• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Pengambilan Keputusan Dalam Pengelolaan Hutan Kemenyan (Styrax Spp) Di Desa Sibaganding

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kajian Pengambilan Keputusan Dalam Pengelolaan Hutan Kemenyan (Styrax Spp) Di Desa Sibaganding"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh :

EVI LINA Y. SINAGA 031201005/MANAJEMEN HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi :Kajian Pengambilan Keputusan dalam Pengelolaan hutan Kemenyan (Styrax spp) di Desa Sibaganding

Nama : Evi Lina Y. Sinaga

NIM : 031201005

Departemen : Kehutanan

Program Studi : Manajemen Hutan

Disetujui oleh: Komisi Pembimbing

Oding Affandi, S.Hut, MP MasithahDewiGinting,S.Sos,M.Soc.Sc

Ketua Anggota

Mengetahui,

(3)

ABSTRACT

Styrax forest which was in Sibaganding Village, Pahae Julu District,

Tapanuli Utara Regency is one of the natural resourches application which the

main product is gum. The management of Styrax Forest consist of planting,

cultivationing, ingathering, and marketing. For many years, it has been being

defended because of economic incentive, social incentive, cultural incentive, and

ecological incentive. But, there is economic disincentive made the people left the

management of Styrax Forest.

(4)

ABSTRAK

Hutan kemenyan yang terdapat di Desa Sibaganding Kecamatan Pahae

Julu Kabupaten Tapanuli Utara merupakan salah satu bentuk pemanfaatan sumber

daya alam yang hasil utamanya adalah getah. Pengelolaan hutan kemenyan terdiri

dari penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran. Selama

bertahun-tahun dipertahankan karena ada insentif ekonomi, sosial, budaya, dan ekologi.

Namun, ada juga disinsentif ekonomi yang membuat petani meninggalkan

pengelolaan hutan kemenyan.

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mogang pada tanggal 27 Maret 1985. Penulis adalah

anak pertama dari 6 bersaudara dari keluarga pasangan Bapak B. Sinaga dan Ibu

R. Simbolon, S.Pd.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri No. 173100

Tarutung, lulus tahun 1997, Sekolah Lanjutan TIngkat Pertama di SLTP Negeri 2

Tarutung, lulus tahun 2000. Tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 1

Tarutung dan pada tahun yang sama penulis diterima di Unisersitas Sumatera

Utara , Fakultas Pertanian, Program Studi Manajemen Hutan melalui jalur ujian

SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti organisasi di Himas

(Himpunan Mahasiswa Sylva) dan UKM KMK USU (Unit Kegiatan Mahasiswa

Kebaktian Kristen Universitas Sumatera Utara) pada tahun 2003 sampai pada saat

ini. Penulis melaksanakan kegiatan P3H (Praktek Pengenalan dan Pengelolaan

Hutan) di Tongkoh dan Bandar Kalipah pada tahun 2005. Penulis melaksanakan

PKL (Praktek Kerja Lapang) di Perhutani Unit III Jawa Barat, Bandung pada

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas

segala karuniaNya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Judul yang dipilih

dalam penelitian ialah Kajian Pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan

Kemenyan (Styrax spp) di Desa Sibaganding, kecamatan Pahae Julu, Kabupaten

Tapanuli Utara.

Penelitian ini menggambarkan tentang pengelolaan hutan kemenyan yang

ada di desa Sibaganding, serta insentif-insentif yang mendasari pengambilan

keputusan masyrakat dalam mempertahankan pengelolaan hutan rakyat kemenyan

serta disinsentif yang mendasari pengambilan keputusan masyarakat dalam

meninggalkan pengelolaan hutan kemenyan.

Selama melakukan penelitian ini penulis banyak mendapatkan

dukungan-dukungan dari berbagai pihak. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Kedua orang tua tersayang yang telah mendidik, membesarkan dan

memberikan dukungan baik berupa materi maupun spirit yang menyertai

penulis serta adik-adik atas dukungan doanya.

2. Bapak Oding Affandi, S.Hut, MP dan Ibu Masithah Dewi Ginting, S.Sos,

M.Soc.Sc selaku dosen pembimbing atas segala arahan dan perhatiannya

dalam membimbing penulis penulis untuk menyelesaikan skripsi.

3. Bapak Dr.Is. Edi Batara Mulya Siregar MS selaku ketua Departemen

Kehutanan USU, serta seluruh staf pengajar Departemen Kehutanan USU

(7)

4. Seluruh staf Kantor Kecamatan Pahae Julu atas informasi yang berguna

bagi penulis

5. Kepala Desa Sibaganding Bapak Novada Sitompul, tokoh masyarakat

yaitu bapak Polman Sitompul, serta masyarakat Desa Sibaganding yang

telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

6. Teman-teman UKM KMK USU FP dan seluruh teman-teman angkatan

2003 atas motivasi dan dukungan doanya selama menempuh pendidikan

sampai penelitian berlangsung.

7. Secara khusus kepada teman saya Seprina Manik yang turut membantu

peneliti saat melakukan penelitian ke lapangan.

8. Adik-adik kelompokku Immanuel Faithful Yosua beserta teman-teman

dalam satu KTB yaitu b’Idrus dan Pamona, terima kasih buat doa-doanya.

9. Seluruh pihak yang juga ikut dalam mendukung peneliti dalam menyusun

skripsi ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua

Medan, Juli 2009

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABTRACT ...ii

ABSRAK ...iii

RIWAYAT HIDUP ...iv

KATA PENGANTAR ...v

DAFTAR ISI ...vii

DAFTAR TABEL ...ix

DAFTAR GAMBAR ...x

DAFTAR LAMPIRAN ...xi

PENDAHULUAN Latar Belakang ...1

Perumusan Masalah ...4

Tujuan Penelitian ...4

Manfaat Penelitian ...4

TINJAUAN PUSTAKA Manfaat Kemenyan ...6

Budidaya kemenyan ...6

Daerah Penghasil Kemenyan ...8

Morfologi Tanaman ...9

Syarat Tumbuh ...9

Kehutanan Masyarakat ...10

Produksi Hutan Non Kayu dan Kegiatan Perekonomiannya...11

Insentif-Insentif yang Mendasari Pengambilan Keputusan dalam Pengelolaan Hutan ...13

Sitem Penggunaan Lahan ...13

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ...15

Alat dan Bahan ...15

Populasi dan Sampel ...16

Teknik Pengumpulan Data ...16

(9)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Keadaan Fisik Lingkungan ...20

Letak dan Luas ...20

Topografi, keadaan Tanah, dan Iklim...20

Sarana dan Prasarana ...21

Kondisi Sosial Ekonomi MAsyarakat ...21

Kependudukan ...21

Mata Pencaharian ...22

Pendidikan ...22

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Hutan Kemenyan di desa Sibaganding ...23

Sejarah Hutan Kemenyan ...23

Pengelolaan hutan kemenyan ...23

Penanaman ...24

Pemeliharaan ...26

Pemanenan ...27

Pemasaran ...30

Insentif-insentif yang mendasari keputusan petani dalam mempertahankan pengelolaan hutan kemenyan di desa Sibaganding ...31

Iinsentif Ekonomi ...31

Insentif Sosial ...34

Insentif Ekologis ...35

Insentif budaya ...36

Disinsentif yang mendasari petani dalam meninggalkan pengelolaan hutan kemenyan di desa Sibaganding ...37

Disinsentif ekonomi ...37

Kontribusi Hutan Kemenyan terhadap Pendapatan Rumah Tangga ...43

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ...44

Saran ...45

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Matriks Metodologi Penelitian ...18

2. Kegiatan pemanenan getah kemenyan di desa Sibaganding ...27

3. Volume produksi respon petani hutan kemenyan desa Sibaganding kecamatan Pahae Julu Kabupaten Tapanuli Utara ...33

4. Pendapat Responden tentang pemanfaatan penanaman berbagai jenis tanaman karet dan durian di desa Sibaganding kecamatan Pahae Julu Kabupaten Tapanuli Utara ...39

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kondisi kawasan lokasi penelitian ...20

2. Jembatan yang melintasi sungai Batang Toru ...21

3. Pemukiman penduduk desa penelitian ...22

4. Kawasan hutan kemenyan ...24

5. Alat- alat pemanenan getah kemenyan dan pemasangan tali polang ...28

6. Pemanenan getah kemenyan ...30

7. Rantai Pemasaran getah kemenyan ...31

8. Kualitas mata dan tahir ...32

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Bentuk Kuisioner Penelitian ...49

2. Data identitas pribadi responden petani kemenyan ...52

3. Jumlah Produksi, frekuensi panen dan harga satuan kemeyan, karet, dan durian per tahun desa Sibaganding kecamatan Pahae Julu kabupaten ...53

3. Rincian Pendapatan Petani dari hutan Kemenyan desa Sibaganding kecamatan Pahae Julu Kabupaten Tpanuli Utara 2009………54

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang dimiliki oleh propinsi

Sumatera Utara yang menghasilkan berbagai macam jenis komoditi komersial

baik berupa kayu maupun hasil hutan bukan kayu (HHBK). Potensi hasil hutan

bukan kayu di Propinsi Sumatera Utara cukup tinggi antara lain berupa kulit kayu,

minyak atsiri, rotan, arang, maupun getah-getahan. Getah kemenyan merupakan

komoditas khas Sumatera Utara yang dihasilkan dari penyadapan pohon Styrax

spp (Sasmuko,1999).

Mendengar kata kemenyan biasanya pikiran kita tertuju pada hal-hal yang

berbau mistik. Tidak salah memang, karena kemenyan terutama di pulau Jawa dan

Bali banyak digunakan sebagai pelengkap sesaji dalam ritual yang berhubungan

dengan dunia gaib. Namun, sebenarnya masih banyak kegunaan kemenyan, tidak

sekedar ritual beberapa suku tertentu saja. Di lingkungan masyarakat Jawa,

kemenyan juga sering dipergunakan sebagai pengharum rokok kretek, mereka

menyebutnya kelembak menyan. Sedangkan di sektor industri, kemenyan

dipergunakan sebagai bahan baku dan bahan pengikat parfum agar keharumannya

tidak cepat hilang.

