995) diacu dalam Tarigan dan Ginting (2005), sinamil alkohol merupakan bahan dasar dalam pembuatan sinamil asetat yang dapat digunakan sebagai bahan pencampur parfum, baik bahan pewangi (base note) maupun sebagai pengikat (fixative).

Sasmuko (1995) menyatakan bahwa ekstraksi kemenyan menghasilkan beberapa senyawa kimia yang diperlukan oleh industri farmasi, antara lain asam sinamat, asam balsamat, ester aromatis, benzyl benzoat, sodium benzoat, dan benzophenone. Di Eropa, kemenyan dimanfaatkan sebagai bahan campuran pada pemanas ruangan saat musim dingin berlangsung (Sasmuko 2001). Kegunaan dalam bidang farmasi ialah sebagai ekspektoran pada penyakit bronchitis dan sebagai desinfektan pada luka. Berdasarkan uji coba pembuatan varnish, kemenyan menghasilkan varnish yang bermutu tinggi (Edison 1983, diacu dalam Yuniandra 1998).

2.2.2 Kualitas Kemenyan

Yuniandra (1998) menyatakan bahwa kualitas kemenyan yang diperdagangkan di kalangan petani, pedagang, serta pengolah sumatera utara belum ada suatu standar yang menjadi dasar umum yang berlaku untuk semua transaksi pedagang dan eksportir. Pada kalangan petani disamping diketahuinya perbedaan jenis kemenyan toba dan jenis durame, kemenyan dibedakan juga atas produksi pada masa panen besar (getah mata kasar dan mata halus) serta masa panen menurun (getah tahir dan juru). Kemenyan mata berwarna putih sampai kuning keemasan dan ukuran agak besar. Pada masa membersihkan pohon kemenyan diperoleh kemenyan juror yang agak coklat muda hingga coklat tua.

Pada musim menakik diperoleh tahir (sisa-sisa).

(21)

Di tingkat pedagang dan pengolah, kemenyan yang dibeli pedagang berupa sam-sam, mata, tahir dan jurur, kemenyan disortir dengan memakai ayakan sehingga dapat diatur sesuai dengan mutu yang diinginkan, yaitu: (1) kualitas I, kemenyan mata kasar atau sidungkapi ialah bongkahan kemenyan berwarna putih sampai putih kekuning-kuningan dengan rata-rata berdiameter lebih besar dari 2 cm; (2) kualitas II, kemenyan mata halus ialah kemenyan berwarna putih sampai putih kekuning-kuningan berdiameter 1-2 cm; (3) kualitas III, kemenyan tahir, jenis kemenyan yang bercampur dengan kulitnya atau kotoran lainnya, berwarna coklat dan kadang-kadang berbintik-bintik putih atau kuning serta besarnya lebih besar dari ukuran mata halus; (4) kualitas IV, kemenyan jurur atau jarir yang biasanya dicampurkan atau disamakan mutunya dengan jenis tahir dan warnanya merah serta lebih kecil dari mata halus; (5) kualitas V, kemenyan barbar ialah kulit kemenyan yang dikumpulkan sedikit demi sedikit sewaktu melakukan pembersihan, dan (6) kualitas VI, kemenyan abu ialah sisa-sisa berasal dari getah kemenyan dari semua kualitas, bentuk dan warnanya seperti abu kasar.

Kemenyan yang diperdagangkan di dalam negeri telah mengalami penggolongan kualitas baik di tingkat lokal maupun nasional menurut SII. 2044- 87. Menurut Sasmuko (1995), kemenyan durame bukan termasuk komoditi utama yang diperdagangkan sehingga kualitas lokal hanya berlaku untuk kemenyan toba.

Dalam publikasinya Tarigan dan Ginting (2005) menyatakan bahwa di dunia perdagangan dikenal dua macam mutu kemenyan, yaitu kemenyan sumatera (Sumatera benzoin) dan kemenyan siam (Siam benzoin). Beberapa istilah lain yang menyatakan kualitas kemenyan terdiri atas menyan putih, menyan sesetan, menyan hitam dan lain-lain (Widiyastuti et al. 1995).

Tabel 1 Standar mutu berdasarkan sifat fisis dan kimia kemenyan

No Kualitas Mutu

I II III IV Abu

1 Kadar Asam Balsamat (%) 33,20 32,70 25,30 21,80 20,10

2 Kadar Air (%) 1,56 1,75 2,35 2,19 2,29

3 Kadar Abu (%) 0,99 0,91 1,48 1,44 1,52

4 Kadar Kotoran (%) 2,89 3,44 12,00 11,20 12,50 5 Titik Lunak (°C) 58,90 59,30 64,30 65,70 57,80

Sumber: Sasmuko (1995)

(22)

Tabel 2 Standar lokal kualitas kemenyan

No Kualitas Mutu

I II III IV Abu

1 Warna Putih Putih Putih Cokelat Campur

Kekuningan Kekuningan Kemerahan 2 Ukuran

(cm) L: 3-4 L: 2-3 L: 1-2 L: 0,5-1 Bentuk kerikil-

pasir P: 5-6 P: 3-5 P: 2-3 P: 1-2

Sumber: Sasmuko (1995)

2.3 Biaya Produksi

Menurut Kuswandi (2005), biaya adalah pengorbanan atau nilai sumber ekonomis (economic resources) yang dikeluarkan karena memproduksi atau melakukan sesuatu yang membutuhkan biaya. Biaya ini mengandung dua unsur, yaitu (1) kuantitas sumber daya yang digunakan dan (2) harga tiap unit sumber daya yang telah digunakan. Biaya dinilai sebagai pengorbanan yang dilakukan untuk mendapatkan barang atau jasa (Garrison 1997, diacu dalam Leonard 2008).

