• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Keadilan dalam Perjanjian Kerja antara Pekerja Alih Daya dan Pengusaha Alih Daya

Sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan pertama terkait dengan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kerja alih daya, yakni pada Perjanjian Kerja PT. PDC, Perjanjian Kerja PT. BAI, dan Perjanjian Kerja PT. SI dengan pekerja alih daya, dapat dilihat bahwa hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan outsourching tidak seimbang. Meskipun

57 perumusan klausul-klausul dalam perjanjian tersebut sejatinya didasarkan pada pernyataan kehendak dan kesepakatan antara para pihak. Akan tetapi pekerja justru dibebani dengan kewajiban yang lebih banyak, sementara titel hak yang diberikan kepadanya sangat sedikit, yang justru berbanding terbalik dengan pihak perusahaan.

Dari ketiga perjanjian yang telah dianalisis oleh Penulis menunjukkan bahwa terdapat beberapa klausul yang justru tidak dapat mengakomodir hak pekerja secara optimal. Aspek keadilan sebagaimana diuraikan pada poin pertama di atas sangat jauh untuk dicapai. Hukum ketenagakerjaan yang lahir dari pemikiran untuk memberi perlindungan bagi para pihak terutama pekerja/buruh sebagai pihak yang lemah dan keadilan sosial dalam hubungan kerja diantara para pihak yang memiliki persamaan dan perbedaan yang cukup besar, harus mampu menjadi payung hukum bagi pekerja.6 Sehingga dalam pembuatan perjanjian kerja, perusahaan seharusnya tidak boleh luput akan pemenuhan hak pekerja yang berdasar pada nilai keadilan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari pandangan-pandangan di atas, maka Penulis mendapatkan hasil analisis terhadap ketiga perjanjian kerja di atas. Pertama, dalam perjanjian kerja antara PT. PDC dengan pekerja alih daya misalnya, bahwa ditemukan ketentuan yang mengatur mengenai hak PT. PDC untuk melakukan

6 Niru Anita Sinaga dan Tiberius Zaluchu, “Perlindungan Hukum Hak-Hak Pekerja dalam Hubungan Ketenagakerjaan di Indonesia,” Jurnal Teknologi Industri, Vol. 6 (2017), hlm. 63.

58 Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) seketika dan tanpa uang pesangon atau uang imbalan atau uang jasa berupa apapun, apabila KARYAWAN terbukti melakukan pelanggaran/kesalahan berat seperti yang tercantum di dalam Peraturan Perusahaan dan/atau UU Ketenagakerjaan dan ketentuan pelanggaran yang tercantum di dalam PKWT. Namun dalam Pasal 52 (1) PP No. 35 Tahun 2021 justru mengatur walaupun Pekerja/Buruh di PHK karena alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut, Pekerja/ Buruh tetap berhak atas: a. uang pesangon sebesar 0,5 (nol koma lima) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2); b.

uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan c. uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4).

Oleh karena itu, apabila dikaji dari perspektif keadilan menurut Hans Kelsen, tentu perjanjian tersebut tidak mencerminkan nilai keadilan karena tidak mengakomodir hak pekerja sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Sebab dalam pandangan Hans Kelsen mengenai keadilan, bahwa keadilan seharusnya dimaknai sebagai legalitas.7 Maksudnya adalah suatu perbuatan dikatakan adil apabila sesuai dengan norma hukum yang valid. Dengan kata lain, keadilan menurut Hans Kelsen adalah legalitas, sehingga tolok ukur

7 Munir Fuady, Teori-Teori Besar dalam Hukum (Jakarta: Prenadamedia Group, 2013), hlm.

128.

59 hukum yang adil adalah sah menurut hukum atau sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Kedua, dalam perjanjian kerja PT. BAI dengan pekerja outsourcing, bahwa di dalam perjanjian tersebut tidak diatur sanksi bagi perusahaan apabila tidak melaksanakan kewajibannya, sementara klausul mengenai sanksi hanya diatur terhadap pekerja outsourcing saja. Artinya perlindungan hukum bagi pekerja outsourcing apabila haknya tidak terpenuhi tidak terakomodir dalam perjanjian kerja.

Perlindungan hukum mempunyai makna sebagai perlindungan dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum, ditunjukan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu dengan cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut ke dalam sebuah hak hukum. dalam hukum “hak” disebut juga hukum subyektif. Hukum subyektif merupakan segi aktif dari pada hubungan hukum yang diberikan oleh hukum obyektif, dalam hal hukum subyektif adalah norma-norma, kaidah.8 Adapun perwujudan dari perlindungan tersebut adalah pengaturan mengenai hak-hak pekerja secara seimbang dalam suatu perjanjian.

Sehingga bilamana sanksi ditetapkan kepada pekerja yang tidak menjalankan kewajibannya dalam perjanjian kerja, maka sanksi kepada pemberi kerja yang tidak menjalankan kewajibannya juga harus ditetapkan,

8 Heru Suyanto dan Andriyanto Adhi Nugroho, “Perlindungan Hukum terhadap Hak-Hak Pekerja Outsourcing Berdasarkan Asas Keadilan,” Jurnal Yuridis, Vol. 3 No. 2 (2016), hlm. 4.

60 apakah itu dalam bentuk kompensasi, ganti rugi, dan lainnya. Sebab perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak layaknya undang-undang.

