• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Ketahanan Pangan

Bab III Keunikan Kondisi Sumatera Utara untuk Mendukung

3.3. Aspek Ketahanan Pangan

Perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi tanaman padi, jagung, kedelai mulai tahun 2011-2019 juga mengalami fluktuasi. Hal ini diterakan pada Tabel 16. Walaupun data tiga tahun terakhir berbeda antara Kementerian Pertanian RI dengan BPS maka data yang disajikan pada Tabel 17 tetap layak untuk dibahas.

Luas panen tertinggi untuk tanaman padi dijumpai pada tahun 2018 sebesar 1.125.495,6 Ha sedang produktivitas padi tertinggi dijumpai pada tahun 2017 sebesar 61,90 Kw/Ha.

Demikian juga produksi tertinggi padi di Sumatera Utara sebesar 5.465.218,45 ton pada tahun 2018. Selanjutnya untuk jagung luas panen tertinggi dijumpai pada tahun 2019 seluas 319.507 Ha, akan tetapi produktivitas dan produksi tertinggi adalah pada tahun 2017 masing-masing sebesar 61,90 Kw/Ha dan 1.741.257,4 ton.

Kemudian untuk tanaman kedelai luas panen yang lebih tinggi justru dijumpai pada tahun 2011 yaitu 11.413 Ha, adapun

MEMBANGUN KETAHANAN PANGAN INDONESIA DARI SUMATERA UTARA 49 produktivitas kedelai yang lebih tinggi pada tahun 2019 sebesar 17,30 Kw/Ha dan produksi tertinggi tetap pada tahun 2011 sebesar 11.425 ton.

Tabel 16. Perkembangan luas panen, produktivitas dan produksi padi, palawija Tahun 2011 sd 2019 di PSU

No. Uraian 2011 2012 2013 2014 2015

1. Padi

-Luas panen (Ha) -Produktivitas (Kw/Ha) -Produksi (Ton)

757.547 47,62

3.607.404

765.099 48,56

3.715.513

742.968 50,17

3.727.249

717.318 50,62

3.631.039

781.769 51,74

4.044.829 2. Jagung

-Luas panen (Ha) -Produktivitas (Kw/Ha) -Produksi (Ton)

255.291 50,71

1.294.645

243.098 55,41

1.347.121

211.750 55,87

1.182.928 200.603

1.159.796

243.772 62,33

1.519.407 3. Kedelai

-Luas panen (Ha) -Produktivitas (Kw/Ha) -Produksi (Ton)

11.413 10,01

11.425

5.475 9,90

5.419

3.126 10,33

3.229

5.024 11,36

5.705

5.303 12,35

6.549 Sumber: Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Sumatera Utara

(2021) dan Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatera Utara (2021)

Lanjutan tahun

No. Uraian 2016 2017 2018 2019

1. Padi

Luas panen (Ha) Produktivitas (Kw/Ha) Produksi (Ton)

885.575,9 61,63 4.609.790,9

988.068 61,90 5.136.184,6

1.125.495,6 57,83 5.465.218,45

717.318 61,36 4.693.562,8

2. Jagung Luas panen (Ha) Produktivitas (Kw/Ha) Produksi (Ton)

252.729,2 61,63 1.557.462,8

281.311,4 61,90 1.741.257,4

295.849,50 57,83 1.710.784,96

319.507 61,36 1.960.424

3. Kedelai Luas panen (Ha) Produktivitas (Kw/Ha) Produksi (Ton)

3.955,3 12,80 5.062,0

6.004,8 12,95 7.777,7

5.849,90 7,02 8.152,97

5.563 17,30 9.626,7

Sumber: Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Sumatera Utara (2021) dan Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatera Utara (2021)

50 MEMBANGUN KETAHANAN PANGAN INDONESIA DARI SUMATERA UTARA

Perkembangan produksi pangan pokok di Provinsi Sumatera Utara tahun 2011-2019 sangat dinamis, dari 9 komoditas pangan seperti diterakan pada Tabel 17, kedelai kelihatannya harus didatangkan dari daerah lain sedang untuk pangan pokok lainnya Provinsi Sumatera Utara sudah swasembada.

