• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENAFSIRAN HUKUM OLEH HAKIM TENTANG REKAM

B. Penafsiran Hukum oleh Hakim Tentang Informed Consent Sebagai

2. Aspek Hukum Informed Consent

Menurut Undang-Undang No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal 52 bahwa pasien dapat menerima pelayanan pada praktik kedokteran mempunyai hak:

1. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);

2. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;

3. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;

4. Menolak tindakan medis; dan 5. Mendapatkan isi rekam medis.

Menurut Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 56 ayat (1) setiap orang berjak menerima atau menolak, sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.

Menurut Undang-Undang No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Pasal 68, Persetujuan Tindakan Tenaga Kesehatan adalah sebagai berikut.

(1) Setiap tindakan pelayanan kesehatan perseorangan yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan harus mendapat persetujuan.

152 Hasil wawancara kepada Pak Tigor Manullang SH.,MH, Hakim Pengadilan Tinggi Negeri Medan,pada tanggal 4 November 2019

(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapat penjelasan secara cukup dan patut.

(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:

a. tata cara tindakan pelayanan;

b. tujuan tindakan pelayanan yang dilakukan;

c. alternatif tindakan lain;

d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan, baik secara tertulis maupun lisan.

(5) Setiap tindakan Tenaga Kesehatan yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008, Persetujuan Tindakan Kedokteran adalah sebagai berikut.

1. Hak Pasien, Pasal 52 Undang-Undang Praktik Kedokteran.

2. Mendapat penjelasan lengkap mengenai tindakan medis.

3. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain.

4. Mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis.

5. Menolak tindakan medis.

BAB IV

ANALISIS KEDUDUIKAN HUKUM REKAM MEDIS DAN INFORMED CONSENT SEBAGAI ALAT PEMBUKTIAN PERDATA DALAM KASUS

MALPRAKTIK PADA PUTUSAN NOMOR: 33/PDT/2015/PT-MDN

A. Kasus Posisi 1. Kronologis Kasus

Bermula pada tanggal 17 November 2011, Soni Husni Ginting membawa sang anak Riski Ginting yang masih berusia 3 bulan ke Rumah Sakit Umum Serasi dan sang anak diterima oleh petugas IGD sekitar pukul 14.00 WIB dengan keluhan Riski Ginting mengalami panas hingga suhu tubuh 39˚C, mulut bercak putih, sariawan dan sulit makan.Kemudian dokter jaga yang ada di IGD di RSU Serasi langsung memasang oksigen ke hidung Riski Ginting dan setelah menanyakan keluhan Riski Ginting Kepada Soni Ginting, maka dokter yang bertugas di IGD RSU Serasi menyarankan agar Riski Ginting dibawa ke Rumah Sakit Umum Kabanjahe.

Setelah sampai di IGD RSU Kabanjahe, maka Riski Ginting diterima oleh Petugas kesehatan yang berjaga di ruangan IGD RSU Kabanjahe dan di ruangan IGD tersebut Riski Ginting tidak dilakukan tindakan apa-apa melainkan hanya menanyakan identitas Soni Husni Ginting dan Riski Ginting dan kemudian membawa Riski Ginting ke ruangan perawatan. Kemudian setelah sampai di ruang perawatan, dilakukan tindakan pemasangan infus dan pemasangan NGT.

Setelah selesai pemasangan infus dan NGT barulah Riski Ginting diantar ke bangsal atau tempat tidur. Seterusnya dokter memvonis Riski Ginting mengalami

gizi buruk dan menyuruh Soni Husni Ginting membeli obat-obatan sesuai dengan resep yang telah ditulis oleh dr.Sri Alemina Br.Ginting Sp.A.

Kemudian terhadap Riski Ginting dilakukan pemeriksaan Foto Roentgen.

Namun, dari hasil keterangan Roentgen hingga sampai Riski Ginting meninggal dunia, dr.Sri Alemina Br.Ginting Sp.A tidak ada menyampaikan hasilnya kepada Soni Husni Ginting.

