• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat. Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH: EDVARDO IGNATIUS GINTING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat. Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH: EDVARDO IGNATIUS GINTING"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

MALPRAKTIK DI DUNIA KEDOKTERAN DITINJAU DARI PASAL 1365-1367 KUHPERDATA SERTA PASAL 55 AYAT (1) UU NOMOR 23 TAHUN 1992 J.O UU NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

(Studi Kasus Nomor:33/PDT/2015/PT-MDN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

EDVARDO IGNATIUS GINTING NIM : 150200566

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)

Segala puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus, karena atas Rahmat-Nya lah penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul

“Analisis Kedudukan Hukum Rekam Medis dan Informed Consent Sebagai Alat Pembuktian Perdata Dalam Kasus Malpraktik Di Dunia Kedokteran Ditinjau Dari Pasal 1365-1367 KUH Perdata Serta Pasal 55 Ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1992 J.O UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Studi Kasus Nomor:33/PDT/2015/PT-MDN)”.

Santo Fransiskus dari Asisi pernah berkata jika Tuhan Yesus Kristus bekerja melalui saya, maka Ia bekerja melalui siapapun, sebab dalam penulisan skripsi ini Tuhan lah yang bekerja melalui penulis dan tidak luput dari bantuan orang lain yang selalu meneguhkan penulis selama proses pengerjaan skripsi ini dari awal sampai akhir. Penulis persembahkan skripsi ini kepada dunia pendidikan guna menambah ilmu pengetahuan dan menumbuhkan semangat belajar khususnya ilmu hukum.

Adapun salah satu tujuan dari disusunnya skripsi ini adalah untuk melengkapi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada:

1. Orangtua tercinta penulis, yaitu Bapak Normal Ginting, SH. dan Ibu Agustina Sebayang yang telah memberikan motivasi, kasih sayang, nasihat, semangat

(4)

serta kekuatan yang luar biasa selama penulis menempuh pendidikan sampai dengan saat ini.

2. Saudara penulis, Yose Ferdinandus Ginting (Adik Kandung Penulis) yang menjadi sahabat setia Penulis dalam suka maupun duka serta saling mendukung dalam meraih cita-cita yang lebih tinggi.

3. Hana Serbina Br. Sembiring yang selalu ada untuk menyemangati, mengingatkan, dan selalu membantu penulis dari perkuliahan sehari-hari sampai penulisan skripsi kali ini dan hal lain yang tidak dapat disebutkan banyaknya.

4. Adik-adik special yang selalu membantu dan mewarnai keseharian penulis, yaitu: Queen GG, Ben-Ben, Leo, Liz, Agatha, Veronica, Gabriello.

5. Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

6. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Prof. Dr. Saidin, SH., M.Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum. selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH., M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Bapak Syamsul Rizal, SH., M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

12. Bapak Prof. Dr. Hasim Purba, SH., M.Hum. selaku Dosen Hukum Keperdataan dan Dosen Pembimbing I. Ucapan terimakasih yang sebesar- besarnya untuk segala dukungan yang sangat berarti serta ilmu pengetahuan dan wawasan yang Bapak telah bagikan kepada Penulis sehingga dapat bermanfaat bagi Penulis khususnya penyelesaian skripsi ini;

13. Bapak M.Husni, SH., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya untuk Bapak yang dengan penuh tanggung jawab dan ketulusan hati mengarahkan, membimbing serta memberikan masukan dari awal sampai dengan terselesaikannya pengerjaan skripsi ini;

14. Kepada Pak Tigor Manullang SH., MH. dan seluruh jajaran Hakim di Pengadilan Tinggi Negeri Medan yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

15. Seluruh Dosen pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, baik yang masih mengabdikan diri ataupun yang sudah pensiun;

16. Seluruh staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

17. Organisasi AIESEC dan seluruh anggota yang ada didalamnya terlebih pada saat Penulis berada didalamnya yang mengajarkan penulis bagaimana memimpin dan berbakti secara social dalam ruang lingkup skala internasional yang menambah wawasan Penulis;

18. Benhard Unch Sinaga dan Petra Si Petruk Situmorang yang selalu menghibur penulis.

19. Keluarga KMK. FIDELIS yang menjadi penyemangat serta yang selalu ada bersama penulis, yaitu Fransiskus Tarihoran, Samuel Yoshua Sibarani, Yosafat Tamba, Fandi Andremon, Daniel Sitanggang, Ryo Timothy, Raja

(6)

Sitinjak, Rafly Timothy, Perdana Maretta, Wilona Sesilia, Biva Maria, Windy Litania, Jien Hasugian, Olivia Pintha, dan masih banyak lagi yang tidak dapat tersebut satu persatu yang menjadi partnerku berkembang.

20. Kumpulan Mahasiswa Kelompok F Fakultas Hukum USU, yang selalu menjadi tempat penulis bertukar pikiran dan berbagi cerita.

21. Seluruh rekan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu. Jadi dan beranilah menjadi agent ofchange kawan. Hidup Mahasiswa!!!

22. Para Penulis buku-buku dan artikel-artikel yang Penulis jadikan referensi data guna pengerjaan skripsi ini;

23. Seluruh orang yang penulis kenal dan mengenal Penulis.

Penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif terhadap skripsi ini.

Atas segala perhatiannya, Penulis ucapkan terima kasih.

Medan, November 2019 Penulis

Edvardo Ignatius Ginting (150200566)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penulisan ... 11

D. Manfaat Penulisan ... 12

E. Metode Penulisan ... 13

F. Tinjauan Pustaka ... 16

G. Keaslian Penulisan ... 24

H. Sistematika Penulisan ... 26

BAB II PENGATURAN MALPRAKTIK DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA A. Pengaturan Malpraktik dalam Aspek Hukum Perdata ... 28

B. Pengaturan Malpraktik Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 1992 j.o. UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan ... 37

C. Tanggung Jawab Hukum Perdata oleh Dokter atau Tenaga Medis dalam Hal Terjadi Malpraktik ... 48

(8)

1. Hubungan Hukum Membentuk Pertanggungjawaban Perdata

Bagi Dokter ... 49

2. Pertanggungjawaban Dokter Dalam Hukum Perdata ... 52

3. Tanggungjawab Hukum Pemberi Pelayan Kesehatan Terhadap Dugaan Kasus Malpraktik Medis ... 55

4. Batas Tanggung Jawab Tenaga Kesehatan (Dokter) ... 58

BAB III PENAFSIRAN HUKUM OLEH HAKIM TENTANG REKAM MEDIS DAN INFORMED CONSENT SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM KASUS MALPRAKTIK A. Penafsiran Hukum oleh Hakim Tentang Rekam Medis Sebagai Alat Bukti dalam Kasus Malpraktik ... 62