Tabel 17. Perkembangan produksi pangan pokok di Sumatera Utara Tahun 2011 – 2019

N0. Komoditas Produksi (Ton)

2011 2012 2013 2014 2015

1. Padi 3.607.432 3.715.084 3.727.682 3.631.039 4.026.449 2. Jagung 1.294.645 1.347.124 1.182.928 1.159.795 1.519.408

3. Kedelai 11.426 5.401 3.228 5.705 6.549

4. Kacang Tanah

11.093 12.073 11.352 9.777 8.517

Ubi Kayu 1.091.710 1.171.521 1.518.222 1.383.346 1.616.955 Ubi Jalar 191.104 186.585 116.670 146.622 122.363 7. Daging Sapi 18.299,58 24.548,62 18.345,97 22.656,30 23.407,97 8. Daging

Ayam buras

13.430,39 14.314,08 18.435,18 16.647,62 16.904,88

9. Telur 104.939,44 131.261,83 164.981,97 155.744,08 161.681,54

Lanjutan tahun

N0. Komoditas Produksi (Ton)

2016 2017 2018 2019

1. Padi 4.609.790,9 5.136.184,6 5.465.218,45 4.693.562,8 2. Jagung 1.557.462,8 1.741.257,4 1.710.784,96 1.960.424

3. Kedelai 5.062,0 7.777,7 18.152,97 9.626,7

4. Kacang Tanah

4.091,4 3.469,0 3.379,0 3.837,0

5. Ubi Kayu 34.852,3 28.948,0 22.945,4 31.514,0

6. Ubi Jalar 6.378,6 5.884,2 4.969,5 5.511,0

7. Daging Sapi (ton)

25.571,07 26.297,65 15.240,3 15.723,6

8. Daging Ayam (ton)

71.781,05 76.732,35 91.499,42 91.842,8

9. Telur (kg) 166.366.100 169.758,08 260.992.009 259.481.475

Sumber: BPS Sumatera Utara 2012-2020 (data diolah)

MEMBANGUN KETAHANAN PANGAN INDONESIA DARI SUMATERA UTARA 51 Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG)

Sumatera Utara juga mengenal dan intens melaksanakan SKPG. Konsep ini digunakan secara luas di berbagai wilayah di dunia. Di tiap Negara SKPG dikenal sebagai Early Warning System (EWS).

Sesuai UU Nomor 18/2012 tentang Pangan pasal 114 ayat 1 dan 2 (d) dan PP Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi pasal 75 ayat 1 dan 2 (d) mengamanatkan bahwa:

ayat 1: Pemerintah dan Pemda berkewajiban membangun, menyusun, dan mengembangkan Sistem Informasi Pangan dan Gizi (SIPG) yang terintegrasi

ayat 2 (d) : SIPG dapat digunakan untuk pengembangan sistem peringatan dini terhadap masalah Pangan dan kerawanan Pangan dan Gizi

Adapun indikator SKPG diterakan pada Tabel 18.

Tabel 18. Indikator Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi

Aspek Indikator SKPG

A. Food Availability 1. luas tanam komoditas pangan bulan berjalan 2. luas tanam komoditas pangan bulan berjalan 5

tahun terakhir

3. luas puso komoditas pangan bulan berjalan 4. luas puso komoditas pangan bulan berjalan 5

tahun terakhir

B. Food Access 1. Harga beras untuk seluruh wilayah kab./kota 2. Harga beras, jagung, dan ubi kayu;

3. Harga beras, ubi jalar, dan ubi kayu.

C. Food Utilization 1. Angka Balita Ditimbang terkoreksi (D’) 2. Angka Balita Naik Berat Badan (N)

3. Balita yang tidak naik berat badannya dalam 2 kali penimbangan berturut-turut (2T)

4. Angka Balita Dengan Berat Badan Dibawah Garis Merah (BGM)

D. Supporting Data 1. Data kejadian bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi dan lain lain) 2. Data curah hujan

3. Kasus gizi buruk yang ditemukan 4. Perubahan pola konsumsi pangan, 5. Data sebaran Organisme Pengganggu

Tumbuhan 6. Cadangan pangan

Sumber: Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Badan Ketahanan Pangan 2019-Bahan e learning Bidang Kerawanan Pangan

52 MEMBANGUN KETAHANAN PANGAN INDONESIA DARI SUMATERA UTARA

Untuk wilayah perkotaan/non produksi yang juga dapat disebut sentra konsumsi dilakukan sebagai berikut:

Analisis SKPG

a) Analisis Availabilitas Pangan

No. Analisis Persentase

(r) (%) Bobot

1

% ase luas tanam bulan berjalan dibandingkan dengan rata-rata luas tanam bulan bersangkutan 5 tahun terakhir

r ≥ 5 1 = Secure/Aman -5 ≤ r < 5 2 = Alert/Waspada r < -5 3 = Vulnerable/Rentan

2

% ase luas puso bulan berjalan dibandingkan dengan rata-rata luas puso bulan bersangkutan 5 tahun terakhir

r < -5 1 = Secure 5 ≤ r < -5 2 = Alert r > 5 3 = Vulnerable 1. Urban is an area that has a non-agricultural main activity, dengan

susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi (Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang).