Perlindungan hukum selalu terkait dengan peran dan fungsi hukum sebagai pengatur dan perlindungan terhadap kepentingan masyarakat.

Bronislaw Malinowski dalam bukunya “Crime and Costum in Savage”

menyatakan bahwa hukum tidak hanya beperan di dalam keadaan-keadaan yang penuh kekerasan dan pertentangan, akan tetapi bahwa hukum juga berperan pada aktivitas sehari-hari.9 Perlindungan hukum bagi pekerja sangat diperlukan mengingat kedudukan pekerja berada pada pihak yang lemah. Perlindungan terhadap pekerja dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak dasar pekerja dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja. Oleh karena itu, menjadi suatu hal yang tidak adil apabila sanksi hanya diterapkan kepada para pekerja sementara pemberi kerja tidak diberikan sanksi.

Selanjutnya dalam Pasal 12 poin 12.3.10 mengatur bahwa pihak perusahaan alih daya dapat melakukan pengakhiran perjanjian secara sepihak apabila atas permintaan klien, karyawan tidak diperkenankan untuk bekerja ataupun berada di lokasi milik klien akibat melakukan kesalahan atau pelanggaran yang menurut pertimbangan dari klien dapat merugikan pihak terkait serta karyawan dianggap tidak cakap dalam melaksanakan tugas yang diberikan karyawan. Terhadap klausul tersebut berpotensi

9 Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 16

61 adanya subjektivitas dan menutup potensi keterbukaan terhadap berbagai keluhan dari karyawan ketika hal tersebut tidak sesuai dengan kehendak karyawan. Keberadaan klausul tersebut yang tidak memberikan hak bagi pekerja untuk melakukan pembelaan dan terkesan sepihak tentu telah melanggar asas keadilan.

Pengakuan akan keterikatan pada sebuah kontrak atau apa yang dalam dunia hukum lebih dikenal dengan istilah “Pacta Sunt Servanda” adalah salah satu substansi terpenting, dimana perjanjian tidak hanya sekedar wujud tata harmonis yang mengikat para pihak, melainkan juga ada nilai imperatis di dalamnya. Bahkan Hugo Grotius juga menyatakan bahwa dalam suatu kontrak atau perjanjian melekat suatu kekuatan moral.10 Artinya ini dari keterikatan suatu kontrak ada pada nilai kesusilaan, sebab makna dari sebuah kontrak tidak lain adalah penghargaan manusia terhadap itikad baik sesamanya dalam pergaulan hukum.

Oleh karenanya, terhadap Pasal 12 poin 12.3.10 di atas memperlihatkan bahwa tidak ada itikad baik dari pemberi kerja dalam memberikan hak bagi pekerja untuk melakukan pembelaan. Sementara dengan frasa “Perusahaan alih daya dapat melakukan pengakhiran perjanjian secara sepihak apabila atas permintaan klien” cenderung subjektif dan sepihak. Sehingga Penulis berpandangan bahwa ketentuan dalam perjanjian tersebut sangat jauh dari tata harmonis perikatan yang mencerminkan nilai keadilan bagi pekerja.

10 Munir Fuady, Op.cit., hlm. 230.

62 Ketiga, dalam perjanjian kerja PT. BAI dengan pekerja outsourcing, juga terlihat bahwa terdapat ketidakjelasan terhadap hak pekerja, misalnya berkaitan dengan pesangon. Di dalam Pasal 6 angka 4 perjanjian kerja, ditentukan bahwa PT. SI dapat melaksanakan PHK seketika dan tanpa uang pesangon atau uang imbalan atau uang jasa berupa apapun, apabila karyawan terbukti melakukan pelanggaran/kesalahan berat seperti yang tercantum di dalam Peraturan Perusahaan dan/atau UU Ketenagakerjaan dan ketentuan pelanggaran yang tercantum di dalam PKWT.

Adanya ketidakpastian hukum sebagaimana dimaksud adalah terkait mekanisme pesangon yang diberikan jika melakukan pelanggaran. Sebab jika merujuk pada Pasal 52 (1) PP No. 35 Tahun 2021 dijelaskan bahwa meskipun pengusaha dapat melakukan PHK terhadap terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran atau kesalahan, namun Pekerja/Buruh tetap berhak atas: a. uang pesangon sebesar 0,5 (nol koma lima) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2); b. uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3);

dan c. uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4).

Terhadap klausul di atas terlihat bahwa perjanjian tersebut tidak mengakomodir hak-hak pekerja secara utuh. Padahal perjanjian kerja dibuat untuk memperjelas dan mempertegas hak dan kewajiban para pihak, yang salah satunya adalah pekerja. Sebab esensi dari keadilan sebagaimana telah diuraikan adalah ketika hak para pihak tidak tercederai. Dengan kata lain, perjanjian yang memenuhi nilai keadilan dan sah menurut hukum adalah

63 perjanjian yang memuat hak dan kewajiban para pihak secara seimbang dan utuh.

Oleh karena itu, dengan bersandar pada teori keadilan yang dibangun oleh Hans Kelsen, maka dari ketiga perjanjian kerja di atas dapat dilihat bahwa perjanjian kerja yang ada tidak sesuai dengan prinsip keadilan. Sebab hal ini dapat dilihat melalui hak dan kewajiban pekerja dan pemberi kerja yang tidak seimbang, adanya sanksi bagi pekerja namun tidak bagi pemberi kerja, hingga pemberian pesangon yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Dokumen terkait