1. Hukum Pembuktian ... 62

2. Aspek Hukum Rekam Medis ... 80

3. Rekam Medis Konvensional ... 81

4. Rekam Medis Elektronik ... 83

5. Penyebab Perbedaan Antara Rekam Medis Konvensional dan Elektronik ... 84

B. Penafsiran Hukum oleh Hakim Tentang Informed Consent Sebagai Alat Bukti dalam Kasus Malpraktik ... 87

1. Tinjauan Tentang Informed Consent ... 89

2. Aspek Hukum Informed Consent ... 94

(9)

BAB IV ANALISIS KEDUDUIKAN HUKUM REKAM MEDIS DAN INFORMED CONSENT SEBAGAI ALAT PEMBUKTIAN PERDATA DALAM KASUS MALPRAKTIK PADA PUTUSAN NOMOR: 33/PDT/2015/PT-MDN

A. Kasus Posisi ... 97 1. Kronologis Kasus ... 97 B. Pertimbangan Hakim Pada Putusan Nomor: 33/PDT/2015/PT-

MDN ... 101 1. Tentang Pertimbangan Hukumnya ... 101 2. Dalam Pokok Perkara ... 106 C. Analisis Kedudukan Hukum Rekam Medis dan Informed Consent 107

1. Analisis Kedudukam Hukum Rekam Medis Sebagai Alat Pembuktian ... 107 2. Analisis Kedudukan Informed Consent Sebagai Alat

Pembuktian ... 110

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 116 B. Saran ... 118

DAFTAR PUSTAKA ... 120

(10)

ABSTRAK

Edvardo Ignatius Ginting57 Hasim Purba

M.Husni

Setiap dokter yang menangani pasien yang datang tidak akan lepas dari suatu kontrak atau perjanjian antara dokter dan pasien yang disebut transaksi terapeutik. Suatu tindakan medis merupakan tindakan yang penuh dengan resiko.

Sehingga, dalam norma hukum, adanya tindakan medis yang mengakibatkan kerugian pada pasien dapat disebut malpraktek medis.

Penulisan Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan hukum Rekam Medis dan Informed Consent sebagai alat bukti dalam kasus malpraktek dalam aspek Hukum Keperdataan dimana dalam penulisan skripsi ini, kasus yang dijadikan contoh adalah kasus dengan nomor (Studi Kasus Nomor:33/PDT/2015/PT-MDN) dan ditinjau berdasarkan Pasal 1365-1367 KUHPerdata serta pasal 55 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1992 J.O UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Metode penulisan skripsi ini bersifat normatif dengan pendekatan konseptual melalui pemahaman konsep-konsep, pandangan-pandangan ataupun doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum dan pendekatan kasus dengan cara melakukan telaah terhadap kasus yang berkaitan dengan masalah penelitian yang dihadapi serta penjelasan langsung dari pihak yang terkait didalmnya.

Hasil Penelitian disimpulkan bahwa sebagai jawaban dari permasalahan di atas adalah bahwasanya Rekam Medis dan Informed Consent dapat dijadikan sebagai alat bukti surat. Namun untuk menggugat secara perdata, maka terdapat dasar-dasar gugatan yang telah diatur secara normatif dalam peraturan perundang- undangan, dalam hal ini KUHPerdata, Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 jo.

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang- Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dan peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan masalah pelayanan kesehatan.

Kata Kunci : Rekam Medis, Informed Consent, Malpraktik

57 Mahasiswa Departemen Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara

** Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Dosen Pembimbing II,Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kasus malpraktik merupakan salah satu masalah paling sentral berkaitan dengan hukum kesehatan dan pelayanan kesehatan. Malpraktik, yang dianggap merupakan terjemahan dari malpractice, didefinisikan menurut The Advanced Learner’s Dictionary of Current English sebagai Wrongdoing (kesalahan) atau neglect of duty (kelalaian).58

Meskipun Undang-Undang Kesehatan dan Praktik Kedokteran semakin memperkuat status hukum pasien dan menyetarakan hubungan hukum antara pasien dengan dokter atau rumah sakit, namun meningkatnya kasus-kasus malpraktik tidak dapat dihindari. Sebagai contoh yang cukup aktual adalah Rumah Sakit Omni Internasional di Jakarta, yang selayaknya memiliki standar pelayanan kesehatan kelas internasional namun harus menghadapi beberapa tuduhan malpraktik dan tuntutan ganti kerugian. Pada bulan September tahun 2008, LBH Kesehatan bahkan mencatat selama 8 bulan terakhir telah terjadi 111 kasus malpraktik, namun dari sekian banyak kasus tersebut, hanya 8 kasus yang diproses secara hukum.

Saat seseorang menuntut seorang dokter atau rumah sakit secara perdata, maka dapat dipastikan dia bermaksud memperoleh ganti kerugian atas tindakan malpraktik yang terjadi. Padahal, profesi kedokteran merupakan suatu profesi

58 Fred Ameln, 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta,

hal. 83.

(12)

2

dengan standar dan intelektualitas yang tinggi di atas rata-rata masyarakat umumnya. A priori, sangat sulit untuk menentukan suatu tindakan medis seorang dokter memenuhi unsur malpraktik, mengingat adanya kode etik, standar operasional prosedur, dan standar profesi, tanpa melupakan eksistensi komite penegak etik maupun disiplin kedokteran seperti Komite Medik dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Dari aspek legislasinya, peraturan tentang kesehatan dan profesi kedokteran juga telah diatur dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 dan Undang-Undang No. 29 Tahun 2004.

Semua peraturan dan norma yang ada ini seakan-akan menunjukkan bahwa dokter, rumah sakit dan tenaga kesehatan itu “easily touchable by the law and potentially forgiven by the law” di saat yang sama. Hal ini dikarenakan, sekali seorang dokter diduga melakukan malpraktik, jika menurut standar kedokteran tindakan medis yang dilakukan itu sudah benar dan layak meski kemungkinan akibatnya dapat menimbul- kan kerugian, maka dia terlepas dari tanggung gugatnya, baik secara sipil, publik, maupun kriminal.59

Oleh karena itu, hingga hari ini, malpraktik pidana, perdata dan administratif masih diadili sesuai dengan ketentuan yang berlaku sekarang, yaitu tunduk pada kompetensi pengadilan negeri, yang mana hukum acaranya belum memiliki kekhususan, meskipun sebenarnya pada rancangan Undang-Undang No.

29 Tahun 2004 yang diusulkan DPR pada saat itu, sebenarnya terdapat konsep pembentukan Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Medis, yang memiliki hukum acara tersendiri.

