FUNGSI DAN PERANAN LEMBAGA BADAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN (BPOM) DALAM PERLINDUNGAN
KONSUMEN TERHADAP MAKANAN YANG MENGANDUNG ZAT BERBAHAYA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
DAULAT SIANTURI 070200093
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2011
FUNGSI DAN PERANAN LEMBAGA BADAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN (BPOM) DALAM PERLINDUNGAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
DAULAT SIANTURI 070200093
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
Disetujui Oleh :
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Dr. Hasim Purba, S.H.,M.Hum. Nip. 196603031985081004
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
ABSTRAKSI
Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat diwujudkan. Demikian pentingnya masalah perlindungan konsumen di Indonesia, maka dikeluarkan suatu peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Undang-undang Perlindungan Konsumen dikenal dengan UUPK. Perlindungan konsumen dalam bidang kesehatan merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh konsumen dalam memperoleh produk makanan yang dapat terjamin untuk kesehatan, dimana produk makanan yang beredar tersebut telah diawasi oleh suatu instansi yang dapat bertanggung jawab atas pengawas makanan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan instansi yang ditunjuk oleh pemerintah dalam melakukan pengawasan makanan, sehingga pelaku usaha yang beritikad baik untuk dapat mengedarkan makanan terrsebut harus mendaftarkan produk makanan tersebut kepada BPOM.
Permasalahan yang akan dibahas adalah pertama, bagaimana pengawasan Badan POM terhadap kelayakan dan keamanan produk makanan. Kedua, bagaimana pemerintah (BPOM) berperan untuk melindungi konsumen terhadap makanan yang mengandung zat berbahaya. Kedua, upaya hukum apa saja yang dapat dilakukan konsumen akibat kerugian dalam penggunaan makanan yang mengandung zat berbahaya.
Penulis memperoleh data-data dan bahan-bahan mengenai permasalahan yang dibahas, penulis melakukan Penelitian Kepustakaan (Library Research) yaitu memperoleh bahan-bahan melalui sumber-sumber bacaan atau bahan-bahan tertulis sebagai data yang bersifat teoretis ilmiah atau data sekunder. Penulis juga melakukan penelitian yang bersifat empiris yaitu memperoleh data secara langsung dan melakukan studi berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Karya ilmiah dalam bentuk skripsi merupakan salah satu syarat yang harus
dipenuhi untuk memenuhi gelar Sarjana Hukum, maka harus melengkapi syarat
tersebut dengan judul skripsi yang berjudul : “ Fungsi Dan Peranan Badan
Pengawasan Obat Dan Makanan (BPOM) Dalam Perlindungan Konsumen Terhadap Makanan Yang Mengandung Zat Berbahaya”.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari masih banyak terdapat
kekurangan di dalamnya, baik dari segi isi maupun dari segi penulisannya. Penulis
juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar kiranya tulisan ini
dapat lebih sempurna nantinya.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H, DFM, selaku Pembantu Dekan II
4. Muhammad Husni, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I penulis
yang telah berkenan membimbing dan mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Zulkarnain Mahfudz, S.H., CN, selaku Dosen Pembimbing II penulis
yang telah memberikan saran dalam penulisan skripsi ini.
8. Suria Ningsih, S.H., M.Hum, selaku Dosen Wali yang selama ini telah
memberikan saran kepada penulis dalam setiap kegiatan akademik.
9. Dra. Zenda Kita Barus, Apt., Kepala Bidang Pengaduan Konsumen
yang mewakili Kepala Balai Besar POM di Medan yang telah membantu
penulis dalam mendapatkan informasi dan data selama mengadakan riset.
10.Buat teman-teman Stambuk 2007, Aris Ginting, Ismed Tampubolon,
Andrianto Pasaribu dan teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan
namanya satu persatu yang telah membantu penulis selama kuliah di
Fakultas Hukum USU ini.
11.Terkhusus Skripsi ini kupersembahkan kepada Keluargaku Tercinta:
Bapak J. Sianturi, Mama L. Rambe, Abang ku Mulatua Sianturi dan
Adek-adek ku Bangkit Sianturi, Mangapul Sianturi, Lisbet Sianturi.
12.Kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat penulis
Akhir kata penulis berharap skripsi ini berguna bagi semua pihak. Dan
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya jika terdapat kesalahan dalam
penulisan skripsi ini.
Medan, September
2011
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
ABSTRAKSI ... iii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 2
B. Perumusan Masalah... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 9
D. Keaslian Penulisan ... 10
E. Tinjauan Kepustakaan 10 F. Metode Penelitian... 11
G. Sistematika Penulisan 12 BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN ... 14
A. Pengertian Konsumen dan Perlindungan Konsumen ... 15
B. Latar Belakang Lahirnya Hukum Perlindungan Konsumen... 21
C. Hak dan Kewajiban Konsumen 27 D. Hak dan Kewajiban Produsen 37 E. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen 42 BAB III : GAMBARAN UMUM TENTANG LEMBAGA BADAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN (BPOM) ... 52
A. Pengertian Badan Pengawas Obat dan Makanan ... 52
B. Latar Belakang dan Sejarah terbentuknya Badan Pengawas Obat dan Makanan ... 53
C. Kedudukan, Tugas dan Wewenang Badan Pengawas Obat dan Makanan 60 D. Pengawasan Badan Pengawasan Obat dan Makanan terhadap Kelayakan dan Keamanan Produk Makanan... 66
1. Fungsi Organ Badan POM sebagai Pengawas ... 66
A.Zat Berbahaya dalam Makanan ... 79
1. Jenis-jenis Zat Berbahaya dalam Makanan ... 79
2. Akibat Penggunaan Zat Berbahaya dalam Makanan bagi Kesehatan 81
B. Fungsi dan Peranan BPOM dalam Perlindungan Hukum Konsumen terhadap Makanan yang Mengandung Zat Berbahaya
83
C. Perlindungan Hukum Konsumen terhadap Makanan yang Mengandung Zat Berbahaya Ditinjau dari UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
85
D. Upaya Hukum yang Dilakukan Konsumen Akibat Penggunaan Zat Berbahaya dalam Makanan
90
BAB V : PENUTUP ... 99
A. Kesimpulan ... 99 B. Saran
100
ABSTRAKSI
Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat diwujudkan. Demikian pentingnya masalah perlindungan konsumen di Indonesia, maka dikeluarkan suatu peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Undang-undang Perlindungan Konsumen dikenal dengan UUPK. Perlindungan konsumen dalam bidang kesehatan merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh konsumen dalam memperoleh produk makanan yang dapat terjamin untuk kesehatan, dimana produk makanan yang beredar tersebut telah diawasi oleh suatu instansi yang dapat bertanggung jawab atas pengawas makanan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan instansi yang ditunjuk oleh pemerintah dalam melakukan pengawasan makanan, sehingga pelaku usaha yang beritikad baik untuk dapat mengedarkan makanan terrsebut harus mendaftarkan produk makanan tersebut kepada BPOM.
Permasalahan yang akan dibahas adalah pertama, bagaimana pengawasan Badan POM terhadap kelayakan dan keamanan produk makanan. Kedua, bagaimana pemerintah (BPOM) berperan untuk melindungi konsumen terhadap makanan yang mengandung zat berbahaya. Kedua, upaya hukum apa saja yang dapat dilakukan konsumen akibat kerugian dalam penggunaan makanan yang mengandung zat berbahaya.