2. Berdasarkan hasil kajian WFP pada tahun 2015; for areas that have non agricultural main activities, harga pangan pokok (beras) merupakan indikator yang kuat untuk memprediksi kemungkinan terjadinya kerawanan pangan.

Sehingga untuk analisis SKPG wilayah perkotaan/non pertanian hanya menggunakan aspek akses pangan dan pemanfaatan pangan.

Namun apabila diketahui rasio ketersedian pangan/Food Consumptoin-Availability Ratio (IAV) kota lebih dari 1, artinya kota tersebut surplus kebutuhan pangan pokok, maka menggunakan indikator sebagaimana pemilihan indikator di wilayah kabupaten lainnya.

MEMBANGUN KETAHANAN PANGAN INDONESIA DARI SUMATERA UTARA 53 Komposit Ketersediaan Pangan

% ase rata-rata luas tanam bulan berjalan dibandingkan dengan rata-rata luas tanam bulanan 5 tahun

% ase rataan luas puso bulan berjalan dibandingkan dengan rata-rata luas puso bulanan 5 tahun

Bobot 1 2 3

1 2 3 4

2 3 4 5

3 4 5 6

Ket:

Total bobot 2 = warna hijau (secure) Total bobot 3 – 4 = warna kuning (alert) Total bobot 5 – 6 = warna merah (vulnerable)

b) Analisis Keterjangkauan Pangan Bulanan

No Analisis % ase (r) (%) Bobot

1 % ase rataan harga bulan berjalan komoditas beras dibandingkan dengan rata-rata harga 3 bulan terakhir

r < 5 1 = Secure 5 ≤ r ≤ 10 2 = Alert r > 10 3 = Vulnerable 2 % ase rataan harga bulan

berjalan komoditas jagung dibandingkan dengan rata-rata harga 3 bulan terakhir

r < 5 1 = Secure 5 ≤ r ≤ 15 2 = Alert

> 15 3 = Vulnerable 3 % ase rataan harga bulan

berjalan komoditas ubi kayu dibandingkan dengan rata-rata harga 3 bulan terakhir

r < 5 1 = Secure 5 ≤ r ≤ 15 2 = Alert

> 15 3 = Vulnerable 4 % ase rataan harga bulan

berjalan komoditas ubi jalar dibandingkan dengan rata-rata harga 3 bulan terakhir

r < 5 1 = Secure 5 ≤ r ≤ 15 2 = Alert

> 15 3 = Vulnerable

c) Analisis Pemanfaatan Pangan Bulanan

No Analisis % ase

(r)(%) Bobot 1 % ase Balita yang naik BB (N)

dibandingkan Jumlah Balita Ditimbang terkoreksi (D’)

r > 90 1 = Secure 80 ≤ r ≤ 90 2 = Alert

< 80 3 = Vulnerable 2 % ase Balita yang BGM dibandingkan

Jumlah Balita ditimbang terkoreksi (D’)

r < 5 1 = Secure 5 ≤ r ≤ 10 2 = Alert

> 10 3 = Vulnerable 3 % ase balita yang tidak naik berat

badannya dalam 2 kali penimbangan berturut-turut (2T) dibandingkan Jumlah Balita ditimbang terkoreksi (D’)

r < 10 1 = Secure 10 ≤ r ≤ 20 2 = Alert

> 20 3 = Vulnerable

54 MEMBANGUN KETAHANAN PANGAN INDONESIA DARI SUMATERA UTARA

Komposit Pemanfaatan Pangan

Hasil analisis ke 1danke 2 Hasil

analisis ke 3

Bobot 2 3 4 5 6

1 3 4 5 6 7

2 4 5 6 7 8

3 5 6 7 8 9

Keterangan:

Total bobot 3 – 4 = warna hijau (secure)

Total bobot 5 – 6 dan tidak ada bobot 3 pada BGM/D’ dan 2T/D’= warna kuning (alert) Total bobot 5– 9 dan ada bobot 3 pada BGM/D’ dan 2T/D’= warna merah (vulnerable) Sumber: Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Badan Ketahanan Pangan 2019-Bahan

e learning Bidang Kerawanan Pangan

Untuk penanganan rawan pangan Sumatera Utara juga tetap berpedoman pada FSVA (tahunan), SKPG (bulanan), gerakan masyarakat mandiri pangan untuk mempercepat penanganan gizi buruk dan gizi kurang, desa mandiri pangan, data rawan pangan transien, dan data rawan pangan kronis. Kegagalan produksi dapat menjadi pemicu awal rawan pangan hingga kurang gizi. Terjadinya rawan pangan diperjelas pada Gambar 4.

