Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3 Varietas N % Varietas n % Varietas N %
7. ASPEK LINGKUNGAN
Pertanian dalam pengertian yang luas mencakup semua kegiatan yang melibatkan pemanfaatan makhluk hidup (termasuk tanaman, hewan, dan mikrobia) untuk kepentingan manusia. Dalam arti sempit, pertanian juga diartikan sebagai kegiatan pemanfaatan sebidang lahan untuk membudidayakan jenis tanaman tertentu, terutama yang bersifat semusim. Pertimbangan akan kelestarian lingkungan mengakibatkan aspek-aspek konservasi sumber daya alam juga menjadi bagian dalam usaha pertanian. Semua usaha pertanian pada dasarnya adalah kegiatan ekonomi sehingga memerlukan dasar-dasar pengetahuan yang sama akan pengelolaannya termasuk pemilihan benih, pemilihan pupuk serta pengendalian hama penyakit tanaman.
Apabila seorang petani memandang semua aspek ini dengan pertimbangan efisiensi untuk mencapai keuntungan maksimal maka ia melakukan pertanian intensif (intensive farming). Sedangkan sisi pertanian industrial yang memperhatikan lingkungannya adalah pertanian berkelanjutan (sustainable development).
Pemilihan Benih
Menurut Badan Penelitian dan Pembangunan Pertanian (2013), varietas Ciherang dan IR 64 mampu menurunkan emisi melebihi yang ditargetkan, yaitu 8- 11 juta ton CO2 ekuivalen per tahun sebelum Tahun 2020. Dengan menanam jenis
varietas padi beremisi CO2 rendah, maka pengurangan gas rumah kaca dapat di
capai. Penerapan varietas Ciherang pada Tahun 2011, menurunkan emisi hingga 10,3 juta ton CO2 ekuivalen.
Beberapa penelitian terkait keunggulan varietas padi ini adalah varietas lain yang tergolong beremisi GRK rendah adalah Way Apo Buru, Inpari 1 (toleran terhadap rendaman atau banjir), Batanghari, Tanggulang, Banyuasin (toleran terhadap salinitas) dan Punggur. Diproyeksikan pada Tahun 2020 penurunan GRK dari semua varietas unggul ini akan mencapai 32,4 ton lebih.
Untuk varietas Situ Bagendit, menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2011), varietas padi ini hanya bisa hidup pada satu kondisi lahan tertentu, seperti di lahan sawah irigasi atau lahan kering. Untuk meningkatkan hasil produksi padi membutuhkan suatu inovasi teknologi varietas unggul baru yang mampu beradaptasi pada segala tempat baik di lahan kering maupun berair serta berdaya hasil tinggi. Oleh karena itu, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi yang merupakan satu-satunya lembaga penelitian tanaman padi di bawah lingkup Badan Litbang Pertanian menghasilkan varietas Situ Bagendit yang memiliki keunggulan seperti amphibi yang dapat hidup di dua tempat. Varietas Situ Bagendit dapat tumbuh di lahan sawah maupun di lahan kering dengan tinggi sekitar 99 -105 cm, batang dan daunnya berwarna hijau.
Jumlah anakan yang dihasilkan oleh varietas Situ Bagendit bisa mencapai 12-13 batang per rumpun. Gabahnya dapat dilihat berbentuk panjang dan ramping berwarna kuning bersih. Situ Bagendit mempunyai tekstur nasi yang pulen dan banyak diminati oleh konsumen. Varietas ini mengandung kadar amilosa sebesar 22 persen. Situ Bagendit memiliki ketahanan terhadap penyakit blas dan hawar daun bakteri strain III dan IV. Dengan ketahanan penyakit ini dan kemampuannya
beradaptasi di dua tempat, varietas Situ Bagendit dapat menghasilkan gabah kering giling (GKG) sebanyak 4 ton/ha di lahan kering dan 5,5 ton/ha di lahan sawah. Oleh karena itu, varietas Situ Bagendit yang bersifat seperti amphibi ini dapat di tanam di lahan kering maupun di lahan basah (sawah).
Pergiliran varietas harus dilaksanakan guna memperpanjang sifat ketahanan suatu varietas atas serangan hama dan penyakit tertentu. Hama dan penyakit utama seperti wereng coklat, virus tungro, bakteri hawar daun atau kresek (xanthomonas capetris sp) dan bias (pyricularia oryzae) dikendalikan dengan penerapan pergiliran varietas.
Pemilihan Pestisida
Menurut Tarumingkeng (1992), petani dan pestisida adalah seperti dua sisi keping uang logam. Pestisida merupakan bahan racun yang digunakan untuk membunuh jasad hidup yang dapat mengganggu tumbuhan, ternak dan sebagainya yang diusahakan manusia untuk kesejahteraan hidupnya. Pest berarti hama, sedangkan cide berarti membunuh.
