• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH :"

Copied!
161
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS PEMBERIAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA EKSPLOITASI

SECARA EKONOMI YANG DILAKUKAN DENGAN PENYERTAAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21

TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (STUDI PUTUSAN

PENGADILAN NEGERI DEPOK NOMOR 562/PID.SUS/2018/PN.DPK)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

IRNA IRAWAN SIMBOLON NIM : 160200066

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada kedua orang tua saya, Bapak tercinta saya Kollin Simbolon dan mama tercinta Riama Butar-Butar, karena kasih sayang dan cinta yang begitu besar sehingga menjadikan Penulis termotivasi untuk menyelesaikan studi dengan baik.

Skripsi ini merupakan tugas akhir bagi penulis sebagai salah satu syarat guna menyelesaikan program studi S-1 pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan memilih judul : Analisis Yuridis Pemberian Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Eksploitasi Secara Ekonomi Yang Dilakukan Dengan Penyertaan Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Putusan Pengadilan Negeri Depok No. 562/Pid.Sus/2018/PN.Dpk)

Dalam proses penyusunan skripsi ini saya juga mendapat banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sebagai penghargaan dan ucapan terima kasiah kepada semua dukungan dan bantuan yang telah diberikan, saya menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., Mum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., Mum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Dr. OK Saidin, S.H., Mum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Ibu Puspa Melati, S.H., Mum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., Mum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana;

(4)

8. Ibu Nurmalawaty, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II.

Terima kasih banyak atas bimbingan, saran, nasihat, dan ilmu yang Ibu berikan selama ini disetiap bimbingan dengan penuh kesabaran hingga skripsi ini selesai;

9. Seluruh Dosen-Dosen di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan memberikan ilmu yang terbaik, serta membimbing penulis selama menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

10. Seluruh pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang turut mendukung segala urusan administrasi;

11. Kepada ketiga adikku yang baik hatinya Boby Pratama Simbolon, Noni Sepria Simbolon, Parulian Comeroon Simbolon, yang memberikan motivasi kepada penulis sebagai kakak dan membantu penulis menyiapkan segala kebutuhan sehari-hari dikos;

12. Kepada Bung Jeki Julianto Sihaloho yang setia menemani Penulis dan selalu ada memberikan dukungan dan teman curhat selama penulis menyelesaikan skripsi ini;

13. Teman-teman makan, dan jalan- jalan penulis selama menyelesaikan studi di Medan, Dini Permata Sari, Melta Lusianta;

14. Nidia Sondang dan Prisilia Angelina sahabat saya sejak SMA yang senantiasa mendoakan dan memberi semangat kepada penulis selama pengerjaan skripsi;

15. Kepada Tanoto Foundation yang selalu memberikan dukungan baik secara materil dan pelatihan soft skill kepada penulis selama menjalani perkuliahan;

16. Kepada Bung dan Sarinah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Fakultas Hukum USU yang memberikan banyak sekali pembelajaran

(5)

kepada penulis selama menjalani perkuliahan dan memberikan motivasi dan hiburan selama penulisan skripsi ini;

17. Kepada rekan-rekan Komunitas Peradilan Semu yang banyak memberikan ilmu, doa,hiburan serta dukungan kepada penulis;

18. Kepada rekan-rekan Delegasi Anti Money Laundering, abangda Reinhard Siahaan atas ilmunya dan selalu mau memberi waktu untuk berdiskusi, abangda Samuel Yosua yang selalu menolong penulis dimasa sulit, kakak Elva Yohana, Kakak Penita, teman teman saya, Dina Mutiara Sari, Sheryn Nada Soraya, Agustin Aurelia, Inka Yuniar, Yosie Sinaga, David, Edwin Siagian, Jan Febri, Frans Putra Hutabarat, Dodi, adikku Syahydah Napitu dan Dyssa Novita Sitepu;

19. Kepada Delegasi CMCC MK VI, Surya Baginda Sirait dan adik adik, Nicolaus Munthe, Michael Millen, Apriani Situmorang, Sriyanti Tambunan;

20. Kepada rekan-rekan TSA Medan untuk motivasinya kepada penulis, abangda Hengki Silalahi, Dwi Adyla, Josua Putrada, Desi Kristanti, Sugiono Namli, Andy Hutagalung, abangda Eben Sembiring;

21. Kepada kakak Elisabeth Mustika Situmorang, Sarti Sonia, Sarymawaty Tambunan,dan ito Yogi Sidabutar yang selalu memberikan bimbingan kepada Penulis selama menjalani perkuliahan;

22. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, akhir kata penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi salah satu karya ilmiah yang dapat digunakan bagi perkembangan ilmu pengetahuan yang akan datang.

Medan, Januari 2020 Penulis,

Irna Irawan Simbolon

(6)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAKSI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penulisan ... 10

F. Tinjauan Kepustakaan ... 10

1. Pengertian Tindak Pidana dan Tindak Pidana Perdagangan Orang ... 10

2. Pengertian Eksploitasi ... 18

3. Pengertian Restitusi ... 20

4. Pengertian Turut Serta ... 21

G. Metode Penelitian... 29

H. Sistematika Penulisan... 32

(7)

BAB II TINDAK PIDANA EKSPLOITASI EKONOMI PERDAGANGAN

ORANG DI INDONESIA

A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang

yang di Eksploitasi Secara Ekonomi ... 34 B. Bentuk-Bentuk Eksploitasi dalam

Tindak Pidana Perdagangan Orang ... 46 C. Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan Eksploitasi Ekonomi ... 52

BAB III PEMBERIAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN

EKSPLOITASI EKONOMI TINDAK PIDANA

PERDAGANGAN ORANG

A. Pengaturan Sanksi Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang

di Indonesia ... 66 B. Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang ... 79 C. Pengaturan Hukum Tentang Restitusi Terhadap Korban

Eksploitasi Ekonomi Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang ... 86

BAB IV PENERAPAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DEPOK NOMOR 562/PID.SUS/2018/PN.DPK

A. Duduk Perkara Putusan Nomor 562/Pid.Sus/2018/PN.Dpk ... 112 1. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ... 118 2. Tuntutan Pidana Jaksa Penuntut Umum ... 120

(8)

Nomor 562/Pid.Sus/2018/PN.Dpk ... 139

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 147 B. Saran ... 151

DAFTAR PUSTAKA

(9)

ABSTRAK

IRNA IRAWAN SIMBOLON*

LIZA ERWINA**

NURMALAWATY***

Saat ini, perdagangan orang telah meluas, baik dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi maupun tidak terorganisasi. Di Indonesia, perdagangan orang (perbudakan modern) terjadi secara luar biasa, baik dari segi kuantitasnya (jumlah kasus), maupun dari aspek kualitasnya (proses, cara/modus dan bentuk eksploitasinya). Perumusan masalah yaitu: 1.)Bagaimana Pengaturan Tentang Eksploitasi Ekonomi dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang?