Kemudian dilakukan pemeriksaan Laboratorium dan dari hasil pemeriksaan Laboratorium tersebut dikatakan oleh dr.Sri Alemina Br.Ginting Sp.A kepada Soni Husni Ginting, bahwa terhadap Riski Ginting harus dilakukan Transfusi darah PRC. Namun dalam hal Transfusi tersebut dr.Sri Alemina Br.Ginting tidak ada menjelaskan mengenai transfusi terhadap Soni Husni Ginting maupun keluarga, dimana dalam hal ini telah bertentangan dengan:

a. Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan Pasal 22 ayat 1 c;

b. Permenkes No.585/89 Pasal 5 ayat (1);

c. UU No.44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit yakni pasien berhak mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tatacara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan,risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;

d. Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran juga merupakan Undang - Undang yang bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi pasien. Hak-hak pasien diatur dalam pasal 52 UU No.29/2004 adalah

98

mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3).

Bahwa dalam hal tindakan Transfusi darah tersebut baik dr Sri Alemina tidak ada meminta persetujuan dari PENGGUGAT maupun keluarganya sehingga dalam hal ini sangat bertentangan dengan apa yang telah diatur dalam:

a. Peraturan pemerintah No.32 Tahun 1996 Pasal 22 ayat 1d meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan;

b. eraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.585/Men.Kes/PER/XI/1989 Pasal 12 ayat (1) Dokter bertanggung jawab atas pelaksanaan ketentuan tentang persetujuan tindakan medis, (2) Pemberian persetujuan tindakan medis yang dilaksanakan di rumah sakit/klinik, maka rumah sakit/klinik yang bersangkutan ikut bertanggung jawab.

Selain itu, Bahwa Soni Husni Ginting sempat mengatakan kepada Perawat di RSU Kabanjahe “kalau urusan mengambil darah ke RSU Adam Malik bukannya pihak RS yang mengupayakan?, karena tidak mungkin ditenteng gitu aja kantung darah”. Namun perawat dari RSU Kabanjahe mengatakan “seperti itu biasanya”, pihak keluarga pasien yang ambil darah kesana.

Bahwa menurut PP No. 7 Tahun 2011 hal tersebut sudah bertentangan karena plasma darah yang dibawa oleh keluarga pasien tidak sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan baik suhu maupun tempat untuk membawa yang dibutuhkan beberapa jam. Kemudian pada tanggal 25 November 2011 pukul 14.00 WIB dijemputlah darah ke RSU Adam Malik oleh Soni Husni Ginting.

Pada pukul 19.00 WIB, Soni Husni Ginting sampai di RSU Kabanjahe membawa darah dan menyerahkan kepada perawat jaga dan perawat jaga

menyarankan agar Soni Husni Ginting dekap darah tersebut agar tidak terjadi pembekuan, lalu karena merasa beresiko setelah kurang lebih 2 jam Soni Husni akhirnya mengembalikan darah tersebut pukul 07.00 WIB.

Pada tanggal 26 November 2011 sekitar pukul 07.00 WIB perawat melakukan Transfusi darah sebanyak 20 cc dengan menggunakan alat suntik (spuit) terhadap Risky Ginting, bahwa dalam hal ini sangat bertentangan dengan teori-teori medis yang mana dalam pemberian darah harus dilakukan dengan secara lambat dan hati-hati apalagi Risky Ginting yang masih berumur tiga bulanan yang mana kapasitas jantung dan pembuluh darah untuk menerima darah masih sangat minim sekali.

Setengah jam setelah transfusi dilakukan terhadap Riski Ginting, ia tampak gelisah, nafas sesak, cepat dan merengek, lalu pada pukul 19.00 WIB pada hari dan tanggal yang sama perawat kembali melakukan transfusi lagi sebanyak 10 cc dengan menggunakan spuit (alat suntik) ke tubuh Riski Ginting yang mana seharusnya jika Haemoglobin masih tetap rendah maka jangan diulangi dalam empat hari.

