• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEMBAHASAN. Perusahaan Pemberi Kerja. Perjanjian Penyedia Jasa Pekerja/ Surat Perintah Kerja PT. PDC

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB III PEMBAHASAN. Perusahaan Pemberi Kerja. Perjanjian Penyedia Jasa Pekerja/ Surat Perintah Kerja PT. PDC"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

36 BAB III

PEMBAHASAN

A. Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Kerja Alih Daya dari PT. PDC, PT. BAI, dan PT. SI

1. Hak dan Kewajiban Perjanjian Kerja PT. PDC dengan Karyawan Berdasarkan hasil penelitian Penulis, maka berikut adalah bagan skema hubungan antara perusahaan PT. PDC dengan karyawan dan PT. PDC dengan Perusahaan Pemberi Kerja.

Setelah meneliti kedua dokumen yang Penulis peroleh, maka dapat diketahui hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam setiap perjanjian sebagaimana uraian berikut.

Dari studi dokumen Surat Perintah Kerja PT. PDC dengan karyawan dapat diuraikan bahwa hak dan kewajiban para pihak menunjukkan ketidakseimbangan kedudukan pekerja yang subordinat di bawah perusahaan/pengusaha. Selain itu, beberapa pertentangan dalam pasal yang terkandung dengan PP No. 35 Tahun 2021 dan UU Ketenagakerjaan, diuraikan sebagai berikut:

Perusahaan Pemberi Kerja

Perjanjian Penyedia Jasa Pekerja/ Surat Perintah Kerja

PT. PDC

Perjanjian Kerja *PKWT) TENAGA KERJA (OUTSOURCING)

(2)

37 1) Dikatakan bahwa dalam Pasal 8 angka 3 yang berbunyi, KARYAWAN yang mengundurkan diri sebelum berakhirnya periode PKWT maka KARYAWAN diwajibkan memberitahukan secara tertulis kepada PT. PDC 30 (tiga puluh) hari sebelumnya. Dalam hal ini KARYAWAN tidak berhak atas uang pesangon atau uang imbalan atau uang jasa berupa apapun. Dan atas pengunduran diri sebelum habis masa periode kontraknya ini, KARYAWAN diwajibkan membayarkan denda sejumlah nilai sisa kontraknya yaitu upah pokok yang bersifat tetap perbulannya sesuai dengan pasal 62 UU Ketenagakerjaan. Namun, hal tersebut kemudian ditambah lagi dalam pasal 8 angka 6, yang berbunyi, Ketentuan 8.3 juga berlaku manakala PT. PDC memutuskan hubungan kerja KARYAWAN sebelum berakhirnya PKWT.

Artinya, hal tersebut sudah bertentangan dengan perlindungan perusahaan outsourcing terhadap pekerja. Hal ini dikarenakan, dengan adanya pasal tersebut, maka berpotensi bahwa perusahaan alih daya akan menyerahkan semua tanggung jawab kepada pekerja bahkan sekalipun pemberhentian sebelum kontrak kerja itu dilakukan atas kehendak dari perusahaan alih daya. Hal ini sebagaimana dalam Pasal 18 ayat 3 PP No. 35 Tahun 2021 yang berbunyi bahwa, “(3) Pelindungan Pekerja/Buruh, Upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan yang timbul dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab

(3)

38 Perusahaan Alih Daya”. Namun, jika hal tersebut terjadi, maka ada potensi uang kompensasi tidak akan diberikan kepada pekerja sekalipun yang mengundurkan diri sebelum kontrak berakhir atas inisiatif dari perusahaan alih daya.

Apabila merujuk juga dalam Pasal 61 A UU Ketenagakerjaan pasca Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), secara tegas mengatakan bahwa, “dalam hal PKWT berakhir, pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada pekerja/buruh sesuai dengan masa kerja pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan”. Pun juga, Pasal 62 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan, “apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja sampai batas berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja”.

Berkenaan dengan ganti rugi yang seharusnya diberikan oleh perusahaan alih daya terhadap karyawan, di dalam surat perjanjian kerja, PT. PDC justru malah membebankan kesalahannya kepada karyawan, dengan tidak memberikan kompensasi. Padahal seharusnya, PT. PDC lah yang justru memberikan ganti rugi kepada

(4)

39 karyawan, pun semisal karyawan juga berhenti sebelum masa kontrak bukan karena kesalahan karyawan sendiri.

2) Dalam Pasal 7 di surat perjanjian kerja, diatur mengenai beberapa ketentuan ketika PT. PDC melakukan pemutusan hubungan kerja.

Contohnya dalam Pasal 7.2 yang menjelaskan beberapa detail permasalahan apa yang bisa dilakukan PHK, yakni diantaranya :

“PT. PDC dapat memutuskan hubungan kerja terhadap KARYAWAN dengan alasan dan atau KARYAWAN terbukti telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut: a. Pelanggaran terhadap ketentuan HSSE PT. PDC dan/atau KLIEN b. Memberikan keterangan palsu atau dipalsukan pada saat PKWT ini diadakan. c. Mabuk, madat, memakai obat bius atau narkoba, atau terdapat bukti adanya penggunaan obat-obatan dalam kategori obat-obatan terlarang, di tempat kerja atau di dalam lingkungan PT. PDC dan/atau KLIEN. d.