Tanaman kemenyan termasuk dalam ordo Ebenales, family Styracaceae

dan genus Styrax spp. Terdapat dua jenis tanaman kemenyan yang diusahakan dan

bernilai ekonomis yang tumbuh tersebar terutama di Tapanuli Utara. Masyarakat

setempat menyebutnya Haminjon Toba (Styrax sumatrana) dan Haminjon Durame

(14)

Kabupaten Tapanuli utara tercatat sebagai penghasil kemenyan terbesar di

dunia. Setiap tahunnya kabupaten ini menghasilkan kemenyan sekitar 4000 ton

dari lahan sekitar 30000 ha yang ditumbuhi tanaman kemenyan. Kemenyan di

Tapanuli dikenal dengan nama haminjon. Tanaman ini sudah banyak diusahakan

oleh masyarakat karena dapat menjadi sumber pendapatan sampingan selain usaha

pertanian. Namun, masyarakat masih mengusahakan tanaman kemenyan ini

secara tradisional. Belum banyak masyarakat yang melakukan upaya budidaya

secara intensif sehingga tanaman ini dapat dijadikan penghasilan utama (Majalah

Kehutanan Indonesia, 2007).

Pada tahun 1991, luas tanaman kemenyan di daerah Tapanuli Utara seluas

17.466 ha, dan telah terjadi pengurangan luas sebesar 147 ha (0,84 %) pada tahun

1993 sehingga menjadi 17.299 ha. Keadaan ini disebabkan karena tidak ada

upaya penanaman kembali jenis ini oleh masyarakat petani kemenyan sendiri

maupun dari instansi terkait, sedangkan di satu pihak eksploitasinya terus

meningkat setiap tahunnya (Sasmuko, 1999).

Pengurangan luas kebun kemenyan di Daerah Tapanuli Utara banyak

disebabkan oleh kondisi pemasaran terutama fluktuasi harga getah kemenyan dan

usia produksi untuk menghasilkan yang panjang yaitu usia 8–12 tahun. Untuk

menanggulangi keadaan tersebut maka diusahakan salah satu alternatif yaitu

dengan intensifikasi lahan berupa pola tanaman campuran antara tanaman

kemenyan dengan jenis tanaman pertanian yang memiliki usia panen relatif

singkat (Jayusman, 1999).

Di daerah Tapanuli Utara khususnya di kecamatan Pahae Julu sudah

(15)

ini yaitu desa Sibaganding pernah menanam cokelat kira-kira 5 tahun yang lalu di

kawasan hutan kemenyan tetapi pertumbuhannya tidak bagus, dikarenakan

tanahnya tidak cocok. Oleh sebab itulah mereka tidak pernah lagi menanam

cokelat di kawasan tersebut ,justru pertumbuhannya lebih bagus di pekarangan

rumah serta di daerah pinggiran sawah.

Penelitian ini akan mengulas aspek pengambilan keputusan dalam konteks

pengelolaan hutan kemenyan. Secara garis besar penelitian ini berusaha menjawab

pertanyaan mengapa penduduk di desa Sibaganding kembali memilih dan

mempertahankan kemenyan sebagai bentuk pemanfaatan hutan. Lebih jauh lagi

akan diungkapkan insentif-insentif yang mendasari keputusan mereka dalam

mempertahankan pengelolaan hutan kemenyan serta disinsentif yang mendasari

keputusan mereka dalam meninggalkan pengelolaan kemenyan.

Sementara itu terdapat studi kasus yang pernah dilakukan oleh peneliti lain

terhadap repong damar (Shorea javanica) merupakan salah satu bentuk

pemanfaatan lahan di daerah Pesisir, Lampung Barat yang relatif mapan.

Masyarakat di daerah ini terus membudidayakan getah damar dari generasi ke

generasi karena di dorong oleh beberapa faktor yang satu sama lain saling

melengkapi. Pertama, adanya jaminan keamanan ekonomi rumah tangga dari

hasil penjualan getah damar dan hasil hutan lainnya. Kedua, tata niaga getah

damar yang relatif telah berkembang dan relatif mapan sehingga harga relatif

besar. Ketiga, masih berfungsinya pranata pewarisan yang sarat dengan aturan

adat seperti adanya kewajiban pewaris hutan damar untuk mempertahankan dan

memelihara hutannya untuk kemudian diwariskan kepada keturunannya.

(16)

mendorong anggota keluarga bukan pewaris hutan damar untuk membuka lahan

dan mengembangkan sendiri hutan damar (Nadapdap, dkk, 1995).

Perumusan Masalah

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya beberapa permasalahan :

1. Perlu diketahui dan dipelajari bagaimana pengelolaan hutan kemenyan yang

dilakukan petani kemenyan di desa Sibaganding.

2. Perlu untuk diketahui dan dipelajari bagaimana masyarakat (petani) pengelola

kemenyan dalam mengambil keputusan untuk kembali memilih dan

mempertahankan melakukan pengelolaan tanaman kemenyan sebagai bentuk

pemanfaatan hutan. Oleh sebab itu perlu diungkapkan insentif-insentif yang

mendasari keputusan mereka untuk kembali mempertahankan tanaman

kemenyan atau disinsentif yang mendasari keputusan mereka saat

meninggalkannya.

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengelolaan hutan kemenyan

2. Untuk mengetahui/ menjelaskan insentif-insentif yang mendasari

keputusan petani kemenyan dalam mempertahankan lahan kemenyan.

3. Untuk mengetahui/menjelaskan disinsentif yang mendasari keputusan

masyarakat petani kemenyan dalam meninggalkan lahan kemenyan.

Manfaat Penelitian

Memberikan masukan bagi pembuat kebijakan dalam pengelolaan dan

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Pohon kemenyan (Styrax spp.) merupakan jenis asli Sumatera Utara,

khususnya daerah Tapanuli Utara. Masyarakat Tapanuli Utara secara

turun-temurun telah mengelola tanaman kemenyan sebagai mata pencaharian karena

menghasilkan getah yang banyak digunakan sebagai bahan baku kosmetika,

obat-obatan, dan juga untuk upacara adat. Metode pengelolaannya masih tradisional

sehingga perlu diperbaiki untuk meningkatkan produksi getah dan pendapatan

masyarakat (Sasmuko, 1999).

Hutan kemenyan telah diusahakan bertahun-tahun, melampaui beberapa

generasi. Pada tingkat produktivitas yang ada, ia menjadi penopang utama rumah

tangga petani. Keberlanjutannya mengalami tantangan sehubungan dengan

peningkatan jumlah penduduk dan tuntutan kebutuhan hidupnya. Peningkatan

jumlah penduduk, mengharuskan peningkatan penyediaan pangan dan intervensi

ekonomi pasar dalam meningkatkan berbagai kebutuhan lain (Suharjito, 2000).

Getah kemenyan dapat diperoleh dari pohonnya dengan cara disadap.

Proses penyadapan sampai pemungutan hasilnya membutuhkan waktu 3-4 bulan.

Musim penyadapan di Tapanuli Utara adalah bulan Agustus sampai dengan

Nopember atau satu kali dalam setahun. Lain halnya dengan penyadapan pohon

tusam atau karet yang membutuhkan waktu relatif lebih singkat karena getah

langsung keluar pada saat pohon dilukai. Tetapi pohon kemenyan mengeluarkan

getah pada minggu ketiga setelah pelukaan kulit/kambium (penyadapan). Getah

dipungut pada 3-4 bulan kemudian atau sudah kering di pohonnya. Getah

(18)

dibersihkan dan terakhir disortir sesuai dengan kelas mutu yang diinginkan.

Kemenyan yang telah disortir langsung dapat dijual baik masih berbentuk aslinya

maupun bentuk balok melalui pengepresan. Kemenyan asal Tapanuli Utara ini

telah dipasarkan 80 % ke P. Jawa dan 20 % ekspor ke Malaysia dan Singapura

(Sasmuko,2001).

Manfaat Kemenyan

Getah kemenyan memiliki banyak manfaat bagi manusia dan juga

merupakan komoditi ekspor yang sangat penting, getah kemenyan mengandung

±36,5% asam sinamat sebagai bahan baku industri kosmetik dan farmasi. Pohon

kemenyan dapat dikembangkan untuk tanaman reboisasi, penghara pabrik pulp,

rehabilitasi lahan, sekat bakar, dan pohon ornamen. Kemenyan berguna pula

sebagai bahan pengawet dan bahan baku farmasi obat-obatan. Di samping itu

kemenyan dapat dipakai pula sebagai bahan campuran dalam pembuatan keramik

agar lebih kuat dan tidak mudah pecah. Bahkan di negara-negara Eropa kemenyan

digunakan sebagai bahan campuran pada pemanas ruangan (Sasmuko,2001).

Budidaya kemenyan

Sebenarnya, Balai Pengelolaan DAS Asahan Barumun Sumatera Utara

sudah memberikan informasi bagaimana caranya membudidayakan tanaman

kemenyan agar dapat tumbuh dan diperoleh hasil yang baik. Sebagaimana

informasi yang diperoleh Majalah Kehutanan Indonesia (MKI), pembudidayaan

tanaman kemenyan tidaklah sulit. Pada upaya pembibitan, benih kemenyan yang

(19)

kualitasnya. Pohon induk yang dipilih adalah pohon yang memiliki getah

kemenyan yang banyak dan baik, bebas hama dan penyakit, berbatang lurus dan

silindris, tajuk normal dan bagus, cabang sedikit dan memiliki tinggi bebas

cabang yang optimal. Buah yang dipilih sebagai sumber benih adalah buah yang

sudah masak dengan warna coklat tua. Ada baiknya buah yang dipilih adalah buah

yang sudah jatuh tetapi kondisinya masih baik dan tidak diserang ulat sehingga

menjadi rusak (Majalah Kehutanan Indonesia, 2007).