2.)Bagaimana Pengaturan tentang Pemberian Hak Restitusi Korban Eksploitasi Ekonomi Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia? 3.)Bagaimana Penerapan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Turut Serta Melakukan Eksploitasi Secara Ekonomi Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 562/Pid.Sus/2018/PN.Dpk

Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif yang bersifat desktriptif. Metode pengumpul data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah melalui studi dokumen dan metode studi pustaka (library research). Analisis data menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif analitis.

Kesimpulan yaitu, Pengaturan mengenai eksploitasi ekonomi dalam tindak pidana perdagangan orang belum diatur secara eksplisit didalam Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dan beberapa peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Analisis Yuridis Terhadap Putusan No. 562/Pid.Sus/2018/PN.Dpk. Putusan Hakim berguna bagi terdakwa dan korban tindak pidana untuk mendapatkan kepastian hukum tentang statusnya dan perlindungan terhadap korban. Hakikat dari pertimbangan yuridis merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu tindak pidana perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang didakwaan oleh penuntut umum. Saran yaitu, memperhatikan maraknya eksploitasi Pekerja Migran Indonesia secara ekonomi, maka Perlunya pembaharuan undang-undang tentang perdagangan orang mengingat undang undang yang berlaku sekarang ini sudah dari tahun 2007 pembaharuan aturan lebih terperinci dan jelas mengenai eksploitasi ekonomi akan lebih memudahkan hakim dalam memtus adanya suatu perkara menyangkut eksploitasi ekonomi terhadap orang dewasa tidak terbatas aturan tertulis hanya terhadap anak saja.

Kata Kunci : Perdagangan orang, Eksploitasi ekonomi, Turut Serta, Restitusi

*Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

**Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***Dosen Pembimbing II Fakuktas Hukum Universitas Sumatera Utara

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di era globalisasi abad ke-21 perkembangan kejahatan (tindak pidana) telah menumbuhkan jenis kejahatan baru, tindak pidana transnasional (korupsi, pencucian uang, perdagangan orang, penyelundupan orang dan penyelundupan senjata api), dan tindak pidana serius yang menarik perhatian masyarakat internasional (genosida, kejahatan kemanusiaan, agresi dan perang). 1Tindak pidana perdagangan orang merupakan salah satu bentuk kejahatan yang cukup mendapat perhatian dikalangan masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari sering disaksikan kejadian-kejadian perdagangan orang, baik yang diberitakan melalui media sosial maupun media cetak.

Trafficking adalah salah satu bentuk perbudakan modern yang disertai dengan proses perekrutan atau pengangkutan atau penindasan atau penampungan atau penerimaan dengan cara ancaman atau paksaan atau penculikan atau penipuan atau kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan untuk tujuan prostitusi atau kekerasan atau eksploitasi seksual atau kerja paksa dengan upah yang tidak layak atau praktek lain serupa perbudakan.2

Saat ini, perdagangan orang telah meluas, baik dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi maupun tidak terorganisasi. Perdagangan orang juga menggunakan berbagai modus operandi yang berbeda-beda dengan lokus

1 Romli Atmasasmita, Hukum Kejahatan Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 11.

2 Suyanto, 2008 Modul Pendidikan Untuk Pencegahan Trafficking. Direktorat Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Biasa. Departemen Pendidikan Nasional.

(11)

2

di dalam dan luar negeri. Kegiatan perdagangan orang ini makin marak berkembang karena kegiatan ini mampu memberikan keuntungan finansial yang sangat besar bagi pelakunya sehingga menjadi ancaman yang berbahaya bagi masyarakat didesa ataupun kota.

Kejahatan perdagangan manusia berkembang karena adanya berbagai faktor pendorong, satu diantaranya yaitu faktor kemiskinan. Masyarakat miskin yang berada di daerah-daerah terpencil dijanjikan pekerjaan yang gajinya besar mendorong seseorang tersebut terdorong untuk mengikuti ajakan dari pelaku.

Kondisi tingkat kemiskinan tersebut semakin mudah untuk dipengaruhi jika dibarengi dengan tingkat pendidikan yang rendah. Masyarakat tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk menganalisis ajakan dari para pelaku yang menawarkan gaji yang besar untuk suatu pekerjaan yang dijanjikan. Seharusnya, masyarakat memahami bahwa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar jika tingkat pendidikan yang dimiliki oleh seseorang tersebut tidak ada.

Selain itu, adanya pola hidup serba instan dan konsumtif, yaitu suatu pola hidup yang ingin cepat mendapatkan kekayaan dengan jalan yang cepat dan dengan kerja yang tidak berat. Kondisi pola hidup instan ini akan semakin mudah terpengaruh apabila dibarengi dengan pola konsumtif terhadap semua pemenuhan kebutuhan dengan cepat.3

Perdagangan orang di Indonesia seringkali digunakan untuk tujuan eksploitasi seksual (pelacuran dan paedophilia) dipakai serta bekerja pada tempat- tempat kasar yang memberikan gaji rendah, seperti buruh perkebunan, dijermal,

3Marlina dan Azmiati Zuliah, Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, (Bandung: Refika Aditama, 2013), hlm. 3.

(12)

pembantu rumah tangga, pekerja restoran, tenaga penghibur, perkawinan kontrak, buruh anak, pengemis jalanan, selain peran sebagai pelacur. Penelitian setempat menunjukkan, bahwa korban diambil dari keluarga miskin dari pedesaan, masyarakat yang patriarchal (sistem kemasyarakatan yang menentukan ayah sebagai kepala keluarga) dengan status pendidikan yang rendah. Perempuan dan anak yang menjadi buruh migran dan/atau dari suku minoritas dan kelompok masyarakat pinggiran lain mempunyai risiko yang lebih besar. 4

Indonesia tidak dipungkiri menjadi lahan subur menjamurnya praktik tindak pidana perdagangan orang. Jumlah penduduk berlimpah yang tidak dibarengi dengan ketersediaan lapangan pekerjaan, mempermudah para pelaku kejahatan ini untuk melancarkan aksinya. Iming-iming masa depan yang lebih baik pasca menjadi pekerja diluar negeri masih terdengar menjadi modus ampuh untuk menipu para pencari kerja dan menjerumuskan mereka ke jurang nista perbudakan modern.5

Di Indonesia, perdagangan orang (perbudakan modern) terjadi secara luar biasa, baik dari segi kuantitasnya (jumlah kasus), maupun dari aspek kualitasnya (proses, cara/modus dan bentuk eksploitasinya). Data Walk Free Fondation terkait indeks Perbudakan Dunia/ the global slaery index menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-8 dari 167 negara dengan praktik perbudakan modern terbanyak. Hal ini dikarenakan pada tahun 2014 terdapat 714.300 warga Indonesia yang menjadi korban perbudakan modern. Jumlah ini melonjak tajam dari tahun

4 Ibid., hal. 5

5 Paul Sinlaeloe, Tindak Pidana Perdagangan Orang, (Malang: Setara Press, 2017), hlm.

11.