Melakukan tindakan kriminal seperti mencuri, merusak, mengelapkan uang, menipu, memperdagangkan/ membawa barang-barang terlarang, melakukan perbuatan asusila, judi, melakukan pekerjaan sebagai rentenir baik di waktu jam kerja maupun di luar ketentuan jam kerja, atau kejahatan lainnya baik di dalam maupun di luar lingkungan PT. PDC dan/atau KLIEN. e. Mempergunakan kekuatan fisik, menganiaya, menghina secara kasar, melawan atau mengancam pimpinan perusahaan PT. PDC dan/atau KLIEN, keluarga pimpinan perusahaan atau teman sekerja baik secara langsung atau tidak langsung dan atau membujuk orang lain untuk melakukan penganiayaan tersebut. f. Membujuk pimpinan perusahaan PT. PDC dan/atau KLIEN, keluarga pimpinan perusahaan atau teman sekerja untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan undang- undang, kesopanan dan ketertiban umum. g. Dengan sengaja atau karena kecerobohannya walaupun telah mendapatkan peringatan terakhir, melakukan pekerjaan secara tidak teratur dan juga dengan sengaja atau ceroboh merusak atau membiarkannya dalam keadaan bahaya barang-barang milik PT. PDC dan/atau KLIEN yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan. h. Memberikan keterangan/dokumen palsu yang berhubungan dengan PT. PDC dan/atau KLIEN. i. Membujuk, mengajak, menyuruh, memaksa pimpinan perusahaan atau teman sekerja untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum dan kesusilaan. j. Dengan sengaja atau ceroboh, walaupun sudah diperingatkan membiarkan dirinya atau teman sekerjanya dalam keadaan bahaya. k. Membawa senjata api atau senjata tajam dalam lingkungan PT. PDC dan/atau KLIEN,

(5)

40 kecuali dengan izin tertulis dari pejabat yang berwenang. l.

Memindahkan harta benda milik PT. PDC atau KLIEN tanpa ijin petugas yang berwenang atau merusak harta benda tersebut, baik disengaja ataupun tidak disengaja. m. Menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan oleh PT. PDC dan/atau KLIEN untuk kepentingan pribadi. n. Membongkar rahasia PT. PDC dan/atau KLIEN yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan Negara. o. Mangkir (absen tanpa ijin) selama 5 (lima) hari berturut- turut dan karenanya dalam hal demikian KARYAWAN dinyatakan mengundurkan diri secara sepihak. p. Bekerja secara part-time atau full-time pada pihak/perusahaan lain tanpa seijin tertulis dari PT.

PDC maupun KLIEN. q. Dikenakan sanksi hukuman pidana oleh pihak yang berwenang karena melakukan pelanggaran hukum. r.

Apabila setelah diberi peringatan, KARYAWAN masih tetap melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud Pasal 6.2 tersebut di atas”.

Namun, dalam perjanjian kerja tersebut, hanya memaparkan berkenaan dengan pesangon yang tidak diberikan ketika melakukan pelanggaran terhadap UU Ketenagakerjaan. Hal ini sebagaimana dalam Pasal 7.4 yang berbunyi, “Selama masa PKWT ini, PT. PDC dapat melaksanakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) seketika dan tanpa uang pesangon atau uang imbalan atau uang jasa berupa apapun, apabila KARYAWAN terbukti melakukan pelanggaran/kesalahan berat seperti yang tercantum di dalam Peraturan Perusahaan dan/atau UU Ketenagakerjaan dan ketentuan pelanggaran yang tercantum di dalam PKWT ini”.

Dalam hal ini bisa disimpulkan bahwa belum adanya kepastian hukum bagaimana mekanisme pesangon yang diberikan jika melakukan pelanggaran di pasal 7.3 tersebut. Padahal, jika merujuk dalam Pasal 40 (1) PP No. 35 Tahun 2021 mengatakan bahwa, “Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib membayar

(6)

41 uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”. Dengan kelanjutan ayat- ayat berikutnya di Pasal 40 yang menjelaskan mekanisme penghitungannya. Artinya, masih ada potensi untuk tetap mendapatkan pesangon. Pun semisal ternyata pasal 7.3 menganggap kesalahan tersebut juga kesalahan dalam UU Ketenagakerjaan, seharusnya tetap diberikan pembedaan klasifikasi apakah tetap mendapatkan pesangon ataukah tidak.

Namun, jika merujuk lagi dalam Pasal 52 (1) PP No. 35 Tahun 2021 mengatakan bahwa, “Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut maka Pekerja/ Buruh berhak atas: a. uang pesangon sebesar 0,5 (nol koma lima) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2); b. uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan c. uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4).

Selanjutnya Pengusaha juga dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran bersifat mendesak yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama, akan tetapi Pekerja/Buruh tetap berhak atas: a. uang

(7)

42 penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4); dan b. uang pisah yang besarannya diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. (3) Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tanpa pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (21)”. Maka, seharusnya pekerja tetap mendapatkan pesangon sekalipun terbukti melakukan pelanggaran.

2. Hak dan Kewajiban Perjanjian Kerja PT. BAI dengan karyawan Berdasarkan hasil penelitian Penulis, maka berikut adalah bagan skema hubungan antara perusahaan PT. BAI dengan karyawan dan PT.

BAI dengan Perusahaan Pemberi Kerja.

Dari studi dokumen Surat Perintah Kerja PT. BAI dengan karyawan juga terlihat adanya ketidakseimbangan kedudukan pekerja yang subordinat di bawah perusahaan/pengusaha. Selain itu, beberapa pertentangan dengan pasal pasal yang berlaku karena ketidakseimbangan hak dan kewajiban, diuraikan sebagai berikut:

1) Dalam perjanjian kerja tersebut, tidak diatur mengenai sanksi yang diberikan kepada perusahaan ketika melakukan pelanggaran

Perusahaan Pemberi Kerja

Perjanjian Penyedia Jasa Pekerja/ Surat Perintah Kerja

PT. BAI

Perjanjian Kerja *PKWT) TENAGA KERJA (OUTSOURCING)

(8)

43 kewajiban yang seharusnya dilakukannya. Di perjanjian kerja ini, justru sanksi dominan diberikan kepada pihak karyawan. Bahkan dalam Pasal 12 dan Pasal 13 justru hanya menyebutkan beberapa klausul yang menyebabkan berakhirnya perjanjian yang dominan terjadi karena memang kesalahan dari karyawan berikut juga dengan kompensasinya.