Pengadaan bibit dapat dilakukan melalui persemaian, pencabutan dan

anakan alam, stump, stek serta kultur jaringan. Persemaian merupakan cara yang

mudah dan umum dilakukan yaitu dengan menabur benih/biji yang sudah

dibersihkan di bedeng tabur, kemudian apabila sudah tumbuh dipindahkan ke

dalam polybag sebelum ditanam (Majalah Kehutanan Indonesia, 2007).

Untuk bibit yang diperoleh dari anakan, biasanya didapatkan dari buah

yang jatuh di sekitar pohon induk yang kemudian tumbuh secara alami. Anakan

ini dapat menjadi sumber bibit dengan memilih tanaman yang tumbuh sehat dan

normal. Sedangkan pembibitan dengan stump, stek dan kultur jaringan masih

belum umum dilakukan terutama oleh masyarakat. Saat ini sistem itu masih dalam

penelitian untuk dikembangkan (Majalah Kehutanan Indonesia, 2007).

Selanjutnya untuk melakukan penanaman, hal yang harus diperhatikan

adalah tanaman kemenyan harus ditanam menggunakan naungan, karena tanaman

kemenyan mempunyai sifat toleran yaitu tumbuh di bawah tegakan pohon.

Penanaman dilakukan pada musim hujan dengan sistem campuran dengan

(20)

sebaiknya dilakukan persiapan lapangan seperti pembersihan jalur tanam dan

membuat lubang tanam dengan jarak tanam yang sesuai dengan kondisi tanah dan

kelerengan lokasi tumbuh (Majalah Kehutanan Indonesia, 2007).

Setelah dilakukan penanaman perlu dilakukan upaya pemeliharaan.

Kegiatan pemeliharaan yang biasa dilakukan agar tanaman dapat tumbuh dengan

baik dan optimal adalah penyiangan, pendangiran, penyulaman, pemupukan,

penjarangan dan perlindungan tanaman dari hama dan penyakit. Kegiatan ini

dilakukan pada tahun pertama, kedua dan ketiga. Penjarangan perlu dilakukan

khususnya untuk tanaman pelindung dengan tujuan memberi ruang tumbuh

kepada tanaman kemenyan karena pada saat tanaman kemenyan sudah tumbuh

membesar tanaman ini membutuhkan banyak sinar matahari (Majalah Kehutanan

Indonesia, 2007).

Daerah penghasil kemenyan

Kemenyan (Stryrax sp) yang termasuk famili Stryracaceae dari ordo

Ebeneles diusahakan oleh rakyat Sumatera Utara di tujuh kabupaten, terutama di

kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat, dan Toba

Samosir. Tanaman ini Menurut Thomson Silaban, staf bidang rehabilitasi hutan

Dinas Pertambangan dan Kehutanan Kabupaten Humbang Hasundutan, jika

sebelum tahun 1980 kemenyan mampu menyumbang 60 persen ekonomi rumah

tangga, kini turun menjadi sekitar 20 persen. Kemenyan (Stryrax sp) yang

termasuk famili Styracaceae dari ordo Ebeneles diusahakan oleh rakyat Sumatera

Utara di tujuh kabupaten, terutama juga dikembangkan di Dairi, Tapanuli Selatan,

(21)

terbesar masih di Kabupaten Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan

(Kompas,2007).

Morfologi tanaman

Pohon kemenyan memiliki ukuran sedang sampai besar dengan diameter

antara 20-30 cm dengan tinggi mencapai 20 hingga 30 meter. Berbatang lurus

dengan percabangan yang sedikit dan kulit batang berwarna kemerahan.

Kemenyan berdaun tunggal yang tersusun spiral dan berbentuk oval, bulat

memanjang dengan ujung daun meruncing. Buah kemenyan berbentuk bulat dan

lonjong dengan ukuran yang agak kecil. Biji berwarna cokelat terbungkus dalam

daging buah yang tebal dan keras (Majalah Kehutanan Indonesia, 2007).

Syarat tumbuh

Tempat tumbuh tanaman kemenyan bervariasi yaitu mulai dari dataran

rendah sampai dataran tinggi pada ketinggian 60 hingga 2100 meter di atas

permukaan laut. Tanaman kemenyan tidak memerlukan persyaratan yang

istimewa terhadap jenis tanah. Dapat tumbuh pada tanah podsolik, andosol,

latosol, regosol, dan berbagai asosiasi lainnya mulai dari tanah yang bertekstur

berat sampai ringan dan tanah yang kurang subur sampai yang subur. Jenis

tanaman ini tumbuh pada tanah yang berporositas tinggi sehingga mudah

(22)

Kehutanan masyarakat

Kehutanan masyarakat didefinisikan sebagai sistem pengelolaan hutan

yang dilakukan oleh masyarakat, secara individual atau komunal pada tanah adat,

milik atau negara, berupa hutan monokultur maupun kebun campuran, dengan

orientasi untuk subsistensi ataupun komersial. Sistem pengelolaan hutan secara

individual didefinisikan sebagai pengelolaan hutan yang seluruh pengambilan

keputusannya dilakukan oleh perorangan atau keluarga, sedangkan sistem

pengelolaan hutan komunal pengambilan keputusannya dilakukan bersama oleh

anggota suatu masyarakat yang terikat oleh kebudayaannya. Pengelolaan hutan

yang berorientasi subsistensi didefinisikan sebagai pengelolaan hutan yang

produksinya sebagian besar (30%) digunakan untuk konsumsi langsung keluarga

pengelola, sebaliknya yang berorientasi komersial sebagian besar produksinya

dipasarkan (Suharjito, dkk, 2000).

Sistem pengelolaan tersebut membangun performansinya, yaitu

productivity, sustainibility, equitability, dan efficiency. Mengacu pada Conway

(1987) dalam (Suharjito,dkk,(2000), produktivitas didefinisikan sebagai keluaran

(output) produk bernilai per/unit input sumber daya. Keberlanjutan (sustainability)

didefinisikan sebagai kemampuan suatu agroekosistem untuk menjaga

produktivitasnya dari waktu ke waktu. Keadilan (equitability) didefinisikan

sebagai pemerataan distribusi produk dari agroekosistem di antara yang berhak

menerima manfaat. Mengacu pada Tietenberg (1992) dalam (Suharjito,dkk 2000)

pengelolan suatu sumber daya berada pada tingkat yang paling efisien dan

(23)

Produktivitas diukur berdasarkan hasil atau pendapatan berupa barang dan

jasa per hektar yang diterima pengelola sumber daya. Keberlanjutan diukur

berdasarkan keberdaannya dari waktu ke waktu pada tingkat produktivitas (barang

atau jasa) tertentu. Keadilan diukur berdasarkan tingkat distribusi penguasaan

(luas) sumber daya hutan dan akses terhadap manfaat (uang, barang, dan jasa)

yang diterima oleh satuan masyarakat (desa/kampung)(Suharjito, dkk, 2000).

Produksi Hutan Non-Kayu dan Kegiatan Perekonomiannya

Kegiatan produksi hasil hutan non-kayu juga memiliki sejumlah

keunggulan komparatif. Satu hal yang terpenting, sebagaimana yang sering

ditonjolkan oleh para penganjurnya, adalah bahwa kegiatan produksi hutan

non-kayu dalam kenyataannya melibatkan penduduk setempat dalam jumlah yang

cukup besar yang terlibat dalam berbagai tingkatan proses kegiatan. Sebagaimana

yang dikemukakan de Beer & Modermott (1989) dalam (Zakaria, R.Y,1994)

berbagai daerah di Asia Tenggara, jumlah penduduk yang kegiatan ekonomi

utamanya berkaitan dengan pengolahan dan pemanfaatan sumber daya hutan

adalah sekitar 29 juta jiwa. Hampir dapat dipastikan bahwa jumlah manusia yang

terlibat dalam kegiatan-kegiatan produksi hasil hutan non-kayu ini jelas lebih

besar dari angka itu. Selain rotan dan arang, menurut Gills (1988) dalam (Zakaria,

R.Y, 1994), produk hutan non-kayu lain dapat dikatakan dituai oleh oleh

keluarga-keluarga setempat di sekitar hutan. Sayangnya belum ada sumber yang

merinci tentang jumlah penduduk di Indonesia yang terlibat dalam kegiatan

(24)

Menurut de Beer & McDermott (1989) dalam (Zakaria, R.Y, (1994). ,

besarnya jumlah penduduk setempat yang terlibat dalam sektor produksi hasil

hutan non kayu dimungkinkan oleh karena (1) produk-produk hutan non kayu itu

sangat mudah diperoleh, dan (2) penduduk setempat dapat memperoleh secara

gratis. Selain itu, (3) produk-produk hutan non kayu itu ternyata juga punya nilai

ekonomi yang tinggi, baik untuk dijadikan alat barter atau sebagai komoditi

perdagangan. Secara historis, kegiatan produksi hasil hutan non kayu ini juga

telah panjang usianya sehingga penduduk setempat relatif akrab dengan

mekanisme pelaksanaannya. Bagi kelompok-kelompok masyarakat tertentu

kegiatan produksi hasil hutan non kayu ini menjadi kegiatan ekonomi yang utama.