Medical malpractice, atau malpraktik medis, menurut teori umum dapat

59 Ibid,Hal.84

(13)

dikelompokan dalam dua konsep, yaitu malpraktik dari aspek etika (ethical malpractice) dan malpraktik dari aspek hukum (juridical malpractice).

Lebih lanjut, juridical malpractice terdiri atas tiga kategori yang lebih spesifik, yaitu malpraktik pidana (criminal malpractice), malpraktik perdata (civil malpractice) dan malpraktik administratif (administrative malpractice).60

Black Law Dictinary menyebutkan Malpraktik sebagai “Any professional misconduct or unreasonable lack of skill. This term is usually applied to such conduct by doctors, lawyers, and accountants. Failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them. It is any professional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or fiduciary duties, evil practice, or illegal or immoral conduct”

“Setiap kesalahan profesional atau kurangnya keterampilan yang tidak masuk akal. Istilah ini biasanya diterapkan pada perilaku seperti itu oleh dokter, pengacara, dan akuntan. Kegagalan satu layanan render profesional untuk melaksanakan tingkat keterampilan dan pembelajaran yang biasa diterapkan dalam semua keadaan di masyarakat oleh rata-rata anggota profesi terkemuka yang berhati-hati dengan akibat cedera, kehilangan atau kerusakan pada penerima layanan tersebut atau kepada mereka berhak untuk mengandalkan mereka. Ini adalah kesalahan profesional apa pun, kurangnya

60 Sudjari Solichin, 2006, Malpraktik Medik, Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 355.

(14)

4

keterampilan atau kesetiaan yang tidak masuk akal dalam tugas profesional atau fidusia, praktik kejahatan, atau perilaku ilegal atau tidak bermoral ”61

Pengertian malpraktek di atas menyebutkan adanya kesembronoan (professional misconduct) atau kekurangan ketrampilan yang tidak dapat diterima (unreasonable lack of skill) yang diukur dengan ukuran yang terdapat pada tingkat keterampilan sesuai dengan derajat ilmiah yang lazimnya dipraktekkan pada setiap situasi dan kondisi di dalam komunitas anggota profesi yang mempunyai reputasi dan keahlian rata-rata.Secara khusus tentunya dikenal adanya medical malpractice yaitu :

“In medical malpractice litigation, negligence is the predominant theory of liability. In order to recover for negligent malpractice, the plaintiff must establish the following elements: (1) the existence of the physician’s duty to the plaintiff, usually based upon the physician-patient relationship; (2) the applicable standard of care and its violation; (3) a compensable injury; and (4) a causal connection between the violation the standard of care and the harm complained of”62

Sedangkan Malpraktik menurut para ahli adalah :

Veronica Komalawati menyebutkan malpraktek pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul akibat adanya kewajiban- kewajiban yang harus dilakukan dokter.

Selanjutnya Herman Hediati Koeswadji menjelaskan bahwa malpraktek secara hafiah diartikan sebagai bad practice atau praktik buruk yang berkaitan

61 J. Guwandi,SH,1994, Kelalaian Medik (Medical Negligence), Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal. 103

62 Ibid, hal. 105

(15)

dengan penerapan ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandunf ciri-ciri khusus.

Maraknya malpraktik di Indonesia membuat masyarakat tidak percaya lagi pada pelayanan kesehatan di Indonesia. Ironisnya lagi, pihak kesehatan pun khawatir kalau para tenaga medis Indonesia tidak berani lagi melakukan tindakan medis karena takut berhadapan dengan hukum. Lagi-lagi hal ini disebabkan karena kurangnya komunikasi yang baik antara tenaga medis dan pasien. Tidak jarang seorang tenaga medis tidak memberitahukan sebab dan akibat suatu tindakan medis. Pasien pun enggan berkomunikasi dengan tenaga medis mengenai penyakitnya. Departemen Kesehatan perlu mengadakan penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat tentang bagaimana kinerja seorang tenaga medis.

Sekarang ini tuntutan professional terhadap profesi ini makin tinggi. Berita yang menyudutkan serta tudingan bahwa dokter telah melakukan kesalahan dibidang medis bermunculan. Di negara-negara maju yang lebih dulu mengenal istilah malpraktik medis ini ternyata tuntutan terhadap tenaga medis yang melakukan ketidaklayakan dalam praktik juga tidak surut. Biasanya yang menjadi sasaran terbesar adalah dokter spesialis bedah (ortopedi, plastic dan syaraf), spesialis anestesi serta spesialis kebidanan dan penyakit kandungan. Di Indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja tenaga medis juga berkembang. Pada awal Januari tahun 2007 publik dikejutkan oleh demontrasi yang dilakukan oleh para korban dugaan malpraktik medis ke Polda Metro Jaya dengan tuntutan agar polisi dapat mengusut terus sampai tuntas setiap kasus dugaan malpraktik yang pernah dilaporkan masyarakat.

Tuntutan yang demikian dari masyarakat dapat dipahami mengingat sangat

(16)

6

sedikit jumlah kasus malpraktik medik yang diselesaikan di pengadilan. Apakah secara hukum perdata, hukum pidana atau dengan hokum administrasi. Padahal media massa nasional juga daerah berkali-kali melaporkan adanya dugaan malpraktik medik yang dilakukan dokter tapi sering tidak berujung pada peyelesaian melalui sistem peradilan.

Salah satu dampak adanya malpraktik pada zaman sekarang ini (globalisasi). Saat ini kita hidup di jaman globalisasi, jaman yang penuh tantangan, jaman yang penuh persaingan dimana terbukanya pintu bagi produk- produk asing maupun tenaga kerja asing ke Indonesia. Kalau kita kaitkan dengan dunia medis, ada manfaat yang didapat, tetapi banyak pula kerugian yang ditimbulkan. Manfaatnya adalah seiring mesuknya jaman globalisasi, maka tidak menutup kemungkinan akan kehadiran peralatan pelayanan kesehatan yang canggih. Hal ini memberikan peluang keberhasilan yang lebih besar dalam kesembuhan pasien. Akan tetapi, banyak juga kerugian yang ditimbulkan.