Kegagalan produksi

Daya beli menurun Pendapatan

menurun

KURANG GIZI

PREVENTIF KURATIF

SANGAT DINI

CUKUP

DINI Kurang

Ketersediaan Dini Pangan RT berkurang Krisis, Sosial,

Ekonomi, Politik

Ketersediaan pangan di masy.

kurang

Asupan Zat Gizi kurang

MEMBANGUN KETAHANAN PANGAN INDONESIA DARI SUMATERA UTARA 55 Melakukan Penanggulangan kerawanan pangan sangat diperlukan gerakan bersama di mulai dengan:

Penyusunan petunjuk pelaksanaan penanggulangan kerawanan pangan diikuti;

Sosialisasi petunjuk pelaksanaan penanggulangan kerawanan pangan lalu;

Melakukan intervensi melalui bantuan sosial pada daerah rawan pangan hasil investigasi Tim SKPG dan rawan pangan akibat bencana, selanjutnya;

Penyediaan stok pangan melalui pengembangan lumbung pangan pemerintah Provinsi Sumatera Utara, lalu

Menggerakkan pemberdayaan masyarakat rawan pangan, melalui program desa mandiri pangan, gerakan masyarakat mandiri pangan dan dipadukan dengan program lainnya di tingkat kabupaten/kota.

Penanggulangan rawan pangan adalah melakukan investigasi dan intervensi rawan pangan kronis dan transien.

Investigasi

Berdasarkan pemetaan situasi pangan dan gizi yang dilakukan oleh Tim SKPG.

Tim Investigasi harus segera turun ke lapangan paling lambat 1 minggu setelah suatu daerah diketahui mengalami kerawanan pangan kronis.

Hasil investigasi digunakan oleh Tim Investigasi untuk menyusun rekomendasi.

Hasil rekomendasi yang disampaikan mencakup jenis intervensi yang tepat, lokasi dan masyarakat sasaran, jangka waktu pelaksanaan intervensi dan lain-lain sesuai dengan kepentingan.

Intervensi

Kepala Daerah memerintahkan Pokja Pangan dan Gizi untuk mengkoordinasikan pelaksanaan intervensi.

56 MEMBANGUN KETAHANAN PANGAN INDONESIA DARI SUMATERA UTARA

Intervensi yang dilakukan mencakup tanggap darurat apabila diperlukan, intervensi jangka menengah serta intervensi jangka panjang.

Jenis intervensi yang tepat, jangka waktu intervensi, besaran dana yang diperlukan dan lain-lain dapat diketahui berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh Tim Investigasi.

Intervensi dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber dana baik berasal dari APBN, APBD, masyarakat maupun bantuan internasional.

Penanggulangan Rawan Pangan Transien Investigasi

Membentuk Tim Investigasi.

Tim Investigasi melaksanakan tugasnya dan melaporkan hasilnya kepada Kepala Daerah maksimal 3 hari setelah dibentuk.

Hasil investigasi meliputi rekomendasi adanya rawan pangan transien yang disebabkan oleh bencana, wilayah yang mengalami rawan pangan, masyarakat sasaran, jenis intervensi yang diberikan, jangka waktu dan pelaksana intervensi.

Setelah menerima rekomendasi dari Tim Investigasi, Kepala Daerah memerintahkan Pokja Pangan dan Gizi untuk melakukan intervensi.

Tim Investigasi dapat berkoordinasi dengan Satlak/Satkorlak setempat.

Intervensi

Intervensi dilakukan dengan memberikan bantuan tanggap darurat, sesuai kebutuhan setempat dari hasil investigasi dan bantuan jangka pendek serta jangka panjang.

Sistem monitoring ketahanan pangan untuk mengetahui rumah tangga rawan pangan di Sumatera Utara (Dokumen Dewan Ketahanan Pangan-BKP, 2018) ditampilkan pada Gambar 5.