Menurut Duriat (1994), tingkat pengetahuan petani terhadap pengelolaan hama terpadu (PHT) berpengaruh negatif terhadap permintaan insektisida maupun fungisida, artinya jika pemahaman petani terhadap PHT minim atau kurang maka akan meningkatkan tingkat penggunaan insektisida maupun fungisida. Sedangkan menurut Suharyanto (2007), tingkat pengetahuan petani terhadap PHT masih terbatas, sehingga cenderung menggunakan pestisida secara berlebihan sebagai tindakan preventif. Padahal penggunaan insektisida sintetis sebagai pengendalian hama ini sering menimbulkan dampak negatif, seperti munculnya resistensi, resurjensi, terbunuhnya parasit dan predator, residu pada bahan makanan, berbahaya bagi pemakai dan konsumen serta menimbulkan kerusakan lingkungan (Metcalf, 1986 dalam Suanda dan Suastika, 2007).
Upaya Pengamanan Pangan
Kaitan dampak penggunaan pestisida ini juga erat hubungannya dengan keamanan pangan (food safety). Seperti kita ketahui bahwa penggunaan pestisida merupakan upaya untuk penyelamatan produksi pertanian dari gangguan hama dan penyakit tanaman, akan tetapi pestisida juga mempunyai resiko terhadap keselamatan manusia dan lingkungan. Oleh sebab itu Pemerintah berkewajiban mengatur pengadaan, peredaran dan penggunaan Pestisida agar dapat dimanfaatkan secara bijaksana.
Upaya untuk melindungi keselamatan manusia dan sumber-sumber kekayaan alam dari penggunaan pestisida diatur dalam peraturan-peraturan:
1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992, tentang Sistem Budidaya Tanaman.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973, tentang Pengawasan Atas Pengadaan, Peredaran dan Penggunaan Pestisida.
3. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 45/Permentan/SR.140/10/2009, tentang Syarat dan Tatacara Pendaftaran Pestisida.
4. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 42/Permentan/SR.120/5/2007, Tentang Pengawasan Pestisida.
Inti dan maksud dari peraturan-peraturan tersebut adalah bahwa Pestisida yang beredar, disimpan dan digunakan adalah Pestisida yang telah terdaftar dan mendapat izin dari Menteri Pertanian, memenuhi standar mutu, terjamin efektivitasnya, aman bagi manusia dan lingkungan hidup serta diberi label. Penggunaan Pestisida harus memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam izin, serta memperhatikan anjuran yang dicantumkan dalam label. Selanjutnya, dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 Tentang Perlindungan Tanaman, diamanatkan bahwa penggunaan Pestisida dalam rangka pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) adalah merupakan alternatif terakhir, dan dampak negatif yang timbul harus ditekan seminimal mungkin serta dilakukan secara tepat guna.
Untuk itu Pemerintah telah menetapkan kebijakan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dalam program perlindungan tanaman. Kebijakan PHT ini merupakan suatu koreksi terhadap usaha pengendalian hama secara konvensional yang menggunakan Pestisida secara tidak tepat dan berlebihan, sehingga dapat meningkatkan biaya produksi dan merugikan masyarakat serta lingkungan hidup.
Berbagai klaim terhadap produk ekspor pertanian Indonesia di banyak negara sudah sering terjadi. Di dalam negeri hal ini tentu saja menimbulkan kerugian besar baik bagi negara, eksportir maupun petani. Sebagai contoh dikenakannya penahanan otomatis (automatic detention) oleh USA terhadap ekspor biji kakao dari Indonesia. Sayuran hasil produksi petani Sumatera Utara di tolak pasar Singapura karena mengandung residu pestisida yang melebihi MRLs (Maximum Residue Limits) yang berlaku di negara tersebut. Buah-buahan Indonesia pernah ditolak memasuki Taiwan karena dikhawatirkan mengandung serangan hama lalat buah. Masih banyak contoh kasus yang sejenis itu, yang menunjukkan sulitnya produk-porduk pertanian memasuki pasar global. Banyak klaim penolakan produk ekspor pertanian Indonesia akibat tidak memenuhi syarat SPS terutama karena adanya serangga, jamur, kotoran serta residu pestisida. Kasus penolakan produk pertanian Indonesia di pasar luar negeri disebabkan karena kualitas produk pertanian yang di ekspor belum dapat memenuhi syarat yang diinginkan oleh negara tujuan ekspor dan standar internasional yang telah ditetapkan bersama oleh negara-negara sedunia yang tergabung dalam WTO. Dengan kemampuan teknologi dan SDM yang dimiliki oleh sebagian besar petani tanaman pangan dan hortikultura di Indonesia kelihatannya sangat sulit memenuhi syarat yang diminta oleh sistem perdagangan internasional produk pertanian yang berlaku saat ini termasuk dalam melakukan tindakan pengendalian hama.