(13)

4

2013, terdapat 210.970 warga Indonesia menjadi korban perbudakan. Para korban perbudakan mengalami eksploitasi (termasuk ekspoitasi seksual), tindak kekerasan, penyiksaan, jeratan hutang, hingga gaji yang tidakdibayarkan.6

Pengiriman pekerja Indonesia ke negara lain, belum disertai dengan adanya sistem penempatan dan perlindungan yang kuat dan menyeluruh, yang dapat menjawab persoalan calon pekerja Indonesia di dalam negeri/pekerja Indonesia di luar negeri, baik selama prapenempatan, penempatan, dan purna penempatan. Lemahnya sistem perlindungan pekerja Indonesia di luar negeri, membuka peluang terjadinya praktik perdagangan manusia. Penempatan pekerja Indonesia ke luar negeri selama ini telah menjadi salah satu modus perdagangan manusia, yang menjadikannya sebagai korban eksploitasi, baik secara fisik, seksual, maupun psikologi.7 Gaji yang lebih besar dibanding gaji bekerja di dalam negeri, menjadi alasan jalan keluar dari masalah personal seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), mencari pengalaman hingga sekedar mengikuti teman atau keluarga yang pernah menjadi TKI menjadi latar belakang keberangkatan ke luar negeri sebagai TKI.

Praktik trafficking cenderung dilakukan dalam bentuk sindikat kejahatan trans nasional dengan memanfaatkan tenaga kerja terutama TKW dimana PJTKI atau organisasi sejenisnya yang tidak bertanggungjawab. Sejumlah kasus trafficking khususnya eksploitasi tenaga kerja ini sulit dilacak dan banyaknya PJTKI ilegal maupun legal yang jumlahnya tidak rasional memberikan

6 Ibid., hlm. 7.

7 Dikutip dari naskah tentang TKI yang disusun oleh Ecosoc Rights dkk., Jakarta, 2010.

(14)

kemudahan dalam menjerat sindikat trafficking melalui oraganisasi berkedok jasa tenaga kerja8

Pelaku dalam perdagangan orang sering digambarkan sebagai bagian dari organisasi kejahatan lintas batas yang terorganisir. Walaupun gambaran ini mungkin saja benar dalam sebagian kasus, banyak pula pelaku perdagangan orang yang jelas-jelas diketahui bukan bagian dari kelompok kejahatan terorganisir, sehingga beroperasi secara independen, sementara sebagaian lagi merupakan tokoh terhormat dalam komunitasnya. Setiap sektor di mana perdagangan orang terjadi, juga memiliki kelompok pelakunya sendiri didalamnya. Banyak dari mereka yang menjadi pelaku perdagangan orang dan sebagian mungkin bukan pelaku tetapi terlibat dalam kegiatan perdagangan orang bahkan mereka tidak menyadarinya. Pihak pihak tersebut adalah agen perekrut tenaga kerja atau Perusahaan Jasa Tenaga Kerja (PJTKI), agen atau calo, pejabat pemerintahan, majikan,pemilik dan pengelola rumah bordil, calo pernikahan, orangtua dan/atau sanak saudara bahkan suami.9

Tindak pidana perdagangan orang telah disepakati oleh masyarakat internasional sebagai bentuk pelanggaran HAM. Para pelaku pun dapat dipastikan menjadi musuh bagi seluruh Negara di dunia. Pemerintahan Negara Indonesia melalui berbagai instrumen telah menunjukkan niatnya untuk memberantas tindak kejahatan ini.10 Indonesia sebagai negara yang menyetujui dan berkomitmen untuk melaksanakan Protocol Palermo, pada tanggal 19 April 2007 telah

8 Mufidah Ch, Mengapa Mereka di Perdagangan, (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), hlm. 50

9 Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), Cetakan ke-1, hlm. 124-125.

10 Paul Sinlaeloe, Loc.Cit

(15)

6

mengesahkan dan mengundangkan dalam LN RI Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan LN RI Nomor 4720, UU No. 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang/UUPTTPO.11

Lahirnya undang-undang ini diharapkan akan menjadi payung hukum dalam memberikan penanganan dan perlindungan terhadap korban Tindak Pidana Perdagangan Orang untuk selanjutnya disebut TPPO. UU No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO, membawa harapan baru dan tantangan khususnya bagi para aparatur hukum untuk kembali memerhatikan dan mempelajari unsur-unsur dan sistem perlindungan hukum dalam TPPO.

Hal ini disebabkan tindak pidana selalu menitikberatkan pada pelaku kejahatan/pelaku tindak pidana, sedangkan korban kejahatan seakan terlupakan, bahkan kurang mendapatkan tempat. Terkadang, korban menjadi korban kedua kalinya setelah kejadian itu. Korban mengalami penderitaan, seperti fisik, psikis,seksual, ekonomi, dan sosial. Selain itu, korban mengalami trauma seumur hidup, beban mental atas kejadian tindak pidana yang terjadi pada dirinya tanpa adanya ganti rugi, baik materiil maupun immaterial.Orang yang menjadi korban TPPO sebagaimana tercantum pada Pasal 48 Ayat 1 UU No. 21 Tahun 2007 memiliki hak untuk mendapatkan restitusi. Restitusi yang dimaksudkan adalah ganti rugi atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk tindakan medis dan/ atau psikologis dan/atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.12

11 Paul Sinlaeloe, Op.Cit, hlm. 2.

12Marlina dan Azmiati Zuliah, Op. Cit, hlm. 8.

(16)

Dalam konteks hubungannya dengan pelaku, restitusi merupakan suatu perwujudan dari resosialisasi tanggung jawab sosial dalam diri si pelaku. Dalam hal ini, restitusi bukan terletak pada kemanjurannya membantu korban, melainkan berfungsi sebagai alat untuk lebih menyadarkan pelaku atas perbuatan pidana (akibat perbuatannya) kepada korban.13

Namun dalam hal pelaksanaanya proses penegakan hukum terkait restitusi masih belum berjalan sebagaimana mestinya. Dalam menjatuhkan sanksi hakim tidak mempertimbangkan penderitaan dan kerugian yang dialami korban untuk mendapatkan ganti kerugian (restitusi). Berdasarkan latar belakang masalah diatas,dan menyadari akan pentingnya manusia memperoleh perlindungan hukum yang memadai, khususnya dari berbagai bentuk eksploitasi ekonomi upaya perdagangan orang, maka penulis tertarik untuk membahasnya lebih konkrit dengan menuangkannya ke dalam penelitian skripsi yang berjudul: “Analisis Yuridis Pemberian Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Eksploitasi Secara Ekonomi Yang Dilakukan Dengan Penyertaan Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Putusan Pengadilan Negeri Depok No.

562/Pid.Sus/2018/PN.Dpk)”.

13 Disadur dari Romli Atmasasmita, Masalah Santunan Terhadap Korban Tindak Pidana, Majalah Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1992, hlm.. 44-45

(17)

8

B. Rumusan Masalah

Perlunya rumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi merupakanhal penting guna membatasi permasalahan yang akan diangkat sebagai topic pembahasan didalam penulisan ini. Adapun yang menjadi rumusan masalah didalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Bagaimana Pengaturan Tentang Eksploitasi Ekonomi dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang?