MEMBANGUN KETAHANAN PANGAN INDONESIA DARI SUMATERA UTARA 57 Gambar 5. Sistem Monitoring Ketahanan Pangan mulai dari FSVA

hingga Rumah Tangga Rawan Pangan

Pengambilan data untuk FSVA dapat 2-3 tahun sehingga sifat indikatornya lebih statis, sedang SKPG dilakukan secara periodik yaitu bulanan dan tahunan dan sifatnya terus menerus sehingga sifat indikatornya lebih dinamis. Dalam hal ini, baik FSVA maupun SKPG informasi mengenai situasi ketahanan pangan berada pada tingkat wilayah, lalu diteruskan untuk mengetahui pada rumah tangga rawan pangan untuk tujuan intervensi.

Berikut contoh pengalaman Sumatera Utara untuk menanggulangi rawan pangan yang diakibatkan oleh erupsi Gunung Sinabung sebab mereka berada dalam kawasan rawan bencana, berdasarkan hasil Investigasi Kerawanan Pangan melalui EFSA di Kab. Karo-Sumatera Utara:

- Untuk melayani para pengungsi harus ada kerjasama masyarakat dengan Kepala Desa, camat, Pemerintah Kab.Karo hingga

SKPG WILAYAH YANG RENTAN

TERHADAP KERAWANAN PANGAN

INVESTIGASI MASYARAKAT

RUMAH TANGGA RAWAN PANGAN

FSVA

INTERVENSI

58 MEMBANGUN KETAHANAN PANGAN INDONESIA DARI SUMATERA UTARA

Pemerintah Provinsi dan Pusat, antara lain dalam hal perbaikan sarana infrastuktur/investasi. Dalam hal ini, secara khusus instansi yang menangani ketahanan pangan mempunyai tugas mulia dalam hal ketersediaan pangan, kemandirian pangan sampai ke tingkat penyediaan konsumsi pangan. Lebih detail, sangat diperlukan berbagai program untuk mengatasi persoalan masyarakat, sebagai berikut:

- Program Jangka Pendek

Bantuan pangan B2SA selama di pengungsian berupa beras dan non beras, dan dihitung total biaya yang dibutuhkan setiap tahun

Untuk Kebutuhan beras dapat dipenuhi dari cadangan beras pemerintah tingkat kabupaten sebesar 100 ton dan kekurangannya dipenuhi dari cadangan beras pemerintah tingkat Provinsi dan Pusat.

Kebutuhan non beras dapat dipenuhi dari dana Penanganan Daerah Rawan Pangan (PDRP) tingkat kabupaten, propinsi, pusat serta sumber dana lainnya Pemberian beasiswa pendidikan serta biaya kesehatan - Program Jangka Menengah dan Panjang

Fasilitasi usaha tani yang produktif dalam waktu yang singkat (misalnya: budidaya sayuran, ternak ayam potong, perikanan)

Penyediaan sarana dan prasarana penyediaan air bersih Perlu dibangun tempat pemukiman yang aman dari erupsi

Gunung Sinabung

Program Jangka Pendek hingga Jangka Panjang seperti yang dikemukakan di atas adalah berdasarkan temuan di lapangan dengan memperhatikan beberapa variabel berikut:

Jenis Sumber Air Minum – Sebelum dan Setelah Erupsi Lama waktu yang dibutuhkan ke dan dari sumber air

minum

Sumber bahan bakar Sumber Penghasilan utama

Sumber untuk memperoleh bahan pangan

MEMBANGUN KETAHANAN PANGAN INDONESIA DARI SUMATERA UTARA 59 Persentase pengeluaran untuk pangan

Produksi serealia dan umbi-umbian Kepemilikan ternak

Persentase ternak yang hilang/mati

Apakah pernah menjual salah satu/beberapa aset setelah bencana untuk memenuhi kebutuhan pangan/modal usaha

Kebiasaan makan sebelum dan setelah bencana – balita, ibu-ibu, dewasa lainnya

Kesulitan lain yang dihadapi:

o Kerja lembur untuk menambah penghasilan.

o Anggota keluarga mencari pekerjaan lain atau pekerjaan tambahan.

o Membeli makanan yang kurang disukai dan lebih murah

o Berhutang, atau mengandalkan bantuan teman atau keluarga

o Mengurangi jajan

o Menggadaikan barang pribadi.

o Membeli makanan dengan cara kredit atau berhutang.

o Mengurangi porsi makan/3x1 hari.

o Membatasi konsumsi makanan orang dewasa dan mengutamakan makanan bagi anak-anak.

o Mengurangi frekwensi makan dalam sehari.

o Menjual barang-barang yang ada di rumah (radio, perabot, kulkas, TV, karpet dll.

o Menjual asset produktif (mesin/peralatan pertanian, mesin jahit, sepeda motor, tanah).

o Menjual hewan ternak lebih banyak dari biasanya.