Satu jam setelah dilakukan transfusi darah yang kedua Riski Ginting pun mengalami muntah darah. Dalam hal pemberian transfusi darah tersebut sudah sangat jelas bertentangan dengan teori atau standar dalam pemberian transfusi darah yang mana akibatnya Korban terjadi pendarahan yang menyebabkan meningal dunia dan PARA TERGUGAT sama sekali tidak menghiraukan hingga akhirnya Soni Husni Ginting pada hari Minggu tanggal 27 November 2011 pukul 04.00 WIB membawa Riski Ginting pulang untuk dikebumikan sehingga jelaslah bahwa berdasarkan hal-hal diatas, Para Tergugat telah melakukan perbuatan

100

melawan hukum pada saat pasca rawat inap dan pengobatan terhadap Riski Ginting dimana dari tindakan medik yang dilakukan telah mengakibatkan Riski Ginting mengalami pendarahan yang menyebabkannya akhirnya meninggal dunia.

B. Pertimbangan Hakim Pada Putusan Nomor: 33/PDT/2015/PT-MDN 1. Tentang Pertimbangan Hukumnya

Adapun unsur pertama adalah setiap orang dalam pasal ini menurut hakim dalam pertimbangannya adalah sebagai berikut.

A. Hakim menimbang, bahwa permohonan banding dari Pembanding semula Pengugat telah diajukan dalam tenggang waktu dan menurut tata cara serta memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Undang-Undang, oleh karena itu permohonan banding tersebut secara formal dapat diterima.

B. Bahwa alasan banding dari Pembanding semula Penggugat dalam memori bandingnya pada pokoknya sebagai berikut:

1. Bahwasanya pada persidangan tingkat pertama, Majelis Hakim tidak memanggil siswi praktek yang jaga pada saat korban dalam keadaankritis sampai akhirnya meninggal dunia guna dimintai keterangannya sebagai saksi;

2. Bahwasanya pada persidangan tingkat pertama Majelis Hakim tidak memanggil saksi ahli dari dokter kehakiman guna dimintai keterangannya;

3. Bahwasanya Pembanding/Penggugat menolak / tidak sependapat terhadap putusan Yudex factie yang tidak memberikan pertimbangan hukum dan kurang memahami hukum kesehatan dalam pokok perkara;

4. Bahwa dalam pemberian pelayanan kesehatan pada anak Pembanding/

Penggugat oleh Terbanding I/Tergugat I,II dan III harus sesuai dengan standar pelayanan yang telah di atur oleh Terbanding IV/Tergugat IV dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 741 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota pasal 2 ayat 1, dan ayat 2 huruf a poin 10 yang bunyi ayatnya;

(1) Kabupaten/Kota harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan SPM Kesehatan;

(2) SPM Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang meliputi jenis pelayanan beserta indicator kinerja dan target Tahun 2010-2015 ; a. Pelayanan Kesehatan dasar : 10 cukupan pelayanan bayi gizi buruk mendapat perawatan 100% pada tahun 2010

5. Bahwasanya guna mempermudah pemeriksaan dimuka persidangan agar Terbanding IV/Tergugat IV memperlihatkan semua yang didalilkan Penggugat / Pembanding sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam memberi perlindungan kepada masyarakat, baik berupa Undang- Undang , Peraturan, Buku, Petunjuk teknis dan pedoman pelayanan kesehatan yang diuraikan oleh Pembanding / Penggugat pada poin 5 di atas;

102

6. Bahwasanya Terbanding I/Tergugat I, Terbanding II/Tergugat II pada saat persidangan di Pengadilan tingkat pertama tidak ada memberikan alat bukti Rekam Medis si Unit Gawat Darurat, Rawat Inap dan Rekam Medis Transfusi darah anak Pengugat/Pembanding;

7. Bahwasanya dalam pemberian darah PRC sebanyak 20cc dengan alat suntik kepada anak Pembanding/Penggugat yang dilakukan oleh perawat yang bernama MAGDALENA, dan sebanyak 10cc dengan alat suntik oleh perawat Saragih tidak sesuai dengan petunjuk teknis tata laksana transfusi darah pada anak gizi buruk di rumah sakit;

8. Bahwasanya dalam pemberian darah PRC yang dilakukan oleh perawat terbukti Terbanding I / Tergugat I telah melakukan PELANGGARAN DISPLIN KEDOKTERAN karena telah mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan tranfusi darah kepada anak Pembanding/Penggugat Dasar PERMENKES Nomor. 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan dokter gigi Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3) serta PP No.7 Tahun 2011 tentang Pelayanan Data pasal 16 ayat (3) yang bunyinya : Tindakan medis pemberian darah dan/atau komponennya kepada pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan di fasilitasi pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