Pengorbanan tersebut dapat diukur sebagai uang tunai yang dikeluarkan, harta yang dialihkan, jasa yang diberikan, dan sebagainya. Produksi adalah segala kegiatan yang berhubungan dengan proses menciptakan dan menambahkan kegunaan dari suatu barang atau jasa. Untuk melakukan kegiatan tersebut dibutuhkan faktor-faktor produksi yang dalam ilmu ekonomi meliputi tanah, modal, tenaga kerja, dan keahlian (Assauri 1999, diacu dalam Leonard 2008).

Biaya produksi adalah biaya-biaya yang terjadi untuk mengolah bahan baku menjadi produk jadi (Mulyadi 1990, diacu dalam Nugroho 2002). Biaya-biaya yang dimaksud meliputi biaya bahan baku, upah langsung, dan overhead. Biaya dapat dibedakan ke dalam dua jenis berdasarkan dari perilaku biaya terhadap perubahan volume kegiatan, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variabel cost). Biaya tetap adalah biaya yang jumlah totalnya tetap dalam suatu unit waktu tertentu, tetapi akan berubah per satuan unitnya jika volume produksi per satuan waktu tertentu berubah. Biaya ini akan terus dikeluarkan walaupun tidak berproduksi, misalnya depresiasi, bunga modal, pajak langsung, gaji karyawan tetap dan lain sebagainya. Biaya variabel adalah biaya yang per satuan unit produksinya tetap, tetapi akan berubah jumlah totalnya jika volume produksi

(23)

berubah. Biaya ini tidak diperlukan apabila tidak berproduksi, misalnya upah borongan, bahan baku, pemeliharaan, perbaikan dan lain sebagainya.

2.4 Analisis Profitabilitas

Analisis profitabilitas pada dasarnya adalah penelahan untuk menentukan kemampuan suatu proyek dapat dipertanggungjawabkan. Profitabilitas atau disebut juga rentabilitas menggambarkan kemampuan perusahaan mendapatkan laba melalui semua kemampuan dan sumber daya yang ada, seperti penjualan, modal, jumlah karyawan, jumlah cabang dan sebagainya. Menurut Soekartawi (1986) keuntungan usaha tani merupakan selisih antara penerimaan total dengan pengeluaran total (biaya produksi). Penerimaan total merupakan hasil perkalian harga produk dengan total produksi periode tertentu.

2.5 Tataniaga Kemenyan

Lembaga tataniaga adalah suatu badan usaha atau individu yang menyelenggarakan tataniaga, menyalurkan jasa dan komoditi dari produsen kepada konsumen akhir serta mempunyai hubungan dengan badan usaha atau individu lainnya. Lembaga tataniaga ini muncul karena adanya keinginan konsumen untuk memperoleh komoditi yang sesuai dengan waktu, tempat, dan bentuk yang diinginkan konsumen. Tugas lembaga tataniaga ini adalah menjalankan fungsi-fungsi tataniaga serta memenuhi keinginan konsumen semaksimal mungkin. Konsumen memberikan balas jasa kepada lembaga tataniaga ini berupa margin tataniaga.

Menurut Limbong dan Sitorus (1987) penyaluran produk yang dihasilkan oleh produsen tidak dapat dilakukan oleh produsen itu sendiri dikarenakan jarak antara produsen dengan konsumen berjauhan, maka fungsi lembaga tataniaga sangat diharapkan untuk menggerakkan produk dari produsen hingga konsumen.

Perantara ini bisa dalam bentuk perorangan, perserikatan ataupun perseroan.

Fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas ini akan dilakukan oleh lembaga-lembaga perantara tersebut. Menurut penguasaannya terhadap komoditi yang diperjualbelikan lembaga pemasaran dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) lembaga yang tidak memiliki tetapi menguasai benda, seperti agen perantara atau

(24)

makelar; (2) lembaga yang memiliki dan menguasai komoditi-komoditi pertanian yang diperjualbelikan, seperti pedagang pengumpul, tengkulak, eksportir dan importir; (3) lembaga pemasaran yang tidak memiliki dan menguasai komoditi- komoditi pertanian yang diperjualbelikan, seperti perusahaan-perusahaan penyedia fasilitas-fasilitas transportasi, asuransi pemasaran dan penentu kualitas produk pertanian atau surveyor (Sudiyono 2002, diacu dalam Nurbayuto 2011).

Dahl dan Hammond (1977), menerangkan bahwa tataniaga merupakan serangkaian fungsi yang diperlukan untuk menggerakkan produk mulai dari produsen utama hingga konsumen akhir. Menurut Sitompul (2011) pada umumnya petani menjual getah hasil sadapan langsung kepada pedagang pengumpul tingkat desa. Selain karena faktor biaya transportasi, adanya faktor hubungan kekeluargaan juga menjadi alasan banyak petani menjual langsung ke pengumpul di desa.

Petani menjual kemenyan dengan proses pengolahannya yang masih sangat sederhana (Sinaga 2009). Getah kemenyan yang sudah dikeringkan akan dipasarkan ke Dolok Sanggul dan jika petani yang memiliki hasil panen sedikit maka getah akan dititipkan ke petani lain yang akan pergi ke Dolok Sanggul (Rajagukguk 2009). Harga getah kemenyan ditentukan berdasarkan kesepakatan yang terjadi antara pedagang pengumpul dengan petani. Jika getah kemenyan yang dijual petani bersih, artinya kemenyan diolah terlebih dahulu dan hanya sedikit kotoran yang terdapat pada kemenyan maka harga jualnya semakin mahal.