2) Dalam Pasal 12 angka 12.3.10 mengatur bahwa pihak perusahaan alih daya dapat melakukan pengakhiran perjanjian secara sepihak apabila atas permintaan klien, karyawan tidak diperkenankan untuk bekerja ataupun berada di lokasi milik KLIEN akibat melakukan kesalahan atau pelanggaran yang menurut pertimbangan dari KLIEN dapat merugikan pihak terkait serta karyawan dianggap tidak cakap dalam melaksanakan tugas yang diberikan karyawan. Hal tersebut berpotensi adanya subjektivitas dan menutup potensi keterbukaan terhadap berbagai keluhan dari karyawan ketika hal tersebut tidak sesuai dengan kehendak karyawan. Bahkan, hal tersebut bertentangan dengan pasal lain yang ada di dalam perjanjian kerja tersebut yakni di Pasal 11 yang mengatur mekanisme penyelesaian keluhan bahkan ketika karyawan tidak direspon dalam jangka waktu 1 minggu, karyawan dapat menyampaikan permasalahan ke bagian personalia.

Namun, hal tersebut kontradiksi karena adanya frasa “sepihak” yang justru menutup besar kemungkinan karyawan dalam menyampaikan

(9)

44 keluhannya karena perjanjian kerja dapat berakhir sewaktu-waktu ketika KLIEN sudah merasa bahwa karyawan tidak lagi cakap.

Hal lain yang membuatnya lebih riskan adalah tidak adanya klausul berkenaan dengan kompensasi ketika hal tersebut terjadi. Artinya, ketidakadanya pengaturan terkait hal tersebut bisa berpotensi kompensasi bisa diberikan bisa tidak. Jika tidak dilakukan, tentunya, hal tersebut melanggar Pasal 81 angka 17 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 61A ayat (1) UU Ketenagakerjaan, yang menjelaskan bahwa berakhirnya perjanjian kerja disebabkan karena:

1) telah berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;

2) telah selesainya pekerjaan tertentu; atau

3) Diputus hubungan kerjanya sebelum masa kontrak berakhir Pasal 17 PP No. 35 Tahun 2021

Artinya, jika merujuk dalam pasal tersebut, semisal pun pihak KLIEN merasa karyawan sudah tidak lagi cakap dan diberhentikan

sebelum masa kontrak habis, maka karyawan seharusnya tetap mendapatkan kompensasi. Sebagaimana dalam Pasal 81 angka 17 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 61A ayat (2) UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa, “uang kompensasi tersebut tetap diberikan kepada pekerja sesuai dengan masa kerjanya di perusahaan yang bersangkutan”.

(10)

45 3. Hak dan Kewajiban Perjanjian Kerja PT. SI dengan karyawan

Berdasarkan hasil penelitian Penulis, maka berikut adalah bagan skema hubungan antara perusahaan PT. SI dengan karyawan dan PT. SI dengan Perusahaan Pemberi Kerja

Dari studi dokumen Surat Perintah Kerja PT. SI dengan karyawan maka dapat diuraikan bahwa hak perusahaan outsourcing lebih banyak dari pada Pekerja, hal ini menunjukkan ketidakseimbangan kedudukan pekerja yang subordinat di bawah perusahaan/pengusaha. Selain itu, ada beberapa pertentangan dengan pasal pasal yang berlaku karena ketidakseimbangan hak dan kewajiban, diuraikan sebagai berikut:

1) Dalam Pasal 6 angka 4 perjanjian kerja, menyatakan bahwa, “Selama masa PKWT ini, PT. SI dapat melaksanakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) seketika dan tanpa uang pesangon atau uang imbalan atau uang jasa berupa apapun, apabila KARYAWAN terbukti melakukan pelanggaran/kesalahan berat seperti yang tercantum di dalam Peraturan Perusahaan dan/atau UU Ketenagakerjaan dan ketentuan pelanggaran yang tercantum di dalam PKWT ini”.

Perusahaan Pemberi Kerja

Perjanjian Penyedia Jasa Pekerja/ Surat Perintah Kerja

PT. SI

Perjanjian Kerja *PKWT) TENAGA KERJA (OUTSOURCING)

(11)

46 Dalam hal ini bisa disimpulkan bahwa belum adanya kepastian hukum bagaimana mekanisme pesangon yang diberikan jika melakukan pelanggaran di pasal 6.4 tersebut. Padahal, jika merujuk dalam Pasal 40 (1) PP No. 35 Tahun 2021 mengatakan bahwa, “Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”. Dengan kelanjutan ayat- ayat berikutnya di Pasal 40 yang menjelaskan mekanisme penghitungannya. Artinya, masih ada potensi untuk tetap mendapatkan pesangon. Pun semisal ternyata pasal 7.3 menganggap kesalahan tersebut juga kesalahan dalam UU Ketenagakerjaan, seharusnya tetap diberikan pembedaan klasifikasi apakah tetap mendapatkan pesangon ataukah tidak.

Namun, jika merujuk lagi dalam Pasal 52 (1) PP No. 35 Tahun 2021 mengatakan bahwa, “Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut maka Pekerja/ Buruh berhak atas: a. uang pesangon sebesar 0,5 (nol koma lima) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2); b. uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan c. uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4).