Ketahanan pangan yang merupakan urusan wajib non pelayanan dasar, tentunya harus ditampung dalam pembiayaan sesuai amanah UU No 18/2012. Prinsip Kebutuhan Biaya Diuraikan sebagai berikut (recalling SPM Ketahanan Pangan):

60 MEMBANGUN KETAHANAN PANGAN INDONESIA DARI SUMATERA UTARA

(a) Pembiayaan mengikuti kegiatan: setiap jenis pelayanan terdapat indikator kinerja utama; setiap indikator kinerja utama ditetapkan langkah kegiatan; setiap langkah kegiatan ditetapkan variabel kegiatan; setiap variabel ditetapkan komponen yang mempengaruhi pembiayaan;

antar komponen disusun dalam formula dan dikalikan unit cost untuk setiap variabel kegiatan.

(b) Tidak menghitung biaya investasi besar, hanya menghitung investasi sarana dan prasarana yang melekat langsung dengan keterlaksanaan

(c) Tidak menghitung kebutuhan belanja tidak langsung atau belanja ex-rutin.

(d) Tidak menghitung kebutuhan belanja pangan suatu provinsi dan kabupaten/kota secara total, hanya menghitung kebutuhan biaya untuk menerapkan dan mencapai indikator kinerja utama yang ditetapkan.

(e) Tidak menghitung kebutuhan belanja pangan per OPD ketahanan pangan.

a. Kebutuhan biaya adalah hasil hitung dari kebutuhan provinsi dan kabupaten/ kota, bukan kebutuhan masing-masing OPD Ketahanan Pangan.

b. Kebutuhan belanja masing-masing OPD Ketahanan Pangan tergantung seberapa besar/banyak SKPD tersebut melaksanakan langkah–langkah kegiatan penerapan dan pencapaian indikator kinerja utama dan seberapa besar volume masing-masing komponen kegiatan.

Beberapa hal yang mempengaruhi kebutuhan biaya antara lain: jumlah sasaran, besar kecilnya gap (semakin besar delta semakin besar biaya yang dibutuhkan), ketersediaan sarana-prasarana, geografis (semakin jauh suatu daerah semakin besar biaya dibutuhkan), kegiatan optional dan unit cost. Selanjutnya variabel ketahanan pangan yang harus terus diikuti perkembangannya antara lain: ketersediaan energi dan protein per kapita, penguatan cadangan pangan, ketersediaan informasi

MEMBANGUN KETAHANAN PANGAN INDONESIA DARI SUMATERA UTARA 61 pasokan, harga dan akses pangan di daerah, stabilitas harga dan pasokan pangan, skor pola pangan harapan (PPH), pengawasan dan pembinaan keamanan pangan serta penanganan daerah rawan pangan.

Distribusi dan cadangan pangan. Sumatera Utara selama ini tetap komit untuk melakukan:

• Pembentukan cadangan pangan pokok pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota, desa) dan cadangan pangan masyarakat hingga ke tingkat kecamatan-desa;

• Pembentukan dan pengembangan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat di daerah sentra produksi (Gambar 6) yang saat ini dikenal dengan toko tani Indonesia (TTI);

• Stabilitas pasokan dan harga pangan pokok sepanjang tahun dan pangan strategis pada periode tertentu khususnya menjelang hari besar keagamaan nasional (HBKN) dimana indeks konsumsi biasanya meningkat walau pasokan selalu memadai;

• Pemantauan harga pangan pada hari besar dan hari keagamaan.

Input SDM Dana Sarana dan Prasara na

Kemandirian

P e m b e r d a y a a n

Tahap Penumbuhan

Tahap Pengembangan

Tahap Kemandirian

TAHAPAN KEGIATAN

• Seleksi kab, lokasi dan kelp. Sasaran.

• Sosialisasi Kegaiatan

• Penetapan Kelp.

Sasaran

• Penyusunan RUK

• Penyaluran dana Bansos

• Pemanfatan dana Bansos

• Monitoring

• Penguatan Kelembagaan

• Penguatan cad.

Pangan

• Pelatihan manajemen kelompok

• Pendampingan

• Pemantapan kelembagan

• Pemantapa cad. Pangan

• Pelatihan dalam rangka menunjang keberlanjutan

• Pendampingan

Benefit Terbangun nya pengelola-an kelembaga an lumbung pangan masya-rakat yang efisien

Impact Tercukupi nya kebutuhan pangan masya-rakat sepanjang waktu

Output Tersalurkan nya dana untuk pembangun an fisik lumbung dan pengadaan cadangan pangan Terlaksana-kannya fasilitasi penguatan kemampu-an dalam mengelola lumbung

Outcomes Tersedianya dan berkembang nya cadangan pangan milik kelompok secara berkelanjut an Meningkat nya kemampuan kelompok dalam mengelola lumbung pangan

KERANGKA PIKIR

5/10/2021 17

Gambar 6. Pola Pikir Pengembangan Lembaga Usaha Pangan Masyarakat yang telah Berubah menjadi Toko Tani Indonesia

62 MEMBANGUN KETAHANAN PANGAN INDONESIA DARI SUMATERA UTARA

Salah satu dari direktif Presiden untuk pembangunan ketahanan pangan nasional (pada Konferensi Dewan Ketahanan Pangan tahun 2010) adalah bahwa sistem cadangan dan distribusi pangan, stok dan cadangan pangan nasional maupun daerah harus cukup, memadai dan terkelola dengan baik. Karena produksi beberapa komoditas beberapa tahun terakhir ini peruntukannya bukan hanya untuk pangan, pakan, industri, akan tetapi sudah merambah ke bahan baku bioetanol sehingga harga beberapa komoditas tersebut rentan mengalami fluktuasi harga, seperti Gambar 7 berikut:

Gambar 7. Penggunaan Cassava, Sweet Sorghum, dan Corn untuk Bahan Baku Bioetanol

Sumatera Utara juga telah berhasil memetakan biaya usaha tani (relatif) jagung di beberapa sentra produksi sebagai berikut:

biaya rata-rata untuk bibit/benih sebesar 1,90% dari biaya total, biaya pupuk 7,26%, biaya pestisida 1,67%, biaya tenaga kerja 30,14%, lahan 34,10%, alat/sarana usaha 6,11%, jasa 14,34%, dan biaya lainnya 4,49%.

MEMBANGUN KETAHANAN PANGAN INDONESIA DARI SUMATERA UTARA 63 Selanjutnya sebelum masa Covid 19 Sumatera Utara telah berhasil memotivasi gabungan kelompok tani menjadi pengusaha yang dikenal dengan toko tani Indonesia daerah Sumatera Utara.

Hal ini merupakan salah satu kiat untuk memberi keuntungan yang lebih tinggi kepada mereka yang telah mencurahkan waktunya lebih banyak. Sebagai ilustrasi dapat dilihat Gambar 8.

Logika Volume Pengelolaan Barang dan Margin Keuntungan

PETANI (PROVITAS 5

Ton /Ha/MT)

PEDAGANG PENGUMPUL (Ratusan Ton/Musim)....I

PEMIPILAN (Ratusan Ton/Musim)...II

DISTRIBUTOR...III (Ratusan Ribu Ton/Musim)

PENGECER (Ratusan Ton/Musim) MARGIN SEMAKIN RENDAH (ABSOLUT DAN RELATIF)

VOLUME KEPEMILIKAN JAGUNG MENINGKAT

HRD LUEP ADDED VALUE SUBSIDI TAX HOLIDAY LUMBUNG/TUNDA JUAL

LANTAI JEMUR/MESIN PEMIPIL JAGUNG

INDUSTRI PAKAN...IV PLDPM

GAPOKTAN

5/10/2021 14

Gambar 8. Berbagai Kebijakan untuk Meningkatkan Keuntungan yang Lebih Tinggi bagi Petani Jagung di Sumatera Utara

Produksi gabah (gabah kering panen, gabah kering giling) pada saat panen raya di daerah sentra produksi selalu melimpah, sedangkan permintaan gabah/beras bulanan relatif stabil kecuali menjelang atau selama Hari Besar Keagamaan Nasional. Ditilik dari hukum ekonomi, jika penawaran suatu komoditas meningkat sedang konsumsi relatif stabil yang berarti ada surplus maka harga akan menurun. Di lain pihak, pada musim paceklik, khususnya di daerah sentra produksi seringkali stok yang tersedia untuk digiling