Bahkan menjadi unsur identitas kesatuan sosial, seperti orang Punan di pedalaman

Kalimantan bahwa sudah sejak begitu lama masyarakat Punan yang nomadik

melaksanakan kegiatan pengumpulan produk non-kayu seperti kayu gaharu,

sarang burung, batu bezoar (guliga), cula badak Kalimantan, damar, rotan,serta

getah perca. Melalui peran para petani (Dayak) yang menetap dan memiliki

kegiatan berladang sebagai perantara, berlangsunglah kegiatan dagang antara

orang Punan (sebagai pengumpul produk non-kayu) dengan para Pedagang Cina

dan Bugis serta lainnya. Melalui kegiatan semacam itulah orang-orang Punan

mendapatkan bumbu dapur (terutama garam), peralatan sehari-hari dan

kadangkala (malah) uang.

Menurut de Beer & Mcdermott (1989) dalam (Zakaria, R.Y, 1994),

perdagangan di bidang produk non kayu ini bahkan telah dilakukan oleh

penduduk Asia Tenggara sejak dua ribu tahun yang lalu. Bukti tertentu

(25)

Indonesia bagian Barat ke Cina telah dimulai pada abad kelima. Ketika itu produk

utama yang diekspor adalah damar, benzoin, dan kamper. Selanjutnya pada abad

19 hingga awal abad 20 ekspor non-kayu yang semakin berkembang. Pada tahun

1938 nilai ekspor non-kayu ke Belanda telah mencapai 8,4 juta guilders. Namun

demikian dalam kenyataannya, belum ada upaya serius yang dilakukan

sehubungan dengan mengembangkan suatu klasifikasi produk non kayu, yang

dilakukan secara resmi oleh negara-negara di kawasan berhutan di Asia.

Insentif-insentif Yang Mendasari Pengambilan Keputusan dalam

Pengelolaan hutan

Secara garis besar paling sedikit ada empat jenis insentif yang mendasari

keputusan orang dalam pengelolaan lahan hutan, yaitu insentif ekonomis, insentif

ekologis, insentif sosial, dan insentif kultural. Insentif ekonomis mencakup

rangsangan yang hadir dalam wujud variabel-variabel ekonomi, seperti fluktuasi

harga, akses pasar, modal (material, tenaga kerja, dan waktu), dan kebutuhan

ekonomi rumah tangga. Insentif ekologis meliputi porositas tanah, topografi

lahan, dan perilaku tanaman. Insentif sosial meliputi status sosial dan

hubungan-hubungan sosial. Insentif kultural mencakup pengetahuan, kepercayaan, dan

nilai-nilai yang terkait dalam pengelolaan lahan hutan (Lubis, 1996).

Sistem Penggunaan Lahan (Land Tenure System)

Istilah land tenure system menunjuk pada suatu sistem penguasaan tanah

atau lahan dalam suatu masyarakat, dimana lebih menggunakan pendekatan

yuridis atau hukum meskipun tidak selalu dalam konteks hukum formal yang

(26)

suatu bidang tanah / lahan atau satu kawasan hutan tertentu menjadi sangat

penting untuk menentukan siapakah yang menguasai bidang tanah atau kawasan

(atau sebagian dari kawasan) hutan tersebut untuk menghindari terjadinya konflik

atau sengketa klaim yang dapat membuat proyek kehilangan materi atau

penghargaan tertentu. Dalam hal ini, sistem tenurial setempat umumnya telah

menentukan menurut aturan hukum setempat pula (hukum adat) siapa saja yang

memiliki dan atau menguasai sebidang tanah tertentu, termasuk kawasan-kawasan

yang dinyatakan sebagai hutan, baik oleh sendiri maupun pihak lain (Fauzi dan

1. Kepemilikan privat adalah hak yang diberikan kepada yang dapat terdiri

dari satu orang (individu), suami-istri dari suatu keluarga,sekelompok

orang, suatu lembaga baik perusahaan swasta ataupun lembaga nirbala. Dianto,1999).

Sistem tenurial atas tanah dan sumber daya alam menurut FAO (dalam

Ellisworth, 2002) dapat digolongkan ke dalam empat kategori umum kepemilikan

yakni :

2. kepemilikan komunal adalah tanah golongan ini dimiliki secara komunal

yang hanya dapat digunakan anggota dari masyarakat tertentu.

3. open acess yang pada dasarnya tidak ada yang dapat dikatakan sebagai

pemilik tanah atau sumber alam tersebut, dengan demikian siapa saja dapat

mengambil manfaatnya dari lahan tersebut.

4. kepemilikan publik atau negara adalah hak-hak yang diklaim oleh negara

(27)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di desa Sibaganding Kecamatan Pahae Julu

Kabupaten Tapanuli Utara Propinsi Sumatera Utara pada tanggal 20 April hingga

2 Mei 2009.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah :

1. Kamera yang berfungsi untuk dokumentasi dan visualisasi objek penelitian guna kelengkapan laporan.

2. Alat tulis untuk mencatat data hasil wawancara.

Bahan yang digunakan adalah:

1. Kuisioner untuk mengumpulkan data sekunder maupun data primer dari

responden serta sumber informasi lainnya.

2. Pedoman wawancara untuk mengumpulkan data primer dan data sekunder

dari informan serta sumber informasi lainnya.

3. Laporan-laporan hasil penelitian (individu atau lembaga) terdahulu dan

berbagai pustaka penunjang sebagai sumber data sekunder untuk

melengkapi pengamatan langsung di lapangan.

Populasi dan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan purposive sampling. Menurut

Nawawi (2005), dalam teknik ini pengambilan sampel disesuaikan dengan tujuan

(28)

terlebih dahulu. Peneliti langsung mengumpulkan data dari unit sampling yang

ditemuinya. Unit sampel yang dihubungi disesuaikan dengan kriteria-kriteria

tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian.

Populasi dalam penelitian ini adalah petani kemenyan desa Sibaganding

berjumlah 111 KK. Sampel yang diambil sebanyak 30 orang petani kemenyan.

Kriteria sampel yang ditetapkan adalah petani kemenyan, kepala keluarga, luas

lahan yang dimiliki.

Teknik Pengumpulan Data

Data yang diambil dalam penelitian yaitu :

1. Data primer yang meliputi :

a. Identitas responden

b. Insentif-insentif yang mendasari keputusan mereka dalam

mempertahankan kemenyan dan disinsentif yang mendasari keputusan

mereka dalam meninggalkan kemenyan.

c. Kontribusi kemenyan terhadap perekomian rumah tangga.

d. Pengelolaan kemenyan yang diterapkan oleh masyarakat

Data diperoleh melalui :

a. Kuisioner akan diberikan kepada seluruh responden yaitu sebanyak 30

(29)

b. Wawancara mendalam (indepth interview) kepada informan kunci yaitu

kepala desa, tokoh masyarakat, dinas kehutanan/pertanian, dan

masyarakat.

c. Observasi di lapangan.

2. Data sekunder

Pengumpulan data sekunder yaitu dengan pengutipan dan pencatatan data dari

kantor-kantor desa, instansi terkait, dan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten

Tapanuli Utara. Selain itu juga melalui studi pustaka dengan cara mengamati atau

mengutip laporan yang ada hubungannya dengan penelitian.

Analisis data

Data yang dikumpulkan melalui kuisioner ditabulasikan dalam tabel

frekuensi. Hasil dari tabel frekuensi, dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan

menggabungkan data hasil wawancara, observasi, dan studi pustaka.

Untuk mengetahui kontribusi hutan kemenyan terhadap pendapatan rumah

tangga (Rp per tahun) dianalisis dengan menghitung seluruh sumber pendapatan,

baik dari kegiatan di hutan kemenyan maupun sumber pendapatan lainnya.

Kontribusi hutan kemenyan dilakukan dengan membandingkan persentse

besarnya hasil yang diperoleh dari hutan kemenyan terhadap total pendapatan.

Untuk menghitung besarnya persentase pendapatan responden dari komponen

hutan kemenyan dan dari luar hutan kemenyan dihitung dengan cara seperti

berikut ini :

Persentase pendapatan : ∑ Ck x 100 %

(30)

Ket : ∑ Ck : Jumlah pendapatan per komponen hutan kemenyan

∑ Ct : Total pendapatan (hutan kemenyan dan luar hutan kemenyan)

Untuk lebih memudahkan tentang tujuan studi,sumber dan metode, data kunci,

[image:30.595.157.445.287.547.2]

dan hasil yang diharapkan disajikan dalam matriks metodologi penelitian pada

(31)
[image:31.595.110.549.102.751.2]

Tabel 1. Matriks Metodologi Penelitian

No Tujuan penelitian Data kunci Sumber dan Metode Hasil yang diharapkan 1 Mengetahui pengelolaan

hutan rakyat kemenyan termasuk penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran

Data kondisi lokasi meliputi :

- Pustaka, data statistik, peta, wawancara, kuisioner - kantor pemerintahan

daerah

- observasi lapangan - dokumentasi Kondisi alam

- Tipe bentang alam - Iklim

- Geologi dan tanah - Topografi - Flora dan fauna

1. Adanya informasi sejarah pengelolaan hutan rakyat kemenyan. 2. Adanya informasi kegiatan pengelolaan hutan rakyat kemenyan yaitu :

- cara penanaman. - cara pemeliharaan - cara pemanenan - cara pemasaran .

2 Mengetahui dan

menjelaskan insentif yang mendasari keputusan petani pengelola kemenyan dalam mempertahankan pengelolaan hutan rakyat kemenyan

Insentif ekonomi - volume produksi tahunan hutan rakyat kemenyan.

- jenis tanaman keras yang ditanam. - frekuensi panen/tahun Fluktuasi harga, akses pasar, modal, (material, tenaga kerja, dan waktu), dan kebutuhan ekonomi rumah tangga

Insentif sosial/budaya - status kepemilikan lahan

- luas lahan - pengetahuan, kepercayaan dan nilai-nilai yang terkait dalam pengelolaan hutan

- Pustaka, data statistik, wawancara, kuisioner. -observasi lapangan. -dokumentasi

- Pustaka, wawancara. Kuisiner.