(12)

47 Selanjutnya Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran bersifat mendesak yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama maka Pekerja/Buruh berhak atas: a. uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4); dan b. uang pisah yang besarannya diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. (3) Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tanpa pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (21)”. Maka, seharusnya pekerja tetap mendapatkan pesangon sekalipun terbukti melakukan pelanggaran.

2) Dalam Pasal 7 angka 3 perjanjian kerja menyatakan bahwa,

“KARYAWAN yang mengundurkan diri sebelum berakhirnya periode perjanjian kerja maka KARYAWAN diwajibkan memberitahukan secara tertulis kepada PT. SI 30 (tiga puluh) hari sebelumnya. Dalam hal ini karyawan tidak berhak atas uang pesangon atau uang imbalan atau uang jasa berupa apapun”.

Menurut Pasal 1 angka 10 PP No. 35 Tahun 2021, PKWT yaitu perjanjian kerja antara karyawan dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu. Selanjutnya Pasal 53 ayat (1) dan (3) dan Pasal 55 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang

(13)

48 Pengupahan (PP No. 36 Tahun 2021) mengatur bahwa upah wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja yang bersangkutan pada waktu yang telah diperjanjikan berdasarkan perjanjian kerja, PP, atau PKB.

Selanjutnya Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88A ayat (6) UU Ketenagakerjaan menegaskan bahwa pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh. Sebagaimana dalam Pasal 61 ayat (1) PP No. 36 Tahun 2021 disebutkan bahwa: a.

mulai dari hari keempat sampai hari kedelapan terhitung tanggal seharusnya upah dibayar, dikenakan denda sebesar 5% untuk setiap hari keterlambatan dari upah yang seharusnya dibayarkan; b. sesudah hari kedelapan, apabila upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditambah 1%

untuk setiap hari keterlambatan dengan ketentuan 1 bulan tidak boleh melebihi 50% dari upah yang seharusnya dibayarkan; dan c. sesudah sebulan, apabila upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b ditambah bunga sebesar suku bunga tertinggi yang berlaku pada bank pemerintah.

Perlu digarisbawahi, pengenaan denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap membayar upah kepada pekerja

(14)

49 (Pasal 61 ayat (2) PP No. 36 Tahun 2021). Dengan demikian upah karyawan tetap wajib dibayarkan oleh pengusaha, jika tidak maka pengusaha harus membayar denda sebagaimana tersebut diatas.

Pasal tambahan 61 A UU Ketenagakerjaan jo. UU Cipta Kerja yang dipertegas pula dengan Pasal 17 PP No. 35 Tahun 2021 menyebutkan apabila salah satu pihak dalam hal ini pekerja atau pun perusahaan mengakhiri hubungan kerja yang mana masa kontrak belum berakhir, maka pengusaha wajib memberikan uang kompensasi yang besarannya dihitung berdasarkan jangka waktu PKWT yang telah dilaksanakan oleh pekerja. Hal ini didasarkan pada bunyi Pasal 17 PP No. 35 Tahun 2021 yang berbunyi: Dalam hal salah satu pihak mengakhiri Hubungan Kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam KWT, Pengusaha wajib memberikan uang kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) yang besarannya dihitung berdasarkan jangka waktu PKWT yang telah dilaksanakan oleh Pekerja/Buruh. Sehingga, jika karyawan kontrak yang resign tersebut telah bekerja minimal 1 bulan secara terus- menerus, ia tetap berhak atas uang kompensasi dari perusahaan yang besarannya berdasarkan jangka waktu PKWT yang telah dilaksanakan oleh pekerja. Berdasarkan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan, karyawan kontrak yang resign sebelum berakhirnya jangka waktu PKWT juga wajib membayar ganti rugi kepada perusahaan sebesar upahnya sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu PKWT.

(15)

50 Terhadap uraian di atas, berikut Penulis paparkan perbandingan hak dan kewajiban PT. PDC, PT. BAI, dan PT. SI dengan para pekerja alih daya, serta pasal yang bermasalah dalam perjanjian ditinjau dari PP No.

35 Tahun 2021 dan UU Ketenagakerjaan.

Tabel 1.

Pasal dalam perjanjian kerja antara PT. PDC, PT. BAI, dan PT. SI dengan para pekerja alih daya yang bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan terkait

Pasal dalam Perjnjian Kerja yang Bertentangan dengan Peraturan Perundang- Undangan Terkait

PT. PDC

Perjanjian Kerja PP No. 35 Tahun 2021 Hasil Analisis 1. Pasal 8 angka 3:

Karyawan yang mengundurkan diri sebelum berakhirnya periode PKWT, diwajibkan memberitahukan secara tertulis kepada PT. PDC 30 (tiga puluh) hari

sebelumnya. Dalam hal ini KARYAWAN tidak berhak atas uang pesangon atau uang imbalan atau uang jasa berupa apapun.

2. Pasal 7 angka 7.4:

PT. PDC dapat melaksanakan

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) seketika dan tanpa uang pesangon atau uang imbalan atau uang

Pasal 52 (1) PP No. 35 Tahun 2021 yakni:

“Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut- turut maka Pekerja/ Buruh berhak atas: a. uang pesangon sebesar 0,5 (nol koma lima) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2); b. uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan c. uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4).

Selanjutnya Pengusaha juga dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Pekerja/Buruh

Terhadap ketentuan dalam perjanjian kerja antara PT.

PDC dan pekerja tersebut, yakni Pasal 8 angka 3 dan Pasal 7 angka 7.4 apabila dikaitkan dengan Pasal 52 (1) PP No. 35 Tahun 2021, maka jelas terdapat pertentangan.