Masuknya peralatan canggih tersebut memerlukan sumber daya manusia yang dapat mengoperasikannya serta memperbaikinya kalau rusak. Hal yang menjadi sorotan disini adalah dalam hal pengoperasiannya. Coba kita analogikan terlebih dahulu, dengan masuknya peralatan-peralatan canggih tersebut, maka mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. Namun, yang terjadi saat ini adalah banyak tenaga medis yang melakukan kesalahan dalam pengoperasian peralatan canggih tersebut sehingga menimbulkan malpraktik. Jelas sekali bahwa ketergantungan pada peralatan pelayanan kesehatan ini dapat menghambat pelayanan kesehatan. Untuk menindaklanjuti masalah ini, agar tidak sampai terjadi malpraktik, perlu adanya penyuluhan kepada tenaga pelayanan kesehatan

(17)

mengenai masalah ini. Kemudian, perlu adanya penyesuaian kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi. Satu hal yang lebih penting lagi adalah perlu adanya kesadaran bagi para tenaga medis untuk terus belajar dan belajar agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam penggunaan peralatan canggih ini demi mencegah terjadinya malpraktik, dan guna untuk menghindari kejadian malpraktik, ada hal yang harus kita perhatikan, yakni diantaranya adalah:

a. Pilih tempat pengobatan (RS atau Klinik) yang memiliki reputasi cukup baik.

Jangan hanya mempertimbangkan jarak dengan rumah sebagai dasar memilih tempat berobat. Jangan ragu memilih di tempat yang jauh asalkan reputasinya bagus, meskipun di dekat rumah anda ada layanan kesehatan tetapi belum jelas reputasinya.

b. Ketika pasien melakukan rawat inap, akan ada dokter yang ditunjuk untuk menangani pasien. Jangan ragu untuk meminta dokter yang anda percayai kepada pihak manajemen, apalagi jika anda merasa ragu dengan dokter yang menangani pasien yang anda bawa.

c. Jangan takut untuk bertanya kepada dokter mengenai tindakan medis yang dilakukan. Menurut UU Kesehatan, keluarga pasien berhak tahu apa saja tindakan medis yang dilakukan dokter kepada pasien. Jangan ragu untuk bertanya mengenai diagnosa, dasar tindakan medis dan apa manfaat dari tindakan medis yang dilakukan oleh dokter tersebut.

d. Jangan takut untuk bertanya kepada dokter obat yang diberikan kepada pasien.

Sebagai keluarga, anda berhak tahu dan dilindungi oleh UU Kesehatan. Hal ini karena tidak jarang ada oknum dokter hanya mengejar komisi dari perusahaan distributor obat sehingga memberikan obat yang lebih banyak atau bahkan

(18)

8

tidak diperlukan kepada pasien.

e. Kerjasama Rumah Sakit dengan Organisasi Profesi untuk mengatasi Malpraktik Kecelakaan (hasil buruk) tidak terjadi sebagai akibat dari satu sebab (single cause), melainkan merupakan hasil dari banyak sebab (multiple cause). Suatu kesalahan manusia (human error) yang terlihat pada waktu terjadi kecelakaan sebenarnya hanyalah merupakan active error, yang mungkin kita sebut sebagai faktor penyebab ataupun pencetus/presipitasi.

Sementara itu terdapat faktor-faktor penyebab lain yang merupakan latent errors atau yang biasa kita sebut sebagai predisposisi, underlying factors, faktor kontribusi, dll.

Active errors terjadi pada tingkat operator garis depan dan dampaknya segera dirasakan, sedangkan latent errors cenderung berada di luar kendali operator garis depan, seperti desain buruk, instalasi yang tidak tepat, pemeliharaan yang buruk, kesalahan keputusan manajemen, dan struktur organisasi yang buruk.

Latent error merupakan ancaman besar bagi keselamatan (safety) dalam suatu sistem yang kompleks, oleh karena sering tidak terdeteksi dan dapat mengakibatkan berbagai jenis active errors. Latent errors tidak terasa sebagai error, namun sebenarnya merupakan akar dari kesalahan manajemen yang telah banyak menimbulkan unsafe conditions dalam praktik kedokteran di lapangan. Bila satu saat unsafe conditions ini bertemu dengan suatu unsafe act (active error), maka terjadilah accident. Dengan demikian perlu kita pahami bahwa penyebab suatu accident bukanlah single factor melainkan multiple factors.

(19)

Dalam diskusi internal Ikatan Dokter Indonesia pada pertengahan tahun lalu dimunculkan beberapa akar penyebab tersebut, yaitu sebagai berikut.63

1. Pemahaman dan penerapan etika kedokteran yang rendah. Hal ini diduga merupakan akibat dari sistem pendidikan di Fakultas Kedokteran yang tidak memberikan materi etika kedokteran sebagai materi yang juga mencakup afektif, tidak hanya kognitif.

2. Paham materialisme yang semakin menguat di masyarakat pada umumnya dan di dalam pelayanan kedokteran khususnya.

3. Belum adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin akuntabilitas profesi kedokteran (saat ini kita sedang menunggu diundangkannya UU Praktik Kedokteran yang diharapkan dapat mengatur praktik kedokteran yang akuntabel).

4. Belum adanya good clinical governance di dalam pelayanan kedokteran di Indonesia, yang terlihat dari belum ada atau kurangnya standar (kompetensi, perilaku dan pelayanan) dan pedoman (penatalaksanaan kasus), serta tidak tegasnya penegakan standar dan pedoman tersebut.

Diduga masih banyak penyebab-penyebab lain atau derivat dari penyebab- penyebab di atas, seperti tidak adanya standar pendidikan kedokteran, peraturan yang membolehkan para dokter bekerja di banyak tempat praktik (sarana kesehatan) dengan risiko menipisnya mutu hubungan dokter-pasien, mahalnya pendidikan kedokteran, terutama Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), sistem pembiayaan yang membebankan sebagian besar keputusan kepada dokter, komersialisasi rumah sakit, dan lain-lain.

63 Wila Chandrawila Supriadi, 2001, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, hal. 132

(20)

10

Pada penulisan skripsi ini, malpraktik perdata merupakan fokus yang telah dianalisis, terutama dari segi pembuktiannya dimana dalam hal ini menggunakan studi kasus malpraktik yang ditangani pada Pengadilan Tinggi Medan yang dialami anak dari Sony Husni Ginting dalam putusan nomor: (33/PDT/2015/PT- MDN). Malpraktik perdata dapat dikatakan terjadi ketika suatu tindakan malpraktik telah menyebabkan luka ataupun kematian bagi seseorang yang diduga disebabkan oleh kesalahan, kelalaian, maupun pelanggaran aturan hukum oleh dokter/tenaga kesehatan/ rumah sakit, dimana tindakan malpraktik tersebut tidak tunduk pada aturan-aturan hukum pidana maupun administratif.