Sinaga (2009) dalam penelitiannya di Desa Sibaganding mengatakan bahwa pola pemasaran sampai saat ini bersifat tradisional yang hanya melibatkan dua atau tiga pelaku bisnis, sedangkan rantai pemasaran masih kurang teratur. Pola saluran pemasaran getah kemenyan yang mungkin terjadi ialah rantai-rantai pemasaran yang menghubungkan produsen (petani kemenyan) dengan pengolah, diketahui dengan cara mengikuti dan mempelajari perpidahan kemenyan, baik fisik maupun pemilikan dari produsen sampai ke pengolah (Yuniandra 1998).

Posisi tawar petani terhadap harga dalam perdagangan kemenyan sangat rendah sehingga petani menghadapi kesulitan finansial dan akhirnya bergantung pada pedagang perantara. Kesulitan finansial petani disebabkan juga oleh faktor lain, seperti kurangnya akses informasi, tidak berfungsinya lembaga pemasaran di

(25)

tingkat petani serta rendahnya kemampuan manajemen pemasaran petani (Sinaga 2009). Secara umum rantai pemasaran getah kemenyan mulai dari petani sampai ke pengolah/ekspotir disajikan pada Gambar 1.

keterangan:

Saluran Utama (Main Line) Saluran Lainnya (Secondary Line)

Gambar 1 Rantai pemasaran getah kemenyan (Sitompul 2011).

Marjin tataniaga merupakan perbedaan harga atau selisih harga yang dibayarkan konsumen akhir dengan harga yang diterima petani produsen. Bisa dikatakan juga sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga mulai dari tingkat produsen hingga tingkat konsumen akhir yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga. Pengertian marjin tataniaga ini sering dipergunakan untuk menjelaskan fenomena yang menjembatani adanya kesenjangan antara pasar di tingkat petani dengan pasar di tingkat pengecer.

Dahl dan Hammond (1977), menyatakan bahwa marjin tataniaga menggambarkan perbedaan harga di tingkat lembaga pemasaran (Pr) dengan harga di tingkat produsen (Pf). Nilai marjin tataniaga (value of marketing margin) merupakan perkalian antara marjin tataniaga dengan volume produk yang terjual [(Pr-Pf)Qrf] yang mengandung pengertian marketing cost dan marketing charge.

Jadi pendekatan terhadap nilai marjin tataniaga dapat melalui returns to factor (marketing cost) yaitu penjumlahan dari biaya tataniaga, yang merupakan balas

Petani Kemenyan

Pengumpul Tingkat Desa

Pengumpul Tingkat Kecamatan

Pengumpul Tingkat Kabupaten

Pengolah / Eksportir

(26)

jasa terhadap input yang digunakan seperti tenaga kerja, modal, investasi yang diberikan untuk kelancaran proses tataniaga dengan pendekatan returns to institution (marketing charge), yaitu pendekatan melalui lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses penyaluran atau pengolahan komoditi yang dipasarkan (pedagang, pengolah, grosir, agen dan pengecer).

Setiap lembaga tataniaga melakukan fungsi-fungsi pemasaran dan fungsi yang dilakukan antar lembaga biasanya berbeda-beda. Hal tersebut menyebabkan perbedaan harga jual dari lembaga satu dengan lembaga lainnya sampai ke tingkat konsumen. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat, semakin besar perbedaan harga antara produsen dengan harga di tingkat konsumen. Tinggi rendahnya marjin tataniaga sering digunakan sebagai kriteria untuk penilaian apakah pasar tersebut sudah efisien atau belum, tetapi tinggi rendahnya marjin tataniaga tidak selamanya dapat digunakan sebagai ukuran efisien kegiatan tataniaga. Marjin tataniaga yang rendah tidak otomatis dapat digunakan sebagai ukuran efisien tidaknya pola pemasaran suatu komoditi. Tingginya marjin dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berpengaruh dalam proses kegiatan tataniaga, antara lain ketersediaan fasilitas fisik tataniaga berupa pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, resiko kerusakan dan lain-lain (Limbong dan Sitorus 1987).

Efisiensi sistem tataniaga merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam suatu sistem pemasaran. Efisiensi tataniaga dapat tercapai jika sistem tersebut dapat memberikan kepuasan pihak-pihak yang terlibat, yaitu produsen, konsumen akhir dan lembaga-lembaga pemasaran. Limbong dan Sitorus (1987), menerangkan bahwa sistem tataniaga yang seimbang akan tercipta apabila seluruh lembaga tataniaga yang terlibat dalam kegiatan memperoleh kepuasan dengan aktivitas tataniaga tersebut. Terjadinya penurunan biaya input dari pelaksanaan suatu pekerjaan yang dampaknya tanpa mengurangi terhadap kepuasan konsumen akan output barang dan jasa, menunjukan adanya efisiensi. Setiap kegiatan tataniaga memerlukan biaya yang selanjutnya diperhitungkan ke dalam harga produk. Harga produk di tingkat konsumen dinaikkan atau harga ditekan pada tingkat produsen yang dilakukan oleh lembaga tataniaga. Dengan demikian efisiensi tataniaga perlu dilakukan melalui penurunan biaya tataniaga.

(27)

keterangan:

Sd : Derived supply (kurva penawaran turunan sama dengan penawaran produk di tingkat pedagang)

Sp : Primary supply (kurva penawaran primer atau penawaran produk di tingkat petani)

Dd : Derived demand (kurva permintaan turunan atau permintaan pedagang) Dk : Primary demand (kurva permintaan primer atau kurva permintaan di

tingkat konsumen akhir)

Pr : Harga di tingkat pedagang pengecer Pf : Harga di tingkat petani

Q* : Jumlah produk di tingkat petani dan pedagang pengecer

Gambar 2 Kurva marjin tataniaga (Hammond dan Dahl 1977).