Penulis memperoleh data-data dan bahan-bahan mengenai permasalahan yang dibahas, penulis melakukan Penelitian Kepustakaan (Library Research) yaitu memperoleh bahan-bahan melalui sumber-sumber bacaan atau bahan-bahan tertulis sebagai data yang bersifat teoretis ilmiah atau data sekunder. Penulis juga melakukan penelitian yang bersifat empiris yaitu memperoleh data secara langsung dan melakukan studi berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan modrenisasi mencakup dalam bidang kesehatan yang dapat
menghasilkan kepuasan hidup serta kegairahan dalam meningkatkan produktifitas
masyarakat. Dalam menghadapi tantangan bagi bangsa Indonesia pada jangka
panjang kedua adalah meningkatkan kesejahteraan agar dapat mewujudkan
keadilan, kemajuan, kemakmuran dan kemandirian bagi masyarakat. Selain itu
masyarakat Indonesia mempunyai tujuan untuk membangun manusia seutuhnya,
yakni terpenuhinya seluruh kebutuhan bangsa Indonesia, baik kebutuhan jasmani
dan rohani termasuk kesehatan. Untuk mencapai tujuan itu maka segala kegiatan
pembangunan yang dilakukan di negara ini harus transparan dan transparansi itu
akan memacu setiap orang untuk bersaing secara kuat dan sehat. Transparansi itu
juga akan memberikan begitu banyak tantangan, tantangan bagi konsumen,
produsen, pengusaha ataupun sebagai pemerintah.
Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh
karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat
mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan
hubungan berbagai dimensi yang satu dengan yang lainnya mempunyai
keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen, pengusaha dan
pemerintah.
Menurut Undang-undang RI No 8 Tahun 1999, yang dimaksud dengan
perlindungan konsumen adalah “segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hokum untuk memberi perlindungan kepada konsumen” sedangkan
yang dimaksud dengan konsumen adalah “ setiap orang pemakai barang atau
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan”.
Pelaku usaha adalah
Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang didirikan atau berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi1
1) Berapa harga suatu produk ? .
Menurut buku “ Menggeser Neraca Kekuatan” (panduan latihan
pendidikan konsumen terbitan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, YLKI)
1990 ada empat hal yang harus diperhatikan konsumen, yaitu :
Pertama, dari aspek ekonomi mikro. Disini ada beberapa pertanyaan, seperti :
2) Apakah harga itu wajar jika dibandingkan dengan barang yang sama mutu
dan jumlahnya?
3) Apakah ada barang pengganti sejenis yang lebih murah, lebih sehat dan
dapat diperoleh ditempat yang sama ?
1
Kedua, dari aspek lingkungan. Apakah kemasan, baik berupa botol atau
kaleng produk tercemar secara kimia dan biologis atau tidak ? Juga apakah
kemasan produk tersebut menggunakan secara boros bahan baku yang langka dan
merusak lingkungan hidup ?
Ketiga, dari aspek hukum. Ada sejumlah pertanyaan :
1) Soal legalitas produk tersebut. Artinya apakah produk tersebut sudah
terdaftar pada instansi terkait ?
2) Jika konsumen tidak puas dengan tersebut, dapatkah dikembalikan kepada
penjual/ produsen ?
3) Jika isinya kurang dari yang seharusnya, sudikah produsen/ penjual
memberikan ganti rugi kepada konsumen ?
4) Apakah pelabelan dan iklan produk tersebut sudah sesuai dengan
peraturan yang berlaku ?
Keempat, dari aspek kesehatan dan keamanan. Seperti apakah produk
tersebut. Mengandung bahan berbahaya yang dapat mengganggu kesehatan
konsumen?
Dari sisi kepentingan konsumen keempat sudut pandang tersebut apabila
dipraktekkan, sudah memberi proteksi yang memadai bagi konsumen. Namun
dalam perkembangan gerakan konsumen global, konsumen dituntut tidak hanya
secara mandiri dapat melindungi diri, tetapi secara internal peduli terhadap
masalah yang lebih luas2
2
Sudaryatno, hukum dan advokasi konsumen, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal 1
Sebagai suatu konsep “konsumen” telah diperkenalkan beberapa puluh
tahun lalu di berbagai negara dan sampai saat ini sudah puluhan Negara memiliki
undang-undang atau peraturan khusus yang memberikan perlindungan kepada
konsumen termasuk menyediakan sarana peradilannya. Sejalan dengan itu,
berbagai Negara telah pula menetapkan hak-hak konsumen yang digunakan
sebagai landasan pengaturan perlindungan kepada konsumen. Secara umum
dikenal ada empat hak dasar konsumen, yaitu :
1. Hak untuk mendapatkan keamanan ( the right to safety )
2. Hak untuk mendapatkan informasi ( the right to be informed )
3. Hak untuk memilih ( the right to choose )
4. Hak untuk didengar ( the right to be heard )3
Disamping itu pula telah berdiri organisasi konsumen internasional, yaitu
Internasional Organization of Consumer Union (IOCU). Di Indonesia telah pula
berdiri berbagai organisasi konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) di Jakarta dan organisasi instrument lain di Bandung,
Yogyakarta, Surabaya, dan lain sebagainya. Demikian pentingnya masalah
perlindungan konsumen, maka melalui Tap MPR Nomor II/MPR/1993 senantiasa
dicantumkan pentingnya perlindungan kepada konsumen. Hal ini merupakan salah
satu konsistensi untuk tetap memperjuangkan kepentingan konsumen Indonesia.
Untuk memberikan perlindungan keamanan, keselamatan, atau kesehatan
kepada rakyat Indonesia saat ini dapat dijumpai dalam berbagai undang-undang,
peraturan pemerintah dan berbagai peraturan/ atau keputusan menteri dari
3
berbagai departemen yang ada di Indonesia dimana perlindungan itu dapat dilihat
dari 2 (dua) aspek, yaitu :
a. Perlindungan tersebut berlaku untuk semua pihak yang berposisi sebagai
konsumen maupun pengusaha sebagai pengelola produksi barang atau jasa
atau instansi apapun.
b. Perlindungan tersebut semata-mata dikaitkan dengan masalah kesehatan
manusia atau apapun kepada konsumen yang dirugikan.
Dilihat dari segi konsep perlindungan konsumen, peraturan
perundang-undangan yang disebutkan dibawah ini belum mampu memberikan perlindungan
khusus kepada konsumen. Ketentuan-ketentuan hukum yang ada dan berlaku itu
adalah :
a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 202, 203, 204, 205,
263, 266, 284, 364, dan lain sebagainya. Pasal-pasal tersebut mengatur
pemidanaan dari perbuatan-perbuatan :
1. Memasukkan bahan berbahaya kedalam sumber air minum umum
2. Menjual, menerima, atau membagikan barang yang dapat
membahayakan jiwa atau kesehatan orang.