Di Indonesia, adanya Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ternyata belum merumuskan persoalan malpraktik medis secara jelas dan tegas. Selain tidak adanya definisi eksplisit mengenai malpraktik, tidak ada aturan-aturan khusus yang mengatur mengenai penyelesaian sengketa medik melalui prosedur litigasi (persidangan pengadilan) antara pasien dengan dokter/tenaga kesehatan/rumah sakit (selanjutnya cukup disebut dokter) dalam hal praktik kedokteran ataupun pelayanan kesehatan.64 Oleh sebab itu, penulisan skripsi ini bermaksud mengharmonisasikan sistem pembuktian yang diatur dalam hukum acara perdata positif dengan pembuktian mengenai malpraktik yang dilakukan dari segi medis.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, Terjadinya malpraktik harus dibuktikan secara medis, maka dengan berpedoman pada dasar hukum penuntutan ganti rugi yang diatur dalam Pasal 1365, 1366, dan 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) serta Pasal 55 ayat (1)

64 Sudjari Solichin, 2006, Malpraktik Medik, Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 355

(21)

Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 jo. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Maka bertolak dari penjelasan dari latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengkaji masalah tersebut dengan judul “ Analisis Kedudukan Hukum Rekam Medis Dan Informed Consent Sebagai Alat Pembuktian Perdata Dalam Kasus Malpraktik Di Dunia Kedokteran Ditinjau Dari Pasal 1365- 1367 KUH Perdata Serta Pasal 55 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 J.O Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan(Studi Kasus Nomor: 33/PDT/2015/PT-MDN).

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana pengaturan hukum mengenai malpraktik dalam sistem hukum di Indonesia?

2. Bagaimanakah penafsiran hukum oleh hakim tentang rekam medis dan informed consent sebagai alat bukti dalam kasus malpraktik?

3. Bagaimanakah analisis kedudukan hukum rekam medis dan informed consent sebagai alat pembuktian perdata dalam kasus malpraktik pada putusan nomor: 33/PDT/2015/PT-MDN?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan dalam skripsi yang ditulis penulis adalah sebagai berikut.

(22)

12

1. Untuk mengetahui bagaimanakah sistem pengaturan hukum mengenai malpraktik dalam sistem hukum di Indonesia.

2. Untuk mengetahui bagaimanakah penafsiran hukum oleh hakim mengenai rekam medis dan informed consent sebagai alat bukti dalam kasus malpraktik.

3. Untuk mengetahui bagaimanakah analisis kedudukan hukum rekam medis dan informed consent sebagai alat pembuktian perdata dalam kasus pada putusan Nomor: (33/PDT/2015/PT-MDN) serta menurut Pasal 1365-1367 KUH Perdata dan Pasal 55 Ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1992 j.o UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut.

1. Secara teoritis, penulisan ini dapat dijadikan bahan kajian terhadap perkembangan hukum yang berkaitan dengan pembuktian dalam kasus malpraktik terlebih yang berkaitan dengan pembuktian perdata.

2. Secara praktis, bertumbuhnya kesadaran bahwa rekam medis dan informed consent sangat penting dan membantu dalam perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan, sekaligus membantu mempermudah menentukan mengetahui posisi suatu tindakan medis dalam kasus malpraktik

(23)

E. Metode Penulisan

Metode penelitian merupakan logika yang menjadi dasar suatu penelitian ilmiah.65 Dalam penulisan skripsi ini metode penelitian sangat diperlukan agar penelitian skripsi menjadi lebih terarah dengan data yang dikumpulkan melalui pencarian-pencarian data yang terhubung dengan permasalahan dalam skripsi ini.

Untuk memperoleh gelar sarjana hukum,para mahasiswa harus mencantumkan metode yang akan digunakan dalam skripsinya.66 Dan dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian Hukum normatif yaitu penelitian yang di lakukan berdasarkan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas.67 Nama lain dari penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum doktriner, juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian hukum doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain.68

Menurut Bambang Waluyo pelaksanaan penelitian hukum normatif secara garis besar akan ditujukan kepada:69

65 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 2010, hal. 6

66 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2005, hal. 3

67 Amiruddin dan Zainal Askin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT.

Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 118

68 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta, Sinar Grafika, 1996, hal. 13

69 Ibid, hal. 15

(24)

14

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum, seperti misalnya penelitian terhadap hukum positif yang tertulis atau penelitian terhadap kaidah-kaidah hukum yang hidup di dalam masyarakat.

b. Penelitian terhadap sistematika hukum, dilakukan dengan menelaah pengertian dasar dari sistem hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum yang dapat dilakukan baik sinkronisasi secara vertical (beda derajat) ataupun secara horizontal (sama/derajat/sederajat).

d. Penelitian sejarah hukum, merupakan penelitian yang lebih dititik beratkan pada perkembangan-perkembangan hukum. Penelitian terhadap perbandingan hukum, merupakan penelitian yang menekankan dan mencari adanya perbedaan-perbedaan yang ada pada berbagai sistem hukum.

e. Penelitian terhadap perbandingan hukum, merupakan penelitian yang menekankan dan mencari adanya perbedaan-perbedaan yang ada pada berbagai sistem hukum.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder (secondary data), yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan yang mencakup berbagai buku, dokumen resmi, peraturan perundang-undangan, hasil penelitian ilmiah yang berupa laporan serta bahan-bahan kepustakaan yang

(25)

berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.70 Serta dengan melakukan wawancara di Pengadilan Tinggi Medan guna mendapatka data yang lebih spesifik untuk melengkapi skripsi ini

Menurut Soerjono Soekanto data sekunder terdiri atas:71

a. Bahan hukum primer ialah bahan-bahan hukum contohnya undang-undang, peraturan pemerintah, kitab undang-undang hukum perdata, dan lain-lainnya.

Bahan hukum primer terdiri dari:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata ).

2) Undang-Undang No.25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian.

3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).

4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi.

5) Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 61 Tahun 1988 Tentang Pembiayaan Presiden Republik Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang diperoleh dari buku-buku yang ditulis oleh parah ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi dan hasil-hasil symposium mutakhir yang berkaitan dengan topic penelitian.72

c. Bahan hukum Tersier ialah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti

70 Soerjono Soekanto, Peneltian Hukum Normatif, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 12

71 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 13

72 Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Depok, Prenada Media Group, 2018, hal. 123

(26)

16

kamus umum,kamus hukum,majalah,dan internet yang menjadi tambahan bagi penulisan skripsi ini yang berkaitan dengan penelitian73

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

a. Studi Kepustakaan (Library research), yaitu studi kepustakaan dengan mengumpulkan dan mempelajari buku-buku hukum, literatur, tulisan- tulisan ilmiah, perturan perundang-undangan dan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

b. Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu penelitian dilakukan langsung dengan melakukan penelitian lapangan. Dalam Penulisan skripsi ini penulis melakukan penelitian lapangan pada Pengadilan Tinggi Medan melalui wawancara. Adapun informan yang di wawancarai adalah Pak Tigor Manullang SH.,MH. yang merupakan seorang Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Medan

F. Tinjauan Pustaka

1. Latar Belakang dan Perkembangan Rekam Medis

Definisi Rekam Medis menurut Walters dan Murphy yang dikutip oleh Sofwan Dahlan adalah kompendium (ikhtisar) yang berisi informasi tentang keadaan pasien selama dalam perawatan atau selama dalam pemeliharaan kesehatannya. Latar belakang perlunya dibuat Rekam Medis adalah untuk

73 Abdurahman, Sosiologi dan Metodelogi Penelitian Hukum, Malang, UMM Press, 2009, hal. 25

(27)

mendokumentasikan semua kejadian yang berkaitan dengan kesehatan pasien serta menyediakan media komunikasi di antara tenaga kesehatan bagi kepentingan perawatan penyakitnya sekarang maupun yang akan datang.

Hayt and hayt74 mendefinisikan Rekam Medis sebagai berikut.

“A medical record is the compilation of the pertinent facts of the patient’s life history, his illness, and treatment. In a larger sense the medical record is compilation of scientific data derived from many sources, coordinated into a document and available for various uses, personal and impersonal, to serve the patient, the physician, the institution in which the patient was treated, the science of medicine and society as a whole”

Gemala R. Hatta juga merumuskan Rekam Medis kesehatan sebagai kumpulan segala kegiatan para pelayan kesehatan yang ditulis, digambarkan atas aktivitas merekam terhadap pasien.75

Sebelum terbit Permenkes tersebut, sebenarnya di Indonesia Rekam Medis sudah ada sejak jaman penjajahan yang kemudian dilakukan pembenahan dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Kesehatan RI No.031/Birhup/1972 tentang diwajibkannya semua rumah sakit untuk mengerjakan medical recording dan reporting serta hospital statistic. Keputusan tersebut kemudian diikuti dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 034/Birhub/1972 tentang Perencanaan dan Pemeliharaan Rumah Sakit. Pada Bab I Pasal 3 disebutkan bahwa:

Guna menunjang terselenggaranya rencana induk (master plan) yang baik, maka setiap rumah sakit diwajibkan:

74 Hayt and hayt, 1964, Legal Aspects of Medical Records, Physician’s Record Company, Berwyn, Illiois dikutip oleh Hermien Hediati Koeswaji, hal. 142

75Gemala R. Hatta,Peranan Rekam Medik/Kesehatan (Medical Record) dalam Hukum Kedokteran, makalah dalam Konggres PERHUKI, Jakarta 8-9 Agustus 1986 dikutip oleh Hermin Hediati, hal 142

(28)

18

a. Mempunyai dan merawat statistik yang muthakir;

b. Membina rekam medis berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan

Dan pada tanggal 6 Oktober 2004 telah diundangkan Undang-Undang Praktek Kedokteran, rekam medis diatur pada Pasal 46 ayat (1) sampai (3) dan Pasal 47 ayat (1) sampai (3). Dengan demikian, hukum positif yang berlaku bagi rekam medis saat ini adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Undang-Undang No.29 Tahun 2004

2. Fungsi dan Kepemilikan Rekam Medis

Pembuatan Rekam Medis terkait dengan standar pelayanan rumah sakit dan pelayanan kesehatan. Adanya Rekam Medis merupakan bukti adanya proses pelayanan kesehatan yang telah diberikan kepada pasien.

Dalam Permenkes RI No. 749a/Menkes/Per/XII/1989 isi Rekam Medis dibedakan atas 2 macam Rekam Medis, yaitu Rekam Medis untuk pasien rawat jalan dan Rekam Medis untuk pasien rawat inap. Pada Pasal 14 disebutkan bahwa pembuatan Rekam Medis untuk pasien rawat jalan sekurang-kurangnya memuat identitas, anamnesa, diagnose dan tindakan/pengobatan. Sedangkan pada Pasal 15 Rekam Medis untuk pasien rawat inap sekurang-kurangnya berisi identitas pasien, anamnesa, riwayat penyakit, hasil pemeriksaan laboratorium, diagnosis, pertindik, tindakan pengobatan, catatan observasi klinis dan hasil pengobatan, resume akhir dan evaluasi pengobatan.

Fungsi Rekam Medis dikenal dengan singkatan ALFRED (

(29)

Administrastie, Legal, Financial, Reaserch, Education, Documentation).76 Menurut Pasal 13 Permenkes di atas , Rekam Medis berguna untuk:

1) Dasar pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien;

2) Bahan pembuktian dalam perkara hukum;

3) Bahan untuk keperluan penelitian dan pendidikan;

4) Dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan;

5) Bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan.

Selain fungsi tersebut oleh M. Yusuf Hanafiah dan Amri Amir77, fungsi dan kegunaan rekam medis dipaparkan sebagai berikut:

1) Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang ikut ambil bagian dalam memberi pelayanan pengobatan dan perawatan pasien.

2) Merupakan dasar untuk perencanaan pengobatan/perawatan yang harus diberikan dokter kepada pasien.

3) Sebagai bukti tertulis atas segala pelayanan, perkembangan penyakit dan pengobatan selama pasien berkunjung /dirawat di rumah sakit.

4) Sebagai dasar analisis, studi, evaluasi terhadap mutu pelayanan yang diberikan kepada pasien.

5) Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit maupun dokter dan tenaga kesehatan lainnya.

6) Menyediakan data-data khusus yang sangat berguna untuk keperluan penelitian dan pendidikan.

7) Sebagai dasar dalam perhitungan biaya pembayaran pelayanan medis pasien.

76 Triana Ohoiwatun, 2007, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Tinjauan Berbagai Peraturan Perundangan dan UU Praktek Kedokteran, Bayumedia Publishing, Malang, hal. 24

77 M.Yusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hal. 34

(30)

20

8) Menjadi sumber ingatan yang haru didokumentasikan, serta sebagai bahan pertanggungjawaban dan laporan.