2. Bagaimana Pengaturan tentang Pemberian Hak Restitusi Korban Eksploitasi Ekonomi Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia?

3. Bagaimana Penerapan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Turut Serta Melakukan Eksploitasi Secara Ekonomi Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 562/Pid.Sus/2018/PN.Dpk

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan utama dari penulisan ini adalah untuk memenuhi tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Namun dalam rangka pencapaian atas pengkajian permasalahan yang ada dalam skripsi ini , adapun tujuannya sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana Pengaturan tentang Eksploitasi Ekonomi dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang

2. Untuk mengetahui bagaimana Pengaturan Pemberian Hak Restitusi bagi Korban Eksploitasi Ekonomi Tindak Pidana Perdagangan Orang 3. Untuk mengetahui bagaimana Penerapan Sanksi Pidana Bagi Pelaku

Turut Serta Melakukan Eksploitasi Secara Ekonomi Tindak Pidana

(18)

Perdagangan Orang Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 562/Pid.Sus/2018/PN.Dpk

D. Manfaat Penulisan

Penulisan skripsi ini juga memberikan manfaat secara teoritis dan praktis yaitu sebagai berikut :

a. Secara Teoritis

Melalui penulisan skripsi ini diharapkan pembahasan terhadap permasalahan yang telah dirumuskan akan memperkaya wawasan dan pemikiran khususnya dibidang hukum pidana yang berkaitan dengan eksplotasi ekonomi tindak pidana perdagangan orang.Juga bagaimana penerapan dan ketentuan yang berlaku terhadap eksploitasi ekonomi dalam tindak pidana perdagangan orang. Selain itu, penulisan ini bermanfaat sebagai kontribusi pemikiran dan dan pemandangan yang baru mengenai hukum pidana Indonesia. Terutama bagi kalangan akademisi dan perguruan tinggi.

b. Secara Praktis

Secara Praktis penulisan skripsi ini dapat memberikan pengetahuan tentang kasus-kasus tindak pidana perdagangan orang yang terjadi dan bagaimana upaya penanggulangan korban TPPO sehingga kasus-kasus perdagangan orang tidak akan terjadi lagi. Penulis berharap melalui skripsi ini dapat bermanfaat nantinya bagi para majelis hakim dalam memutuskan suatu perkara, terutama perkara tindak pidana perdagangan orang sehingga dapat menghasilkan kepastian hukum dan keadilan bagi terdakwa dan korban serta dapat memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya di

(19)

10

tengah masyarakat. Dan juga dapat memberi gambaran umum dan pemahaman kepada masyarakat terkait perbuatan turut serta eksploitasi ekonomi tindak pidana orang.

E. Keaslian Penulisan

Tulisan yang membahas tentang eksploitasi ekonomi dalam tindak pidana perdagangan orang dengan “Analisis Yuridis Pemberian Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Eksploitasi Secara Ekonomi Yang Dilakukan Dengan Penyertaan Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Putusan Pengadilan Negeri Depok No. 562/Pid.Sus/2018/PN.Dpk)”, ini merupakan penulisan asli yang berasal dari pemikiran murni tanpa adanya suatu proses penjimplakan atas suatu karya tulis manapun. Jikapun ada judul penulisan yang hampir sama dengan judul penulisan skripsi ini, namun isi dan pembahasan dalam penulisan skripsi ini adalah berbeda dan juga merupakan penulisan yang ditulis melalui proses dan upaya pemikiran sendiri.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana dan Tindak Pidana Perdagangan Orang a. Pengertian Tindak Pidana

Istilah “tindak pidana” atau dalam bahasa Belanda, strafbaar feit, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Strafwetboekatau Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict.14

14 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2003), hlm, 59.

(20)

Istilah strafbaarfeit adalah istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia mempunyai arti15sebagai berikut :

1) Perbuatan yang dapat/ boleh dihukum 2) Peristiwa pidana

3) Perbuatan pidana 4) Tindak pidana 5) Delik

Dimana masing-masing penerjemah atau yang menggunakan terjemahan tersebut, memberikan sandaran masing-masing dan bahkan perumusan pengertian dari istilah strafbaarfeit.

Dalam KUHP sendiri tidak dikemukakan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit begitu juga dengan peraturan perundang- undangan di luar KUHP. Barda Nawawi Arief menyebutkan,16 bahwa di dalam KUHP (Wvs) hanya ada asas legalitas ( Pasal 1 KUHP) yang merupakan

“Landasan Yuridis” untuk menyatakan suatu perbuatan (Feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana “Strafbaar feit” tidak dijelaskan. Jadi tidak ada pengertian/batasan yuridis tentang tindak pidana. Pengertian tindak pidana (strafbaar feit) hanya ada dalam teori atau pendapat para sarjana.

15 S.R.Sianturi, Asas-Aasas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta, Alumni Ahaem-Petehaem, 1996), hlm. 200.

16 Barda Nawawi Arief dalam Mohammad Ekaputra, ,Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Medan: USU Press, 2010), hlm, 78.

(21)

12

Untuk dapat menghukum seseorang sekaligus memenuhi tuntutan keadilan dan kemanusiaan17, harus ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan yang dapat dipersalahkan kepada pelakunya. Tambahan pada syarat-syarat ini adalah bahwa pelaku yang bersangkutan harus merupakan seseorang yang dapat dimintai pertanggungjawaban (toerekeningwatbaar) atau schuldfahig. Untuk itu menurut Remmelink, tindak pidana sebaiknya dimengerti sebagai perilaku manusia (gedragingen : yang mencakup dalam hal ini berbuat atau tidak berbuat) yang dilakukan dalam situasi dan kondisi yang dirumuskan di dalamnya, yang perilaku itu dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan sanksi pidana.

Berdasarkan hal ini dapat didistribusikan syarat-syarat umum dari tindak pidana, yaitu sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid), kesalahan (schuld), dan kemampuan bertanggung jawab menurut hukum pidana (toerekeningsvatbaarheid).

Sudarto berpendapat bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).18

Moeljanto setelah memilih Perbuatan Pidana sebagai terjemahan dari strafbaarfeit, beliau menyatakan bahwa Perbuatan Pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut, dan perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai

17 Jan Rammelik dalam Mohammad Ekaputra, Ibid, hlm 82

18 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Rajawali Press: Jakarta, 2010), hlm, 48.

(22)

perbuatan yang tidak boleh dilakukanatau sebagai perbuatan yang menghambat akan tercapainya tata tertib yang dicita-citakan oleh masyarakat itu.19

Wirjono Prodjodikoro memilih terjemahan strafbaarfeit adalah Tindak Pidana yang definisinya adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Pelaku tindak pidana tersebut dapat dikatakan sebgai subjek tindak pidana20.

Pompe merumuskan strafbaarfeit adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum21.