Efisiensi tataniaga dapat diukur dengan dua cara yaitu efisiensi operasional dan harga. Efisiensi operasional menunjukkan biaya minimum yang dapat dicapai dalam pelaksanaan fungsi dasar pemasaran yaitu pengumpulan, transportasi, penyimpanan, pengolahan, distribusi dan aktivitas fisik dan fasilitas. Efisiensi harga menunjukan pada kemampuan harga dan tanda-tanda harga untuk penjualan serta memberikan tanda kepada konsumen sebagai panduan dari penggunaan sumber daya produksi dari sisi produksi dan tataniaga serta efisiensi harga menekankan kepada kemampuan dari sistem pemasaran yang sesuai dengan keinginan konsumen (Dahl dan Hammond 1977). Efisiensi operasional biasanya dapat diukur dari marjin pemasaran, analisis farmer’s share, analisis rasio keuntungan atas biaya serta analisis fungsi-fungsi pemasaran, kelembagaan dari

Rp/Unit (P)

Marjin tataniaga (Pr-Pf)

Sd

Sp

Dk Dd

Jumlah (Q) Pf

Pr

0 Q*

(28)

analisis S-C-P (structure, conduct and performance). Efisiensi harga biasanya diukur dari korelasi harga untuk komoditi yang sama pada tingkat pasar yang berbeda (Asmarantaka 2009).

(29)

BAB III METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Desa Sampean Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara. Penelitian dilaksanakan selama satu bulan yaitu pada bulan April sampai Mei 2012.

3.2 Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Jenis dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 3.

3.3 Analisis Data

Analisis data yang dilakukan adalah menghitung dan menganalisis biaya produksi, profitabilitas, dan farmer’s share. Selanjutnya, marjin tataniaga kemenyan dihitung untuk mengetahui saluran yang paling efisien.

3.3.1 Biaya Produksi

Biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk kegiatan usaha kemenyan disebut biaya produksi kemenyan. Biaya produksi merupakan penjumlahan biaya tetap dan biaya variabel. Biaya produksi dinyatakan dalam bentuk biaya produksi per unit output atau Rp/kg kemenyan. Biaya tetap terdiri dari biaya penyusutan dan bunga modal untuk alat produksi (perlengkapan penyadapan dan pengambilan getah kemenyan), serta biaya tak langsung lainnya sebagai pengeluaran umum (Kuswandi 2005). Biaya penyusutan dihitung dengan metode garis lurus seperti pada persamaan (1), sedangkan bunga modal dihitung menggunakan persamaan (2), dengan i% sebagai tingkat suku bunga per tahun.

(1)

(2)

(30)

keterangan:

Di = Depresiasi dari investasi ke-i (Rp/tahun); dimana i: bangunan, kendaraan, barang inventaris, peralatan dan perlengkapan

Mi = Bunga modal dari investasi ke-i (Rp/tahun); dimana i: bangunan, kendaraan, barang inventaris, peralatan dan perlengkapan

Pi = Harga beli dari investasi ke-i (Rp/tahun); dimana i: bangunan, kendaraan, barang inventaris, peralatan dan perlengkapan

Ni = Masa pakai ekonomis dari investasi ke-i (Rp/tahun); dimana i: bangunan, kendaraan, barang inventaris, peralatan dan perlengkapan

Ri = Nilai sisa (rongsokan) dari investasi ke-i (Rp/tahun); dimana i: bangunan, kendaraan, barang inventaris, peralatan dan perlengkapan

i% = Tingkat suku bunga per tahun (% per tahun)

Biaya variabel berupa upah pekerja. Biaya tersebut dapat diketahui dari hasil wawancara dengan petani, berapa biaya yang petani keluarkan untuk pergi ke hutan kemenyan dan berapa kemenyan yang berhasil petani bawa dari hutan.

Petani yang melakukan penjualan kemenyan ke pasar disamping mengeluarkan biaya produksi juga mengeluarkan biaya tataniaga. Biaya tataniaga merupakan biaya yang dikeluarkan akbibat kegiatan tataniaga, seperti biaya muat- bongkar, sortasi, penyusutan produk, transportasi, dan komunikasi. Pada pengumpul di setiap tingkat mengeluarkan biaya tataniaga yang berbeda-beda.

3.3.2 Profitabilitas

Keuntungan usaha kemenyan diperoleh dengan cara menggunakan persamaan (3).

(3)

keterangan:

= Keuntungan usaha kemenyan (Rp) TR = Penerimaan petani kemenyan (Rp) BP = Biaya produksi kemenyan (Rp)

(31)

Tabel 3 Jenis, sumber dan cara pengumpulan data

Analisis Jenis data Data Sumber Cara Pengumpulan

Biaya produksi, profitabilitas dan

farmer’s share

Primer

1. Biaya tetap dan biaya variabel

Petani

Pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan

2. Jumlah produksi kemenyan Wawancara, pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan 3. Modal/aset petani kemenyan Wawancara, pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan 4. Laba bersih Petani Wawancara, pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan 5. Harga kemenyan per unit Petani dan

Pengumpul akhir Wawancara dan pengamatan langsung di lapangan

Sekunder Produksi kemenyan

Buku statistik Kabupaten Humbang Hasundutan

Pengutipan

Marjin tataniaga Primer

1. Peta saluran Tataniaga Petani dan Pengumpul kemenyan

Pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan

2. Lembaga Tataniaga Wawancara dan pengamatan langsung di lapangan

3. Harga penjualan kemenyan di setiap pengumpul

Pengumpul kemenyan

Wawancara danpengamatan langsung di lapangan 4. Harga pembelian kemenyan di

setiap pengumpul Wawancara danpengamatan langsung di lapangan

5. Keuntungan di setiap pengumpul Wawancara danpengamatan langsung di lapangan 6. Biaya tataniaga di setiap

pengumpul Wawancara danpengamatan langsung di lapangan

(32)

3.3.3 Analisis Farmer’s Share

Analisis farmer’s share digunakan untuk membandingkan harga yang dijual pengolah terhadap harga yang diterima oleh petani (Limbong dan Sitorus 1987).