Sebab pekerja seharusnya tetap mendapatkan pesangon sekalipun terbukti melakukan pelanggaran. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa perjanjian kerja antara PT. PDC dengan pekerja telah melanggar ketentuan dalam Pasal 52 (1) PP No. 35 Tahun 2021.

(16)

51 jasa berupa apapun,

apabila Karyawan terbukti melakukan pelanggaran/kesalahan berat seperti yang tercantum di dalam Peraturan Perusahaan dan/atau UU

Ketenagakerjaan dan ketentuan pelanggaran yang tercantum di dalam PKWT ini.

melakukan pelanggaran bersifat mendesak yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama, akan tetapi Pekerja/Buruh tetap berhak atas: a. uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4); dan b. uang pisah yang besarannya diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. (3) Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tanpa pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (21)”.

PT. BAI

Perjanjian Kerja UU Cipta Kerja Hasil Analisis

Pasal 12 angka 12.3.10:

“Pihak perusahaan alih daya dapat melakukan pengakhiran perjanjian secara sepihak apabila atas permintaan klien, karyawan tidak diperkenankan untuk bekerja ataupun berada di lokasi milik klien akibat melakukan kesalahan atau pelanggaran yang menurut pertimbangan dari klien dapat merugikan pihak terkait serta karyawan dianggap tidak cakap dalam melaksanakan tugas yang diberikan karyawan”.

Pasal 81 angka 17 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal Pasal 61A ayat (1) UU Ketenagakerjaan, yakni:

Berakhirnya perjanjian kerja disebabkan karena:

1. telah berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;

2. telah selesainya pekerjaan tertentu; atau

3. Diputus hubungan kerjanya sebelum masa kontrak berakhir Pasal 17 PP No. 35 Tahun 2021

Dalam hal ini apabila merujuk pada Pasal 81 angka 17 UU Cipta Kerja, maka jelas bahwa ketentuan Pasal 12 angka 12.3.10 perjanjian kerja antara PT. BAI dengan Pekerja bertentangan dengan Pasal 81 angka 17 UU Cipta Kerja.

Sebab ketentuan dalam Pasal 12 angka 12.3.10 perjanjian kerja tersebut berpotensi adanya subjektivitas dan menutup keterbukaan terhadap berbagai keluhan dari karyawan ketika hal tersebut tidak sesuai dengan kehendak karyawan. Bahkan, hal tersebut bertentangan dengan pasal lain yang ada di dalam perjanjian kerja tersebut yakni di Pasal 11

(17)

52

yang mengatur mekanisme penyelesaian keluhan bahkan ketika karyawan tidak direspon dalam jangka waktu 1 minggu, karyawan dapat menyampaikan permasalahan ke bagian personalia. Namun, hal tersebut kontradiksi karena adanya frasa “sepihak”

yang justru menutup ruang bagi karyawan dalam menyampaikan keluhannya karena perjanjian kerja dapat berakhir sewaktu-waktu ketika KLIEN sudah merasa bahwa karyawan tidak lagi cakap.

PT. SI

Perjanjian Kerja PP No. 35 Tahun 2021 Hasil Analisis 1. Pasal 6 angka 4:

Selama masa PKWT ini, PT. SI dapat melaksanakan

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) seketika dan tanpa uang pesangon atau uang imbalan atau uang jasa berupa apapun, apabila KARYAWAN terbukti melakukan pelanggaran/kesalahan berat seperti yang tercantum di dalam Peraturan Perusahaan dan/atau UU Tenaga Kerja No. 13 tahun 2003 dan ketentuan pelanggaran yang

1. Pasal 40 (1) PP No. 35 Tahun 2021:

“Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”.

2. Pasal 53 ayat (1 & 3) dan Pasal 55 ayat (1) PP No. 35 Tahun 2021:

“Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan

Dalam hal ini Pasal 6 angka 4 perjanjian kerja jelas

bertentangan dengan Pasal 40 (1) PP No. 35 Tahun 2021.

Sebab dalam hal pemutusan hubungan kerja tetap diberikan pesangon. Pun semisal ternyata Pasal 7 angka 3 perjanjian kerja menganggap bahwa kesalahan pekerja tersebut juga kesalahan yang

berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama, akan tetapi dengan melihat ketentuan-ketentuan pada pasal berikutnya, yakni Pasal 53 ayat (1 & 3) dan Pasal 55 ayat (1) PP No. 35 Tahun

(18)

53 tercantum di dalam

PKWT ini.

2. Pasal 7 angka 3:

Karyawan yang mengundurkan diri sebelum berakhirnya periode perjanjian kerja maka Karyawan diwajibkan

memberitahukan secara tertulis kepada PT. SI 30 (tiga puluh) hari sebelumnya.

Dalam hal ini

karyawan tidak berhak atas uang pesangon atau uang imbalan atau uang jasa berupa apapun.

ketiga secara berturut-turut maka Pekerja/ Buruh berhak atas: a.

uang pesangon sebesar 0,5 (nol koma lima) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2); b. uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan c. uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4).

Selanjutnya Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran bersifat mendesak yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama maka Pekerja/Buruh berhak atas: a. uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4); dan b. uang pisah yang besarannya diatur dalam

Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. (3) Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tanpa

pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (21)”.

2021yang menjelaskan mekanisme penghitungannya.

Artinya, pekerja masih tetap mendapatkan pesangon sekalipun terbukti melakukan pelanggaran.