9. Bahwasanya setelah anak Pembanding/Penggugat meninggal dunia Terbanding II/ Tergugat II dan Terbanding I/Tergugat I tidak ada melakukan perawatan terhadap jenazah, tidak memberi surat keterangan kematian, dan tidak menyediakan fasilitas ambul;ance kepada jenazah anak Pembanding/Penggugat. Dalam hal jenazah pasien di terlantarkan tersebut diatas telah terbukti Terbanding I/Tergugat I dan Terbanding II/Tergugat II melanggar Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 129/Menkes/SK/II/2008 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL RUMAH SAKIT BAB III yang bunyinya Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit dalam pedoman ini meliputi jenis-jenis pelayanan indikator dan standar pencapaian kinerja pelayanan rumah sakit Huruf: A Jenis-jenis pelayanan rumah sakit yang minimal wajib disediakan oleh rumah sakit meliputi angka 17 Pelayanan ambulans/kereta jenazah dan angka 18 Pelayanan pemulasaraan jenazah;

10. Bahwasanya berdasarkan uraian-uraian diatas mohon agar Pengadilan Tinggi menolak eksepsi Tergugat IV dan mengabulkan gugatan Pembanding/ Penggugat untuk seluruhnya.

11. Bahwasanya terhadap memori banding tersebut Terbanding IV semula Tergugat IV, telah mengajukan kontra memori banding yang pada pokoknya sebagai berikut:

104

1) Bahwasanya memori banding Pembanding/Penggugat halaman 3 angka 6 yang mengatakan bahwa guna mempermudah pemeriksaan dimuka persidangan agar Terbanding IV/Tergugat IV memperlihatkan semua yang didalilkan Pembanding/Penggugat, menunjukan bahwa Pembanding/Penggugat tidak mampu membuktikan adanya perbuatan melawan hukum yang merugikan Pembanding/Penggugat, karena Pembanding/Penggugatlah yang harus dalil-dalil gugatannya bukan berharap dari pembuktian Terbanding IV/Tergugat IV;

2) Bahwasanya memori banding Pembanding hal 9 angka 47, pada pokoknya Terbanding IV/Tergugat IV telah melakukan cidera janji (wanprestasi) karena terbukti melanggar Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 dan pasal 19 adalah tidak benar karena Terbanding IV/Tergugat IV tidak melakukan perbuatan apapun dengan Pembanding/Penggugat;

3) Bahwasanya memori banding Pembanding hal 10 angka 48 menyatakan bahwa pada saat dipersidangan Terbanding IV/Tergugat IV tidak ada mengajukan saksi karena antara Pembanding/Penggugat dengan Terbanding IV/Tergugat IV tidak mempunyai hubungan hukum sehingga tidak tepat mendudukan Terbanding IV/Tergugat IV sebagai pihak dalam perkara ini;

4) Bahwasanya dalam memori banding halaman 10 angka 50 bahwa Para Terbanding tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya, argumentasi tersebut tidak benar karena Terbanding IV/Tergugat IV, sudah menyampaikan bukti-bukti surat yang telah di nizegelen di Kantor Pos;

5) Bahwasanya alasan-alasan yang dikemukakan Pembanding/Penggugat dalam memori bandingnya ternyata seluruhnya tidak ada yang mengandung kebenaran sehingga harus ditolak dan dikesampingkan seluruhnya dan menguatkan putusan Majelis Hakim tingkat pertama.

2. Dalam Pokok Perkara

A) Pengadilan Tinggi sependapat dengan Majelis Hakim tingkat pertama bahwa dengan dikabulkan eksepsi dari Terbanding IV semula Tergugat IV, maka konsekwensi hukumnya adalah gugatan Penggugat haruslah dinyatakan tidak dapat diterima (Niet onvankelijk verklaard), sehingga Pokok Perkara dalam perkara ini tidak perlu dipertimbangkan oleh karena itu keberatan-keberatan Pembanding semula Penggugat sebagaimana dalam memori bandingnya tersebut diatas tidak mempunyai alasan hukum yang tepat;