Besarnya nilai bagian petani dapat dihitung berdasarkan persamaan (4).

Farmer’s Share =

x 100% (4)

keterangan:

Pf = Harga di tingkat petani

Pr = Harga yang dibayarkan pengumpul akhir/pengolah

3.3.4 Analisis Marjin Tataniaga

Rantai tataniaga kemenyan dimulai dari petani sampai ke pengolah/ekspotir.

Beberapa dari petani menjual kemenyan langsung ke pengumpul kabupaten agar memperoleh harga jual yang lebih mahal sehingga keuntungan yang didapat lebih tinggi.

Gambar 3 Rantai tataniaga kemenyan.

Marjin tataniaga berguna untuk melihat efisiensi operasional tataniaga kemenyan, yang dihitung dengan cara pengurangan harga penjualan dan harga

Pb4/Ps3 Pb3/Ps2

Ps1/Pb2

Ps0/Pb1 Pengumpul

Tingkat Kabupaten

L2

Pengolah / Eksportir

L4

Petani Kemenyan

Pengumpul Tingkat

Desa L1

Pengumpul Tingkat Kabupaten

L3

(33)

pembelian pada setiap tingkat lembaga tataniaga. Menurut Limbong dan Sitorus (1987), marjin tataniaga dapat dicari dengan persamaan:

(5)

(6)

persamaan (7) = persamaan (8)

(7)

sehingga menjadi persamaan

(8)

keterangan:

Mi = Marjin tataniaga di tingkat ke-i; dimana i: 1, 2, 3, 4 Psi = Harga jual pasar di tingkat ke-i; dimana i: 1, 2, 3, 4 Pbi = Harga beli pasar di tingkat ke-i; dimana i: 1, 2, 3, 4

Li = Biaya lembaga tataniaga di tingkat ke-i; dimana i: 1, 2, 3, 4

i = Keuntungan lembaga tataniaga di tingkat ke-i; dimana i: 1, 2, 3, 4

(34)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Kondisi Geografis

Desa Sampean Kecamatan Dolok Sanggul terletak pada ketinggian ±1300 m di atas permukaan laut (dpl), curah hujan ±2150 mm/tahun, suhu udara ±32 °C.

Batas wilayah desa meliputi sebelah timur berbatasan dengan Huta Gurgur, sebelah barat berbatasan dengan Pusuk I, sebelah selatan beerbatasan dengan Huta Gurgur Selatan, dan sebelah utara berbatasan dengan Sosor Tambok. Peta Kabupaten Humbang Hasundutan bisa dilihat pada Lampiran 1.

4.2 Kondisi Demografis

Berdasarkan keterangan Ibu Mariana Mahulae selaku kepala desa menyatakan bahwa luas wilayah Desa Sampean secara keseluruhan seluas 1100 ha, meliputi pemukiman penduduk seluas 150 ha, kegiatan persawahan seluas 50 ha, kegiatan perladangan seluas 80 ha, perkebunan masyarakat seluas 150 ha, sekolah dan perkantoran seluas 1 ha, jalan antar desa seluas 5 ha, serta luas hutan kemenyan seluas 350 ha. Desa Sampean masih memiliki lahan kosong seluas 314 ha. Jumlah penduduk desa ada 560 jiwa, laki laki 240 jiwa sedangkan perempuan 320 jiwa dengan jumlah keluarga 117 kk. Jumlah keluarga yang masih memanen kemenyan sebanyak 60 kk. Sarana dan prasarana yang dapat dinikmati oleh penduduk berupa 2 unit gereja, 5 unit kamar mandi umum, 1 unit untuk gedung sekolah dasar (SD), poskesdes, kantor kepala desa, dan irigasi.

4.3 Kondisi Hutan Kemenyan

Hutan kemenyan di Desa Sampean telah ada sejak nenek moyang petani mulai menanam kemenyan, saat ini luas hutan kemenyan mencapai 350 ha atau sekitar 31.8% dari luas desa keseluruhan. Pohon yang tumbuh berjarak tanam tidak teratur, selain pohon kemenyan yang tumbuh, pohon lain juga tumbuh seperti pinus dan meranti. Sebagian dari masyarakat desa menebangi pohon tersebut untuk dijual ataupun digunakan sebagai bahan bangunan. Secara keseluruhan kondisi hutan tidak terawat atau dibiarkan tumbuh secara alami.

(35)

Belum ada upaya dari masyarakat untuk meningkatkan produksi kemenyan melalui penggunaan bibit unggul kemenyan dan diterapkannya sistem silvikultur yang intensif bagi tanaman kemenyan.