(19)

54 B. Perjanjian Kerja antara Pekerja Alih Daya dan Pengusaha Alih Daya

Ditinjau dari Asas Keadilan

1. Makna dan Esensi Keadilan dalam Perjanjian Kerja

Hukum undang-undang pada dasarnya dibentuk dalam wujud preskripsi-preskripsi normatif, dengan tujuan dapat berfungsi dengan baik sebagai acuan perilaku manusia di dalam kehidupan bermasyarakat.1 Keberadaan berbagai peraturan yang mengatur mengenai perjanjian kerja, baik dalam UU Ketenagakerjaan maupun peraturan di bawahnya sejatinya harus mampu dijadikan acuan, sebab peraturan perundang-undangan tersebut dibentuk agar segala macam perjanjian kerja yang dibuat dapat berlaku dan berfungsi dengan baik, sehingga terwujud nilai keadilan bagi para pihak. Hukum keadilan adalah penerapan hukum yang sesuai dengan yang ditetapkan oleh suatu tata hukum. Sehingga keadilan berarti mempertahankan tata hukum secara sadar dalam penerapannya.

Pada dasarnya dalam hukum perdata setiap orang diberi kebebasan untuk membuat perjanjian baik dari segi bentuk maupun muatan, selama tidak melanggar ketentuan perundang-undangan, kesusilaan, kepatutan dalam masyarakat (lihat Pasal 1337 KUHPerdata). Setelah perjanjian timbul dan mengikat para pihak, hal yang menjadi perhatian selanjutnya adalah tentang pelaksanaan perjanjian itu sendiri, akibat timbulnya perjanjian kerja tersebut, maka para pihak terikat di dalamnya dituntut untuk

1 Ana Fauzia, Fathul Hamdani, & Deva Gama Rizky Octavia, “The Revitalization of the Indonesian Legal System in the Order of Realizing the Ideal State Law,” Progressive Law Review, Vol. 3 No. 1 (April 2021), hlm. 15.

(20)

55 melaksanakannya dengan baik layaknya undang-undang bagi mereka.2 Jika bertolak pada hukum perikatan, sebenarnya sah-sah saja sistem kerja kontrak ini dengan dalil asas kebebasan berkontrak (Freedom of Contract) yang terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata, dan bagi pengusaha sistem kerja kontrak ini sudah merupakan pilihan yang paling tepat sejauh tidak melanggar ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan.3

Pembuatan perjanjian kerja dengan berdasar pada asas kebebasan berkontrak di atas dalam praktiknya sering kali tidak mencerminkan nilai keadilan. Sebab perusahaan atau pemberi kerja yang memiliki kedudukan lebih tinggi terkadang membuat perjanjian yang tidak proporsional, dengan kata lain klausul dalam perjanjian para pihak tidak selalu mencerminkan adanya keseimbangan kedudukan para pihak dalam perjanjian.4

Selanjutnya dalam pandangan Hans Kelsen, sesuatu dikatakan adil apabila segala sesuatu yang ditetapkan dalam kehidupan masyarakat telah sesuai dengan norma yang berlaku, yakni sesuai dengan apa yang tertuang di dalam hukum positif atau peraturan perundang-undangan.5 Dalam konteks perjanjian kerja, maka dalam penuangan hak dan kewajiban para pihak harus senantiasa mengacu pada ketentuan hukum positif, yakni harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2 Taun, T., & Nugraha, A, “Penerapan Hukum dalam Pemutusan Hubungan Kerja dan Kebijakan Bank Terhadap Debitur yang Terdampak Pandemi Covid-19,” Batulis Civil Law Review, No. 1 No.

1 (2020), hlm. 24-32.

3 Agustina Balik, Novyta Uktolseja, “Aspek Keadilan dalam Perjanjian Kerja Outsourcing di Tengah Pandemik Covid-19,” Jurnal SASI, Vol. 27 No. 2 (2021), hlm. 223.

4 Budiartha, Hukum Outsourcing: Konsep Alih Daya, Bentuk Perlindungan, dan Kepastian Hukum (Jakarta: Setara Press, 2016), hlm. 8.

5 Munir Fuady, Teori-Teori Besar dalam Hukum (Jakarta: Prenadamedia Group, 2013), hlm.

141.

(21)

56 Merujuk pada pendapat mengenai keadilan di atas dapat dilihat bahwa dalam pembuatan perjanjian kerja, meskipun terdapat asas kebebasan berkontrak, namun asas tersebut harus dibatasi dalam kerangka keadilan bagi para pihak dan hukum positif yang berlaku, dengan kata lain antara asas kebebasan berkontrak dan asas keadilan dengan tetap merujuk pada hukum positif yang berlaku tidak boleh terpisahkan. Selanjutnya, antara hak dan kewajiban juga haruslah seimbang, yakni dengan mempertimbangkan aspek kepatutan dan penghargaan terhadap pekerja.

Asas keadilan mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan perjanjian pekerja outsourcing yang menghendaki setiap orang memperoleh hak yang sama sehingga tidak mengambil keuntungan yang lebih dari bagian semestinya dan tidak boleh merugikan orang lain. Dengan adanya asas keadilan maka akan memberikan jaminan keadilan kepada manusia sebagai subyek hukum sehingga memperoleh hak dan kewajiban yang semestinya. Karena dalam hubungan perusahaan dengan pekerjanya seringkali tidak seimbang dalam pelaksanaannya.

2. Aspek Keadilan dalam Perjanjian Kerja antara Pekerja Alih Daya dan Pengusaha Alih Daya

Sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan pertama terkait dengan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kerja alih daya, yakni pada Perjanjian Kerja PT. PDC, Perjanjian Kerja PT. BAI, dan Perjanjian Kerja PT. SI dengan pekerja alih daya, dapat dilihat bahwa hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan outsourching tidak seimbang. Meskipun

(22)

57 perumusan klausul-klausul dalam perjanjian tersebut sejatinya didasarkan pada pernyataan kehendak dan kesepakatan antara para pihak. Akan tetapi pekerja justru dibebani dengan kewajiban yang lebih banyak, sementara titel hak yang diberikan kepadanya sangat sedikit, yang justru berbanding terbalik dengan pihak perusahaan.