Kebijakan Sumut

64 MEMBANGUN KETAHANAN PANGAN INDONESIA DARI SUMATERA UTARA

tidak mencukupi kebutuhan, sekuensinya terjadi peningkatan harga, bahkan daya aksesibilitas petani menurun tajam. Jeritan petani pada kondisi tersebut sering ramai dibahas di media massa dan media elektonik dan hal ini juga didengar oleh Pemerintah, sebagai respon pemerintah daerah, maka pada tahun 2003 dikembangkan suatu kegiatan di on farm berupa pengembangan Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP) bagi Gapoktan sebagai wujud akhir fusi beberapa poktan di daerah sentra produksi. Dalam hal ini, pemerintah memberikan dana talangan tanpa bunga kepada DPM LUEP yang langsung dikelola oleh Gapoktan untuk membeli gabah secara langsung dari petani produsen, terutama pada saat panen raya dengan harga HPP-sesuai harga pembelian pemerintah. DPM-LUEP juga bergerak dibidang pengolahan, pemasaran/perdagangan gabah/beras. Jadi, sebagai unit usaha Gapoktan memanfaatkan dana penguatan modal dukungan pemerintah untuk membeli gabah/beras petani yang berada di daerah sentra produksi dengan mengikuti beberapa aturan yakni pembelian haruslah tepat harga, tepat jumlah, tepat pengembalian, serta tepat pengembangan Gapoktan. Aturan lain adalah harus ada agunan dari pengusaha LUEP ke pemerintah sebesar 125%-150% dari pinjaman yang diperoleh, biasanya agunan dimaksud ditentukan oleh bank pemerintah yang ditunjuk.

Umumnya, berdasarkan kajian sebelumnya program aksi DPM-LUEP bermanfaat bagi petani produsen karena ada jaminan pemasaran dan harga gabah kering panen (GKP), gabah kering giling (GKG)/beras, pembayaran tunai. Ternyata harga GKP/GKG ataupun beras lebih tinggi di daerah DPM LUEP dibandingkan dengan harga GKP, GKG/beras hinterland/non DPM LUEP khususnya saat panen raya. Di lain pihak, modal usaha DPM LUEP meningkat tanpa membayar bunga ke pemerintah, volume pembelian GKP/GKG ataupun beras bertambah, dan dari hasil pengecekan pembukuan ternyata ada peningkatan laba usaha.

Selanjutnya, manfaat lain bagi DPM LUEP adalah terjaminnya pasokan GKP/GKG dari seluruh anggota khususnya untuk diolah dan diperdagangkan, jual beli gabah/beras antar kabupaten

MEMBANGUN KETAHANAN PANGAN INDONESIA DARI SUMATERA UTARA 65 meningkat, serta DPM LUEP sudah dapat melakukan kerja sama dengan perbankan untuk mengakses modal komersial. Jelas, tata niaga GKP/GKG atau beras lebih efisien, karena mata rantai pemasaran menjadi lebih pendek, sehingga walau musim paceklik atau panen raya, harga beras menjadi lebih stabil, semakin berkembang aktivitas petani karena adanya peningkatan pendapatan petani dan DPM LUEP. Hal ini kita sebut dengan win-win collaboration. Tidak lama kemudian, muncul beberapa masalah baru antara lain: Gapoktan sulit memberikan agunan, dan taksiran agunan pun tidak sesuai dengan aturan dasar, sesama anggota dan atau pengurus Gapoktan saling tidak percaya/berkelahi ujung-ujungnya masalah mereka harus berhadapan dengan aparatur hukum. Apabila hal ini tidak segera diatasi artinya ada kevacuman, maka pendapatan usaha petani di daerah sentra pastilah anjlok, rumah tangga petani miskin bertambah, rawan pangan juga akan meningkat, hal ini pada gilirannya akan mengganggu upaya pembangunan ketahanan pangan di daerah sentra produksi.

Muncul upaya agar nilai positif dari DPM LUEP tetap dipertahankan tetapi dieliminir masalah yang ada. Sebagai penyelamat, didesignlah suatu lembaga ekonomi petani yang mampu berperan sebagai pembeli GKP/GKG pada tingkat HPP lalu lembaga tersebut mengelola gabah menjadi beras dan memasarkannya pada saat harga cukup tinggi sehingga lembaga memperoleh profit optimal.

Salah satu syarat lembaga harus punya lahan untuk pembangunan lumbung sebagai tempat cadangan pangan. Artinya, lembaga harus mampu menyalurkan beras bagi anggota khususnya pada musim paceklik dengan membuat AD/ART yang sebelumnya harus disepakati dimana lembaga akan menerima pengembalian pinjaman dari anggota ditambah dengan jasa pinjaman saat panen tiba. Adapun nama lembaga yang diluncurkan adalah Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (PLDPM) yang tetap berbasiskan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Gapoktan dimaksud bukan lah jadi-jadian tetapi sudah berkiprah dan berkinerja baik, artinya punya sarana dan prasarana serta eksis di wilayah kerjanya dan anggota dapat bekerja satu sama lain.

Dokumen terkait