B) Dengan mempertimbangkan bahwasanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas pada dasarnya putusan Pengadilan Negeri Kabanjahe tanggal 09 Oktober 2012 No.02/Pdt.G/2011/PN.Kbj dapat dikuatkan, akan tetapi karena pernyataan gugatan Penggugat tidak dapat

106

diterima (niet ontvankelijke verklaard) dicantumkan oleh Majelis Hakim tingkat pertama dalam eksepsi maupun dalam Pokok Perkara, menurut Pengadilan Tinggi berlebihan, maka amar putusan tentang eksepsi perlu diperbaiki sebagaimana tersebut dalam amar putusan dibawah ini;

C) Bahwasanya oleh karena Pembanding semula Penggugat tetap berada dipihak yang kalah maka biaya perkara yang timbul dalam kedua tingkat peradilan harus dibebankan kepadanya akan tetap berdasarkan penetapan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Medan No.1/Pdt/Prodeo/2013/PT.Medan, tanggal 1 Mei 2013 Pembanding semula Penggugat, telah diberi izin berperkara secara Prodeo pada tingkat banding, maka biaya perkara dalam tingkat banding Nihil.

C. Analisis Kedudukan Hukum Rekam Medis Dan Informed Consent Sebagai Alat Pembuktian Perdata Dalam Kasus No. 33/PDT/2015/PT-MDN

1. Analisis Kedudukam Hukum Rekam Medis Sebagai Alat Pembuktian Rekam medis merupakan kumpulan segala kegiatan yang dilakukan oleh dokter, dokter gigi dan para tenaga kesehatan lainnya dalam memberikan pelayanan kesehatan yang berkesinambungan. Rekam medis menjadi salah satu kewajiban setiap dokter maupun dokter gigi, dalam melaksanakan praktik kedokterannya. Hal ini sesuai dengan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Sebagai pelaksanaan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, ditetapkanlah Permenkes Nomor

269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis, sebagai pengganti peraturan sebelumnya, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medis.

Dalam Permenkes yang baru ini dengan jelas diatur mengenai kewajiban, jenis dan isi masing-masing rekam medis, tata cara penyelenggaraan rekam medis, kewajiban sarana pelayanan kesehatan, sifat rahasia rekam medis, dan berbagai manfaat dari rekam medis.

Selain daripada itu, Lebih lanjut pada Permenkes no. 269/MENKES/PER/III/2008 pada Pasal 13 ayat (1) yang mengatakan bahwa rekam medis dapat dimanfaatkan/digunakan sebagai alat bukti dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia ( MKDKI), penegakan etika kedokteran dan kedokteran gigi bagi profesi kedokteran.

Pada sisi lain dalam Pasal 2 ayat (1) Permenkes tersebut ditegaskan bahwa rekam medis harus dibuat secara tertulis, lengkap, dan jelas atau secara elektronik dalam penjelasan Pasal 46 ayat (3) bahwa penggunaan teknologi informasi elektronik dimungkinkan dalam pencatatan rekam medis.Apa yang ditegaskan pada Pasal 2 ayat (1) Permenkes/PER/III/2008 yang memungkinkan dipilihnya dua cara, yaitu rekam medis ditulis secara lengkap “atau” dengan menggunakan elektronik. Artinya bahwa rekam medis dapat saja memilih salah satu cara tersebut tertulis atau elektronik.

Bila diamati apa yang diatur dalam kitab Undang-Undang Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata (HIR) tidak ada satu ketegasan mengatur bahwa catatan elektronik ditempatkan sebagai alat bukti utama. HIR pasal 164

108

menegaskan bahwa alat-alat bukti terdiri dari, bukti dengan surat, bukti dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. Begitu pula dalam Hukum Acara Pidana pasal 184 menegaskan bahwa alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Berdasarkan kedua ketentuan atau peraturan tersebut di atas, tidak satupun yang menempatkan alat bukti elektronik sebagai alat bukti utama. Akan tetapi Dalam Undang-Undang No.11 tahun 2008 Pasal 5 ayat (1) mengatakan bahwa informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Sehingga rekam medis yang dalam bentuk elektronik dapat dijadikan alat bukti utama karena dalam pasal ini ada pengembagan tentang alat bukti yang berasal dari KUHP dan KUH Perdata.