Dari ketiga perjanjian yang telah dianalisis oleh Penulis menunjukkan bahwa terdapat beberapa klausul yang justru tidak dapat mengakomodir hak pekerja secara optimal. Aspek keadilan sebagaimana diuraikan pada poin pertama di atas sangat jauh untuk dicapai. Hukum ketenagakerjaan yang lahir dari pemikiran untuk memberi perlindungan bagi para pihak terutama pekerja/buruh sebagai pihak yang lemah dan keadilan sosial dalam hubungan kerja diantara para pihak yang memiliki persamaan dan perbedaan yang cukup besar, harus mampu menjadi payung hukum bagi pekerja.6 Sehingga dalam pembuatan perjanjian kerja, perusahaan seharusnya tidak boleh luput akan pemenuhan hak pekerja yang berdasar pada nilai keadilan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Dari pandangan-pandangan di atas, maka Penulis mendapatkan hasil analisis terhadap ketiga perjanjian kerja di atas. Pertama, dalam perjanjian kerja antara PT. PDC dengan pekerja alih daya misalnya, bahwa ditemukan ketentuan yang mengatur mengenai hak PT. PDC untuk melakukan

6 Niru Anita Sinaga dan Tiberius Zaluchu, “Perlindungan Hukum Hak-Hak Pekerja dalam Hubungan Ketenagakerjaan di Indonesia,” Jurnal Teknologi Industri, Vol. 6 (2017), hlm. 63.

(23)

58 Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) seketika dan tanpa uang pesangon atau uang imbalan atau uang jasa berupa apapun, apabila KARYAWAN terbukti melakukan pelanggaran/kesalahan berat seperti yang tercantum di dalam Peraturan Perusahaan dan/atau UU Ketenagakerjaan dan ketentuan pelanggaran yang tercantum di dalam PKWT. Namun dalam Pasal 52 (1) PP No. 35 Tahun 2021 justru mengatur walaupun Pekerja/Buruh di PHK karena alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut, Pekerja/ Buruh tetap berhak atas: a. uang pesangon sebesar 0,5 (nol koma lima) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2); b.

uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan c. uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4).

Oleh karena itu, apabila dikaji dari perspektif keadilan menurut Hans Kelsen, tentu perjanjian tersebut tidak mencerminkan nilai keadilan karena tidak mengakomodir hak pekerja sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Sebab dalam pandangan Hans Kelsen mengenai keadilan, bahwa keadilan seharusnya dimaknai sebagai legalitas.7 Maksudnya adalah suatu perbuatan dikatakan adil apabila sesuai dengan norma hukum yang valid. Dengan kata lain, keadilan menurut Hans Kelsen adalah legalitas, sehingga tolok ukur

7 Munir Fuady, Teori-Teori Besar dalam Hukum (Jakarta: Prenadamedia Group, 2013), hlm.

128.

(24)

59 hukum yang adil adalah sah menurut hukum atau sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Kedua, dalam perjanjian kerja PT. BAI dengan pekerja outsourcing, bahwa di dalam perjanjian tersebut tidak diatur sanksi bagi perusahaan apabila tidak melaksanakan kewajibannya, sementara klausul mengenai sanksi hanya diatur terhadap pekerja outsourcing saja. Artinya perlindungan hukum bagi pekerja outsourcing apabila haknya tidak terpenuhi tidak terakomodir dalam perjanjian kerja.

Perlindungan hukum mempunyai makna sebagai perlindungan dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum, ditunjukan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu dengan cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut ke dalam sebuah hak hukum. dalam hukum “hak” disebut juga hukum subyektif. Hukum subyektif merupakan segi aktif dari pada hubungan hukum yang diberikan oleh hukum obyektif, dalam hal hukum subyektif adalah norma-norma, kaidah.8 Adapun perwujudan dari perlindungan tersebut adalah pengaturan mengenai hak-hak pekerja secara seimbang dalam suatu perjanjian.

Sehingga bilamana sanksi ditetapkan kepada pekerja yang tidak menjalankan kewajibannya dalam perjanjian kerja, maka sanksi kepada pemberi kerja yang tidak menjalankan kewajibannya juga harus ditetapkan,

8 Heru Suyanto dan Andriyanto Adhi Nugroho, “Perlindungan Hukum terhadap Hak-Hak Pekerja Outsourcing Berdasarkan Asas Keadilan,” Jurnal Yuridis, Vol. 3 No. 2 (2016), hlm. 4.

(25)

60 apakah itu dalam bentuk kompensasi, ganti rugi, dan lainnya. Sebab perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak layaknya undang-undang.

Perlindungan hukum selalu terkait dengan peran dan fungsi hukum sebagai pengatur dan perlindungan terhadap kepentingan masyarakat.

Bronislaw Malinowski dalam bukunya “Crime and Costum in Savage”

menyatakan bahwa hukum tidak hanya beperan di dalam keadaan-keadaan yang penuh kekerasan dan pertentangan, akan tetapi bahwa hukum juga berperan pada aktivitas sehari-hari.9 Perlindungan hukum bagi pekerja sangat diperlukan mengingat kedudukan pekerja berada pada pihak yang lemah. Perlindungan terhadap pekerja dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak dasar pekerja dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja. Oleh karena itu, menjadi suatu hal yang tidak adil apabila sanksi hanya diterapkan kepada para pekerja sementara pemberi kerja tidak diberikan sanksi.