- observasi lapangan - adat

-Pustaka

-Kantor pemerintahan daerah -observasi lapangan Insentif ekologi

- pengaruh keberadaan hutan rakyat kemenyan terhadap suhu daerah setempat, kondisi tanah yang mempengaruhi pola tanam

- porositas tanah, topografi lahan, perilaku tanaman. Adanya informasi tentang insentif-insentif yang mendasari keputusan petani pengelola kemenyan dalam mempertahankan pengelolaan hutan rakyat kemenyan yaitu dari segi ekonomi, sosial budaya, dan ekologi

3 Mengetahui dan menjelaskan disinsentif yang mendasari keputusan petani pengelola hutan rakyat kemenyan dalam meninggalkan

pengelolaan hutan rakyat

Fluktuasi harga, akses pasar, modal, (material, tenaga Disinsentif ekonomi - volume produksi tahunan hutan rakyat kemenyan.

- jenis tanaman keras yang ditanam. - frekuensi panen/tahun

(32)

kerja, dan waktu), dan kebutuhan ekonomi rumah tangga

Disinsentif sosial budaya

- status kepemilikan lahan

- luas lahan - pengetahuan, kepercayaan dan nilai-nilai yang terkait dalam pengelolaan hutan

- Pustaka, wawancara. Kuisiner.

- observasi lapangan - adat

-Pustaka

-Kantor pemerintahan daerah -Observasi lapangan Disinsentif ekologi

- pengaruh keberadaan hutan rakyat kemenyan terhadap suhu daerah setempat, kondisi tanah yang mempengaruhi pola tanam

(33)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Keadaan Fisik Lingkungan Letak dan Luas

Penelitian dilakukan di desa Sibaganding kecamatan Pahae Julu Kabupaten Tapanuli Utara Propinsi Sumatera Utara. Desa ini merupakan salah satu desa dari 19 desa di kecamatan Pahae Julu yang luasnya 8,79 km2 yang mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut:

Sebelah Utara berbatasan dengan desa Lumban Jaean Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Lumban Tonga Sebelah Timur berbatasan dengan Sungai Batang Toru Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Adian Koting

Desa ini berjarak 5 km dari kota Onan Hasang yang merupakan ibukota dari Kecamatan Pahae Julu, dan 27 km dari kota Tarutung yang merupakan ibukota kabupaten Tapanuli Utara.

[image:33.595.127.496.376.609.2]

Gambar 1. Kondisi kawasan lokasi Penelitian

Topografi, Keadaan Tanah, dan Iklim

(34)

Sarana dan Prasarana

[image:34.595.119.502.207.367.2]

Sarana Perhubungan di desa Sibaganding mempunyai arti penting bagi kelancaran perekonomian masyarakat yaitu berupa jalan desa yang sudah dilapisi aspal/kerikil. Jalan ini sudah dapat dilalui oleh kenderaan roda empat, terutama untuk mengangkut hasil hutan dan pertanian penduduk. Jembatan merupakan prasarana yang dipakai menuju desa ini karena melintasi sungai Batang Toru.

Gambar 2. jembatan yang melintasi sungai Batang Toru

Sarana Pendidikan yang tersedia berupa 2 unit Sekolah Dasar (SD), 1 unit Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sarana ibadah yaitu 4 buah gereja. Selain itu terdapat juga sarana kesehatan berupa 1 unit Poliklinik Desa (Polindes) dan 1 unit Puskesmas Pembantu. Desa Sibaganding sudah dialiri jaringan listrik PLN secara

keseluruhan.

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kependudukan

(35)
[image:35.595.116.445.84.238.2]

Gambar 3. Pemukiman penduduk desa penelitian Mata Pencaharian

Penduduk di desa Sibaganding memiliki mata pencaharian sebagai petani hutan kemenyan. Di samping itu bermata pencaharian seperti wiraswasta.

Pendidikan

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengelolaan hutan kemenyan di desa Sibaganding

Sejarah hutan Kemenyan

Pada dasarnya dahulu kemenyan adalah tanaman liar yang tumbuh di

hutan lebat. Pada zaman Belanda abad 20 sekitar tahun 1800-an, kemenyan adalah

komoditi yang sangat mahal diperdagangkan di Barus. Para pedagang berasal dari

negara Portugal, Belanda, dan India. Maka pada zaman itulah mulai

dikembangkan kebun kemenyan. Pada tahun 1959 sampai tahun 1965 tanaman

kemenyan sangat bertahan ada di Tapanuli Utara secara khusus di Sibaganding.

Pada saat itu harganya sangat mahal, rata-rata penduduk menghasilkan 1

ton/tahun. Pekerja-pekerja yang digaji berdatangan dari Dolok Sanggul dan

Siborong-borong. Setelah krisis ekonomi tahun 1965 dan adanya perubahan orde

lama ke orde baru, maka terjadilah pemerosotan harga kemenyan yang sangat

jauh. Hal ini terjadi hingga tahun 1990-an. Oleh sebab itulah masyarakat

meninggalkan kemenyan dan beralih secara fokus ke tanaman pertanian yaitu

menanam padi dengan 2x musim panen per tahun demi mencukupi kebutuhan

masyarakat saat itu. Awalnya ketika kemenyan masih sangat mahal, panen padi

cukup 1 x saja per tahun.

Pengelolaan hutan Kemenyan

Hutan kemenyan merupakan salah satu bentuk pemanfaatan sumber daya

alam masyarakat desa Sibaganding. Hasil utama yang diperoleh dari hutan

(37)

terutama Styrax sumatrana (kemenyan toba) dan Styrax benzoin(kemenyan

durame). Namun kebanyakan yang terdapat adalah jenis Styrax sumatrana.

Jenis tanaman yang terdapat di dalam kawasan hutan kemenyan tidak

hanya menghasilkan tanaman kemenyan toba (Styrax sumatrana) saja, tetapi ada

juga tanaman karet (Hevea brasiliensis), serta tanaman durian (Durio zibethinus).

Berdasarkan keterangan responden, awalnya kedua jenis tanaman ini pun tumbuh

secara alami di dalam kawasan hutan yang akhirnya dipelihara oleh petani.

Tanaman karet dan durian yang terdapat di dalam kawasan hutan itu secara

umum ada yang berumur sama dengan tanaman kemenyan. Kedua jenis tanaman

ini ternyata turut memberikan kontribusi yang baik dalam memenuhi kebutuhan

perekonomian rumah tangga petani. Untuk lebih jelasnya tentang jenis tanaman

[image:37.595.129.493.410.604.2]

yang terdapat di kawasan hutan kemenyan dapat dilihat dari gambar berikut ini:

Gambar 4. kawasan hutan kemenyan

Kegiatan Pengelolaan hutan kemenyan yang ada di desa Sibaganding

meliputi penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran hasilnya yang

(38)

Penanaman

Pengelolaan tanaman kemenyan yang terdapat di desa Sibaganding masih

dilakukan dengan cara sangat sederhana yang merupakan tanah warisan keluarga

secara turun temurun dari nenek moyang dan dibiarkan tumbuh secara alami, serta

hampir tanpa pemeliharaan yang intensif. Selain itu dapat dikatakan bahwa selama

ini belum ada upaya pembibitan yang terseleksi atau upaya khusus lainnya untuk

menjaga mutu dan produktivitas tanaman. Hal ini sejalan dengan penelitian yang

pernah dilakukan oleh Nurrochmat (2000) yang menyatakan bahwa budidaya

tanaman kemenyan di Tapanuli Utara masih dilakukan dengan cara yang sangat

sederhana. Selain itu, regenerasi tanaman kemenyan sebagian besar masih

mengandalkan kemurahan alam.

Bibit kemenyan berasal dari sebatang pohon kemenyan yang bijinya jatuh

ke tanah dan tumbuh secara alami menjadi anakan. Anakan ini dapat menjadi

sumber bibit dengan memilih tanaman yang tumbuh sehat dan normal. Bibit

tersebut dicabut bersama akarnya tetapi tidak mengikutsertakan tanahnya. Cara

menanamnya adalah dengan membuat lubang tanam dengan parang atau kayu,

kemudian bibit dimasukkan ke dalam lubang tanam dan ditutup dengan tanah

galian lubang, selanjutnya ditandai dengan ajir. Informasi yang diperoleh dari

Majalah Kehutanan Indonesia menyebutkan bahwa hal yang harus diperhatikan

dalam kegiatan penanaman tanaman kemenyan adalah tanaman kemenyan harus

menggunakan naungan, karena tanaman kemenyan mempunyai sifat toleran yaitu

tumbuh di bawah tegakan pohon. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di lokasi

penelitian tanaman kemenyan yang sudah tumbuh dewasa menaungi bibit yang

(39)

Upaya-upaya dari petani hingga saat ini untuk mengembangkan bibit

unggul belum ada. Semua responden mengatakan tidak pernah melakukan

upaya-upaya penyediaan bibit unggul, karena keterbatasan pengetahuan dan modal.

Selain itu mereka berpendapat, tidak perlu dilakukan penyediaan bibit unggul

karena di bawah tegakan kemenyan sudah banyak anakan yang dapat dijadikan

bibit unggul. Petani hanya tinggal memilih anakan yang berasal dari pohon induk

yang dikenal baik produksinya dan peluang tumbuh sudah terjamin sedangkan

kalau dibuat pembibitan maka peluang tumbuh belum dapat dipastikan.