4.4 Pasar Dolok Sanggul

Pasar dolok sanggul merupakan salah satu pasar besar yang beroperasi di Kabupaten Humbang Hasundutan. Pasar ini ramai pada hari jumat bersamaan dengan pasar di Balige. Di dalam pasar ini dapat dijumpai segala bentuk hasil pertanian dari berbagai daerah di Tapanuli. Kemenyan merupakan salah satu komoditi yang diperjualbelikan di pasar ini. Lokasi pasar kemenyan selama 20 tahun terakhir tidak mengalami perubahan, pasar ramai pada selang waktu antara pukul 10.00 WIB sampai 13.00 WIB.

(a) (b)

Gambar 4 Hutan kemenyan (a) dan pasar kemenyan (b).

(36)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pengelolaan Hutan Kemenyan di Desa Sampean

Hutan kemenyan berawal dari hutan liar yang tumbuh tanpa campur tangan manusia. Pohon kemenyan tumbuh secara alami di hutan dan saat ini cukup banyak diusahakan oleh masyarakat sekitar hutan sebagai sumber pendapatan.

Hasil wawancara langsung dengan petani kemenyan Jamanat Lumban Gaol menyatakan bahwa pohon kemenyan yang tumbuh di Desa Sampean berasal dari hutan alam, kemenyan tersebut ditanam oleh petani di daerah perbukitan. Hal ini sesuai dengan penelitian Rajaguguk (2009), hutan kemenyan di Desa Tangga Batu Barat Kecamatan Tampahan Kabupaten Tobasa bibitnya didatangkan dari hutan yang berada di Dolok Sanggul. Pada dasarnya mengolah hutan kemenyan merupakan salah satu budaya masyarakat Desa Sampean secara turun-temurun.

Pengelolaan hutan kemenyan di Desa Sampean dari dahulu hingga saat ini masih sama, yaitu hutan kemenyan dikelolah dengan cara yang sangat sederhana tanpa penerapan sistem silvikultur. Hal ini terjadi karena kurangnya perhatian terhadap hutan kemenyan dari pihak pemerintah, sedangkan masyarakat Desa Sampean merasa kurang memahami cara penerapan sistem silvikultur terhadap tanaman kemenyan sehingga belum pernah ada yang mencoba untuk menerapkannya. Cara pengelolaan hutan kemenyan yang masih berjalan hingga saat ini hanya sekedar membersihkan batang dari tumbuhan pengganggu baik yang menempel pada batang kemenyan maupun yang berada dekat (jarak ±1 m) dengan batang pohon kemenyan.

Tanaman kemenyan yang tumbuh di Desa Sampean tidak memiliki jarak tanam yang pasti. Hal ini disebabkan pada saat penanaman tidak ditetapkan ukuran jarak tanam yang baku, sehingga pada hutan kemenyan ada pohon yang jarak tanamnya rapat ataupun renggang. Hasil utama yang diperoleh dari hutan kemenyan adalah getah kemenyan. Kegiatan pengelolaan hutan kemenyan yang ada di Desa Sampean meliputi penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan penjualan kemenyan.

(37)

Kegiatan penanaman kemenyan di Desa Sampean dilakukan oleh petani di lahan masing-masing. Pelaksanaan penanaman dikerjakan dengan tidak terjadwal.

Jika petani kemenyan menemukan anakan yang tumbuh di bawah tegakan kemenyan maka anakan tersebut akan dipindahkan pada areal yang berjarak tanam renggang atau ditanam pada tempat tumbuh pohon kemenyan yang mati.

Hal ini sesuai dengan Sasmuko (1999), menyatakan bahwa kegiatan penanaman kemenyan dilakukan masih secara tradisional cukup dengan memindahkan anakan alam pada tempat yang kosong atau pohon yang mati dalam kebunnya. Petani tidak memasukkan sebagai pengeluaran khusus terhadap kegiatan penanaman, artinya biaya untuk kegiatan penanaman dianggap tidak ada (Rp0).

Kegiatan pemeliharaan hutan kemenyan yang dilakukan oleh petani dikerjakan sekali dalam setahun. Pemeliharaan yang dilakukan berupa kegiatan penyiangan batang kemenyan dari tumbuhan pengganggu. Penyiangan dilakukan sebelum batang kemenyan disadap getahnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Sinaga (2010), bahwa pemeliharaan kemenyan berupa kegiatan membersihkan pohon-pohon kecil, semak-semak atau tumbuhan liar yang berada di sekitar pohon kemenyan yang dianggap mengganggu serta pembuangan/pembersihan benalu yang menempel pada ranting pohon kemenyan pada saat dimulai pemanenan.

Kegiatan pemanenan dipisah menjadi dua hal berbeda berdasarkan rentang waktu kegiatan, yaitu penyadapan dan pengambilan getah. Peralatan yang digunakan dalam kegiatan pemanenan meliputi pisau penggaruk (piso guris), pisau takik (agat panuttuk), pisau panen (agat pangaluak), tali polang dengan panjang 10-12 m dilengkapi dengan tongkat penyangga panjangnya 0.5 m sebanyak 2 batang, parang, dan bakul sebagai tempat penampung getah kemenyan. Kegiatan penyadapan biasanya dimulai pada bulan April sampai September, rata-rata petani pergi menyadap ke hutan sebanyak 4 hari dalam seminggu. Petani dalam sehari mampu menyadap pohon kemenyan rata-rata sebanyak 7 pohon, sehingga ada 672 pohon/tahun. Penyadapan merupakan hal terpenting karena hal ini akan menentukan kualitas getah yang dihasilkan dan penyadapan dilakukan sekali dalam setahun.