Selanjutnya dalam Pasal 12 poin 12.3.10 mengatur bahwa pihak perusahaan alih daya dapat melakukan pengakhiran perjanjian secara sepihak apabila atas permintaan klien, karyawan tidak diperkenankan untuk bekerja ataupun berada di lokasi milik klien akibat melakukan kesalahan atau pelanggaran yang menurut pertimbangan dari klien dapat merugikan pihak terkait serta karyawan dianggap tidak cakap dalam melaksanakan tugas yang diberikan karyawan. Terhadap klausul tersebut berpotensi

9 Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 16

(26)

61 adanya subjektivitas dan menutup potensi keterbukaan terhadap berbagai keluhan dari karyawan ketika hal tersebut tidak sesuai dengan kehendak karyawan. Keberadaan klausul tersebut yang tidak memberikan hak bagi pekerja untuk melakukan pembelaan dan terkesan sepihak tentu telah melanggar asas keadilan.

Pengakuan akan keterikatan pada sebuah kontrak atau apa yang dalam dunia hukum lebih dikenal dengan istilah “Pacta Sunt Servanda” adalah salah satu substansi terpenting, dimana perjanjian tidak hanya sekedar wujud tata harmonis yang mengikat para pihak, melainkan juga ada nilai imperatis di dalamnya. Bahkan Hugo Grotius juga menyatakan bahwa dalam suatu kontrak atau perjanjian melekat suatu kekuatan moral.10 Artinya ini dari keterikatan suatu kontrak ada pada nilai kesusilaan, sebab makna dari sebuah kontrak tidak lain adalah penghargaan manusia terhadap itikad baik sesamanya dalam pergaulan hukum.

Oleh karenanya, terhadap Pasal 12 poin 12.3.10 di atas memperlihatkan bahwa tidak ada itikad baik dari pemberi kerja dalam memberikan hak bagi pekerja untuk melakukan pembelaan. Sementara dengan frasa “Perusahaan alih daya dapat melakukan pengakhiran perjanjian secara sepihak apabila atas permintaan klien” cenderung subjektif dan sepihak. Sehingga Penulis berpandangan bahwa ketentuan dalam perjanjian tersebut sangat jauh dari tata harmonis perikatan yang mencerminkan nilai keadilan bagi pekerja.

10 Munir Fuady, Op.cit., hlm. 230.

(27)

62 Ketiga, dalam perjanjian kerja PT. BAI dengan pekerja outsourcing, juga terlihat bahwa terdapat ketidakjelasan terhadap hak pekerja, misalnya berkaitan dengan pesangon. Di dalam Pasal 6 angka 4 perjanjian kerja, ditentukan bahwa PT. SI dapat melaksanakan PHK seketika dan tanpa uang pesangon atau uang imbalan atau uang jasa berupa apapun, apabila karyawan terbukti melakukan pelanggaran/kesalahan berat seperti yang tercantum di dalam Peraturan Perusahaan dan/atau UU Ketenagakerjaan dan ketentuan pelanggaran yang tercantum di dalam PKWT.

Adanya ketidakpastian hukum sebagaimana dimaksud adalah terkait mekanisme pesangon yang diberikan jika melakukan pelanggaran. Sebab jika merujuk pada Pasal 52 (1) PP No. 35 Tahun 2021 dijelaskan bahwa meskipun pengusaha dapat melakukan PHK terhadap terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran atau kesalahan, namun Pekerja/Buruh tetap berhak atas: a. uang pesangon sebesar 0,5 (nol koma lima) kali ketentuan Pasal 40 ayat (2); b. uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 ayat (3);

dan c. uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4).

Terhadap klausul di atas terlihat bahwa perjanjian tersebut tidak mengakomodir hak-hak pekerja secara utuh. Padahal perjanjian kerja dibuat untuk memperjelas dan mempertegas hak dan kewajiban para pihak, yang salah satunya adalah pekerja. Sebab esensi dari keadilan sebagaimana telah diuraikan adalah ketika hak para pihak tidak tercederai. Dengan kata lain, perjanjian yang memenuhi nilai keadilan dan sah menurut hukum adalah

(28)

63 perjanjian yang memuat hak dan kewajiban para pihak secara seimbang dan utuh.

Oleh karena itu, dengan bersandar pada teori keadilan yang dibangun oleh Hans Kelsen, maka dari ketiga perjanjian kerja di atas dapat dilihat bahwa perjanjian kerja yang ada tidak sesuai dengan prinsip keadilan. Sebab hal ini dapat dilihat melalui hak dan kewajiban pekerja dan pemberi kerja yang tidak seimbang, adanya sanksi bagi pekerja namun tidak bagi pemberi kerja, hingga pemberian pesangon yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Referensi

Dokumen terkait

outsourcing ).. Upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja terhadap pekerja yang ditetapkan dan

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dilakukan oleh pengusaha karena perusahaan melakukan efisiensi, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali

(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian

Tugas Akhir Penulisan Hukum dengan Judul “Pemenuhan Hak Dalam Pemutusan Hubungan Kerja Pada Pekerja Atau Buruh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) (Studi

Tujuan diberlakukan sanksi perubahan status hubungan kerja tentu bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh dalam hal terjadi penyimpangan peraturan

35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja maka pekerja / buruh berhak mendapatkan uang

Menurut pasal 1 angka 30 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 upah adalah hak pekerja/ buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi

Tugas Akhir Penulisan Hukum dengan Judul “Pemenuhan Hak Dalam Pemutusan Hubungan Kerja Pada Pekerja Atau Buruh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) (Studi