Mr. R. Tresna menerjemahkan strafbaarfeit sebagai peristiwa pidana dan menyatakan bahwa peristiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undangundang atau peraturan- peraturan lainnya, terhadap peraturan tersebut diadakan penghukuman. Suatu perbuatan itu baru dapat dipandang sebagai peristiwa pidana apabila telah memenuhi segala syarat yang diperlukan.22

Simons merumuskan bahwa strafbaarfeit adalah suatu handeling (tindakan/ perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang- undang,bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab. Kemudian Simons

19 S.R.Sianturi, Op. Cit, hlm 204.

20 Ibid, hlm. 205.

21 P.A.F. Lamintang dan Franciscus Theojunior Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 180.

22 S.R.Sianturi, Loc.Cit.

(23)

14

membaginya dalam dua golongan unsur yaitu : unsur-unsurobjektif yang berupa tindakan yang dilarang atau diharuskan, akibatkeadaan atau masalah tertentu; dan unsur subjektif yang berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggungjawab (toerekeningsvatbaarheid) dari pelaku tindak pidana7.23

Menurut D. Schaffmeister, suatu perbuatan yang tidak termasuk dalam rumusan delik tidak dapat dijatuhkan pidana. Hal ini berarti bahwa selalu dapat dijatuhkan pidana kalau perbuatan itu tercantum dalam rumusan delik. Untuk dapat menjatuhkan pidana diperlukan dua syarat: (1) Perbuatan itu bersifat melawan hukum dan (2) dapat dicela. Dengan demikian suatu perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela 24.

Di dalam praktik hukum, untuk dapat memidanakan seorang terdakwa dengan dakwaan melakukan tindak pidana tertentu, maka diisyaratkan harus terpenuhinya semua unsur yang terdapat didalam tindak pidana tersebut.

a. Harus ada suatu kelakuan (gedraging).

b. Kelakuan tersebut harus sesuai dengan uraian Undang- Undang(wettelijke omschrijving).

c. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak.

d. Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku.

e. Kelakuan itu diancam dengan hukuman.25

23 Ibid, hlm. 2001

24D. Schaffmeister dalam Mohammad Ekaputra, Loc.Cit.

25 C.S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana (Hukum Pidana Untuk Tiap Orang), (Jakarta: Pradnya Pramita, 2007), hlm. 37.

(24)

b. Tindak Pidana Perdagangan Orang

Istilah “perdagangan orang” pertama kali dikemukakan pengertiannya pada tahun 2000, ketika Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, menggunakan protokol untuk mecegah, menekan dan menghukum perdagangan atas manusia, khususnya kaum perempuan dan anak-anak yang akhirnya terkenal dengan sebutan “Protocol Palermo”26

Selanjutnya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana diketahuipidana perdagangan orang merupakan tindak pidana yang di kategorikan sebagai transnational organized crime yaitu tindak pidana yang terorganisir dan lintas negara, tindak pidana perdagangan orang juga merupakan tindak pidana perdagangan khusus yang bukan kejahatan biasa tetapi tergolong kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui UNDOC (2012) Bagian dari PBB yang bertugas menangani kejahatan dan obat bius mendefinisikan human trafficking sebagai berikut:27

”Human Trafficking is a crime against humanity. It involves an act of recruiting, transporting, transfering, harbouring or receiving a person through a use of force, coercion or other means, for the purpose of exploiting them.”

“Perdagangan manusia adalah tindakan kriminal terhadap kemanusiaan.

Kegiatannya meliputi tindakan perekrutan,pengangkutan, mentransfer,

26 Paul Sinlaeloe, Op. Cit, hlm. 1

27 S.R.Sianturi, Op Cit, hlm. 203.

(25)

16

menyimpan atau menerima seorang manusiamenggunakan kekerasan, pemaksaan atau lainnya untuk keperluanmengeksploitasi mereka.”

Definisi tersebut dipublikasikan oleh PBB sebagai ketentuan umum

dari Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons (Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Manusia).

PBB dalam sidang umumnya tahun 1994 mendefinisikan trafficking sebagai pemindahan orang melewati batas teritorial, nasional dan internasional secara gelap dan melanggar hukum, terutama dari negara berkembang dan dari negara dalam transisi ekonomi dengan tujuan memaksa perempuan dan anak perempuan masuk dalam situasi penindasan dan eksploitasi secara seksual dan ekonomi, sebagaimana juga tindakan ilegal lainnya yang berhubungan dengan perdagangan perempuan seperti pekerja paksa domestik, kawin palsu, pekerja gelap, dan adopsi palsu demi kepentingan perekrut, pedagang dan sindikasi kejahatan.

Selain itu Trafficking Victims Protection Act – TVPA menyebutkan bentuk-bentuk perdagangan berat didefinisikan sebagai :

a) Perdagangan seks dimana tindakan seks komersial diberlakukan secara paksa dengan cara penipuan atau kebohongan atau dimana seseorang dimintai secara paksa melakukan suatu tindakan sedemikian, belum mencapai usia 18 tahun, atau;

(26)

b) Merekrut, menampung, mengangkut, menyediakan, atau mendapatkan seseorang untuk bekerja atau memberikan pelayanan melalui paksaan, penipuan, atau kekerasan untuk tujuan penghambaan, penjeratan utang, atau perbudakan.

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, rumusan tentang perdagangan orang / human trafficking yang terdapat dalam UU ini menjadi rujukan utama.

Menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007, pengertian Perdagangan Orang adalah:

Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.28

Kata “untuk tujuan” sebelum kata mengeksploitasi orang tersebutmenunjukan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan delik formil. Dengan demikian yang harus dipahami dalam Pasal 1 ayat (1) tentang TPPO, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya unsur unsur pembuatan yang sudah dirumuskan dalam undang-undang dan tidak dibutuhkan lagi harus mensyaratkan adanya akibat di eksploitasi atau tereksploitasi yang timbul.

Tindak pidana perdagangan orang berdasarkan Pasal 1 angka 2 UUPTPPO, dipahami sebagai setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang

28 Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 5.

(27)

18

memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam UUPTPPO. Secara lebih rinci Pasal 2 ayat (1) UUPTPPO mendefinisikan TPPO sebagai berikut:

Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekersan, pencuikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3(tiga) tahun dan paling lama 15(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000,00(enam ratusjuta rupiah).29

Tujuan trafficking di Indonesia adalah perdagangan antar daerah/pulau danantar negara. Indonesia adalah negara kepulauan yang mempunyai tujuan pulau pulau dan bermacam suku, sehingga sangat memudahkan terjadinya trafficking dalam lingkup domestik, dari beberapa provinsi dimana khusus trafficking domestik terjadi, tempat-tempat wisata yang berbatasan dengan negara lain, seperti Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Sulawesei Utara, Jakarta, Bali, dan Jawa Timur merupakan daerah tujuan.30

2. Pengertian Eksploitasi

Eksploitasi (Inggris: exploitation) adalah politik pemanfaatan yang secara sewenang-wenang atau terlalu berlebihan terhadap sesuatu subyek eksploitasi hanya untuk kepentingan ekonomi semata-mata tanpa mempertimbangkan rasa

29 Paul Sinlaeloe, Op.Cit, hlm. 3.

30 Chairul Bariah Mozasa, “Aturan – Aturan Hukum Trafficking”, (Medan: USU Press, 2005), hlm, 7.

(28)

kepatutan, keadilan serta kompensasi kesejahteraan.31 Makna eksploitasi menurut terminologi adalah kecenderungan yang ada pada seseorang untuk menggunakan pribadi lain demi pemuasan kebutuhan orang pertama tanpa memeperhatikan kebutuhan pribadi kedua.