Pada era perdagangan bebas globalisasi saat ini, Batas Maksimum Residu (BMR) Pestisida sudah merupakan salah satu instrumen hambatan non tarif yang dimanfaatkan oleh banyak negara untuk memperlancar ekspor produk-produk pertanian dan menghambat impor produk-produk pertanian yang sama. Suatu negara akan berusaha untuk semakin menurunkan nilai Batas Maksimum Residu sehingga menyulitkan negara lain untuk memasukkan produk-produk pertaniannya ke negara tersebut. Sebaliknya suatu negara akan berusaha untuk meningkatkan Batas Maksimum Residu dengan menggunakan analisis dan argumentasi ilmiah.
Program Keamanan Pangan (Food Safety) adalah suatu rangkaian kegiatan dalam pengolahan pangan untuk menjamin agar makanan yang dihasilkan bebas
dari bahaya-bahaya fisik, kimia, dan biologi yang dapat berakibat buruk atau mengganggu konsumen. Rantai proses pengolahan pangan berjalan sepanjang daur agribisnis dimulai sejak dari budidaya tanaman, penyiapan dan penanganan pangan, pengolahan pangan, penyajian, distribusi sampai dengan penanganan dan penggunaan oleh konsumen. Pada setiap mata rantai tersebut ada kemungkinan timbulnya risiko baik yang bersifat fisik, kimia, maupun biologi yang dapat membahayakan konsumen.
Sistem pengelolaan keamanan pangan yang sudah diakui dan diterapkan secara internasional adalah sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) yang menekankan pada pengendalian berbagai faktor yang mempengaruhi bahan, produk, dan proses. Sistem ini bersifat proaktif, ilmiah, rasional, dan sistematis untuk mengidentifikasi dan mengendalikan bahaya yang mungkin timbul selama rangkaian proses pengolahan makanan.
Di Indonesia sistem ini diadopsi menjadi SNI 01-4852-1998: Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP) serta Pedoman Penerapannya. SNI tersebut dilengkapi dengan Pedoman BSN 1004-1999 Panduan Penyusunan Rencana Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP). Standar ini merupakan adopsi secera keseluruhan CAC/RCP/-1969, Rev.3(1992)- Recommended International Code of Practice-General Principles of Food Hygiene-Annex: Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) System and Guidelines for Its Application.
Dewasa ini semakin banyak negara pembeli produk pangan yang menuntut adanya penerapan sistem HACCP yang ditunjukkan dengan sertifikat HACCP sebagai jaminan keamanan produk yang dijual. Dengan sertifikat HACCP yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi sistem keamanan pangan yang independen, pihak pembeli akan memperoleh jaminan penerapan sistem keamanan pangan yang konsisten dan bertanggungjawab. Dengan perolehan sertifikat, industri akan mempunyai kemampuan bersaing yang tinggi, memperluas peluang pemasaran, dan meningkatkan citra produksinya. Keuntungan lain adalah berkurangnya atau tidak terjadinya penolakan produk, serta memberikan jaminan kepercayaan pembeli terhadap produk industri.
Kebijakan dan Kaidah Penggunaan Pestisida
Mengingat pentingnya peranan Pestisida dalam upaya penyelamatan produksi pertanian, Pemerintah berkewajiban untuk mengatur peredaran dan penggunaan Pestisida di Indonesia. Selain itu, Pestisida termasuk bahan berbahaya, sehingga dalam pengaturannya juga mengacu kepada peraturan- peraturan internasional yang disepakati bersama dengan Badan Internasional seperti FAO, WHO, Kesepakatan Protokol Montreal dan sebagainya.
Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 ditegaskan bahwa : “Pestisida yang akan diedarkan di dalam wilayah Negara Republik Indonesia wajib terdaftar, memenuhi standar mutu, terjamin efektivitasnya, aman bagi manusia dan
lingkungan hidup serta diberi label”. Sedangkan dalam Permentan No.
45/Permentan/SR.140/10/2009 diamanatkan bahwa: “Pestisida yang
terdaftar/diijinkan adalah Pestisida yang telah memenuhi persyaratan administrasi dan kriteria teknis yang ditetapkan Menteri Pertanian”.
Pengalaman menunjukkan bahwa penggunaan Pestisida sebagai racun, sebenarnya lebih merugikan dibanding menguntungkan, yaitu dengan munculnya berbagai dampak negatif yang diakibatkan oleh Pestisida tersebut. Karena alasan tersebut, maka dalam penggunaan Pestisida harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Pestisida hanya digunakan sebagai alternatif terakhir, apabila belum ditemukan cara pengendalian daya racun rendah dan bersifat selektif.
2. Apabila terpaksa menggunakan Pestisida, maka gunakan Pestisida yang mempunyai daya racun rendah dan bersifat selektif.