Berdasarkan hasil wawancara di lapangan, pohon kemenyan akan menghasilkan getah yang berkualitas baik ketika umur pohon yang disadap

(38)

berumur 15 tahun. Menurut Michon (2005), pohon kemenyan baru akan disadap setelah berumur 8 tahun dan setelah berumur 30 tahun pohon kemenyan akan mengalami penurunan produksi getah. Pengambilan getah kemenyan dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun. Pengambilan pertama dilaksanakan 4-5 bulan setelah penyadapan, yaitu pada bulan 9, 10 dan 11. Getah kemenyan yang diambil pada tahap pertama dikenal dengan sebutan kemenyan super, petani pergi ke hutan mengambil kemenyan super rata-rata sebanyak 5 hari dalam seminggu.

Selesai pengambilan kemenyan super, pada luka takik tersebut masih mengeluarkan getah kemenyan. Berbeda dengan kemenyan super yang mengalami pengerasan, yaitu getah masih tertutupi oleh kulit pohon, pada getah kemenyan yang diambil pada tahap kedua, pengerasan getah terjadi tanpa ditutupi oleh kulit pohon. Getah tersebut mengalami kontak langsung dengan sinar matahari dan udara bebas. Pengambilan getah kemenyan tahap kedua baru dapat dilakukan 3-4 bulan setelah pengambilan getah pertama, yaitu pada pada bulan 12, 1 dan 2 dengan waktu petani pergi ke hutan rata-rata sebanyak 2 hari dalam seminggu.

Getah yang diambil pada tahap kedua dikenal dengan nama kemenyan tahir.

Tabel 4 Tata waktu kegiatan pemanenan kemenyan desa sampean

Kegiatan Bulan

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2

Pemanenan kemenyan

Penyadapan

Pengambilan

getah

Pertanian

Penanaman

Pemanenan

Perkebunan

Penanaman

Pemanenan

keterangan: √ = kegiatan dilakukan pada bulan tersebut

Petani rata-rata memiliki luas lahan kemenyan sebesar 5 ha. Dalam luasan 1 ha ada 200 pohon kemenyan. Berbeda dengan hutan kemenyan di Laos yang sudah menerapkan jarak tanam maka jumlah pohon kemenyan setiap hektar lebih banyak, yaitu sebanyak 400 pohon/ha (FAO 2001). Umur pohon kemenyan yang tumbuh sekarang di Desa Sampean rata-rata berumur 25 tahun. Produksi rata-rata kemenyan dari tiap pohon kemenyan yang ada di Desa Sampean sebanyak 0.3 kg,

(39)

terdiri atas 0.2 kg kemenyan super dan 0.1 kg kemenyan tahir. Hal ini tidak jauh berbeda dengan FAO (2001) yang menyatakan bahwa produksi getah kemenyan di Laos sebanyak 0.4-0.6 kg/pohon. Berdasarkan lama kegiatan di hutan kemeyan maka jumlah hari rata-rata petani pergi ke hutan selama setahun sebanyak 180 hari.

Kemenyan yang ditampung dalam bakul selanjutnya oleh petani dibawa ke rumah petani dan dijemur di dalam rumah dengan dihamburkan di atas lantai.

Setelah 3-4 minggu kondisi kemenyan akan lebih kering dan siap dijual kepada pengumpul tingkat desa. Rata-rata seorang petani mampu mengumpulkan getah kemenyan dari hutan dalam waktu satu tahun sebanyak 201.6 kg. Sebagian petani menjual kemenyan langsung ke pasar Dolok Sanggul karena memiliki stok kemenyan dalam jumlah yang besar. Bila hasil kemenyan berjumlah sedikit petani lebih memilih menjual kemenyan kepada pengumpul desa disebabkan hasil penjualan tidak mampu menutupi biaya transportasi.

Kemenyan yang dijual petani berupa 2 macam, yaitu kemenyan super dan kemenyan tahir, dengan harga masing-masing sekitar Rp90 000.00/kg dan Rp50 000.00/kg, sedangkan jika petani mampu menjual ke pasar maka harga kemenyan menjadi sekitar Rp97 000.00/kg dan Rp56 000.00/kg.

5.2 Biaya Produksi Kemenyan

Sejak dahulu petani kemenyan sudah melakukan pengambilan getah kemenyan yang diajarkan langsung oleh orang tua masing-masing. Cara pengambilan kemenyan yang sekarang dilakukan tidak jauh berbeda dengan cara- cara pengambilan kemenyan dahulu kala. Peralatan dan perlengkapan dalam penyadapan dan pengambilan getah masih sama seperti dahulu kala, belum ada alat-alat yang tersentuh oleh teknologi sehingga proses penyadapan dan pengambilan getah kemenyan dapat dilakukan dengan waktu yang lebih cepat dan hasil yang lebih baik. Peralatan dan perlengkapan seperti pisau penggaruk (piso guris), pisau takik (agat panuttuk), pisau panen (agat pangaluak), tali polang, parang, dan bakul sejak petani terdahulu hingga waktu sekarang masih tetap digunakan oleh petani kemenyan.

(40)

Jika peralatan yang digunakan petani tersentuh oleh kemanjuan teknologi yang ada pada saat ini bukan tidak mungkin pekerjaan seperti menyadap dan mengambil kemenyan dari hutan dapat dikerjakan dalam waktu yang lebih singkat sehingga petani tidak banyak kehilangan waktu di hutan kemenyan. Beberapa petani kemenyan yang sudah lama tidak pergi ke hutan kemenyan mengeluh karena merasa biaya yang mereka keluarkan untuk mengambil getah kemenyan dari hutan tidak sebanding dengan harga jual kemenyan di pasar. Sampai saat ini masih ada petani yang rela berhari-hari tinggal di hutan kemenyan pada waktu musim panen, agar kemenyan mereka tidak diambil oleh orang lain. Petani terpaksa tinggal di hutan karena petani tidak mampu mengambil getah kemenyan sekaligus dalam waktu singkat. Supaya getah kemenyan yang siap panen tidak dicuri maka tidak sedikit petani yang rela tinggal di hutan.