Eksploitasi adalah memanfaatkan seseorang secara tidak etis demi kebaikan atau keuntungan seseorang, sedangkan eksploitasi pekerja adalah mendapat keuntungan dari hasil kerja orang lain tanpa memberikan imbalan yang layak. Eksploitasi merupakan suatu upaya untuk memperdayakan seseorang dibawah pengaruh orang lain, pendayagunaan sering kali bersifat untuk kepentingan diri sendiri atau golongan dimana hal ini akan merugikan orang lain yang bersangkutan.32

Kata “eksploitasi” dalam Pasal 1 UU PTPPO dipisahkan dengan

“eksploitasi seksual” yang kemudian dijelaskan sebagai berikut:33

Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan/ mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang

31 Surayin, Kamus Umum Bahasa Indonesia Cet IV, (Bandung: CV. Yrama Widiya, 2007), hlm. 129.

32 Arief Gosita, Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Akademika Presindo, 1998), hlm. 23.

33 Pasal 1 Angka 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

(29)

20

oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.

3. Pengertian Restitusi

Dalam konteks hubungannya dengan pelaku, restitusi merupakan suatu perwujudan dari resosialisasi tanggung jawab sosial dalam diri si pelaku. Restitusi (Restitution) merupakan bentuk perlindungan hukum secara materil. Romli Atmasasmita memaparkan bahwa di masa abad pertengahan, ketika hukum yang bersifat primitif masih berlaku pada masyarakat bangsabangsa di dunia, telah diterapkan personal reparation atau semacam pembayaran ganti rugi, yang dilakukan oleh seseorang yang telah melakukan tindak pidana atau offender atau keluarganya terhadap korban yang telah dirugikan sebagai akibat tindak pidana tersebut.34

Dalam Pasal 1 Angka 13 UU PTPPO dijelaskan bahwa yang dimaksud restitusi adalah: “pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.”

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan restitusi adalah: "ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu."

34 Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 11.

(30)

Lebih lanjut Stephen Schafer menyatakan terdapat lima sistem pemberian restitusi dan kompensasi kepada korban kejahatan:

a. Ganti rugi yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses perdata. Sistem ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban dari proses peradilan pidana.

b. Kompensasi yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses pidana.

c. Restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana, diberikan melalui proses pidana.

d. Kompensasi yang berifat perdata, diberikan melalui proses pidana dan didukung oleh sumber-sumber penghasilan negara. Disini kompensasi tidal mempunyai aspek pidana apapun, walaupun diberikan dalam proses pidana. Jadi, Kompensasi tetap merupakan lembaga keperdataan murni, tetapi negaralah yang memenuhi atau menanggung kewajiban ganti rugi yang dibebankan Pengadilan kepada pelaku. Hal ini merupakan pengakuan bahwa negara telah gagal menjalankan tugasnya melindungi korban dan gagal mencegah terjadinya kejahatan.35

4. Pengertian Turut Serta

Penyertaan (Deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta /terlibatnya satu orang atau lebih, baik secara psikis maupun fisik yang

35 Adhi Wibowo, Perlindungan Hukum Korban Amuk Massa, Sebuah Tinjauan Viktimologi, (Yogyakarta: Thafa Media, 2013), hlm. 34.

(31)

22

melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana.

Orang-orang yang terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan dari masing-masing mereka berbeda satu dengan yang lain, demikian juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap bathin mereka terhadap tindak pidana maupun terhadap peserta lain.

Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya, dimana perbuatan yang satu menunjang perbuatan yang lainnya yang semua mengarah pada satu ialah terwujudnya tindak pidana.

Sedangkan Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa yang dinamakan deelneming adalah turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu orang lain melakukan tindak pidana36

Penyertaan/deelneming adalah tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang, artinya ada orang lain dalam jumlah tertentun yang melakukan suatu tindak pidana atau dalam kata lain, terdapat lebih dari satu orang yang secara bersama-sama melakukan tindak pidana. Konsep penyertaan/deelneming ini pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan pertanggungjawaban dari para pelaku suatu tindak pidana berdasarkan peran dari masing-masing orang yang terlibat.

Pengkategorian peran pelaku dalam KUHPidana dikena dengan istilah penyertaan/deelneming, diuraikan secara gamblang dalam Pasal 55 dan Pasal 56, yaitu:

36 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana diIndonesia, (Bandung: PT Eresco, 1981), hlm. 108.

(32)

1) Pelaku atau Dader

Istilah dader merupakan istilah dalam bahasa Belanda dan berasal dari kata daad yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dapat disebut sebagai hal melakukan atau sebagai tindakan. Dalam ilmu hukum pidana, dader dipahami sebagai pelaku yang melakukan tindak pidananya secara sendiri-sendiri Kriterianya, ialah: (a). Dalam mewujudkan suatu tindak pidana tidak ada keterlibatan orang lain baik secara fisik maupun secara psikis; dan (b). Perbuatan yang dilakukan oleh pelaku telah memenuhi seluruh unsur tindak pidana tertentu yang dirumuskan oleh Undang-undang.Pelaku/pelaku tunggal (dader) inilah yang dimaksud dengan perkataan “barang siapa” dalam permulaan rumusan setiap tindak pidana dalam suatu produk hukum.37

Pembuat/Pelaku atau dader berdasarkan perannya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 KUHPidana, terdiri dari: Pertama, orang yang melakukan (pleger). Pleger adalah setiap orang yang dengan seorang diri melakukan suatu tindak pidana secara sendiri dan tindak pidananya tersebut telah memenuhi semua unsur dari delik seperti yang telah di tentukan didalam suatu rumusan delik38 Perbedaan pleger dengan dader adalah terhadap pleger masih diperlukan keterlibatan orang lain baik secara fisik maupun psikis, hanya saja keterlibatan orang lain ini harus sedemikian rupa sehingga perbuatan tersebut tidak sebagai penentu dalam mewujudkan tindak pidana yang akan dilakukan dader adalah sebaliknya.

37 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1990), hlm.