Pemeliharaan

Secara umum kegiatan penyiangan dilakukan sekali dalam setahun dan

sudah terbiasa dengan hal itu. Petani kemenyan di desa Sibaganding tidak

melakukan kegiatan pemupukan tetapi sekedar pembersihan gulma/rumput yang

mengganggu sekitar tanaman kemenyan. Hal ini disebut masyarakat dalam bahasa

batak ”mangarabi” yaitu membersihkan pohon-pohon kecil, semak-semak atau

tumbuhan liar yang ada di sekitar pohon kemenyan yang dianggap mengganggu

serta pembuangan (pembersihan) benalu yang menempel pada ranting pohon

kemenyan pada saat dimulai pemanenan. Hal ini penting dilakukan agar

pertumbuhan kemenyan tidak terganggu dan diharapkan dapat memberikan

produk yang lebih baik.

Perawatan terhadap tanaman kemenyan jarang dilakukan, tetapi hanya

peninjauan ke lokasi hutan tempat tumbuh kemenyan serta melihat kondisi batang

apakah ada terkena serangan hama dan penyakit tumbuhan, atau tidak. Para

(40)

kemenyan hingga gugur yaitu sejenis ulat daun serta hama yang menyerang

bagian batang tanaman kemenyan yaitu ulat penggerek batang yang disebut dalam

bahasa batak. Serangan hama ini mengakibatkan pohon kemenyan mati yang

terjadi sekitar tahun 1999 lalu selama satu tahun. Pada saat itu petani tidak

melakukan upaya untuk memberantas hama tersebut walaupun pada akhirnya

berdasarkan keterangan responden hama tersebut sudah tidak ada lagi dengan

sendirinya. Sementara menurut peneliti menyebutkan bahwa terdapat beberapa

hama yang menyerang tanaman kemenyan di lapangan yaitu:

a. hama kumbang penggerek daun menyebabkan daun luruh total. Hama ini

menyerang secara sporadis dan waktu tidak menentu. Belum ada metode

pengendalian secara kimia maupun biologi yang dapat dijadikan pedoman.

b. Hama penggerek batang, menyerang batang kemenyan muda sehingga

batang membusuk dan berlubang dan bahkan mengakibatkan batang muda

tumbang. Belum ada metode pengendalian secara kimia maupun biologi,

tetapi secara konvensional sering dilakukan oleh petani kemenyan dengan

membersihkan lubang gerekan yang juga dijadikan sarang hama udi.

Pemanenan

Penyadapan (penakikan) merupakan hal terpenting yang dilakukan petani

kemenyan karena berhubungan dengan kualitas getah yang akan

dihasilkan.Tanaman kemenyan berproduksi pada usia 15 tahun yang ditunjukkan

dengan ciri-ciri warna daun hijau tua dan bunga telah mekar. Musim penakikan

mulai dilakukan pada bulan Juli hingga September dan musim panen dilakukan

(41)

Juli hingga September disebut musim mengguris dan mensugi. Kegiatan

pemungutan hasil disebut dalam bahasa batak “mangaluak” yang dilakukan pada

bulan Oktober hingga Desember, dan kegiatan membersihkan berlangsung pada

bulan Januari hingga April. Untuk lebih jelasnya mari kita lihat dalam tabel

[image:41.595.111.451.243.361.2]

berikut ini:

Tabel 2. Kegiatan pemanenan getah kemenyan di desa Sibaganding

No Kegiatan Bulan

1 Mengguris/mensugi Juli- September

2 Pemungutan getah ('mangaluak") Oktober-Desember

3 Membersihkan Januari-April

Alat-alat yang diperlukan dalam kegiatan pemanenan ini adalah pisau penggaruk

(piso guris/koret), pisau takik (agat panuttuk/agat panugi), pisau panen (agat

pangaluak), tali polang/tambang dengan panjang 8-12 m, 2 buah tongkat dengan

panjang 0,5 m, parang, serta bakul sebagai tempat penampungan getah kemenyan.

Untuk lebih jelasnya berikut ditampilkan gambar alat-alat pemanenan getah

kemenyan.

[image:41.595.115.510.484.672.2]
(42)

Kegiatan menakik atau mensugi maksudnya adalah membuat luka pada

kulit yang kemudian membuat rongga di antara kulit dan kayu dimana kelak akan

terbentuk getah yang mengumpul dan mengering. Akan tetapi, sebelum penakikan

dimulai, petani membersihkan sekeliling pohon kemenyan dari semak-semak

dengan radius kira-kira 1 m untuk memudahkan kegiatan penakikan dengan

menggunakan parang. Setelah itu, batang dibersihkan dari kotoran seperti lumut

yang menempel dengan cara mengikis/ mengguris batang dengan pisau guris

(koret) dan dilanjutkan dengan pembersihan benalu agar tidak mengganggu

terhadap pertumbuhan kemenyan yang sifatnya parasit.

Penakikan pohon dilakukan dengan pisau takik/agat panugi sehingga

membuat luka garis vertikal sampai pada bagian kayu dan ditekan ke arah kiri

kulit sisi kiri terkoak atau ke arah kanan tergantung keadaan kulit sehingga

terdapat ruangan terbuka di antara kulit dan bagian kayu. Pada bagian yang

terkoak ini getah akan keluar, mengumpul dan mengering. Namun perlu

diperhatikan juga bahwa kulit yang terkoak tadi harus rapat kembali ke pembuluh

kayunya dengan cara dipukul-pukul secara perlahan dengan pegangan agat

panugi. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari air hujan masuk ke dalam kulit.

Untuk menakik bagian atas batang, maka petani menggunakan tali polang dan

tongkat dengan cara mengikatkan tongkat secara horizontal dengan tali polang

pada batang dengan maksud untuk tempat kaki berpijak.

Jumlah pohon yang dapat ditakik oleh petani biasanya 6 batang per hari.

Pohon yang telah selesai ditakik ditinggalkan 3-4 bulan. Pada luka-luka bekas

takikan akan terbentuk getah yang sudah lengket dan mengering. Kulit kering

(43)

menggunakan pisau panen dan kegiatan ini disebut mensugi. Hasil panen

diperoleh kemenyan dengan kualitas mata dan kualitas tahir. Produksi rata-rata

antara 0,3-0,5 kg/pohon. Setelah selesai dilakukan kegiatan pengumpulan getah

maka kira-kira 2-3 bulan lagi getah kedua akan keluar yang membeku dan

menempel pada bekas luka takikan. Para petani kemudian memungut hasilnya

yang disebut kegiatan pembersihan (panen kedua). Kualitas getah yang dihasilkan

disebut tahir.

[image:43.595.160.459.271.556.2]

Gambar 6. pemanenan getah kemenyan

Pemasaran

Petani menjual getah kemenyan dengan proses pengolahannya masih

sangat sederhana. Setelah getah kemenyan diambil dari pohonnya selanjutnya

dibawa pulang ke rumah dan dihamparkan di lantai. Hal ini bertujuan agar terjadi

penguapan sehingga pengeringan dapat dipercepat. Setelah selesai proses

pengeringan, dilanjutkan kegiatan pembersihan, yaitu membuang kotoran-kotoran

seperti lumut, kulit, dan sampah lainnya, sehingga diperoleh kemenyan yang

(44)

Petani Kemenyan

jenis kualitas, yaitu kualitas mata dan tahir. Petani pun langsung menjualnya

kepada pedagang pengumpul desa (tengkulak). Jika getah kemenyan yang dijual

petani bersih maka harganya pun semakin mahal. Harga getah ditentukan

berdasarkan kesepakatan yang terjadi antara pedagang pengumpul dengan petani.

Pola pemasaran sampai saat ini masih bersifat tradisional yang hanya

melibatkan dua atau tiga pelaku bisnis, sedangkan rantai pemasaran masih kurang

teratur sehingga petani masih merasa kurang beruntung. Hal ini juga didukung

oleh penelitian yang dilakukan oleh Nurrochmat (2000) di Kecamatan Pahae Julu

dan Sosor Tambok yang menyatakan bahwa tengkulak atau pedagang perantara

seringkali menjad tempat bergantung petani dalam menghadapi kesulitan

finansial. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menjadi sebab rendahnya

posisi tawar petani dalam perdagangan kemenyan, di samping faktor lainnya

seperti kurangnya akses informasi, tidak (adanya) berfungsinya lembaga

pemasaran di tingkat petani serta rendahnya kemampuan manajemen pemasaran

petani.

Secara umum rantai pemasaran getah kemenyan di desa Sibaganding

[image:44.595.142.498.498.723.2]

seperti pada gambar berikut :

Gambar 7 . Rantai Pemasaran Getah Kemenyan Pedagang

pengumpul desa

Pedagang pengumpul di kecamatan

(45)

Berdasarkan keterangan responden, gambar rantai pemasaran getah di atas

memiliki tingkat harga yang sama. Artinya ketika petani kemenyan menjual getah

kepada pedagang pengumpul desa, harganya sama saja jika dijual kepada

pedagang pengumpul di kecamatan dan kabupaten.

Berdasarkan keterangan responden, rata-rata harga kemenyan yang dijual

petani kepada pedagang pengumpul untuk kualitas mata adalah Rp. 80.000/kg.

Lalu kualitas tahir rata-rata Rp. 40.000/kg. Harga-harga tersebut bisa saja berubah

dalam kurun waktu tertentu, mengingat faktor harga yang tidak tetap.

Gamabar 8. getah kualitas mata (kiri) dan kualitas tahir (kanan)

Petani kemenyan menjual getah kemenyan hasil panennya kepada

pedagang pengumpul di desa yang biasanya orang desa setempat. Di daerah

penelitian harga kemenyan yang dijual ke pedang pengumpul desa, pedagang

tingkat kecamatan, dan di tingkat kabupaten adalah sama. Apabila petani ingin

menjual kepada pedagang tingkat kecamatan/kabupaten harus melalui agen.