3. Latar Belakang dan Perkembangan Informed Consent

Persetujuan dalam pelayanan medis pertama kali timbul di Inggris pada abad ke-18 yaitu pada kasus terjadinya pembedahan atau operasi yang dilakukan tanpa persetujuan hak orang lain. Di dalam hukum Inggris (Common Law) dikenal istilah battery yaitu bahaya yang disengaja atau serangan dari orang lain yang menyentuhnya tanpa hak. Kasus Slater v. Baker Stapleton (1767) merupakan kasus pengadilan pertama di dunia tentang informed consent, dokter pada waktu itu divonis bersalah karena tanpa seijin pasien telah memisahkan lagi callous dari suatu fraksi yang sebenarnya sudah mulai menyatu dan mulai sembuh. Tindakan tersebut dipersalahkan karena disamping dia tidak mendapat persetujuan dari pasiennya juga menyalahi standar profesi. Pengadilan akhirnya memutuskan bersalah terhadap kasus battery tersebut.78

Sampai sekarang, di dalam pengadilan modern masih memutuskan dokter bertanggung jawab jika suatu prosedur medis dilakukan tanpa persetujuan atau hak orang lain atau battery tersebut. Dalam peraturan yang lama, informasi yang tidak cukup dan salah mengakibatkan persetujuan tidak berlaku dan dokter tidak bertanggungjawab untuk battery. Namun saat ini suatu prosedur medis yang dilaksanakan tanpa informasi yang memadai merupakan suatu kesalahan yang terpisah dan dapat dipertanggunjawabkan berdasarkan kelalaian dan kealpaan.

Dengan demikian, persetujuan itu sendiri melindungi pemberi pelayanan

78 M.Yusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hal. 56

(31)

medis dari tanggungjawab battery, sedangkan persetujuan tindakan medis melindunginya dari tanggungjawab atas kelalaian dan kealpaan (Roach Jr.,et al, 1985:160)79

Dari sudut pandang yang lain, Hermien Hedijati dan Fuady mengemukakan bahwa doktrin Informed Consent semula berawal dari tindakan yang dilakukan oleh para dokter Nazi Jerman terhadap tawanan Yahudi sebagai objek penelitian.

Dokter-dokter Nazi melakukan pemotongan/ pembedahan/ perusakan tubuh para tawanan Yahudi tanpa perikemanusiaan dan tanpa persetujuan mereka sehingga semua tawanan merasakan penderitaan dan sakit yang luar biasa. Para dokter tersebut menyadari bahwa penelitian ini berakibat matinya manusia yang menjadi objek penelitian.80

Perbuatan para dokter tersebut kemudian harus dipertanggungjawabkan di Pangadilan Nuremberg yang akhirnya memutuskan bahwa para dokter Nazi telah melakukan kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity). Dengan adanya peristiwa tersebut maka pada tanggal 19 Agustus 1947 lahirlah Nuremberg Code yang merupakan putusan mahkamah internasional terhadap 23 orang dokter yang telah melakukan riset secara sewenang-wenang kepada para tawanan tanpa persetujuan dari yang bersangkutan.

Pada tahun 1964, forum World Medical Association melalui sebuah deklarasi di Helinski, kemudian memutuskan untuk menerapkan Nuremberg Code sebagai

79 Veronica Komalawati,2002, op.cit. hal. 108

80 Hermien Hadijati, 1998, Hukum Kedokteran: Studi tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter sebagai Salah Satu Pihak, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 98

(32)

22

pedoman dalam melakukan clinical research.81 Deklarasi tersebut antara lain juga menyebutkan bahwa dalam mengobati orang sakit dalam hal memungkinkan, dokter harus mendapatkan persetujuan dari pasien yang diberikan secara bebas, sesudah pasien diberikan penjelasan selengkapnya oleh dokter. Apabila pasien dalam keadaan tidak cakap untuk memberikan persetujuan maka persetujuan dapat diperoleh dari kewenangan menurut hukum yang bertindak atas nama pasien. Mulai saat itu maka dalam pelayanan kesehatan kemudian dikenal adanya kewajiban membuat persetujuan tindakan medis.

4. Informed Consent dalam Pelayanan Medis

Pada hakikatnya, persetujuan atas dasar informasi atau dikenal dengan istilah Informed Consent merupakan alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri di dalam praktek dokter. Penentuan nasib sendiri adalah nilai/sasaran informed consent. Informed Consent oleh Duphuis yang dikutip oleh Komalawati82, persyaratan Informed Consent adalah setiap tindakan baik yang bersifat diagnostik maupun terapeutik pada asasnya senantiasa memerlukan persetujuan pasien yang bersangkutan. Oleh karena pasien hanya dapat memberikan persetujuan riil apabila pasien dapat menyimak situasi yang dihadapinya, maka satu-satunya yang diperlukan adalah informasi.

Pengertian tentang Informed Consent menurut Komalawati sendiri mencakup peraturan yang mengatur perilaku dokter dalam berinteraksi dengan pasien, disamping merupakan landasan etis untuk menghargai nilai otonom. Oleh karena itu, gagasan dasar Informed Consent adalah keputusan untuk perawatan

81 Munir Fuady, 2005, Sumpah Hippocrates: Aspek Hukum Malpraktek Dokter, PT.

Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 75

82 Veronica Komalawati,2002, op.cit. hal. 10

(33)

atau pengobatan didasarkan pada kerjasama antara dokter dan pasien. Perawatan dan pengobatan tersebut merupakan istilah operasional dari kegiatan pemulihan kesehatan dan kegiatan penyembuhan penyakit, sedangkan yang dimaksud dengan tindakan adalah perilaku dokter dalam kegiatan tersebut.83

Di samping itu, pengertian Informed Consent yang diberikan oleh Departemen Kesehatan84 adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang dilakukan terhadap pasien tersebut. Sedangkan Fuady85 mengatakan Informed Consent adalah persetujuan dari pihak pasien atau dari keluarga pasien jika pasien tidak mungkin memberikan persetujuan secara bebas dan bernalar atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter atas tubuhnya atau atas diagnostik, terapeutik dan paliatif (menghilangkan rasa sakit), yang dilakukan oleh dokter, persetujuan mana diberikan oleh pasien, setelah kepada pasien tersebut diberikan informasi yang cukup dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh pasien (sehingga pasien dapat mengambil keputusan yang tepat) tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan tindakan yang dilakukan oleh dokter tersebut, termasuk informasi tentang maksud dan tujuan diagnose, paliatif dan pengobatan, semua fakta-fakta penting, resiko- resiko dan efek samping ataupun komplikasi yang mungkin akan terjadi, kerugian dan keuntungan pengobatan dengan cara tersebut, alternatif lain yang tersedia, besarnya biaya yang akan dikeluarkan, persentase kegagalan, keadaan setelah pengobatan dan pengalaman dokter tersebut.

Informed Consent pada dasarnya merupakan syarat subjektif untuk terjadinya transaksi terapeutik dalam pelayanan kesehatan yang bertumpu pada

83 Ibid. hal 107

84 Permenkes RI No. 585/MEN/PER/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik

85 Guwandi, 2004, op.cit. hal . 24

(34)

24

dua macam hak asasi sebagai hak dasar manusia yaitu hak atas informasi dan hak untuk menentukan nasibnya sendiri.

G. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Kedudukan Hukum Rekam Medis Dan Informed Consent Sebagai Alat Pembuktian Perdata Dalam Kasus Malpraktik Di Dunia Kedokteran Ditinjau Dari Pasal 1365- 1367 KUH Perdata Serta Pasal 55 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 J.O Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan(Studi Kasus Nomor: 33/PDT/2015/PT-MDN)” tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya dan penulis sudah melakukan pemeriksaan keperpustakan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Adapun berdasarkan hasil penelusuran Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum/Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,ada beberapa judul yang membahas tentang Malpraktik antara lain:

1. Nama : Haziela.F

NIM : 130200073

Judul : Tanggung Jawab Keperdataan Dokter Muda dalam Pelayanan Kesehatan Terhadap Pasien di Rumah Sakit Umum Pringadi Medan

Dengan rumusan masalah yakni:

1) Bagaimana Hubungan Hukum Antara Dokter Muda (Co.Ass) Dengan Rumah Sakit Umum Pringadi Medan?

(35)

2) Bagaimana Bentuk Pertanggung Jawaban Serta Sanksi Dokter Muda (Co.Ass) Dalam Penanganan Pelayanan Kesehatan Terhadap Pasien Di Rumah Sakit Umum Pringadi Medan?

2. Nama : Maya Hajrianti Saragih

NIM : 140200131

Judul : Analisis Hukum Hubungan Antara Dokter Dengan Rumah Sakit Dalam Perjanjian Terapeutik Di Rumah Sakit Dr.H.Kumpulan Pane Tebing Tinggi

Dengan rumusan masalah yakni:

1) Bagaimana Hak dan Kewajiban Dokter Dan Rumah Sakit Dalam Perjanjian Terapeutik Di Indonesia

2) Apa Yang Menjadi Dasar Adanya Hubungan Hukum Antara Pihak Dokter Dan Rumah Sakit Dalam Perjanjian Terapeutik Di Rumah Sakit Dr. H.

Kumpulan Pane Tebing Tinggi?

3) Bagaimana Tanggung Jawab Perdata Dokter Dan Rumah Sakit Yang Memiliki Perjanjian Terapeutik Terhadap Pihak Ketiga?

3. Nama : Siti Nur Suflah

NIM : 130200332

Judul : Tanggung Jawab Antara Dokter Dengan Pasien Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata (Studi di RS.Permata Bunda Medan)

Dengan rumusan masalah yakni:

(36)

26

1) Bagaimana Hak Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Bagi Pasien Di RS.Permata Bunda Medan?

2) Bagaimanakah Tanggung Jawab Perdata Dokter Dalam Transaksi Terapeutik Antara Dokter Dan Pasien?

3) Bagaimanakah Tanggung Jawab Dokter dan Rumah Sakit Kepada Pasien Pada Kegagalan Pelayanan Medis Di RS.Permata Bunda Medan?

Dari pernyataan diatas maka judul skripsi “Analisis Kedudukan Hukum Rekam Medis dan Informed Consent Sebagai Alat Pembuktian Perdata dalam Kasus Malpraktik di Dunia Kedokteran Ditinjau dari Pasal 1365-1367 KUH Perdata serta Pasal 55 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 J.O Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Studi Kasus Nomor:

33/PDT/2015/PT-MDN)” ternyata berbeda dengan judul-judul yang tertera di atas. Hal ini dikarenakan rumusan masalah yang berbeda satu sama lain.

Penelitian merupakan hal yang baru dan asli karena berdasarkan dari ide, gagasan dan pemikiran penulis sendiri sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk kritikan- kritikan yang sifatnya membangun sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.

Dengan demikian, maka keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

(37)

H. Sistematika Penulisan

Bab I, Pendahuluan terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penulisan, Tinjauan Pustaka, Keaslian Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

Bab II, Pengaturan Malpraktik Dalam Sistem Hukum di Indonesia terdiri dari Pengaturan Malpraktik dalam Aspek Hukum Perdata, Pengaturan Malpraktik Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 1992 J.O UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, dan Tanggung Jawab Hukum Perdata Oleh Dokter atau Tenaga Medis dalam Hal Terjadi Malpraktik.

Bab III, Penafsiran Hukum Oleh Hakim Tentang Rekam Medis dan Informed Consent Sebagai Alat Bukti Dalam Kasus Malpraktik terdiri dari Penafsiran Hukum Oleh Hakim Tentang Rekam Medis Sebagai Alat Bukti dalam Kasus Malpraktik dan Penafsiran Hukum Oleh Hakim Tentang Informed Consent Sebagai Alat Bukti Dalam Kasus Malpraktik.

Bab IV, Analisis Kedudukan Hukum Rekam Medis dan Informed Consent Sebagai Alat Pembuktian Perdata Dalam Kasus Malpraktik Pada Putusan Nomor:

33/PDT/2015/PT-MDN terdiri dari Kasus Posisi, Pertimbangan Hakim Pada Putusan Nomor: 33/PDT/2015/PT-MDN, dan Analisis Kedudukan Hukum Rekam Medis

Bab V, Penutup terdiri dari Kesimpulan Dan Saran

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun Koperasi Kredit Harapan Kita Kota Medan adalah Koperasi yang masih menimbulkan faktor kekeluargaan, Koperasi Harapan Kita Kota Medan lebih ,mengambil

Adapun yang menjadi rumusan masalah penulisan ini adalah bagaimana pengetahuan tradisional dalam pengaturan Hak Kekayaan Intelektual, bagaimana pengaturan mengenai

Rumusan masalah tersebut dikaji dengan menggunakan data-data kepustakaan atau sekunder atau dengan metode penelitian normatif yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan dan

Kelemahan dalam pasal ini adalah, tidak disebutkannya bentuk perjudian apa yang diperbolehkan tersebut, ataukah sama bentuk perjudian sebagaimana yang

memperoleh kompensasi atas kerugian yang diderita maka konsumen dapat menuntut pertanggungjawaban secara perdata kepada pelaku usaha. Terdapat dua bentuk pertanggungjawaban

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyelesaian kredit yang mengalami kemacetan pada Kredit Usaha Rakyat di PT.Bank Rakyat Indonesia Cabang Kota Binjai

Dalam UU Nomor 5 Tahun 1999, kartel adalah apabila pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan

Menimbang, bahwa terhadap pembelaan yang disampaikan oleh Terdakwa dan Penasehat Hukumnya, yang mana sebagimana pertimbangan Majelis Hakim tersebut di atas dimana