585

38 Ibid, hlm. 599

(33)

24

Kedua, orang yang menyuruh melakukan (doenpleger).Mengenai doenpleger atau menyuruh melakukan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana biasanya disebut sebagai seorang middelijjkedader atau seorang mittelbare tater yang artinya seorang pelaku tidak langsung. Disebut pelaku tidak langsung oleh karena orang yang menyuruh melakukan ini memang tidak secara langsung melakukan sendiri tindak pidananya, melainkan dengan perantaraan orang lain dengan catatan bahwa orang yang disuruh tidak bisa menolak atau ,menentang kehendak orang yang menyuruh melakukan.Dengan posisi yang demikian, orang yang disuruh melakukan itu harus pulak hanya sekedar menjadi alat (instrument) belaka, dan perbuatan itu sepenuhnya dikendali oleh orang yang menyuruh melakukan.

Dalam ilmu hukum “orang yang disuruh melakukan” atau pelaku langsung disebut manus ministralauctor physicus atau tangan yang dikuasai. Sedangkan, “orang yang menyuruh melakukan” atau “pelaku tidak langsung” disebut manus dominalauctor intellectualis atau tangan yang menguasai.39

Dengan pengategorian peran pelaku yang seperti ini, maka sesungguhnya yang benar-benar melakukan tindak pidana langsung adalah orang yang disuruh melakukan, tetapi yang bertanggung jawab adalah orang lain, yaitu orang yang menyuruh melakukan.

39 Ibid, hlm. 610-611.

(34)

Menurut Wirjono Projodikoro (1979:100), orang yang disuruh melakukan secara hukum tidak bisa dipersalahkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Orang yang disuruh mempunyai “dasar-dasar yang menghilangkan sifat pidana” sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHPidana, Pasal 48 KUHPidana, Pasal 49KUHPidana, Pasal 50 KUHPidana dan Pasal 51 KUHPidana yang mana secara umum isi pasal- pasal menerangkan orang yang tidak bisa dihukum, yaitu masing-masing karena sakit akal (Pasal 48 KUHPidana), untuk mempertahankan atau membela diri (Pasal 49 KUHPidana), menjalankan perintah perundang- undangan atau perintah atasan (Pasal 50 KUHPidana dan Pasal 51 KUHPidana).40

Ketiga, orang yang turut serta (medepleger). Medepleger adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau mengerjakan terjadinya sesuatu. Oleh karena itu kualitas masing-masing peserta tindak pidana adalah sama. Menurut R. Sugandhi, untuk dapat dikatagorikan sebagai medepleger, paling sedikit juga harus tersangkut dua orang, yaitu “orang yang menyuruh melakukan” (medepleger). Disebut “turut melakukan”, karena orang yang turut serta terlibat secara langsung bersama pelaku dalam melakukan suatu tindak pidana, dan bukan hanya sekedar membantu atau terlibat ketika dalam tindakan persiapan saja. Ini berarti antara “orang yang turut melakukan” dengan pelaku, harus ada kerja sama secara sadar dan sengaja.

40 Wirjono, Op.Cit, hlm. 100.

(35)

26

Keempat, orang yang menganjurkan/penganjur (uitlokker).

Penganjur/uitlokker ini merupakan orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang secara limitative, yaitu memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan, dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan.41

Secara sederhana istilah “uitlokker” dapat dipahami sebagai setiap orang yang menggerakkan atau membujuk orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Istilah “menggerakkan” atau “membujuk”, ruang lingkup pengertiannya sudah dibatasi oleh Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana, yaitu dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi kesempatan, saran dan keterangan. Berbeda dengan “orang yang disuruh melakukan”, “orang yang dibujuk” tetap dapat dihukum, karena orang tersebut mempunyai kesempatan untuk menghindari perbuatan yang dibujukkan kepadanya.

Tanggung jawab orang yang membujuk (uitlokker) hanya terbatas pada tindakan dan akibat-akibat dari perbuatan yang dibujuknya, selebihnya tanggung jawab yang dibujuk sendiri.Orang dikatakan termasuk sebagai “yang membantu” tindak pidana, jika orang tersebut memberikan bantuan kepada pelaku pada saat atau sebelum tindak pidana

41 Lamintang, Loc.Cit

(36)

tersebut dilakukan.Apabila bantuan diberikan sesudah tindakan, tidak lagi termasuk “orang yang membantu”.

Sifat bantuan bisa berbentuk apa saja, baik materi maupun moral.

Tetapi antara bantuan yang diberikan dengan hasil bantuannya harus ada sebab akibat yang jelas dan berhubungan.Begitupula sifat bantuan harus benar-benar dalam taraf membantu dan bukan merupakan suatu tindakan yang terdiri sendiri.Perbuatan yang sudah berdiri sendiri tidak lagi termasuk “turut membantu” tetapi sudah “turut melakukan”. Inisiatif atau niat harus pula datang dari pihak yang diberi bantuan, sudah termasuk dalam golongan “membujuk melakukan”(uitlokker).

2) Pelaku Pembantu atau Medeplichtige

Pembantu/medeplichtige yang diatur dalam Pasal 56 KUHPidana, tidak menguraikan bagaimana cara pembuatannya. Ada 2 (dua) jenis pembantuan/medeplichtige yang diatur dalam Pasal 56 KUHPidana, yakni:

Orang yang dengan sengaja membantu waktu kejahatan dilakukan dan orang yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar, atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Kedua jenis pembantuan/medeplichtige yang diatur dalam Pasal 56 KUHPidana diuraikan secara jelas dan cermat yang pada intinya adalah:42 a. Pembantuan Pada saat Kejahatan Dilakukan

Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan ini diatur dala Pasal 56 ayat (1) KUHPidana dan mirip dengan kategori peran pelaku sebagai ”turut

42 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Kesatu, Balai Lektur Mahasiswa, Tanpa Tahun, hlm. 30.

(37)

28

serta”(medepleger). Perbedaannya terletak pada: Pertama, pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu atau menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan. Kedua, pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa diisiyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan atau berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan tertentu. Ketiga, pembantuan dalam pelanggaran tindak pidana (Pasal 60 KUHPidana), sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap pidana. Keempat, maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi 1/3 (sepertiga), sedangkan turut serta dipidana sama.

b. Pembantuan Sebelum Kejahatan Dilakukan

Pembantuan dalam konteks sebelum suatu kejahatan dilakukan dapat melalui cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Pembantuan dalam rumusan ini mirip dengan penganjuran (uitlokking).Perbedaannya pada niat atau kehendak jahat pembuat materiel sudah ada sejak semula atau tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiel ditimbulkan oleh penganjur.

Berbeda dengan pertanggungjawaban pembuat yang semuanya dipidana sama dengan pelaku, pembantu dipidana lebih ringan daripada pembuatannya, yaitu dikurangi 1/3 (sepertiga) dari ancaman maksimal pidana yang dilakukan (Pasal 57 ayat (1) KUHPidana). Artinya, jika

(38)

kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara maksimal 15 (lima belas) tahun.

Namun ada beberapa catatan pengucualian: Pertama, pembantu dipidana sama berat dengan pembuat/Pelaku, yaitu pada kasus tindak pidana: (a). Membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 ayat (4) KUHPidana) dengan cara memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan. (b). Membantu menggelapkan uang atau surat oleh pejabat (Pasal 415 KUHPidana). (c). Meniadakan surat-surat penting (Pasal 417 KUHPidana). Kedua, pembantu dipidana lebih berat dari pada pembuat, yaitu dalam hal melakukan tindak pidana: (a). Membantu menyembunyikan barang titipan hakim (Pasal 231 ayat (3) KUHPidana).