3. Memalsukan surat.
4. Melakukan persaingan curang.
5. Melakukan penipuan kepada pembeli.
6. Menjual, menawarkan atau menyerahkan makanan, minuman,
obat-obatan palsu.
b. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1473-1512 ; Pasal
perlindungan kepada pembeli dan perlindungan kepada pihak-pihak yang
terkait dalam perjanjian.
c. Ordonansi bahan-bahan berbahaya tahun 1949 (Sterkwerkende Geneesmiddelen Ordonnantie 1949)
Ordonansi yang menentukan larangan untuk setiap pemasukan,
perbuatan, pengangkutan, persediaan, penjualan, penyerahan, penggunaan,
dan pemakaian bahan berbahaya yang bersifat racun atau berposisi
terhadap kesehatan manusia.
d. Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada pemerintah
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan. Undang-undang ini
merupakan landasan untuk mengatur hal-hal seperti pengawasan produksi
yang baik dan lain sebagainya. Sebagai pengganti dari berbagai
undang-undang yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan manusia.
e. Undang-undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal
Kewenangan kepada pemerintah untuk mengelola standar-standar
satuan, pelaksanaan tera dan tera ulang terhadap setiap alat ukur, takar,
timbangan, dan perlengkapannya, termasuk kegiatan pengawasan,
penyidikan serta pengenaan sanksi terhadap pihak-pihak yang didalam
melakukan setiap transaksi menggunakan satuan alat ukur yang tidak
benar.
f. Peraturan perundang-undangan yang maksudnya memberikan
perlindungan dan dalam bentuk Keputusan atau Peraturan Menteri, dapat
makanan dan minuman, wajib daftar makanan, makanan daluarsa, bahan
tambahan makanan, penandaan, label, dan sebagainya4
Untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen dan mendorong
pelaku usaha untuk menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh tanggung
jawab maka dibuatlah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan : .
a. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
keterbukaan akses dan informasi serta menjamin kepastian hukum.
b. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan
seluruh pelaku usaha.
c. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa.
d. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang
menipu dan menyesatkan.
e. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan, dan pengaturan
perlindungan konsumen dengan bidang perlindungan pada
bidang-bidang lain5
Keperluan adanya hukum untuk memberikan Perlindungan Konsumen
Indonesia merupakan suatu hal yang tidak dapat dielakkan, sejalan dengan salah
satu tujuan pembangunan nasional kita yaitu melindungi bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia (pembukaan UUD 1945 alinea IV). Membahas
keperluan hukum untuk memberikan perlindungan bagi konsumen Indonesia,
hendaknya terlebih dahulu kita melihat situasi peraturan perundang-undangan
Indonesia, khususnya peraturan atau keputusan yang memberikan perlindungan .
4
bagi masyarakat. Sehingga bentuk hukum perlindungan konsumen yang
ditetapkan, sesuai dengan yang diperlukan bagi konsumen Indonesia dan
keberadaannya tepat apabila diletakkan didalam kerangka sistem hukum nasional.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan judul skripsi ini yaitu mengenai “ Fungsi Dan Peranan Lembaga
Badan Pengawas Obat Dan Makanan Yang Mengandung Zat Berbahaya” maka
perlu dilakukan perumusan masalah yang menjadi judul skripsi ini.
Persoalan yang akan dibahas, dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana pemerintah (BPOM) berperan untuk melindungi konsumen
terhadap makanan yang mengandung zat berbahaya.
2. Upaya hukum apa saja yang dapat dilakukan konsumen akibat kerugian dalam
penggunaan makanan yang mengandung zat berbahaya.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan pembahasan dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui manfaat Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen dapat berperan melindungi masyarakat
khususnya konsumen.
2. Untuk mengetahui hal-hal yang menjadi pedoman bagi pelaku usaha/
produsen dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
3. Untuk mengetahui akibat hukum yang dapat terjadi apabila terjadi
pelanggaran atas peraturan yang berlaku.
5
4. Untuk mengetahui hal-hal yang harus dilakukan oleh pelaku usaha/
produsan agar tidak melakukan pelanggaran hukum.
Manfaat penulisan yang dapat dikutip dari skripsi ini antara lain :
1. Memberikan informasi khususnya kepada masyarakat tentang
perlindungan hukum yang menjadi hak-haknya sebagai konsumen.
2. Menambah pengetahuan mengenai tanggung jawab hukum sebagai pelaku
usaha/ produsen dalam melaksanakan kegiatan usahanya
3. Memberi masukan/ saran-saran terhadap Undang-undang Perlindungan
Konsumen
4. Menanbah referensi tentang Hukum Perlindungan Konsumen di Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
D. Keaslian Penulisan
Fungsi dan Peranan Lembaga Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) dalam Perlindungan Konsumen terhadap Makanan yang Mengandung
Zat Berbahaya diangkat kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara. Tema diatas didasarkan oleh ide, gagasan, pemikiran, referensi, buku-buku
dan pihak-pihak lain. Judul tersebut belum pernah ditulis di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara sebelumnya.
Sepengetahuan penulis, skripsi ini belum pernah ada yang membuat.
Kalaupun ada, penulis yakin bawasanya substansi pembahasannya adalah
berbeda. Sebagai contoh skripsi yaitu : Freddy Evenggelista / 020200088,
Perlindungan hukum konsumen terhadap obat-obatan yang beredar di masyarakat
Dengan demikian maka keaslian penulisan skripsi ini dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E. Tujuan Kepustakaan
Istilah konsumen berasal dari kata Consumers (Inggris-Amerika atau
Consument/ konsumen (Belanda)6. Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen7. Ada juga yang memberi batasan,
bahwa konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa
digunakan untuk tujuan tertentu8
Hukum Konsumen menurut Az Nasution adalah: “Keseluruhan asas-asas
dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyedia dan
penggunaan produk (barang dan jasa) antara penyedia dan penggunanya dalam
kehidupan masyarakat”. Sedangkan batasan berikutnya adalah batasan Hukum
Perlindungan Konsumen, yaitu : “ keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang
mengatur dan melindungi konsumen dalam penyedia dan penggunanya dalam
kehidupan masyarakat”
.
9
F. Metode Penulisan
.
1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan dikota Medan di Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) kota Medan
2. Sifat dan Jenis Penelitian
6
Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Diadit Media, Jakarta Pusat, 2002, hal 3 7
John M. Eshols & Hasan Sadly, kamus Inggris-Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1996, hal 124 8
Az. Nasution, Op Cit, hal 13 9
Sifat penelitian ini adalah deskriftif dimana penulis berupaya untuk
menggambarkan sifat hubungan hukum secara normatif dalam fungsi dan
peranan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam perlindungan
konsumen terhadap makanan yang mengandung zat berbahaya
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi Kepustakaan
Untuk memperkuat dasar penelitian, maka terlebih dahulu
dikumpulkan dan dibaca referensi yang relevan melalui peraturan
Perundang-undangan, Buku-buku bacaan, koran, majalah. Setelah
data terkumpul maka langkah selanjutnya adalah menyeleksi
data-data yang layak untuk dipergunakan dalam penulisan skripsi ini.
b. Studi Lapangan
Studi lapangan yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan
data-data yang relevan dengan penulisan skripsi.
4. Teknik Analisa Data
Pengelolaan dan analisa data dilakukan dengan metode kualitatif.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibagi 5 (lima) bab, dimana masing-masing bab dibagi
lagi atas beberapa sub bab. Uraian singkat atas bab-bab dan sub-sub bab tersebut
akan diuraikan sebagai berikut :
1. Bab Pertama merupakan Bab Pendahuluan yang menguraikan tentang latar
penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika
penulisan.
2. Bab Kedua merupakan bab yang berisi tentang Tinjauan Umum tentang
Konsumen dan Perlindungan Konsumen berdasarkan UU Nomor 8 Tahun
1999. Dalam bab ini penulis menguraikan mengenai sub bab seperti :
pengertian konsumen dan perlindungan konsumen, latar belakang lahirnya
hukum perlindungan konsumen, hak dan kewajiban konsumen, hak dan
kewajiban produsen, asas dan tujuan perlindungan konsumen.
3. Bab Ketiga merupakan bab yang menguraikan tentang Gambaran Umum
tentang Lembaga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Bab ini
terdiri dari beberapa sub bab seperti : pengertian badan pengawas obat dan
makanan, latar belakang dan sejarah terbentuknya badan pengawas obat
dan makanan, kedudukan, tugas dan wewenang badan pengawas obat dan
makanan, pengawasan dadan pengawas obat dan makanan terhadap
kelayakan dan keamanan produk makanan yang meliputi fungsi organ
badan POM sebagai pengawas dan cakupan pengawasan yang dilakukan
oleh badan POM.