Getah dari petani kemenyan akan disortir kembali oleh pedagang pengumpul

sebelum dijual kepada perusahaan. Lokasi pedagang pengumpul adalah di daerah

(46)

Insentif-Insentif Yang Mendasari Keputusan Petani Dalam Mempertahankan Pengelolaan Hutan Kemenyan di Desa Sibaganding

Insentif Ekonomi

Insentif ekonomi yang dimaksud dalam hal ini adalah manfaat yang

diperoleh petani dalam memenuhi kebutuhan ekonomi mereka sehingga menjadi

dasar keputusan mereka dalam mempertahankan pengelolaan hutan kemenyan.

Lahan kemenyan di desa Sibaganding ini dikelola oleh masyarakat setempat

dengan menanam kemenyan, karet, dan durian berdasarkan kemampuan mereka

untuk keperluan perekonomian rumah tangga secara tradisional. Pengelolaan

hutan kemenyan ini dimulai oleh leluhur mereka sekitar tahun 1800-an sampai

pada saat ini dirasakan memberikan manfaat bagi masyarakat, salah satunya dari

aspek ekonomi masyarakat setempat.

Hutan kemenyan yang ada di desa penelitian tidak hanya didapati oleh

tanaman kemenyan tetapi terdapat juga karet (Hevea brasiliensis) dan durian

(Durio zibethinus). Tanaman karet dan durian ini turut memberikan kontribusi

yang baik bagi perekonomian rumah tangga petani. Kemenyan dan karet

menghasilkan getah sedangkan durian menghasilkan buah untuk dijual. Hal ini

dapat kita lihat pada lampiran 2 yang menampilkan jumlah produksi, frekuensi

panen, dan harga satuan kemenyan, karet, dan durian per tahun. Untuk

mengetahui volume produksi yang dihasilkan hutan kemenyan tiap tahunnya

(47)
[image:47.595.116.572.130.257.2]

Tabel 3. Volume produksi Hutan Kemenyan Responden Desa Sibaganding Kecamatan Pahae

Julu Kabupaten Tapanuli Utara

No Jenis Tanaman Produksi /tahun Frekuensi/Tahun Harga/satuan (Rp)/Tahun

1 Kemenyan

a. Kualitas Mata 47.63 kg 1 80000 b. Kualitas Tahir 32.68 kg 1 40000 2 Karet 291.56 kg 1 6000

3 Durian 966 buah 1 3500

Sumber : Data Primer Penelitian, 2009

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa pendapatan yang diperoleh

dari getah kemenyan lebih besar dari pada karet dan durian walaupun produksi

karet lebih besar daripada kemenyan. Hal ini disebabkan karena harga karet

rendah bila dibandingkan dengan kemenyan. Untuk lebih jelasnya tentang

kontribusi hutan kemenyan yang diperoleh petani dapat dilihat di dalam lampiran

3 rincian pendapatan petani dari kemenyan, karet, dan durian serta pada lampiran

4 yang menyangkut tentang sumber pendapatan yang berasal dari hutan kemenyan

dan luar hutan kemenyan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan para petani yang merupakan

responden penelitian diperoleh informasi bahwa frekuensi pemanenan getah

kemenyan di desa Sibaganding adalah 1 x per tahun. Pada tabel 2. terdapat

beberapa kegiatan yang dilakukan pada proses pemanenan getah sesuai dengan

waktunya. Namun, menurut penelitian yang pernah dilakukan oleh Suharjito,dkk

(2000) di desa Simasom, kecamatan Pahae Julu dan desa Sosor Tambok,

kecamatan Dolok Sanggul menyatakan bahwa getah kemenyan merupakan

sumber pendapatan rumah tangga yang dapat diperoleh musiman (3-4 kali per

(48)

Sibaganding tetap memberikan hasil yang besar kepada kebutuhan ekonomi petani

responden.

Tingkat harga getah kemenyan berfluktuasi dan cenderung didominasi

oleh pedagang. Apabila harga naik maka petani akan sangat antusias dan

bersemangat mengambil getah kemenyan dari hutan, tetapi apabila harga getah

turun mereka terkadang tidak serius.Walaupun demikian, mereka tetap saja

melanjutkannya hingga sekarang karena sudah menjadi sumber mata pencaharian

yang tetap bagi mereka. Mereka juga mengatakan bahwa menanam kemenyan itu

menguntungkan baik diusahakan sendiri ataupun bagi hasil. Petani yang

melakukan sistem bagi hasil yang dimaksud adalah bahwa hasil panen getah

dibagi antara pemilik lahan dengan pihak yang mengusahakan yaitu 2/3 bagi

pemilik dan 1/3 bagi yang mengerjakan.

Nilai ekonomi kemenyan menurut petani terletak pada kontribusi rutinnya

sebagai pemasok uang tunai bagi rumah tangga. Insentif inilah yang ikut

menyumbang bagi keputusan petani untuk mempertahankan kemenyan. Meskipun

nilai nominal atau harga getah kemenyan berfluktuasi, kemenyan tersebut bisa

menjadi semacam garansi bagi sebuah keluarga untuk mendapatkan pinjaman

uang dari pedagang kalau ada kebutuhan yang mendesak.

Selain faktor harga, akses pasar yang mudah juga ikut membuat petani

tetap bertahan dalam mengelola kemenyan. Akses pasar yang dimaksud dalam hal

ini adalah bahwa mereka tidak perlu mengeluarkan biaya lagi untuk menjual hasil

getahnya ke kota karena keberadaan pedagang pengumpul yang tinggal desa.

Harga yang diberikan pedagang pengumpul di desa sama dengan harga getah

(49)

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Lubis (1996) tentang Repong damar di

Krui Lampung yang menyatakan bahwa faktor harga, akses pasar, dan merupakan

insentif ekonomi yang mendasari masyarakat untuk memilih jenis tanamannya

sehingga dapat mempertahankan pengelolaannya.

Insentif Sosial

Lahan yang digunakan dalam kegiatan pengelolaan hutan kemenyan

merupakan tanah adat yang diperoleh secara warisan. Kepemilikan lahan

tergolong kepemilikan privat karena diberikan kepada kepala keluarga. Menurut

Ellisworth (2002) bahwa kepemilikan privat merupakan hak yang diberikan

kepada satu orang (individu) suami istri dari satu keluarga, sekelompok orang,

suatu lembaga baik perusahaan swasta ataupun lembaga nirlaba.

Sampai saat ini dari hasil wawancara dengan beberapa responden, tidak

ada sertifikat kepemilikan yang dimiliki oleh petani kemenyan, tetapi bukti

kepemilikan lahan dapat dilihat dari surat keterangan dari kepala desa. Pembuatan

dan penandatanganan surat ini disaksikan oleh komponen dalihan natolu dengan

ahli waris yaitu tulang (hula-hula), amang boru (boru), dan dongan tubu. Selama

ini, belum ada konflik yang timbul karena status kepemilikan lahan yang masih

secara de facto. Menurut Ellisworth (2002) banyak konflik yang terjadi di

Indonesia saat ini akibat dari pembenturan konsep kepemilikan tanah secara de

Jure (menunjukkan kepemilikan formal yang berdasarkan hukum atau peraturan

yang dianggap sah) dan de facto (cara-cara kepemilikan yang dikenal berdasarkan

hukum atau aturan yang telah dipraktikkan selama ini).

Kepemilikan tanah adat yang dipergunakan pada pengelolaan hutan

(50)

secara turun temurun pada setiap generasi. Pembagian tanah yang diwariskan

melalui garis keturunan laki-laki ini masih dilaksanakan dengan sistem

kekerabatan Dalihan Natolu. Pada sistem kekerabatan ini, ketiga komponen

dalihan natolu masing-masing memiliki peran yang berbeda dalam pembagian

lahan yang akan dibagikan. Tulang (hula-hula) merupakan pihak yang memberi

istri kepada keluarga tertentu, amang boru (boru) merupakan pihak yang

mengambil istri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri, dan dongan tubu

berarti saudara kandung atau saudara satu marga.

Dari hasil wawancara dengan beberapa responden, aturan pada pembagian

tanah warisan dalam masyarakat Batak melalui garis keturunan laki-laki masih

tetap dipertahankan. Anak laki-laki berhak menerima tanah warisan yang dibagi

secara merata, tetapi anak perempuan tidak mendapat bagian. Namun, jika dalam

suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki maka tanah lebih baik disewakan

untuk dikelola dengan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang dimaksud adalah

bahwa hasil panen getah dibagi antara pemilik lahan dengan pihak yang

mengusahakan yaitu 2/3 bagi pemilik dan 1/3 bagi yang mengerjakan. Akhirnya,

pengelolaan hutan kemenyan yang dilakukan di desa ini seolah menunjukkan

perbedaan gender atau jenis kelamin dimana laki-laki saja yang berhak jadi ahli

waris dan pengelola kemenyan sedangkan perempuan tidak berhak dan hanya

melakukan pekerjaan lain misalnya bersawah dan mengurus rumah tangga. Hal ini

sudah merupakan aturan adat yang berlaku di desa tersebut. Melihat hal tersebut

maka petani kemenyan desa Sibaganding senantiasa akan tetap mempertahankan

(51)
[image:51.595.139.489.85.222.2]

Gambar 9.Wawancara terhadap Kepala Desa (kiri) dan masyarakat (kanan)

Insentif Ekologis

Insentif ekologis dalam hal ini adalah manfaat yang diperoleh masyarakat

petani kemenyan dari keberadaan hutan kemenyan terhadap lingkungan kawasan

hutan. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden di lokasi

penelitian, petani kemenyan berpendapat bahwa salah satu manfaat dari

penanaman jenis tanaman lain di hutan kemenyan adalah menjaga kelestarian

hutan. Kesuburan tanah di daerah Pahae sangat cocok ditanami tanaman

kemenyan, bahkan tidak dipupuk pun tanaman tersebut bisa tumbuh dan hasilnya

baik.

Topografi lahan kemenyan itu adalah tinggi (pegunungan) serta

ketersediaan lahan yang luas serta tanahnya subur membuat petani ikut

memutuskan untuk menanam karet dan durian di lahan kemenyan tersebut. Alasan

memilih tanaman karet dan durian di lahan kemenyan adalah sebagian besar untuk

menambah pendapatan dan menjaga kelestarian hutan. Hal ini dapat kita lihat

pada tabel di bawah ini. Sejauh ini pun longsor tidak pernah terjadi di kawasan

hutan. Menurut Rahayu (2005) setiap jenis tanaman yang diusahakan pada satu

(52)
[image:52.595.102.525.130.336.2]

Tabel 4. Pendapat Responden tentang pemanfaatan penanaman berbagai jenis tanaman

karet dan durian di Desa Sibaganding Kecamatan Pahae Julu Kabupaten Tapanuli Utara

No Pendapat Jumlah Persentase (%)

1 Menambah pendapatan 17 51.52 2 Memenuhi kebutuhan rumah tangga 1 3.03 3 menjaga kelestarian hutan 8 24.24 4 menjaga kondisi tanah 5 15.15 5 mengisi kekosongan lahan 1 3.03 6 memanfaatkan waktu luang 0 0 7 tidak ada alasan khusus 1 3.03

Jumlah 33 100

Sumber: Data primer penelitian tahun 2009

Jumlah responden dalam penelitian adalah 30 orang. Berdasarkan tabel di

atas, jumlah responden yang memiliki tanaman karet (Hevea brasiliensis) dan

durian (Durio zibethinus) di halaman kemenyan adalah 20 orang, sedangkan 10

orang tidak memiliki kedua tanaman tersebut di lahan kemenyannya. Dari 20

responden , ada sebanyak 5 orang yang memberikan 2 pendapat, 4 orang yang

memberikan 3 pendapat, dan yang memberikan 1 pendapat saja sebanyak 11

responden. Oleh sebab itulah, terdapat 33 jumlah pendapat responden pada

penelitian ini. Ini menunjukkan bahwa masyarakat yang ada di desa Sibaganding

memiliki keinginan yang besar dalam mengelola lahan kemenyan terutama dalam

hal menambah pendapatan dan menjaga kelestarian hutan.

Insentif Budaya

Pada zaman dahulu, menurut adat istiadat setempat pada saat akan

dilakukan penakikan pada pohon pertama, biasanya petani memakan sejenis kue

(53)

artinya melimpah. Memakan Itak Gurgur di dekat pohon pertama yang akan

ditakik merupakan suatu simbol pengharapan bahwa pekerjaan yang akan

dilakukan dapat berjalan dengan lancar, tidak ada gangguan, dan hasilnya juga

akan melimpah. Kebiasaan tersebut menggambarkan bahwa dalam melakukan

suatu pekerjaan maka seseorang dituntut untuk berjiwa optimis dan motivasi yang

tinggi serta tidak lupa berdoa. Selain itu diharapkan pemanenan kemenyan

senantiasa tetap memperhatikan cara-cara yang benar serta panen masih dapat

dilakukan terus pada tahun-tahun berikutnya.

Kebiasaan seperti ini dapat dikatakan telah hilang terutama disebabkan

pengaruh agama Kristen, yang menyatakan bahwa segala sumber berkat dari

segala bentuk usaha yang dilakukan manusia hanya bersumber dari Tuhan dan

tidak ada kaitannya dengan kebiasaan/tradisi yang bersifat spiritual. Dalam hal ini,

meskipun tradisi Itak Gurgur telah ditinggalkan namun spirit dari nilai-nilai

agama juga memberikan nilai positif yang tidak kalah besarnya. Di samping

karena pengaruh agama, tradisi Itak Gurgur tidak lagi dilakukan karena

perkembangan peradaban dan logika sehingga masyarakat menginginkan

pekerjaan yang serba mudah dan praktis.

Norma lainnya yang dianut oleh masyarakat desa Sibaganding berkaitan

dengan pengelolaan hutan kemenyan adalah tidak boleh mencuri apabila

seseorang pergi ke hutan. Pada zaman dahulu, apabila ada yang mencuri

kemenyan maka kelembagaan parpatikan dan kelembagaan adat memberikan

sanksi kepada yang mencuri sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan bersama.

Namun, pada saat sekarang bila terjadi hal seperti itu maka akan terlebih dahulu

(54)

natolu), tapi bila tidak dapat diselesaikan maka Kepala Desa dan pihak yang

berwenang akan turun tangan. Norma ini sangat mendukung terhadap upaya

pelestarian hutan kemenyan karena dengan tidak adanya pencurian atau masalah

lain maka semangat kerja petani akan tetap ada sehingga hutan dikelola sesuai

dengan semestinya.

Keempat insentif tersebut di atas juga didukung oleh penelitian yang

dilakukan oleh Lubis (1996) yang mengkaji penelitian tentang Repong Damar di

Krui Lampung bahwa ada beberapa insentif yang mendasari keputusan petani

dalam pengelolaan lahan hutan yaitu insentif ekonomi, insentif ekologis, insentif

sosial, dan insentif kultural. Adanya hubungan yang simbiosis dan saling terkait

antara keempat insentif tersebut membawa petani pada pandangan bahwa

pengelolaan lahan hutan dengan sistem repong adalah pilihan yang paling

menguntungkan karena setiap fase pengelolaan lahan hutan (darak, kebun, dan

repong) memberikan konrtribusi yang saling mendukung satu sama lin sehingga

resiko kegagalan dalam aktivitas pertanian menjadi minimal.

Disinsentif Yang Mendasari Pengambilan Keputusan Petani Dalam Meninggalkan Pengelolaan Hutan Kemenyan di Desa Sibaganding

Disinsentif Ekonomi

Petani kemenyan yang dulunya pernah meninggalkan kemenyan untuk

sementara waktu akibat menanam cokelat di lahan kemenyan ternyata tidak

bertahan. Hal ini disebabkan tanah di lahan kemenyan tidak cocok ditumbuhi

cokelat. Pertumbuhan cokelat tidak bagus, justru lebih bagus jika ditanam di

(55)

Disiinsentif ekonomi adalah hal-hal yang mendasar keputusan masyarakat

dalam meninggalkan pengelolaan kemenyan seperti yang sudah diketahui bahwa

ternyata pengelolaan kemenyan di desa Sibaganding masih sangat sederhana,

tidak ada budidaya yang baik. Hal ini disebabkan karena tidak ada modal yang

dapat membuat budidaya kemenyan itu semakin baik. Modal yang dimaksud

meliputi tenaga kerja dan waktu. Modal yang sangat kurang membuat tenaga kerja

yang dipakai hanya berasal dari keluarga yang jumlahnya sangat sedikit dan

biasanya adalah kepala keluarga. Keterbatasan tenaga kerja juga mempengaruhi

proses pemanenan dan pengangkutan kemenyan yang memiliki resiko yang cukup

tinggi. Proses pengambilan getah cukup sulit yang dapat menyebabkan waktu

untuk panen menjadi lebih lama. Hal ini mengakibatkan para petani harus

menginap untuk bermalam di hutan selama berminggu-minggu. Biasanya dalam

satu hari, seorang petani bisa mengerjakan 6 batang kemenyan. Jika dilihat dari

jumlah tenaga kerja yang hanya mengandalkan kepala keluarga bisa memakan

waktu yang sangat lama.

Selain tenaga kerja, faktor jarak yang jauh dari tempat pemukiman petani

ke hutan ikut mempengaruhi kegiatan pengelolaan. Lamanya perjalanan ke hutan

dari tempat pemukiman petani menyebabkan petani akan kesulitan membawa

hasil hutan yang banyak sesuai dengan tenaga mereka sendiri. Petani harus

memakan waktu satu hari lamanya perjalanan kaki jika berangkat ke hutan.

Setelah itu mereka pun harus menginap/ bermalam di hutan untuk mengambil

getah kemenyan dari pohonnya. Jalan hutan tidak bisa dilewati kendaraaan.

(56)

bisa merasa tidak serius bahkan tidak semangat pergi ke hutan pada saat harga

kemenyan anjlok/jatuh.

Pada penelitian ini, tidak ada ditemukan disinsentif ekologi, disinsentif

sosial, dan disinsentif budaya yang mendasari keputusan masyarakat dalam

meninggalkan pengelolaan kemenyan. Hal ini sudah jelas disebabkan oleh adanya

insentif ekonomi, ekologi, sosial, dan budaya yang mendasari keputusan petani

dalam pengelolaan kemenyan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Disinsentif ekonomi pun sebenarnya tidak terlalu mempengaruhi mereka dalam

mengambil keputusan untuk meninggalkan pengelolaan kemenyan.

Kontribusi Hutan Kemenya

Gambar

tabel 1.
Tabel 1. Matriks Metodologi Penelitian
Gambar 1.  Kondisi kawasan lokasi Penelitian
Gambar 2. jembatan yang melintasi sungai Batang Toru
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ketentuan mengenai penyimpanan arsip aktif dan inaktif yang telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 145/U/2004 tentang Jadwal Retensi Arsip

Dengan membawa dokumen semua dokumen asli yang diupload pada tahap pemasukan.. dokumen penawaran, serta dokumen-dokumen lain yang dipersyaratkan dalam

[r]

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan literasi wujud variasi bahasa yang terdapat dalam tayangan Kick Andy episode “Ngelmu sampai Mati”. Metode yang digunakan

The Rainforest Alliance works to conserve biodiversity and ensure sustainable livelihoods by transforming land-use practices, business practices and consumer behavior. The

Pengetahuan dan keterampilan petugas dalam melakukan skoring sangat penting dalam pelaksanaan penjaringan suspek tuberkulosis anak, karena skoring adalah sistem

Perlakuan konsentrasi giberelin berpengaruh nyata terhadap parameter persentase potensi tumbuh, persentase benih mati dan indeks vigor. Interaksi lama pemanasan