Pembuktian merupakan sebuah proses dalam persidangan. M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa: “Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.

Fungsi legal dari rekam medis sendiri ialah karena rekam medis dapat berfungsi sebagai alat bukti bila terjadi silih pendapat atau tuntutan dari pasien dan di lain pihak sebagai perlindungan hukum bagi dokter. Yang penting ialah bahwa rekam medis yang merupakan catatan mengenai dilakukannya tindakan medis tertentu itu secara implisit juga mengandung Persetujuan Tindakan Medik, karena tindakan medis tertentu itu tidak akan dilakukan bila tidak ada persetujuan

dari pasien. Apabila rekam medis yang mempunyai multifungsi tersebut dikaitkan dengan pasal 184 KUHAP, maka rekam medis selain berfungsi sebagai alat bukti surat juga berfungsi sebagai alat bukti keterangan ahli yang dituangkan dan merupakan isi rekam medis.

Dan dalam Pertimbangannya,Hakim juga menemui fakta bahwa Terbanding I/Tergugat I, Terbanding II/Tergugat II pada saat persidangan di Pengadilan tingkat pertama tidak ada memberikan alat bukti Rekam Medis si Unit Gawat Darurat, Rawat Inap dan Rekam Medis Transfusi darah anak Pengugat/Pembanding. Kemudian berdasarkan uraian pertimbangan dan fakta diatas dapat dilihat bahwa Rekam Medis menjadi salah satu fakta persidangan yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim.

Dimana berdasarkan penjelasan penulis sebelumnya ditambah dengan fakta bahwa Rekam Medis menjadi salah satu pertimbangan Majelis Hakim, maka jelaslah Rekam medis dapat menjadi salah satu alat pembuktian namun tidak mutlak karena dibutuhkan alat pembuktian lain seperti Informed Consent dan Keyakinan Hakim untuk mendukungnya karena Rekam medis merupakan suatu berkas data yang berisikan antara lain identitas pasien, anamnesis, pemeriksaan fisik, diagnosis, dan segala tindakan yang telah dan akan dilakukan serta segala informasi administratif saja.

2. Analisis Kedudukan Informed Consent Sebagai Alat Pembuktian Dalam formulir Informed Consent dirumuskan pernyataan kehendak kedua belah pihak yaitu pasien menyatakan setuju atas tindakan yang diusulkan oleh dokter dan formulir persetujuan tersebut ditandatangani oleh kedua belah pihak,

110

maka hal itu merupakan persetujuan kedua belah pihak yang saling mengikat dan tidak dapat ditarik kembali oleh salah satu pihak tanpa adanya persetujuan dari pihak yang lainnya.

Informed Consent tidak dapat meniadakan atau mencegah diadakannya suatu tuntutan di depan pengadilan atau membebaskan rumah sakit/dokter terhadap tanggung jawabnya apabila terdapat kelalaian. Ia hanya dapat digunakan sebagai bukti tertulis akan adanya izin/persetujuan dari pasien terhadap tindakan yang dilakukan apabila kelak dituntut oleh pasien karena dituduh melakukan penganiayaan.

Informed Consent dalam kasus ini dapat menjadi salah satu bukti kuat karena selain berisikan persetujuan akan tindakan medis yang hendak dilakukan terhadap pasien, dapat pula melindungi pasien dari malpraktik karena formulir yang ditandatangani oleh pasien/wali pada pertama kali masuk/dirawat di rumah sakit pada umumnya berbunyi “segala akibat akan menjadi tanggung jawab pasien sendiri dan tidak menjadi tanggung jawab dokter bedah maupun rumah sakit”.

Informed Consent dalam kasus ini dapat menjadi salah satu bukti kuat karena selain berisikan persetujuan akan tindakan medis yang hendak dilakukan terhadap pasien, dapat pula melindungi pasien dari malpraktik karena formulir yang ditandatangani oleh pasien/wali pada pertama kali masuk/dirawat di rumah sakit pada umumnya berbunyi “segala akibat akan menjadi tanggung jawab pasien sendiri dan tidak menjadi tanggung jawab dokter bedah maupun rumah sakit”.

Dokumen terkait