4. Bab Keempat merupakan bab yang menguraikan tentang zat berbahaya
dalam makanan yang meliputi jenis-jenis zat berbahaya dalam makanan
dan akibat penggunaan zat berbahaya dalam makanan bagi kesehatan,
fungsi dan peranan lembaga dan pengawasan obat dan makanan (BPOM)
dalm perlindungan konsumen terhadap makanan yang mengandung zat
mengandung zat berbahaya serta upaya hukum yang dilakukan onsumen
BAB II
TINJAUAN UMUMTENTANG KONSUMEN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN BERDASARKAN UU NO. 8 TAHUN 1999
Ruang lingkup hukum perlindungan konsumen sulit dibatasi hanya dengan
menampungnya dalam satu jenis undang-undang, seperti Undang-undang tentang
Perlindungan Konsumen. Hukum Perlindungan Konsumen selalu berhubungan
dan berinteraksi dengan berbagai bidang dan cabang hukum lain, karena pada tiap
bidang dan cabang hukum itu senantiasa terdapat pihak yang berkedudukan
sebagai “ konsumen”. Dengan memahami pengertian konsumen, maka perbedaan
antara hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen, antara hak-hak
pokok dari konsumen dan keterkaitan hukum perlindungan konsumen dengan
bidang-bidang hukum lain dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang
hukum perlindungan konsumen.10
Batasan (defenisi) selalu diperlukan untuk memperjelas ruang lingkup dan
pegangan dalam pembahasan pokok permasalahan. Sekalipun disadari akan
terdapat kekurangan-kekurangan tertentu yang tidak dihindarkan, maka dengan
mengikuti pendapat Prof. Mochtar Kusuatmadja, batasan hukum konsumen adalah
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan
masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/ atau
jasa konsumen di dalam pergaulan hidup.11
Asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan
masalah konsumen itu terdapat di dalam berbagai bidang hukum, baik tertulis
maupun tidak tertulis; antara lain hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana,
hukum administrasi (negara) dan hukum internasional, terutama
konvensi-10
Shidarta, Op. Cit, hal 1 11
konvensiyang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan konsumen. Dengan
demikian, segala asas dan atau kaidah hukum positif kita berlaku pula pada
hubungan-hubungan hukum dan masalah-masalah yang berkaitan dengan
konsumen. Terhadap hubungan hukum antar tata hukum itu, Undang-undang
Perlindungan Konsumen mengaturnya dalam Pasal 64 yang berbunyi:
“ Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan
melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini
diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara
khusus dan/ atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
undang-undang ini.”12
A. Pengertian Konsumen dan Perlindungan Konsumen
Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) telah diberikan suatu defenisi konsumen,
konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun
mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Rumusan mengenai
konsumen ini sangat beraneka ragam, seperti halnya di Perancis, defenisi
konsumen mengandung dua unsur, yaitu (1) konsumen hanya orang, dan (2)
barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan pribadi atau keluarga. Di
Spanyol, pengertian konsumen didefinisikan secara lebih luas, bahwa konsumen
diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi
pembeli atau pemakai terakhir. Dalam Undang-undang perlindungan konsumen
12
India dinyatakan, konsumen adalah setiap orang (pembeli) atas barang yang
disepakati, menyangkut harga dan cara pembayarannya, tetapi tidak termasuk
mereka yang mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan
komersial13
Pengertian konsumen bukan hanya beraneka ragam, tetapi juga merupakan
pengertian yang luas, seperti yang dilukiskan secara sederhana oleh mantan
Presiden Amerika Serikat, Jhon F. Kennedy dengan mengatakan, “Consumers by
defenition Include us all”
.
14
1. Setiap orang
. Meskipun beraneka ragam dan luas, dapat juga
diberikan unsur tehadap definisi konsumen, yaitu:
Disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berperan sebagai pemakai
barang dan/ atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya tidak membatasi pengertian
konsumen itu sebatas pada orang perseorangan, namaun konsumen juga harus
mencakup badan usaha, dengan makna luas daripada badan hukum. Dalam UUPK
digunakan kata “pelaku usaha”.
2. Pemakai
Konsumen memang tidak sekedar pembeli, tetapi semua orang
(perorangan atau badan usaha) yang mengkonsumsi jasa dan/ atau jasa barang.
Jadi yang paling penting terjadinya transaksi konsumen berupa peralihan barang
dan/ atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya.
3. Barang dan/ atau jasa
Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) mengartikan barang
sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak
13
Ibid, hal 3 14
maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan,
yang dapat dipergunakan, dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen.
4. Yang tersedia dalam masyarakat
Barang dan/ atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus
tersedia di pasar. Dalam perdagangan yang semakin kompleks dewasa ini, syarat
itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen.
5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, mahluk hidup lain
ransaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, dan mahluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu
mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak
sekedar ditujukan untuk diri sendiri, keluarga, tetapi juga barang dan/ atau jasa itu
diperuntukkan bagi orang lain (diluar diri sendiri dan keluarganya).
6. Barang dan/ atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan
Batasan ini terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup
pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataannya sulit untuk menetapkan
batas-batas seperti itu.
Dalam pengertian masyarakat umum saat ini, bahwa konsumen itu adalah
pembeli, penyewa, nasabah (penerima kredit) lembaga jasa perbankan atau
asuransi penumpang angkutan umum atau pada pokok langganan dari pada
pengusaha15
15
Az. Nasution, Konsumen Dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal 68
. Pengertian masyarakat ini tidaklah salah, sebab secara yuridis,
dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata, terdapat subjek-subjek hukum
dalam hukum perikatan yang bernama pembeli, penyewa, peminjam-pakai, dan
Konsumen (sebagai alih bahasa dari consumer ), secara harafiah berarti
seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa seseorang/sesuatu
perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu juga
suatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang.
Ada pula yang memberikan arti lain, yaitu konsumen adalah setiap orang yang
menggunakan barang atau jasa16
a. Undang-undang Barang .
Dalam hukum positif kita, terlihat pengertian konsumen digunakan
berbagai istilah-istilah, beberapa diantaranya yaitu:
Dari Undang-undang Barang ini, terlihat dua hal:
1. Rakyat yang ingin dijaga kesehatan atau keselamatan (tubuhnya) dan
keamanan (jiwanya) dari barang/atau jasa yang mutunya kurang atau tidak
baik.
2. Mengatur tentang mutu, susunan barang dan bungkusan barang dagangan.
Pengaturan mutu, susunan bahan dan pembungkusan barang tentulah
ditujukan pada pelaku usaha yang mempunyai kegiatan mengenai
pembuatan atau pembungkusan barang tersebut.
b. Undang-undang Kesehatan
Undang-undang kesehatan ini menggunakan istilah konsumen untuk
pemakai, pengguna barang dan/ atau jasa pemanfaatan jasa kesehatan. Untuk
maksud itu digunakan berbagai itilah, antara lain istilah setiap orang, masyarakat.
c. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
16
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, terdapat berbagai istilah
yang perlu diperhatikan, antara lain istilah pembeli, penyewa, penerima hibah,
peminjam pakai, peminjam dan sebagainya.
d. Penyelenggaraan studi baik yang bersifat akademis, maupun tujuan
mempersiapkan dasar-dasar penerbitan suatu peraturan perundang-undangan
tentang perlindungan konsumen, antara lain :
1. Badab Pembinaan Hukum Nasional – Departemen Kehakiman (BPKN),
menyusun batasan tentang konsumen akhir, yaitu pemakai akhir dari
barang yang digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain, dan
tidak untuk diperjualbelikan.
2. Batasan konsumen dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
Pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk
diperdagangkan kembali.
3. Sedang dalam naskah akademis yang dipersiapkan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia bekerjasama dengan Departemen Perdagangan
Republik Indonesia, berbunyi konsumen adalah setiap orang atau keluarga
yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk
diperdagangkan17
Sebagai suatu konsep, konsumen telah diperkenalkan beberapa puluh
tahun yang lalu di berbagai Negara dan sampai saai ini sudah puluhan Negara
memiliki undang-undang atau peraturan yang khusus memberikan perlindungan
kepada konsumen termasuk penyediaan sarana peradilannya. Sejalan dengan .
17
perkembangan itu, berbagai Negara telah pula menetapkan hak-hak konsumen
yang digunakan sebagai landasan pengaturan perlindungan kepada konsumen,
maka dalam Garis-garis Besar Haluan Negara senantiasa dicantumkan perlunya
dilakukan perlindungan kepada konsumen. Sebagaimana disebutkan dimuka
melalui Tap MPR Nomor II/MPR/1993 tetap mencantumkan pentingnya
perlindungan kepada konsumen. Hal ini merupakan salah satu bukti konsisten
untuk tetap memperjuangkan kepentingan konsumen Indonesia. Alasan yang
dikemukakan untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan yang secara
khusus mengatur dan melindungi kepentingan konsumen dan disebutkan sebagai
berikut:
1. Konsumen memerlukan pengaturan tersendiri, karena dalam suatu hubungan
hukum dengan penjual, konsumen merupakan pengguna barang dan jasa untuk
kepentingan diri sendiri dan tidak untuk di produksi atau untuk diperdangkan.
2. Konsumen memerlukan sarana atau acara hukum tersendiri seperti acara
hukum tindak pidana korupsi dengan adanya hal tersebut dapat sebagai upaya
melindungi konsumen untuk memperoleh haknya.
Dari pengertian mengenai konsumen, ada hal yang penting yang menjadi
pokok keperluan konsumen, yaitu bahwa konsumen memerlukan produk yang
aman bagi kesehatan tubuh atau keamanan jiwa, serta pada umumnya untuk
kesejahteraan keluarga atau rumah tangganya, karena hal itu diperlukan
kaidah-kaidah hukum yang menjamin syarat-syarat aman setiap produk konsumen bagi
konsumsi manusia, dilengkapi dengan informasi yang benar, jujur, dan
B. Latar Belakang Lahirnya Hukum Perlindungan Konsumen
Petaka yang menimpa konsumen Indonesia sering sekali terjadi. Selama
beberapa dasawarsa sejumlah peristiwa penting yang menyangkut keamanan
konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa, mencuat kepermukaan sebagai
keprihatinan nasional yang tidak kunjung mendapat perhatian dari sisi
perlindungan konsumen, padahal saat ini kurang lebih 210 juta penduduk
Indonesia tidak akan mungkin dapat meninggalkan predikat konsumen.
Diundangkannya UUPK pada tanggal 20 April 1999 oleh Pemerintahan transisi
(Kabinet Reformasi Pembangunan) Presiden B.J. Habibie tampaknya diiringi
dengan harapan terwujudnya wacana baru hubungan konsumen dengan pelaku
usaha (produsen, distributor, pengecer/ pengusaha, perusahaan dan sebagainya)
dalam milenium baru.
Kritik dan berbagai keluhan terhadap berbagai pihak terhadap penegakan
hukum dan perlindungan hukum bagi yang lemah menjadi referensi utama dalam
perumusan norma-norma perlindungan konsumen dalam undang-undang baru itu.
Seperangkat norma-norma hukum baru, termasuk perumusan tindakan pidana/
delik baru berusaha menjawab kekaburan norma-norma perlindungan konsumen
dan institusi-institusi perlindungan konsumen.
Sebelumnya berlakunya UUPK, konsumen dapat memperjuangkan
kepentingan-kepentingan hukumnya dengan memanfaatkan instrumen-instrumen
pokok (hukum perdata, hukum pidana, hukum dagang, hukum acara perdata,
hukum acara pidana, hukum internasional), meskipun secara empiris itu tidak
begitu meningkatkan martabat konsumen, apalagi mengayomi konsumen.
konsumen tidak dilindungi sama sekali, betapapun lemahnya
instrument-instrument hukum pokok.
Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen
yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur dan juga
mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Secara universal
berbagai hasil penelitian dan pendapat para pakar, ternyata konsumen umumnya
berada pada posisi yang lebih lemah dalam hubungan dengan pengusaha, baik
secara ekonomis, tingkat pendidikan maupun kemampuan daya bersaing.
Kedudukan konsumen ini, baik yang bergabung dalam suatu organisasi, apalagi
secara individu, tidak seimbang dibandingkan dengan kedudukan pengusaha.
Oleh karena itu, untuk menyeimbangkan kedudukan tersebut dibutuhkan
perlindungan konsumen. Adapun pokok-pokok dan pedomannya telah termuat
dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993 .
Disamping itu beberapa materi tertentu secara seporadis termuat di dalam
peraturan perundang-undangan sebenarnya ditujukan untuk keperluan lain dari
mengatur dan/ atau melindungi kepentingan konsumen sejalan dengan batasan
hukum konsumen. Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan pada
hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam
kedudukan sosial ekonomi, daya saing maupun tingkat pendidikan. Rasionya
adalah sekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka yang berkedudukan seimbang
demikian, maka mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan dan
menegakkan hak-hak mereka yang sah.
Hukum Perlindungan Konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak
seimbang. Merupakan kenyataan bahwa kedudukan konsumen yang berjumlah
besar baik secara kelompok maupun individu sangat lemah dibandingkan dengan
para penyedia barang atau jasa swasta maupun pemerintah (publik). Di
Negara-negara yang sekarang ini disebut Negara-Negara-negara maju telah menempuh
pembangunan melalui tiga tingkat: unifikasi, industrialisasi dan Negara
kesejahteraan.
Pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/ sendiri maupun berkelompok
bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu
produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi
yang menunjukkan adanya berbagai kelemahan pada konsumen sehingga
konsumen tidak mempunyai kedudukan yang aman. Oleh karena itu secara
mendasar konsumen juga membutuhkan perlindungan hukum yang sifatnya
universal juga. Mengingat lemahnya kedudukan konsumen pada umumnya
dibandingkan dengan kedudukan produsen yang lebih kuat dalam banyak hal,
maka hal perlindungan konsumen selalu penting untuk dikaji. Perlindungan
terhadap konsumen dipandang secara materil maupun formal makin terasa sangat
penting, mengingat makin majunya teknologi yang merupakan motor penggerak
bagi produktivitas dan efesiensi produsen atas barang dan jasa yang dihasilkannya
dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai
kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung maupun tidak langsung, maka
konsumenlah yang pada umumnya merasakan dampaknya. Dengan demikian
upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai segera dicari
solusianya, terutama Indonesia, mengingat sedemikian kompleksnya
Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas, dengan strata yang
sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan
distribusi produk barang atau jasa dengan cara-cara yang seefektif mungkin agar
dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu semua cara
pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak,
termasuk keadaan yang menjurus kepada tindakan yang bersifat negatif bahkan
tidak tepuji yang berawal dari etika buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi,
antara lain kualitas atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan
menyesatkan, pemalsuan dan sebagainya. Beranjak dari situasi yang sedemikian
komplit maka perlindungan terhadap konsumen juga membutuhkan pemikiran
yang luas pula. Hal ini sangat penting, kepentingan konsumen pada dasarnya
sudah ada sejak awal sebelum barang atau jasa diproduksi selama dalam proses
produksi sampai saat distribusi sehingga sampai ditangan konsumen sebenarnya
merupakan wujud dari ekonomi kerakyatan18
“... Perlindungan perdagangan ditujukan untuk memperlancarkan arus
barang dan jasa dalam rangka menunjang peningkatan produk dan daya . Dalam praktek perdagangan yang
merugikan konsumen, diantaranya penentuan harga barang dan hal-hal yang tidak
patut, pemerintah harus secara konsisten berpihak kepada konsumen yang pada
umumnya orang kebanyakan. Dalam hubungan ini, penjabaran perlindungan
terhadap konsumen juga dituangkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara 1993
melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) No. II/ MPR/1993,
Bab IV, huruf F butir 4a, yaitu:
18
saing, meningkatkan pendapatan produsen terutama produsen hasil
pertanian rakyat dan pedagang, melindungi kepentingan konsumen....”19
1. Tidak jelasnya norma-norma perlindungan konsumen
.
Komitmen melindungi kepentingan konsumen (konsumen akhir, bukan
konsumen pedagang) rupanya masih menjadi huruf-huruf mati melalui Tap MPR
Nomor II/MPR/1993, karena tidak peraturan perundang-undangan pelaksanaanya
yang memang ditujukan untuk itu. Ketidakjelasan itu bukanlah karena belum
adanya penelitian dan pengkajian norma-norma perlindungan konsumen macam
apa yang sesuai dengan situasi dan konsumen Indonesia, bahkan sebagian besar
konsumen Indonesia enggan mengadukan kerugian yang dialaminya walaupun
konsumen telah dirugikan oleh produsen/ pengusaha. Keengganan ini bukanlah
karena mereka (konsumen) tidak sadar hukum, bahkan mereka sadar hukum
ketimbang sebagian daripada para penegak hukumnya sendiri, keengganan para
konsumen lebih didasarkan pada:
2. Praktek peradilan kita yang tidak lagi sederhana, cepat dan biaya ringan
3. Sikap menghindar konflik walaupun hak-haknya sebagai konsumen
dilanggar pengusaha.
Dari segala kondisi yang telah dikemukakan maka jelaslah bahwa posisi
konsumen itu lemah sehingga ia harus dilindungi oleh hukum, karena salah
satu sifat, sekalipun tujuan hukum itu memberikan perlindungan
(pengayoman) kepada masyarakat20
C. Hak dan Kewajiban Konsumen
.
19
Ibid, hal 36 20
1. Hak Konsumen
Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum.
Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun
materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, tetapi juga haknya
yang bersifat abstrak. Dengan kata lain perlindungan konsumen sesungguhnya
identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen.
Secara umum ada kata dikenal ada empat hak dasar konsumen menurut Presidan
J.F Kennedy, yaitu:
a. Hak untuk mendapatkan keamanan ( the right of safety )
b. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed )
c. Hak untuk memilih ( the right to choose )
d. Hak untuk didengar ( the right to be heard )21
Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya,
organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization Of
Consumers Union ( IOCU ) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak
mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian dan hak
untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Namun tidak semua organisasi konsumen menerima perubahan hak-hak
tersebut. Mereka bebas untuk menerima semua atau sebagian. YLKI misalnya
memutuskan untuk menambahkan satu hak lagi sebagai pelengkap empat hak
dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
sehingga keseluruhannya dikenal sebagai panca hak konsumen22
21
Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, Jakarta, Djambatan, 2000, hal. 203 22
Shidarta, Op cit, hal 16
. Dalam
tim Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Departemen Perdagangan (1992),
hak-hak dasar konsumen ditambahkan lagi dengan hak untuk mendapatkan
barang-barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikan dan hak untuk
mendapatkan upaya penyelesaian hukum.
Hak konsumen untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat,
tidak dimasukkan dalam UUPK ini karena UUPK secara khusus mengecualikan
hak-hak yang diatur dalam undang-undang di bidang Hak-hak atas Kekayaan
Intelektual (HAKI) dan di bidang pengelolaan lingkungan. Ada sembilan (9) hak
konsumen yang dituangkan dalam Pasal 4 UUPK, yaitu:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/ atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/ atau jasa serta mendapatkan barang dan/ atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi jaminan barang
dan/ atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang
digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
8. Hak untuk mendapatkan dispensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian, jika
barang dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perturan perundang-undangan yang lain.
Disamping hak-hak dalam Pasal 4, juga terdapat hak-hak konsumen yang
dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya Pasal 7, yang mengatur
tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan suatu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat juga dilihat
sebagai hak konsumen.
Selain hak-hak yang disebutkan, ada juga hak untuk dilindungi dari akibat
negatif persaingan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan, kegiatan bisnis
yang dilakukan secara tidak jujur yang sering dikenal dengan persaingan curang (
unfair competition ). Dalam hukum positif Indonesia, masalah persaingan curang
ini diatur secara khusus pada Pasal 382 bis Undang-undang No. 5 Tahun 1999
tentang larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat.
Ketentuan-ketentuan ini sesungguhnya diperuntukkan bagi semua pelaku usaha, tidak bagi
konsumen langsung. Kendati demikian, kompetisi tidak sehat diantara mereka
jangka panjang berdampak negatif bagi konsumen karena pihak yang dijadikan
sasaran rebutan adalah konsumen itu sendiri. Akhirnya, jika semua hak-hak yang
disebutkan itu disusun kembali secara sistematika (mulai dari yang diasumsikan
paling mendasar), akan diperoleh urutan sebagai berikut:
Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang
ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan
jika dikonsumsikan sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani atau
rohani. Maka pemerintah selayaknya mengadakan pengawasan secara ketat.
2. Hak untuk mendapatkan informasi yang benar
Setiap produk yang diperkenalkan kepadan konsumen harus disertai
informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai
mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi ini
dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen, melalui
iklan diberbagai media atau mencantumkan dalam kemasan produk (barang). Hak
untuk mendapatkan informasi menurut Hans W. Micklitz, seorang ahli hukum
konsumen dari Jerman, dalam ceramah di Jakarta 26-30 Oktober 1998
membedakan konsumen berdasarkan hak ini. Ia menyatakan sebelum kita
melangkah lebih detai dalam perlindungan konsumen, terlebih dahulu harus ada
persamaan persepsi tentang tepe konsumen yang akan mendapatkan perlindungan.
Menurutnya, secara garis besar dapat dibedakan dua tipe konsumen, yaitu
konsumen yang terinformasi ( well informed ) dan konsumen yang tidak
terinformasi. Ciri-ciri tipe pertama, antara lain:
a. Memiliki tingkat pendidikan tertentu
b. Mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup, sehingga dapat berperan
dalam ekonomi pasar
Dengan memiliki tiga potensi, konsumen jenis ini mapu bertanggungjawab
dan relative tidak memerlukan perlindungan. Tipe konsumen kedua memiliki
ciri-ciri, antara lain:
a. Kurang berpendidikan
b. Termasuk kategori kelas menengah kebawah
c. Tidak lancar berkomunikasi
Konsumen jenis ini perlu dilindungi dan khususnya menjadi tanggung
jawab Negara untuk memberikan perlindungan23
3. Hak yang didengar
. Selain ciri-ciri konsumen yang
tidak terinformasikan, karena hal-hal khusus dapat juga dimasukkan dalam
kelompok anak-anak, orang asing ( yang tidak dapat berkomunikasi dengan
bahasa setempat ) sebagai jenis konsumen yang wajib dilindungi oleh Negara.
Informasi ini harus diberikan secara seragam bagi semua konsumen ( tidak
diskriminasi ), karena tidak semua konsumen memiliki kemampuan yang sama
untuk akses informasi. Itu sebabnya, hukum konsumen memberikan hak
konsumen atas informasi yang benar, yang didalamnya tercakup juga hak atas
informasi yang proporsional dan memberikan secara tidak diskriminatif.
Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah
hak untuk didengar. Ini disebabkan informasi yang diberikan pihak yang
berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen.
Untuk itu, konsumen berhak mengajukan permintaan informasi lebih lanjut.
4. Hak untuk memilih
23
Dalam mengkonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan
pilihannya. Ia tidak boleh mendapatkan tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak
lagi bebas untuk membeli atau tidak membeli. Seandainya ia menjadi pembeli, ia
juga bebas menentukan produk mana yang akan dibeli. Hak untuk memilih ini erat
kaitannya dengan situasi pasar.
5. Hak untuk mendapatkan produk barang dan/ atau jasa sesuai dengan nilai
tukar yang diberikan
Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari permainan harga
yang tidak wajar. Dengan kata lain, kuantitas dan kualitas barang dan/ atau jasa
yang dikonsumsi harus sesuai dengan nilai uang yang dibayar sebagai
penggantinya. Namun, dalam ketidakbebasan pasar, pelaku usaha dapat saja
mendikte pasar dengan menaikkan harga dan konsumen menjadi korban dari
ketiadaan pilihan. Konsumen diharapkan pada kondisi take it or leave it. Dalam
situasi demikian, biasanya konsumen terpaksa mencari produk alternative (bila
masih ada) yang boleh kualitasnya malahan lebih buruk.
6. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian
Jika konsumen merasakan kuantitas dan kualitas barang dan/ atau jasa
yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikan, ia berhak
mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Jenis dan jumlah ganti kerugian itu
tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan
masing-masing pihak. Untuk menghindar dari kewajiban memberi ganti kerugian,
sering terjadi pelaku usaha mencantumkan klausula-klausula di dalam hubungan
hukum antara produsen/ penyalur produk dan konsumennya. Klausula seperti “
ditemukan di toko-toko. Pencantuman secara sepihak demikian tidak dapat
menghilangkan hak konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian.
7. Hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum
Jika permintaan yang diajukan konsumen dirasakan tidak mendapat
tanggapan yang layak dari pihak terkait dalam hubungan hukum dengannya, maka
konsumen berhak mendapatkan penyelesaian hukum termasuk advokasi. Dengan
kata lain, konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban hukum dari
pihak-pihak yang dipandang merugikan konsumen.
Hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum ini sebenarnya meliputi juga
untuk mendapatkan ganti kerugian, tetapi kedua hak tersebut tidak berarti identik.
Untuk memperoleh ganti kerugian, konsumen tidak harus selalu menempuh upaya
hukum terlebih dahulu, sebalinya setiap upaya hukum pada hakikatnya berisikan
tuntutan ganti kerugian oleh salah satu pihak.
8. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
Lingkungan hidup yang baik dan sehat berarti sangat luas dan setiap
mahluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Hak konsumen atas
lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang diterima salah satu hak dasar
konsumen oleh berbagai organisasi konsumen di dunia.
Menurut Heindrad Steiger, sebagaiman dikutip Koesnadi Hardjasoemantri,
hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan bagaian dari hak-hak
subjektif sebagai bentuk yang paling luas dari perlindungan seseorang. Ini berarti
setiap pemilik hak dapat mengajukan tuntutan agar kepentingannya terhadap
lingkungan yang baik dan sehat harus terpenuhi24
24
Shidarta, Ibid, hal 25
9. Hak untuk dilindungi akibat negatif persaingan curang
Persaingan curang atau dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999
disebutkan dengan Persaingan Usaha Tidak Sehat seorang pengusaha berusaha
menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan usahanya atau
memperluas penjualan atau pemasarannya, dengan menggunakan alat atau alat
yang bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran dalam pergaulan
perekonomian. Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha, dampak
persaingan itu selalu dirasakan konsumen. Jika persaingan sehat maka konsumen
diuntungkan, sebaliknya jika persaingan curang konsumen pula yang dirugikan.
10.Hak untuk mendapatkan perlindungan konsumen
Di negara kita masih banyak konsumen yang belum menyadari
hak-haknya. Kesadaran akan hak sejalan dengan kesadaran akan hukum. Makin tinggi
kesadaran hukum masyarakat, makin tinggi penghormatan pada hak-hak dirinya
dan orang lain. Upaya pendidikan konsumen tidak selalu harus melewati jenjang
pendidikan formal, tetapi dapat melalui media massa dan kegiatan lembaga
swadaya masyarakat.
2. Kewajiban Konsumen
Hak-hak konsumen harus dikaitkan dengan kewajibannya. Berbicara
tentang kewajiban konsumen berarti membahas isi Pasal 5 UUPK No. 8 Tahun
1999 yang menyatakan bahwa:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/ atau jasa demi keamanan dan
keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau
jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut”25
Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi
dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/ atau jasa demi keamanan
dan keselamatan merupakan kewajiban yang sangat penting karena sering kali
pelaku usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produk,
namun konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya.
Adanya pengaturan kewajiban ini memberikan konsekuensi pelaku usaha tidak
bertanggung jawab jika konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat
mengabaikan kewajiban tersebut, misalnya untuk penggunaan obat-obatan dari
dokter atau berdasarkan etika produk tersebut, telah diberikan instruksi bahwa
pemakaianya hanya dalam dosis tertentu, namun konsumen sendiri yang tidak
mamatuhi instruksi tersebut. Masalah pemenuhan kewajiban konsumen dapat
terlihat jika peringatan yang disampaikan pelaku usaha tidak jelas atau tidak
mengundang perhatian konsumen untuk membacanya. .
25
Menyangkut kewajiban konsumen beritikad baik hanya tertuju pada
transaksi pembelian barang dan/ atau jasa saja. Hal ini tentu saja disebabkan
karena bagi konsumen kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada
saat melakukan transaksi dengan produsen. Berbeda dengan pelaku usaha,
kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang/
diproduksi oleh produsen (pelaku usaha).
Kewajiban konsumen menbayar sesuai dengan nilai ukur yang disepakati
dengan pelaku usaha adalah hal yang sudah biasa dan semestinya demikian.
Kewajiban lain yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut adalah kewajiban
konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut. Kewajiban ini di anggap sebagai hal baru sebab sebelum
diundangkan UUPK hampir tidak dirasakan adanya kewajiban secara khusus
seperti dalam perkara perdata. Adanya kewajiban seperti ini dianggap tepat sebab
kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak konsumen dalam mendapatkan
upaya penyeselaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hanya saja
kewajiban konsumen ini bisa saja menjadi tidak cukup efektif jika tidak diikuti
oleh kewajiban yang sama dari pihak pelaku usaha.
D. Hak dan Kewajiban Produsen 1. Hak Produsen
Suatu perkembangan baru dalam masyarakat dewasa ini, khususnya di
Negara-negara maju, adalah makin meningkatnya perhatian terhadap masalah
perlindungan konsumen. Apabila di masa-masa yang lalu pihak produsen
perhatian yang lebih besar, maka dewasa ini perlindungan konsumen lebih
mendapat perhatian sesuai dengan makin meningkatnya perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia. Namun hingga sekarang masalah hak dan terutama
kewajiban produsen tetap menarik perhatian dimana hak dan kewajiban produsen
mempermudah pemberian kompensasi bagi yang menderita kerugian akibat
produk yang diedarkan di masyarakat.
Dalam Pasa 6 UUPK, dituangkan beberapa hal yang menjadi hak dari
pelaku usaha yaitu:
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang/ atau jasa yang diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang tidak
beritikad baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang
diperdagangkan;
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lainnya.
Dalam teori let the buyer beware, pelaku usaha adalah dua pihak yang
sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi konsumen. Tentu
saja dalam perkembangannya, konsumen tidak mendapatkan akses informasi yang
banyak disebabkan oleh ketidakterbukaan pelaku usaha terhadap produk yang
ditawarkan.akhirnya, konsumen pun di dikte oleh pelaku usaha. Jika konsumen
mengalami kerugian, pelaku usaha dengan ringan berdalih, semua itu karena
kelalaian konsumen itu sendiri. Namun hal itu tidak dapat dibiarkan terjadi.
Pelaku usaha harus memenuhi kewajibannya untuk menjadi pelaku usaha yang
terbuka terhadap produk yang ditawarkannya.
Sedangkan dalam the due care theory mengatakan, bahwa pelaku usaha
mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk, baik
barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, ia tidak akan dapat
dipersalahkan. Maka untuk mempermasalahkan si pelaku usaha, seseorang harus
dapat membuktikan, pelaku usaha itu melanggar prinsip kehati-hatian. Dalam
realita agak sulit bagi konsumen untuk menghadirkan bukti-bukti guna
memperkuat gugatannya. Sebaliknya, si pelaku usaha dengan berbagai
keunggulannya (secara ekonomis, sosial, psikologis dan politik), relatif lebih
mudah berkelit, menghindar dari gugata yang demikian.
Prinsip The Privity Of Contract mengatakan, bahwa pelaku usaha
mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal ini baru dilakukan
jika diantara mereka yrlah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak
dapat dipersalahkan atas hal-hal diluar yang diperjanjikan. Artinya, konsumen
boleh menggugat berdasarkan wanprestasi. Ditengah minimnya peraturan
perundang-undangan di bidang konsumen, sangat sulit mengugat dengan dasar
perbuatan melawan hukum. Seandainya sudah terdapat hubungan hukum,
persoalan tidak begitu saja selesai. Walaupun secara yuridis dinyatakan, antara
adalah pihak yang biasanya selalu didikte menurut kemampuan si pelaku usaha.
Kurangnya kesadaran akan kewajiban sebagai pelaku usaha akan berakibat fatal
dan menghadapi resiko bagi kelangsungan hidup/ kredibilitas usaha. Rendahnya
produk atau adanya cacat pada produk yang dipasarkan sehingga menyebabkan
kerugian bagi konsumen, disamping akan menghadapi tuntutan kompensasi (ganti
rugi).
2. Kewajiban Produsen
Mengenai kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 yang berbunyi
sebagai berikut:
“ kewajiban pelaku usaha adalah:
a. Beritikad baik dalam melakukan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/ atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan/ atau
diperdagangkan berdasarkan standar ketentuan mutu barang dan/ atau
jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/ atau
mencoba barang dan/ atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/ atau pergantian apabila barang
dan/ atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai
dengan perjanjian.”26
Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha
merupakan suatu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang
itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yaitu bahwa
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, begitu pentingnya itikad baik
tersebut, sehingga dalam perundingan-perundingan atau perjanjian antara para
pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam satu hubungan khusus yang
dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusus ini akan membawa akibat lebih
lanjut yaitu bahwa kedua belah pihak itu dalam bertindak harus dengan mengingat
kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Dalam UUPK pelaku usaha
diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya dan bagi
konsumen diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian
barang dan/ atau jasa. Namun dalam UUPK bahwa tampak itikad baik lebih
ditekankan pada pelaku usaha karena meliputi semua tahapan dalam melakukan
kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk
beritikad baik dimulai sejak barang dirancangkan atau diproduksi sampai tahap
penjualan dan sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam
melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau jasa. Hal ini tentu saja
disebabkan karena kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak
barang dirancang atau diproduksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi
26
konsumen sendiri kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat
melakukan transaksi dengan produsen.
Mengenai kewajiban kedua dari pelaku usaha yaitu memberikan informasi
yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa
serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan
disebabkan karena informasi di samping peranannya sebagai hak konsumen juga
karena ketiadaan informasi atau informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha
merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi) yang akan sangat
merugikan konsumen. Pentingnya penyampaian yang benar terhadap konsumen
terhadap suatu produk ditujukan agar konsumen tidak salah terhadap gambaran
mengenai suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen
tersebut dapat berupa representasi, peringatan maupun berupa instruksi.
Disamping berbagai ketentuan kewajiban pelaku usaha tersebut diatas,
masih banyak lagi larangan bagi pelaku usaha dalam menawarkan barangnya
kepada konsumen, namun secara garis besar kesemuanya adalah mengenai
kualitas/ kondisi, harga, kegunaan, jaminan atas barang tersebut serta pemberian
hadiah kepada pembeli.
E. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Kata konsumen pertama kali masuk melalui Tap MPR Nomor
II/MPR/199327
27
Shidarta, Ibid, hal 47
. Pembangunan nasional pada umumnya dan pembangunan
ekonomi pada khususnya, menurut Tap MPR Nomor II/MPR/1993 harus
relevan untuk dimuat kembali sehingga dalam Tap MPR Nomor II/MPR/1993
dikatakan, pembangunan ekonomi harus menjamin kepentingan konsumen.
Selanjutnya dalam Tap MPR Nomor II/MPR/1993 kembali dinyatakan,
pembangunan ekonomi ini harus dilindungi kepentingan itu pada hakikatnya
merupakan rumusan yang sangat abstrak dan normatif.
Ada dari beberapa kalangan di pemerintah yang menyatakan, Rancangan
Undang-undang Perlindungan Konsumen yang sejak 1980 disusun diprioritaskan
untuk dibahas di DPR. Terbukti 19 tahun kemudian keinginan itu terealisasi,
yakni dengan lahirnya Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Sejumlah peraturan yang tidak pernah disebut-sebut sebagai prioritas,
dalam kenyataannya justru lebih banyak didahulukan pengesahan daripada
UUPK. Hal ini memperkuat dugaan yang beredar selama ini, pemerintah biasanya
mendahulukan peraturan-peraturan yang menguntungkan pihaknya. Contoh
peraturan di bidang perpajakan daripada peraturan yang membebaninya dengan
kewajiban yang besar seperti di bidang perlindungan konsumen sekarang ini.
Terlepas dari kekurangan yang ada prinsip-prinsip pengaturan
perlindungan konsumen di Indonesia bukan berarti sama sekali sebelum UUPK.
Mengingat luasnya area cakupan hukum perlindungan konsumen itu,
pembahasannya bersifat lebih umum, tidak mencakup kepada produk
undang-undang tertentu. Maka untuk itu ada tiga bidang hukum yang memberikan
perlindungan secara umum bagi konsumen yaitu bidang hukum perdata, pidana
dan administrasi negara28
28
Ibid, hal 74
Perlindungan di bidang keperdataan diadakan bertitik tolak dari tarik
menarik kepentingan antar sesama anggota masyarakat. Jika seseorang merasa
dirugikan oleh warga masyarakat, tentu ia menggugat pihak lain itu agar
bertanggung jawab secara huku