Biaya pengelolaan hutan kemenyan oleh petani, dilihat dari besarnya modal usaha tidak setinggi dengan kegiatan pertanian ataupun perkebunan. Rendahnya biaya pengelolaan hutan kemenyan disebabkan oleh budi daya terhadap kemenyan yang dilakukan petani tidak serumit pada tanaman pertanian ataupun perkebunan lainnya. Hal yang menjadi pertimbangan beberapa petani tidak mau mengambil getah kemenyan dari hutan ialah lamanya selang waktu dari kegiatan penyadapan dengan pengambilan getah sekitar 4-5 bulan. Kenyataannya, situasi sekarang sangat berbeda dengan situasi terdahulu. Saat ini setiap orang dituntut untuk lebih cepat memegang uang tunai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Biaya produksi kemenyan dalam penelitian ini dihitung untuk biaya selama satu tahun, yaitu pada tahun 2012 yang terdiri atas biaya tetap dan biaya variabel.

Komponen biaya tetap pada usaha kemenyan meliputi biaya penyusutan (depresiasi), pemeliharaan, bunga modal, dan biaya tak langsung lainnya sebagai pengeluaran umum. Biaya variabel berupa upah (ongkos) petani pergi ke hutan kemenyan. Biaya produksi dihitung dari 15 petani yang diwawancara secara langsung di lapangan.

Tabel 5 menunjukkan bahwa besarnya biaya produksi yang dikeluarkan oleh seorang petani kemenyan dengan hasil kemenyan 201.6 kg/tahun adalah sebesar Rp24.76 ribu/kg atau Rp4.99 juta/tahun dengan waktu 180 hari/tahun petani pergi ke hutan. Biaya tersebut merupakan penjumlahan atas biaya tetap sebesar Rp11.37

(41)

ribu/kg atau Rp2.29 juta/tahun dan biaya variabel sebesar Rp13.39 ribu/kg atau Rp2.70 juta/tahun. Biaya tetap merupakan penjumlahan dari depresiasi, bunga modal dan biaya pemeliharaan, sedangkan biaya variabel merupakan biaya upah bagi petani kemenyan. Depresiasi memberikan bobot nilai tertinggi terhadap biaya tetap, yaitu sebesar Rp5.29 ribu/kg. Bunga modal senilai Rp0.92 ribu/kg dihitung dengan menggunakan tingkat suku bunga yang berlaku pada Juni 2012 menurut BI sebesar 5.75%.

Tabel 5 Biaya produksi pemanenan kemenyan dari 1 petani

Komponen Nilai

(Rp Ribu/kg)

Biaya produksi 24,76

Biaya tetap 11,37

Depresiasi 5,29

Peralatan dan perlengkapan 0,33

Bangunan 4,96

Bunga modal 0,92

Peralatan dan perlengkapan 0.06

Bangunan 0,86

Pemeliharaan 5,15

Peralatan dan perlengkapan 0,19

Bangunan 4,96

Biaya variabel 13,39

Upah 13,39

Adanya biaya variabel yang lebih besar dibandingkan biaya tetap disebabkan perlengkapan dan peralatan yang digunakan petani kemenyan masih sangat sederhana dan tidak mengeluarkan biaya yang tinggi, sedangkan biaya variabel meskipun dihitung hanya dari upah petani tetapi kebutuhan pokok sehari- hari seperti biaya makan di Desa Sampean tergolong tinggi. Biaya yang dikeluarkan seorang petani untuk pergi ke hutan kemenyan dalam sehari mengeluarkan biaya sebesar Rp15 ribu/kg, atau petani mengeluarkan biaya upah sebesar Rp2.7 juta dalam waktu satu tahun. Oleh karena rata-rata produksi kemenyan dalam setahun sejumlah 201.6 kg maka biaya upah petani kemenyan sebesar Rp13.39 ribu/kg.

Petani memproduksi kemenyan dalam 2 macam, yaitu kemenyan super dan kemenyan tahir. Besarnya biaya produksi tersebut berlaku untuk memproduksi

Referensi

Dokumen terkait

The SWISH partnership developed from an Information Systems Strategy Review at RCAHMW in 2001 that recognised the need to upgrade the platform for managing the data

Fungsi penilaian yaitu untuk memperbaiki kekurangan hasil belajar peserta didik dalam sikap, pengetahuan dan ketrampilan pada setiap kegiatan penilaian selama

Since 1994, Documentation Centre for Architecture – Indonesia (PDA), has established to meet the needs of a comprehensive data of heritage building (living monuments), to utilized

Capaian Program Jumlah cakupan (jenis) layanan administrasi perkantoran yang dilaksanakan sesuai dengan standar dan ketentuan yang berlaku.

A HISTORICAL MONUMENT USING TERRESTRIAL LASER SCANNING CASE STUDY: BYZANTINE WATER CISTERN, ISTANBUL.. Yilmaz

Capaian Program Jumlah cakupan (jenis) layanan administrasi perkantoran yang dilaksanakan sesuai dengan standar dan ketentuan yang berlaku..

70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta menindaklanjuti Proses pemilihan penyedia untuk pekerjaan Pengerasan/Paving Blok Jalan dan Halaman Pos

Result of research of that Variables Motivation, Job Experience and Satisfaction of activity by self or parsial there is having an effect on signifikan and there