(b). Dokter yang membantu menggugurkan kandungan (Pasal 349 KUHPidana).

G. Metode Penelitian

Nasir menjelaskan bahwa metode penelitian ialah cara utama yang dipergunakan peneliti untuk mencapai tujuan dan menentukan jawaban atas masalah yang diajukan. Penelitian juga merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Melalui proses tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.43

43 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Sutu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo, 2001), hlm. 1

(39)

30

1. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian normative. Penelitian normative merupakan penelitian terhadap asas- asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum dan penelitian terhadap sinkronisasi hukum44. Metode penelitian normative disebut juga penelitian doctrinal (dokrtinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis dalam buku (law as it is in the book), maupun hukum yang diperlukan hakim melalui proses pengadilan (law is detected by the judge through judicial progress).45

Pendekatan yang digunakan adalah dalam penulisan ini adalah pendekatan yuridis normatif sebab permasalahan yang diangkat dalam penyusunan skripsi ini yakni untuk mengamati sinkronisasi peraturan yang mengatur mengenai analisis yuridis hak restitusi terhadap korban eksploitasi ekonomi yang dilakukan dengan penyertaan dalam tindak pidana perdagangan orang baik dari segi materil maupun formil.

2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu :Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

44 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penetitan Hukum Normatif, dalam Ari Pareme Simanullang, Skripsi : Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Maskapai Penerbangan Sipil Akibat Kecelakaan Pesawat Yang Menyebabkan Kematian Ditinjau Dari Aspek Hukum Pidana Indonesia, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2015, hlm. 38.

45 Ibid, hlm. 39.

(40)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan KepadaSaksi dan Korban.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku, jurnal, surat kabar, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya.

c. Bahan hukum tersier, yaitu berupa bahan-bahan yang memberi petunjuk apapun maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, berupa kamus dan sebagainya.

Adapun cara yang dilakukan oleh penulis guna mendapatkan data sekunder yakni dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research).

Instrumen yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah dengan mengkaji beberapa buku dan juga dengan melakukan studi putusan untuk kemudian dianalisis dengan data dan fakta yang didapat dari riset kepustakaan yang dijadikan sebagai patokan penulisan dan kemudian disusun secara sistematis lalu dianalisis untuk mendapatkan jawaban atas masalah yang telah dirumuskan sesuai data-data yang telah disusun.

3. Analisis Data

Data–data serta fakta yang didapatkan dalam penyusunan skripsi ini kemudian dianalisis untuk kemudian dipelajari secara kualitatif untuk mendapatkan jawaban atas rumusan masalah yang telah diuraikan.

(41)

32

H. Sistematika Penulisan

Sistem penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa bagian yang tersebut dalam beberapa bab, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya secara tersendiri namun masih dalam konteks yang berkaitan satu dengan yang lainnya.

Secara sistematis gambaran skripsi ini sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menggambarkan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II TINDAK PIDANA EKSPLOITASI EKONOMI PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

Bab ini membahas mengenai pengaturan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Turut Serta Melakukan Tindak Pidana Eksploitasi Ekonomi Perdagangan Orang di Indonesia menurut Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

BAB III PEMBERIAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN EKSPLOITASI EKONOMI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

Bab ini membahas mengenai Pengaturan Restitusi Bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Menurut Undang –

(42)

Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perindungan Saksi dan Korban, Menurut Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.

BAB IV PENERAPAN SANKSI PIDANA DAN PEMBERIAN HAK RESTITUSI DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DEPOK NOMOR 562/PID.SUS/2018/PN.DPK

Bab ini berisikan tentang analisis penerapan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Turut Serta Melakukan Tindak Pidana Eksploitasi Ekonomi Perdagangan Orang Dan Restitusi Bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang pada Putusan Hakim Pengadilan Negeri Nomor:

562/PID.SUS/2018/PN.DPK BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan bab penutup yang didalamnya dirumuskan kesimpulan yang diambil dari pembahasan dalam skripsi ini dan diakhiri dengan beberapa saran untuk meningkatkan kewaspadaan terhadapa tindak pidana eksploitasi perdagangan orang dan meningkatkan perlindungan terhadap korban tindak pidana.

(43)

BAB II

TINDAK PIDANA EKSPLOITASI EKONOMI PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang di Eksploitasi Secara Ekonomi

1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Bila dikaitkan dengan hak asasi manusia, trafficking ini termasuk salah satu bentuk pengingkaran hak asasi manusia. Sebagaimana dapat dilihat dalam UU tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 3 yang berbunyi:” Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”.46

Pasal 4 yang berbunyi:” Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun”47

46 Pasal 3 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

47 Pasal 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

(44)

Penipuan dan pemaksaan atau kekerasan merupakan unsur yang esensil dalam perdagangan orang, dan hal ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap hak asasi manusia. Perdagangan orang merupakan kejahatan yang keji terhadap hak asasi manusia, yang mengabaikan hak seseorang untuk hidup bebas, tidak disiksa, kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, beragama, hak untuk tidak diperbudak, dan lainnya seperti yang tercantum dalam Pasal 20 undang- undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhamba. Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang”48

2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berahlak mulia, dan sejahtra.

Undang-Undang ini secara tegas mengatur mengenai perdagangan anak 49.

Pasal 59 ayat (1) menegaskan “pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan

48 Pasal 20 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

49 Chairul Bariah Mozasa, Op.Cit, hlm.41

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu unsur kehendak dan pernyataan merupakanunsur-unsur pokok disamping unsurlain yang menentukan lahirnya perjanjian.Berlakunya asas konsensualisme menurut

Meskipun Koperasi Kredit Harapan Kita Kota Medan adalah Koperasi yang masih menimbulkan faktor kekeluargaan, Koperasi Harapan Kita Kota Medan lebih ,mengambil

Adapun yang menjadi rumusan masalah penulisan ini adalah bagaimana pengetahuan tradisional dalam pengaturan Hak Kekayaan Intelektual, bagaimana pengaturan mengenai

Dakwaan tesebut merupakan rujukan majelis hakim dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa yang menyatakan tindak pidana pencurian dengan kekerasan “(2) Diancam dengan

Berdasarkan uraian diatas maka terbukti sebagai fakta didepan persidangan, sehingga tepatlah Amar putusan majelis hakim yang menyatakan bahwa Fahmi Adriyanto alias

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyelesaian kredit yang mengalami kemacetan pada Kredit Usaha Rakyat di PT.Bank Rakyat Indonesia Cabang Kota Binjai

Teknik pengumpulan data yang digunakan studi kepustakaan (library research dan Penelitian lapangan (field research), dengan metode kualitatif. Akibat hukum terhadap

Dalam UU Nomor 5 Tahun 1999, kartel adalah apabila pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan