• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Perilaku Petani Padi yang Berwawasan Lingkungan untuk Menjamin Kemandirian Pangan Kasus Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Perilaku Petani Padi yang Berwawasan Lingkungan untuk Menjamin Kemandirian Pangan Kasus Jawa Barat"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PERILAKU PETANI PADI

YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN

UNTUK MENJAMIN KEMANDIRIAN PANGAN

KASUS JAWA BARAT

FIFI DIANA THAMRIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Orangtuaku:

Papa Drs. Thamrin Talud (Alm) Mama Dra. Hj. Yulinar Noer

Suamiku:

Indra Bachtiar, Ph.D

Anakku:

Ataya Dzaki Rizqullah

Kakakku:

Dr. Eng. Rendy Thamrin, ST, MT Temmy Thamrin, SS, M.Hum

Kakak Iparku:

dr. Hj. Arina Widya Murni, SpPD-KPsi, FINASIM Maulid Hariri Gani, SS, M.Hum

serta

Keponakan-keponakan tersayang:

Nurul Hanifah (Cemara Fam’s)

Abdul Aziz Hidayat Jasmine Nadhira

Alif Nugraha Hariri (Aussie Fam’s)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Model Perilaku Petani Padi yang Berwawasan Lingkungan untuk Menjamin Kemandirian Pangan Kasus Jawa Barat” adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, 14 Juli 2014

Fifi Diana Thamrin

(4)

RINGKASAN

FIFI DIANA THAMRIN. Model Perilaku Petani Padi yang Berwawasan Lingkungan untuk Menjamin Kemandirian Pangan Kasus Jawa Barat. Dibimbing oleh RIZAL SJARIEF, BUNASOR SANIM, dan HARI WIJAYANTO.

Jawa Barat merupakan salah satu Propinsi yang potensial di Indonesia dalam usahatani padi. Tiga tahun terakhir (2010-12) luas panen, produksi dan produktifitas usahatani ini mengalami fluktuasi. Hal ini merupakan salah satu indikasi terjadinya fluktuasi produksi yang kemungkinan disebabkan oleh penggunaan lahan yang sudah berkurang atau perubahan perilaku petani. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perilaku petani padi di Jawa Barat khususnya yang berwawasan lingkungan, dalam rangka mewujudkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Penelitian dilaksanakan di Jawa Barat, yaitu Kabupaten Cianjur serta Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Subang. Lokasi penelitian dipilih secara purposive dengan pertimbangan metodologis dan geografis.

Responden diambil secara acak (stratified random sampling) dengan margin error sekitar 6,5 persen dari jumlah populasi rumah tangga petani padi di Jawa Barat. Untuk menganalisis perilaku petani digunakan analisis deskriptif, analisis Thurstone dan analisis Trend serta pengujian model dengan Regresi Logistik. Jenis varietas yang umum digunakan di Jawa Barat adalah Ciherang (91,9 persen), IR 64 (4,5 persen) dan Situ Bagendit (3,7 persen).

Dilihat dari analisis trend Perilaku Pemupukan, kecenderungan petani lebih banyak menggunakan pupuk organik untuk masa yang akan datang dibandingkan dengan pupuk anorganik. Sedangkan untuk Perilaku Pengendalian Hama Penyakit Tanaman, kecendrungan petani menggunakan dosis yang lebih rendah mempunyai trend yang meningkat, sedangkan untuk dosis yang lebih besar relatif menurun.

Dapat disimpulkan, Perilaku petani dalam Pembenihan secara tidak langsung sudah berwawasan lingkungan. Secara umum perilaku petani dalam pemupukan dan pengendalian terhadap hama penyakit tanaman di Jawa Barat sudah mempunyai pemikiran yang baik terhadap dampak penggunaan dosis terhadap lingkungan.

(5)

SUMMARY

FIFI DIANA THAMRIN. The Model Behavior of Rice Farmer that has Environmental Visions to Ensure the Independence Food, Case of West Java. Supervised by: RIZAL SJARIEF, BUNASOR SANIM, and HARI WIJAYANTO.

West Java is one of the potential provinces in rice farming in Indonesia. For the last three years (2010-12) harvested area, production and productivity of this farming fluctuated. This is one of the indications that there is a fluctuation in production due to reducing of land usage or the changing of farmer behavior. This study aims to analyze the behavior of rice farmers in West Java particularly the farmers who have the environmental vision, in order to realize the sustainable agricultural development. This research was conducted in three-research areas Cianjur, Tasikmalaya, and Subang district in West Java. The research locations were selected purposively by considering the methodological and geographical aspects.

Respondents were chosen randomly (stratified random sampling) with a margin of error is about 6.5 percent of the total household population of rice farmers in West

Java. To analyze the farmer’s behavior, it used descriptive analysis, Thurstone

analysis and trend analysis as well as testing with logistic regression models. The types of rice, which commonly used in West Java is Ciherang (91.9 percent), IR 64 (4.5 percent), and Situ Bagendit (3.7 percent).

Viewing from the trend of Behavior Fertilization, there is a high tendency of farmers for using organic fertilizers in the future time compared with the using of an inorganic fertilizer. However, for Behavior Control Plant Diseases, the tendency of farmers using a lower dose increased, while the usage of the larger doses are relatively decreased.

It can be concluded that the farmer’s behavior in seedling are shown that they

have environmental vision indirectly. In general, the behavior of farmers in fertilizing and pest control of crops in West Java has already had a good vision to the environmental impact in using the dose.

(6)

© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(7)

MODEL PERILAKU PETANI PADI

YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN

UNTUK MENJAMIN KEMANDIRIAN PANGAN

KASUS JAWA BARAT

FIFI DIANA THAMRIN

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji pada Ujian Tertutup:

1. Dr. Ir. Hariyadi, MS Departemen Agronomi Fakultas Pertanian, IPB 2. Dr. Ir. Achyar Ismail, M.Ec

Departemen Ekonomi Sumberdaya Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB

Penguji pada Ujian Terbuka:

1. Dr. Ir. I. Ketut Kariyasa, M.Si

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor 2. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MS

(9)

Lingkungan untuk Menjamin Kemandirian Pangan Kasus Jawa Barat

Nama : Fifi Diana Thamrin

NRP : P062090161

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui oleh 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Rizal Sjarief, DESS Ketua

Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M.Sc Anggota

Dr. Ir. Hari Wijayanto, MS Anggota

Diketahui oleh 2. Ketua Program Studi

Pengelolaan SDA dan Lingkungan

Prof.Dr.Ir. Cecep Kusmana, MS

3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya maka penulisan disertasi ini dapat diselesaikan pada waktunya, setelah melalui proses perbaikan intensif dalam berbagai tahapan penulisan. Disertasi ini membahas model perilaku petani padi yang berwawasan lingkungan serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku petani baik pada waktu pemilihan benih, pemupukan dan pada saat pengendalian Hama Penyakit Tanaman, oleh karena itu, disertasi ini diberi judul “Model Perilaku Petani Padi yang

Berwawasan Lingkungan untuk Menjamin Kemandirian Pangan Kasus Jawa Barat”.

Penulisan disertasi ini dapat tercapai atas dukungan berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Prof. Dr. Ir. Rizal Sjarief DESS selaku ketua komisi pembimbing atas bimbingan dan arahan yang intensif, serta Prof (R) Dr. Ir. Bunasor Sanim, M.Sc dan Dr. Ir. Hari Wijayanto, MS selaku anggota komisi pembimbing atas arahan, saran, dan koreksi yang sangat bermanfaat sehingga disertasi ini menjadi lebih bermakna. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada:

1. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (SPs-IPB) dan Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc selaku Sekretaris Program Doktor SPs-IPB.

2. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam; Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS dan Dr. Ir. Sri Mulatsih selaku penguji pada ujian prelim 2; Dr. Ir. Hariyadi, MS dan Dr. Ir. Achyar Ismail, M.Ec selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup; serta Dr. Ir. I. Ketut Kariyasa, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MS selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka atas kritik, saran, dan koreksi yang sangat berharga. 3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas kesempatan tugas belajar

dan dukungan finansial yang diberikan sehingga penulis dapat menempuh pendidikan lanjut ini.

4. Teman-teman mahasiswa S3 Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam (PSL) atas kebersamaan selama masa perkuliahan.

5. Seluruh staf sekretariat PSL atas bantuan selama masa perkuliahan sampai selesainya disertasi ini.

Disertasi ini merupakan hasil karya dari upaya terbaik Penulis, namun tentunya masih dapat ditemukan kekurangannya. Oleh karena itu, masukan konstruktif dari pembaca adalah merupakan bagian integral untuk penyempurnaan karya ini. Terlepas dari segala kekurangan yang ada, semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat.

Bogor, 14 Juli 2014

(11)

DAFTAR ISI

Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Penelitian Terdahulu 4. PROFIL PETANI PADI DI JAWA BARAT

5. PROFIL USAHATANI PADI DI JAWA BARAT Aspek Produksi

Aspek Teknis

Sumber Informasi Jarak Tanam Penggunaan Benih

6. PERILAKU PETANI PADI DI JAWA BARAT Perilaku Pemilihan Benih

(12)

7. ASPEK LINGKUNGAN Pemilihan Benih Pemilihan Pestisida

Upaya Pengamanan Pangan

Kebijakan dan Kaidah Penggunaan Pestisida

8. PROFIL KELEMBAGAAN PETANI PADI DI JAWA BARAT

39 40 40 42 45 9. PRIORITAS KEBIJAKAN

Kebijakan Subsidi Benih Kebijakan Subsidi Pupuk

Kebijakan Penyuluhan Pertanian

48 49 50 10. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

Rekomendasi Kebijakan

51 51

DAFTAR PUSTAKA 53

LAMPIRAN 57

(13)

DAFTAR TABEL

1 Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Tanaman Padi di Jawa Barat 2 Jenis Kelamin

3 Pendidikan Formal

4 Keanggotaan Perkumpulan Usahatani Sejenis (Padi) 5 Status Kepemilikan Lahan yang Diusahakan (yang Utama) 6 Alasan Melakukan Usahatani Padi

7 Sumber Kredit/Bantuan yang Pernah Diterima 8 Jenis Bantuan/Kredit yang Diperoleh

9 Prospek Usahatani 5 Tahun Mendatang 10 Produksi Usahatani Padi per Tahun

11 Sumber Informasi Pengetahuan Budidaya Padi 12 Media Sumber Informasi Budidaya Padi 13 Sumber benih padi

14 Informasi Jarak Tanam yang digunakan 15 Jumlah benih yang digunakan per Ha

16 Jenis varietas yang umum digunakan berdasarkan Kabupaten 17 Pilihan varietas berdasarkan Prioritas

18 Informasi harga benih yang digunakan

19 Tingkat kepentingan pemilihan benih sebagai Faktor Penentu Keputusan Berusahatani

20 Model Regresi Logistik Faktor-faktor yang Memengaruhi Aspek Ekonomi Petani dalam Pemilihan Benih

21 Faktor Penentu dalam Pemilihan Pupuk

(14)

23 Model Regresi Logistik faktor yang memengaruhi Aspek Ekonomi petani dalam Pemilihan Pupuk

24 Model Regresi Logistik Faktor yang Memengaruhi Aspek Ekologi Petani dalam Pemilihan Pupuk

25 Faktor yang Memengaruhi Pemilihan Pestisida

26 Kriteria Pemilihan Pestisida Merupakan Faktor Penentu Bagi Keputusan Usahatani Padi

27 Model Regresi Logistik faktor yang memengaruhi Aspek Ekonomi Petani dalam Pemilihan Pestisida

28 Model Regresi Logistik faktor-faktor yang memengaruhi Aspek Ekologi petani dalam Pemilihan Pestisida

29 Informasi Adanya Pembinaan dalam Usahatani

30 Pendapat Kekondusifan Kebijakan Pemerintah dalam Menjalankan Usahatani

31 Model Regresi Logistik Faktor-faktor yang Memengaruhi Kebijakan Subsidi Benih

32 Model Regresi Logistik Faktor-faktor yang Memengaruhi Kebijakan Subsidi Pupuk

33 Model Regresi Logistik Faktor-faktor yang Memengaruhi Kebijakan Penyuluhan Pertanian

34

35

35 37

37

38

45 45

49

50

(15)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran Model Perilaku Petani Padi

2 Kerangka Segitiga Konsep Pembangunan Berkelanjutan 3 Ilustrasi Status Penguasaan Lahan di Pedesaan

4 Analisis Thurstone Alasan Petani melakukan Usahatani Padi 5 Faktor Penentu Pemilihan Benih

6 Diagram Pohon Pilihan Varietas berdasarkan Prioritas 7 Faktor Penentu Pemilihan Pupuk

8 Analisis Trend Penggunaan Pupuk Organik 9 Analisis Trend Penggunaan Pupuk Anorganik 10 Analisis Thurstone Penentu Pemilihan Pestisida 11 Analisis Trend Penentu Pemilihan Pestisida 12 Prioritas Kebijakan Usahatani Padi

13 Analisis Thurstone Prioritas Kebijakan Usahatani Padi

(16)

1. Model Regresi Logistik Faktor-faktor yang Memengaruhi Aspek Ekonomi Petani dalam Pemilihan Benih

2. Model Regresi Logistik Faktor-faktor yang Memengaruhi Aspek Ekonomi Petani dalam Pemilihan Pupuk

3. Model Regresi Logistik Faktor-faktor yang Memengaruhi Aspek Ekologi Petani dalam Pemilihan Pupuk

4. Model Regresi Logistik Faktor-faktor yang Memengaruhi Aspek Ekonomi Petani dalam Pemilihan Pestisida

5. Model Regresi Logistik Faktor-faktor yang Memengaruhi Aspek Ekologi Petani dalam Pemilihan Pestisida

6. Model Regresi Logistik Faktor-faktor yang Memengaruhi Kebijakan Subsidi Benih

7. Model Regresi Logistik Faktor-faktor yang Memengaruhi Kebijakan Subsidi Pupuk

8. Model Regresi Logistik Faktor-faktor yang Memengaruhi Kebijakan Penyuluhan Pertanian

58

59

60

61

62

63

64

(17)

Latar Belakang

Faktor perilaku dari petani padi sangat memengaruhi dalam ketersediaan beras. Petani tidak mudah untuk menerima hal yang baru (inovasi) dengan beralih dari budidaya padi konvensional yang sudah melekat pada diri petani sejak lama, termasuk perubahan peraturan yang berdampak menurunnya pembinaan masyarakat tani dalam berusahatani. Aktivitas sosialisasi, pelatihan dan pendidikan untuk merubah pola pikir, perilaku petani, dan kegiatan yang memiliki pedoman yang jelas sangat berpengaruh terhadap produktivitas.

Setelah beberapa dasawarsa Indonesia selalu sebagai negara pengimpor beras, dan pada akhir pelita III, yaitu tepatnya tahun 1984 swasembada beras dapat dicapai. Salah satu kuncinya adalah penyediaan input modern, di mana penggunaan teknologi modern yang dikenal dengan “Revolusi Hijau” dapat memecahkan masalah kekurangan produksi pangan. Akan tetapi revolusi hijau itu sendiri mendapat kritik dalam hal kerusakan lingkungan, terabaikannya teknologi lokal dan kelembagaan lokal, disamping munculnya masalah pemerataan dan kemiskinan (Widodo, 2001).

Jawa Barat merupakan salah satu Propinsi yang potensial di Indonesia dalam usahatani padi, akan tetapi 3 (tiga) tahun terakhir luas panen, produktivitas dan produksi padi ini mengalami fluktuasi. Periode 3 (tiga) tahun terakhir (2010 - 2012), luas panen, produktivitas dan produksi padi di Jawa Barat memperlihatkan trend yang paling menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (Tabel 1) (BPS Jawa Barat, 2013).

Tabel 1. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Tanaman Padi di Jawa Barat

Tahun

Sumber : BPS Jawa Barat, 2013

Menurut Setyawati (2012), dinamika produksi padi di Indonesia terjadi dari tahun 1970-2011 dan juga menunjukkan adanya perlambatan peningkatan areal panen yang dipicu dari turunnya areal panen padi sawah yaitu sekitar 7 persen/tahun. Hal ini merupakan salah satu indikasi bahwa terjadinya fluktuasi produksi kemungkinan disebabkan oleh penggunaan lahan yang sudah berkurang (konversi lahan), alih fungsi lahan atau perubahan perilaku petani sehingga diperlukan suatu usaha agar dapat terus mempertahankan produktivitas padi yang tinggi yang pernah dicapai sebelumnya, atau bahkan meningkatkannya jika mungkin.

(18)

sawah, di mana lahan sawah dapat menyimpan air hujan; hilangnya nilai ekonomi lahan sawah, dengan alih fungsi lahan sawah satu hektar saja akan menyebabkan hilangnya pendapatan petani sebesar Rp. 2,3 juta per musim tanam, kemudian hilangnya nilai sosial budaya lahan sawah, yang akan menyebabkan retaknya hubungan sosial di antara masyarakat pedesaan seperti antara pemilik lahan dengan buruh tani.

Disamping itu menurut Saragih (2003), tantangan terbesar dalam pembangunan pertanian di Indonesia adalah adanya kecenderungan menurunnya minat petani untuk bertanam komoditas pangan (termasuk padi). Hal ini disebabkan karena rendahnya produktivitas dan daya saing komoditi tanaman pangan yang diusahakan tersebut. Di sisi lain sumber daya alam terus menurun sehingga perlu diupayakan untuk tetap dijaga kelestariannya. Demikian pula dengan usahatani padi, agar usahatani padi dapat berkesinambungan dan berkelanjutan, maka perlu perhatian khusus terhadap keberlanjutannya. Perilaku petani padi sangat terkait dengan faktor lingkungan sehingga budidaya padi dan lingkungan sama-sama mempunyai peran penting.

Pentingnya isu lingkungan ini terlihat dari beberapa penelitian seperti yang telah dilakukan oleh Wahyuni (2010), mengenai perilaku petani bawang merah dalam penggunaan dan penanganan pestisida serta dampaknya terhadap lingkungan, menyatakan bahwa perilaku petani dalam penggunaan dan penanganan pestisida dan kemasannya masih sangat buruk. Perilaku buruk ditemui pada semua tahapan-tahapan penanganan pestisida, yaitu mulai dari tahap pemilihan jenis pestisida, penyimpanan pestisida, praktek penyemprotan di lapangan sampai pada tahap pembuangan bekas pestisida.

Apabila perilaku petani tidak memperhatikan aspek lingkungan maka pembangunan pertanian tidak akan bisa dinyatakan berkelanjutan. Pembangunan pertanian berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi (profit), ekologi (planet) dan sosial (people) bersifat berkelanjutan (Srageldin, 1996 dalam Dahuri, 1998). Berkelanjutan secara ekonomi berarti suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan dan konservasi sumber daya alam. Sementara itu berkelanjutan secara sosial, mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, pengembangan kelembagaan dan individu. Dengan memperhatikan 2P saja (misalkan profit dan planet) tidaklah cukup untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, oleh sebab itu pilar people (dalam penelitian ini adalah perilaku petani) mempunyai peranan yang sangat penting untuk mewujudkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan.

Kurt Lewin (1951) dalam Azwar (2000) merumuskan suatu model hubungan perilaku yang menyatakan bahwa perilaku (B) adalah fungsi karakteristik dari individu (P) dan lingkungan (E), yang dinotasikan menjadi B = f (P,E). Karakteristik individu meliputi berbagai faktor seperti motif, nilai-nilai, sifat kepribadian, dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi dengan faktor-faktor lingkungan dalam menentukan perilaku si petani tersebut.

(19)

yang belum efektif di tingkat petani. Schmitz et al. (2009), menyatakan bahwa aspek anggaran merupakan salah satu hal yang sangat relevan untuk dijadikan sebagai bahan koreksi terhadap strategi kebijakan pembangunan sektor pertanian di Indonesia. Dari berbagai kebijakan subsidi dalam pelaksanaannya tidak semuanya memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan seperti kebijakan subsidi pupuk dan bantuan benih unggul gratis dalam pelaksanaannya masih sering timbul masalah, seperti (i) pupuk bersubsidi sering diberitakan sulit diperoleh pada saat dibutuhkan petani dan kalaupun ada di pasaran harganya di atas harga eceran tertinggi (HET); dan (ii) benih gratis kualitasnya beragam dan pendistribusiannya tidak tepat waktu, sehingga banyak kasus ditemukan bantuan benih digunakan untuk konsumsi, dan dalam banyak kasus anggaran yang disediakan tidak terserap seluruhnya.

Selain permasalahan kebijakan subsidi, menurut Benjamin dan Drajem (2008) peningkatan harga komoditas pertanian juga sangat berperan terhadap perubahan kebijakan yang ada di sebuah negara. FAO (2008) sebagai lembaga yang menangani masalah pertanian dan pangan dunia sudah mulai resah sejak beberapa tahun terakhir mencermati perkembangan harga bahan pangan yang terus meningkat. Berbagai analisis telah dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab peningkatan harga bahan pangan, seperti perubahan iklim akibat pemanasan global yang telah mengakibatkan perubahan iklim ekstrem di berbagai belahan dunia dan kondisi ini berpengaruh terhadap peningkatan produksi komoditas pertanian dunia. Perubahan iklim telah menimbulkan periode musim hujan dan musim kemarau yang makin kacau, sehingga pola tanam dan estimasi produksi pertanian, persediaan stok pangan menjadi sulit di prediksi secara baik. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa setiap kenaikan suhu udara 2 derajat Celsius, akan menurunkan produksi pertanian sebesar 30 persen pada Tahun 2050 (khususnya di negara Cina dan Bangladesh). Dalam laporan berjudul “Stern Review on the Economic of Climate Change”, Nicholas Stern (2006) mengemukakan risiko ekonomi, sosial, dan lingkungan tentang dampak pemanasan global. Perubahan iklim bahkan telah dianggap sebagai salah satu kontributor pada laju eskalasi harga pangan dan pertanian saat ini, karena telah mengakibatkan gangguan besar pada sistem produksi pangan.

(20)

Dengan mengadopsi metoda Chernoff (1973), penelitian ini dapat diilustrasikan sebagai kondisi di sebuah wilayah yang ditunjukkan oleh Chernoff Face, di mana bentuk muka menggambarkan kondisi pangan di sebuah wilayah saat ini. Bentuk muka akan tersenyum seketika kondisi pangan di sebuah wilayah dalam kondisi baik dan dapat dinikmati oleh semua masyarakat di wilayah tersebut. Bentuk muka sedih menunjukkan kondisi pangan yang sudah mulai mengkhawatirkan masyarakat, yang tentunya akan mengancam kemandirian pangan di wilayah tersebut.

Dalam penelitian ini pertanyaan penting yang perlu disampaikan adalah, bagaimana nantinya negara ini apabila semua petani sebagai pelaku agribisnis lama kelamaan meninggalkan pola tanamnya akibat kebijakan yang tidak tepat dan beralih kepada komoditas pangan lainnya? Bagaimanakah kondisi lingkungan kita sepuluh tahun ke depan apabila perilaku petani dalam menanam komoditas padi tidak memperhatikan aspek lingkungan? Dari ide inilah maka dirasa perlu mengangkat topik dengan judul penelitian: Model Perilaku Petani Padi yang Berwawasan Lingkungan untuk Menjamin Kemandirian Pangan Kasus Jawa Barat. Model Perilaku Petani ini nantinya dapat digunakan sebagai basis informasi bagi berbagai pemangku kepentingan untuk mencetuskan kebijakan yang tepat. Selanjutnya dapat disusun perumusan masalah, tujuan dan kerangka pikir penelitian.

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana perilaku petani dalam menanam padi terutama yang terkait dengan perilaku pemilihan benih, pemupukan, dan pengendalian hama penyakit tanaman.

2. Bagaimana perilaku kelompok petani yang dapat menjamin atau mendukung kemandirian pangan di Jawa Barat.

3. Apakah kebijakan yang sudah berjalan sudah efektif di tingkat petani.

4. Bagaimana perilaku petani yang tidak memikirkan faktor lingkungan seperti konversi lahan dan penggunaan pestisida yang tidak sesuai dengan dosis yang seharusnya.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk membentuk (prototype)

Model perilaku petani dalam usahatani padi yang berwawasan lingkungan untuk menjamin kemandirian pangan di Jawa Barat. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Memotret perilaku petani 5 – 10 tahun terakhir.

2. Menganalisis trend perilaku petani 5 - 10 tahun yang akan datang.

(21)

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa:

1. Bagi pemerintah, sebagai alat penunjang keputusan untuk menetapkan kebijakan dalam menyikapi dan menghadapi perilaku petani dalam menanam komoditas pangan khususnya padi untuk menjamin kemandirian pangan.

2. Bagi petani, sebagai informasi dalam usahatani padi terkait perilaku yang berwawasan lingkungan.

3. Bagi peneliti, sebagai bahan referensi untuk penelitian lanjutan tentang perilaku usahatani padi.

Kerangka Pikir

Perilaku petani padi di Indonesia menunjukkan bahwa petani belum terlalu peduli kepada aspek lingkungan. Terjadinya fluktuasi luas panen dan produksi menyebabkan kekhawatiran pada pasokan pangan untuk beberapa tahun ke depan.

Interaksi berbagai macam faktor perubahan iklim serta respons tindakan yang dilakukan petani (perilaku petani) dan pengambil kebijakan pertanian akan sangat menentukan masa depan pertanian Indonesia serta tingkat penghidupan masyarakat dan tingkat kesejahteraan bangsa. Kebijakan yang sudah berjalan menunjukkan bahwa belum efektifnya kebijakan pertanian di level petani, sehingga seketika pemerintah memberikan subsidi ataupun bantuan kepada petani tidak akan terlalu membawa perubahan yang berarti kepada petani itu sendiri yang dikhawatirkan nantinya akan sangat memengaruhi perilaku petani terhadap minat bertanam padi.

(22)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Model Perilaku Petani Padi

Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah perilaku petani saat ini belum mempertimbangkan/mempedulikan aspek lingkungan terutama yang terkait dengan produksi pertanian.

PERILAKU PETANI (10 TAHUN TERAKHIR)

FLUKTUASI LUAS PANEN, PRODUKTIVITAS DAN PRODUKSI TANAMAN

PADI FAKTOR LINGKUNGAN

TIDAK DIPERHATIKAN

KEBIJAKAN YANG SUDAH DIJALANKAN DI TINGKAT PETANI BELUM

TEPAT SASARAN

EKOLOGI SOSIAL

EKONOMI

POTRET PERILAKU PETANI (SAAT INI)

ASPEK BUDIDAYA ASPEK NON BUDIDAYA

PEMILIHAN BENIH PERAN PENYULUH PERTANIAN

PEMUPUKAN PERAN KELEMBAGAAN

PENGENDALIAN HPT KEBIJAKAN TERKAIT UT PADI

MODEL PERILAKU PETANI PADI

YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN UNTUK MENJAMIN KEMANDIRIAN PANGAN KASUS JAWA BARAT

(23)

Kebaruan Penelitian (Novelty)

Penulisan disertasi selayaknya menghasilkan suatu kebaruan dalam beberapa hal, seperti metode analisis, ruang lingkup penelitian dan lain-lain. Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini memiliki kebaruan sebagai berikut: 1. Perilaku petani yang di analisis pada level mikro (lingkungan usahatani),

yaitu:

a. Perilaku pemilihan benih. b. Perilaku pemilihan pupuk. c. Perilaku pengendalian HPT.

2. Perilaku petani digabungkan pembahasannya pada level makro yaitu rekomendasi kebijakan pangan dengan pendekatan data secara a) ex post dan b) ex ante yang terkait pada kemandirian pangan di Jawa Barat.

(24)
(25)

2. TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Model

Secara umum model didefinisikan sebagai suatu representasi atau formalisasi dalam bahasa tertentu (yang disepakati) dari suatu sistem nyata (Simatupang, 1995). Sistem nyata adalah sistem yang sedang berlangsung dalam kehidupan, sistem yang dijadikan titik perhatian dan dipermasalahkan. Dengan demikian, pemodelan adalah proses membangun sebuah model dari suatu sistem nyata.

Muhammadi et al. (2001) menyatakan bahwa dalam menghasilkan model yang bersifat sistemik ada beberapa langkah yang harus ditempuh yaitu: (1) identifikasi proses yang menghasilkan kejadian nyata, (2) identifikasi kejadian yang diinginkan, (3) identifikasi kesenjangan antara kenyataan dengan keinginan, (4) identifikasi dinamika menutup kesenjangan dan (5) analisis kebijakan. Model dapat dinyatakan baik bila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Hasil simulasi yang sudah di validasi tersebut digunakan untuk memahami perilaku gejala atau proses serta kecenderungan di masa depan, yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi pengambil keputusan untuk merumuskan suatu kebijakan di masa mendatang.

Selain itu Forrester (2002) mendefinisikan model sebagai sebuah rencana, representasi, atau deskripsi yang menjelaskan suatu objek, sistem, atau konsep, yang seringkali berupa penyederhanaan atau idealisasi. Bentuknya dapat berupa model fisik (maket, bentuk prototipe), model citra (gambar rancangan), atau rumusan matematis.

Perilaku Petani

Perilaku petani adalah proses dan aktivitas ketika seorang petani berhubungan dengan pencarian, pemilihan, pembelian, penggunaan, serta pengevaluasian produk dan jasa demi memenuhi kebutuhan dan keinginan. Perilaku petani merupakan hal-hal yang mendasari petani untuk membuat keputusan penanaman (Mar‟at, 1984).

Perilaku Lingkungan (Ekologi)

(26)

itu akhirnya akan menurunkan kualitas hidup manusia, mempersulit diperolehnya pangan, makin terbatasnya lahan yang layak untuk tempat hunian manusia. Dalam hubungan pembangunan yang berwawasan lingkungan inilah peranan tingkah laku manusia menjadi sangat penting. Berbeda dengan makhluk-makhluk yang lain yang lebih banyak dipengaruhi oleh alam, manusia mampu memengaruhi alam. Oleh karena itu dalam hubungan manusia dengan alamnya, manusia dimungkinkan untuk menjadi titik sentral perkembangan lingkungan.

Perilaku Ekonomi

Menurut Wibowo (2002), sifat rasional yang diperkenalkan oleh ekonom neo klasik penekanannya pada asumsi bahwa manusia adalah agen rasional yang dalam aktivitas ekonomi hanya berorientasi pada memaksimalkan kegunaan atau kebahagiaan. Sifat rasional ini mempunyai ciri sebagai berikut, pertama, memperhitungkan untung-rugi. Kedua, mementingkan keuntungan diri sendiri. Ketiga, memberikan hasil yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Namun ada kritik-kritik yang mengatakan bahwa self interested

tidak selalu mengacu pada kepentingan diri sendiri tetapi ada juga kepentingan lain yang lebih menyangkut kepentingan orang lain (the other interest). Hal ini juga akan membongkar tentang anggapan bahwa manusia homo economicus

selalu mengharapkan untung yang besar (utility maximizer).

Perilaku Sosial

Menurut Ibrahim (2001), perilaku sosial adalah suasana saling ketergantungan yang merupakan keharusan untuk menjamin keberadaan manusia, sebagai bukti bahwa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup sebagai diri pribadi tidak dapat melakukannya sendiri melainkan memerlukan bantuan dari orang lain. Artinya bahwa kelangsungan hidup manusia berlangsung dalam suasana saling mendukung dalam kebersamaan. Untuk itu manusia dituntut mampu bekerjasama, saling menghormati, tidak menggangu hak orang lain, toleran dalam hidup bermasyarakat.

Aspek Lingkungan

ICRAF (2012) menyatakan bahwa pemanasan global merupakan gejala dari adanya pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang tidak berkelanjutan. Pemanasan global menyebabkan munculnya kekhawatiran dunia, karena dampaknya terhadap kehidupan dan kondisi bentang lahan dari semua negara baik bagi negara penghasil (emisi) gas rumah kaca (GRK) maupun bukan. Indonesia merupakan salah satu negara emitor GRK terutama berasal dari pembakaran hutan dan pengeringan gambut, sehingga Indonesia menjadi salah satu bagian dari solusi pengurangan pemanasan global.

IPCC (2007) telah memberikan banyak bukti kuat secara ilmiah bahwa iklim global telah berubah pada tingkatan yang cukup besar sepanjang sejarah geologi. Perubahan tersebut terjadi karena adanya peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, terutama tersusun dari gas-gas CO2, CH4 dan

(27)

tersimpan dalam berbagai bahan organik dan kalsium karbonat (CaCO3), tetapi

sekarang terlepas ke atmosfer melalui penggunaan bahan bakar fossil dan penambangan semen. Sekitar 20 persen dari total peningkatan GRK disebabkan oleh emisi CO2 ke atmosfer lewat pembakaran.

Adanya peningkatan suhu bumi karena efek rumah kaca, secara cepat akan menyebabkan peningkatan CO2 dan CH4 pada zona boreal (zona dekat kutub

utara) dan penurunan kapasitas serapan dari lautan dan atmosfer. Indonesia akan terkena dampak perubahan iklim, tetapi juga akan termasuk dalam salah satu daftar Negara yang bertanggung jawab terhadap pemanasan global. Pemanasan global dapat diartikan sebagai „gejala kelebihan‟ yaitu suatu gejala pembangunan yang tidak berkelanjutan, yang pelaksanaannya menggunakan energi melebihi ketersediaannya di alam. Planet bumi hanya memiliki 1.8 ha lahan untuk digunakan per orang, sedang pada tingkat global rata-rata penggunaannya sudah mencapai 2.2 ha.

Pada tingkat global, pengaturan penggunaan sumber daya alam pada tingkat yang berkelanjutan harus mempertimbangkan 2 pemicu emisi GRK yaitu: (a) Penggunaan bahan bakar minyak yang secara langsung berhubungan dengan gaya hidup perkotaan dan (b) emisi yang berhubungan dengan adanya alih guna lahan.

Pangan

Definisi pangan

Menurut UU No. 18 Tahun 2012 pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.

Pangan sangat berkaitan dengan keberlangsungan hidup manusia. Kurangnya ketersediaan pangan yang mencukupi kebutuhan masyarakat dalam suatu negara akan mengakibatkan menurunnya kesejahteraan hidup, penyakit, kelaparan, bahkan bencana. Selain itu, peringatan akan perubahan kondisi iklim global telah mengganggu pertumbuhan harga pangan sehingga terjadi potensi kenaikan harga pada beberapa komoditas. Bahkan beberapa lembaga internasional telah memberikan peringatan dini tentang adanya fluktuasi harga pangan, sehingga, ketahanan pangan (food security), kemandirian pangan (food self-help), dan kedaulatan pangan (food souverenity) nasional penting untuk digalakkan.

Ketahanan Pangan (Food security)

(28)

Kemandirian Pangan (Food self-help)

Kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.

Kedaulatan Pangan (Food souverenity)

Hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.

Keamanan Pangan (Food safety)

Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi (UU No. 18 Tahun 2012).

Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Istilah pembangunan berkelanjutan sering disebut “sustainable

development” diperkenalkan dalam World Conservation Strategy (strategi konservasi dunia) diterbitkan oleh United Nations Environment Programme

(UNEP) pada tahun 1980. Konferensi PBB mengenai lingkungan dan pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development - UNCED) yang diselenggarakan di Rio de Janeiro Tahun 1992 telah menetapkan prinsip-prinsip dasar dan program aksi untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Kemudian KTT Johannesburg selain mencanangkan kembali komitmen politik seluruh lapisan masyarakat internasional, juga telah meletakkan dasar-dasar yang patut dijadikan acuan dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan di semua tingkatan dan sektor atau aspek pembangunan.

Sejak awal 1980-an bertepatan dengan dikeluarkannya Dokumen Strategi Konservasi Bumi (World Conservation Strategy) oleh IUCN (International

Union for the Conservation of Nature), telah banyak dimunculkan berbagai definisi tentang pembangunan berkelanjutan oleh para pakar maupun organisasi keilmuan. Namun definisi yang secara umum di terima oleh masyarakat internasional adalah definisi yang di susun oleh Bruntland Commission, yakni

pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa menurunkan atau merusak kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED, 1987 dalam Dahuri, 1998).

(29)

ekonomis berarti suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital (capital maintenance) dan penggunaan sumber daya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara

ekologis mengandung arti bahwa kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan dan konservasi sumber daya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity). Sementara itu berkelanjutan secara sosial, mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, dan pengembangan kelembagaan. Dengan perkataan lain, konsep pertanian berkelanjutan berorientasi pada tiga dimensi keberlanjutan. yaitu: keberlanjutan usaha ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan sosial manusia (people), dan keberlanjutan ekologi alam (planet).

Gambar 2. Kerangka Segitiga Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Sumber: Serageldin and Steer, 1994 dalam Dahuri, 1998

Penelitian Terdahulu

(30)

perilaku petani adalah tingkat pendidikan petani dan pengetahuan petani tentang kawasan rawan bencana longsor.

Setiawan (2007) meneliti mengenai perubahan perilaku petani dalam menerapkan Sistem Budidaya. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sebelum terjadi kegagalan dan kerugian ada baiknya perlu dilakukan perbaikan dalam sistem budidaya dengan lebih mengedepankan konsep kealaman dan berbasis kearifan lokal melalui pemanfaatan dan pengelolaan alam dengan tetap menjaga kelestariannya, serta dalam mengelola lahan harus berorientasi pada produktivitas, stabilitas, kemerataan dan keberlanjutan. Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu adanya kesadaran dari masyarakat untuk mengubah perilaku dan juga perlu dukungan dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan.

(31)

3. METODOLOGI PENELITIAN

Metode Pengumpulan Data

Penelitian dilakukan di Propinsi Jawa Barat dengan tiga Kabupaten terpilih, yaitu Kabupaten Cianjur (Kecamatan Cugenang, Ciranjang dan Karang Tengah); Kabupaten Subang (Kecamatan Ciasem, Cipeundey dan Cibogo) dan Kabupaten Tasikmalaya (Kecamatan Kadipaten, Singaparna dan Sukaratu). Lokasi penelitian di pilih secara purposive dengan pertimbangan metodologis dan geografis. Responden di ambil secara acak (stratified random sampling) dengan

margin error sekitar 6,5 persen dari jumlah populasi rumah tangga petani padi di Jawa Barat yaitu 2.321.878 KK. Dengan menggunakan rumus Slovin, total responden berjumlah 246 responden. Responden pada masing-masing kabupaten di bagi atas dua kategori yaitu kategori 1, petani yang konsisten bertanam padi yaitu sebanyak 72 orang responden dan kategori 2, petani yang berganti-ganti komoditas padi sebanyak 174 orang responden. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (i) Pengumpulan data dengan metode survei melalui daftar kuesioner; dan (ii) wawancara mendalam (in-depth interview).

Metode Analisis

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data di analisis secara kualitatif dan kuantitatif dan di olah dengan menggunakan analisis deskriptif, analisis Thurstone, analisis Trend dan model Regresi Logistik.

Analisis deskriptif bertujuan untuk memberikan gambaran umum perilaku petani padi di Jawa Barat serta deskripsi awal untuk analisis berikutnya. Analisis Thurstone digunakan untuk menilai peringkat suatu atribut dan mengukur seberapa besar perbedaan kepentingan suatu atribut terhadap atribut lainnya. Dengan analisis Thurstone akan mendapatkan skala yang menggambarkan perbedaan tingkat kepentingannya. Selain itu prinsip dasar dan kelebihan metoda Thurstone ini adalah dapat mentransformasi data dari skala ordinal menjadi interval agar relevan dalam melakukan interpretasi.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis Thurstone adalah sebagai berikut:

1. Melakukan analisis deskriptif untuk melihat profil responden. 2. Menganalisis data menggunakan metode Thurstone.

Metode Thurstone pertama kali dikemukakan oleh seorang psikolog bernama Louise Leon Thurstone. L. L, dengan persamaan sebagai berikut:

: nilai skala psikologis dari atribut i : nilai skala psikologis dari atribut j

: nilai dari tabel normal baku yang sesuai dengan proporsi

penilaian pi j.

(32)

Jika pi j kurang dari 0.5, maka xij bernilai negatif : dispersi diskriminal dari atribut i

: dispersi diskriminal dari atribut j

r : korelasi antara simpangan diskriminal dari atribut i dan atribut j pada penilaian yang sama

Tahap-tahap yang dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Mengelompokkan data berdasarkan jenis kelamin dan kondisi sosial ekonomi responden.

b. Menghitung matriks frekuensi ( , yaitu dengan menjumlahkan skor seluruh pengamatan perbandingan dengan aturan sebagai berikut:

{

c. Menghitung matriks proporsi ( ), yaitu dengan membagi setiap unsur matriks frekuensi dengan jumlah responden.

d. Mentransformasi setiap unsur matriks proporsi menjadi nilai normal baku

( ).

e. Mengurutkan kolom matriks Z dari kolom dengan rataan terkecil hingga terbesar.

f. Menghitung selisih rataan antar kolom terdekat.

g. Menghitung nilai skala tiap atribut, yaitu dengan nilai skala awal nol dan nilai skala berikutnya merupakan kumulatif dari nilai skala sebelumnya. Untuk melihat kecendrungan ke depan (sustainability) dari perilaku petani padi ini digunakan analisis trend seperti fungsi linear di bawah ini (Bandura): fungsi linear untuk dua titik ( dan ( : : nilai amatan pertama pada sumbu (nilai dosis) : nilai amatan kedua pada sumbu (tahun) : nilai amatan kedua pada sumbu (nilai dosis)

(33)

Keterangan:

: peubah bebas ke- untuk : nilai koefisien regresi untuk

(34)
(35)

4. PROFIL PETANI PADI DI JAWA BARAT

Sebesar 93 persen petani di wilayah sampel berjenis kelamin laki-laki, dan sisanya sebesar 7 persen adalah perempuan. Artinya di sini adalah wanita juga ikut serta dalam mengambil keputusan dalam usahataninya. Selain itu juga kecilnya persentasi petani wanita dikarenakan karakteristik usahatani yang cenderung lebih mengandalkan tenaga yang besar (Tabel 2).

Tabel 2. Jenis Kelamin

Pendidikan formal yang di peroleh para petani mayoritas adalah Tamat SD (Ibtidaiyah) sebesar 38 persen, kemudian berturut-turut adalah SLTP (Tsanawiyah) sebesar 28 persen dan SMU (Aliyah) sebesar 20 persen (Tabel 3). Masih rendahnya tingkat pendidikan formal yang dimiliki oleh petani di wilayah sampel akan sangat memengaruhi terhadap adaptasi informasi dan teknologi. Tabel 3. Pendidikan Formal

No. Jenis Pendidikan Kategori I Kategori II Total

N % n % N %

Sebesar 98 persen petani menjawab bahwa mereka sudah mengikuti perkumpulan usahatani sejenis (Tabel 4), sedangkan sisanya sebesar 2 persen menyatakan belum ikut dalam perkumpulan usahatani tersebut. Dapat diartikan di sini bahwa petani di wilayah sampel sudah melibatkan diri pada suatu kegiatan atau program dengan turut berpartisipasi.

Tabel 4. Keanggotaan Perkumpulan Usahatani Sejenis (Padi)

(36)

Dilihat dari kepemilikan lahan, sebesar 74 persen petani menjawab bahwa lahan mereka sudah milik sendiri dan sisanya (26 persen) menjawab bahwa lahan yang mereka garap adalah milik orang lain dan gabungan keduanya (Tabel 5). Tabel 5. Status Kepemilikan Lahan yang Diusahakan (yang Utama)

No. Status Kategori I Kategori II Total

n % n % N %

1 Milik Sendiri [1] 52 72.2 129 74.13 181 74

2 Milik Orang Lain [2] 12 16.6 30 17.24 42 17 3 Milik Sendiri dan Orang Lain [1][2] 8 11.1 13 7.47 21 8 4 Milik Perusahaan/Pemerintah [3] 0 0 2 1.15 2 1

Total 72 100 174 100 246 100

Menurut Winarso (2012), keragaan status penguasaan lahan pada berbagai jenis lahan maupun pada berbagai agroekosistem lahan di wilayah pedesaan secara sederhana dapat diilustrasikan sebagai berikut :

Gambar 3 : Illustrasi status penguasaan lahan di pedesaan

(37)

5. PROFIL USAHATANI PADI DI JAWA BARAT

Alasan petani kategori 1 dan kategori 2 memilih komoditas padi sebagai usaha mereka secara tabulasi dan persentasi adalah karena harganya baik (46 persen), dan sudah merupakan turunan / tradisi (19 persen) seperti terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Alasan melakukan usahatani padi

No. Alasan Kategori 1 Kategori 2 Total

Secara umum petani dalam menentukan usahatani padi adalah karena harganya baik, sedangkan faktor lain tidak terlalu menjadi bahan pertimbangan bagi para petani. Harganya baik dalam hal ini mempunyai arti usahatani padi secara ekonomis menguntungkan bagi para petani padi, sehingga mendorong petani untuk tetap bertanam padi dan meningkatkan produksinya. Dengan analisis Thurstone jelas terlihat bahwa atribut yang mempunyai nilai tertinggi adalah harganya baik dan turunan/tradisi (Gambar 4).

Total

(38)

Tabel 7. Sumber kredit/bantuan yang pernah diterima

*Lainnya : Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), Kredit Usahatani (KUT)

Dilihat dari jenis bantuan dan kredit yang di peroleh, 80 persen petani sampel menjawab bahwa tidak menerima kredit jenis apapun (Tabel 8).

Tabel 8. Jenis bantuan/kredit yang diperoleh

No. Jenis Kredit Kategori I Kategori II Total

Tabel 7 dan Tabel 8 mengindikasikan bahwa petani belum tersentuh oleh lembaga keuangan, karena mayoritas dari petani sampel menjawab tidak menerima kredit. Hal ini disebabkan karena petani tidak memiliki agunan sertifikat tanah serta dalam hal pengembalian kredit bulanan para petani tidak dapat menyanggupinya karena pola penerimaan usaha tani yang bersifat musiman. Di samping itu juga petani merasakan bahwa prosedur pengajuan kredit sangat rumit, sehingga Petani sulit untuk mengakses lembaga keuangan.

Aspek Produksi

(39)

Tabel 9. Prospek usahatani 5 tahun mendatang

Dilihat dari produksi usahatani padi per tahun, secara umum petani sampel sudah berproduksi 5 – 15 ton/ha (3x panen), dengan asumsi bahwa dalam satu kali panen ± 5 ton/ha. Dalam hal ini bisa disimpulkan bahwa produksi padi tidak terlalu mengkhawatirkan terhadap ketersediaan pangan di Jawa Barat (Tabel 10). Tabel 10. Produksi usahatani padi per tahun

No Produksi per tahun (Ton)

Kategori I Kategori II Total

N % n % N % nilai sebesar 56 persen yang menyatakan bahwa informasi pengetahuan budidaya padi didapatkan dari penyuluh pertanian (Tabel 11).

Tabel 11. Sumber Informasi Pengetahuan Budidaya Padi

No Sumber Kategori I Kategori II Total

(40)

lain soal cara bertanam yang baik dan pengetahuan tentang pupuk. Salah satu poin positif pada saat program-program pedesaan ini banyak di televisi, swasembada pangan dapat terwujud.

Tabel 12. Media Sumber Informasi Budidaya Padi

No Sumber Kategori I Kategori II Total

*Lainnya : Balai Latihan Pegawai Pertanian (BLPP)

Tabel 13 memperlihatkan bahwa, 44 persen petani menjawab bahwa peran kelompok tani dalam penyebaran benih padi di wilayah sampel sangat baik. Artinya, para petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani lebih cepat mendapatkan benih padi dibandingkan dengan petani yang tidak tergabung dalam kelompok tani, karena sifatnya pengelompokkan, maka dalam pendistribusian benih padi menjadi lebih efektif.

Tabel 13. Sumber benih padi

No Sumber Kategori I Kategori II Total

*Lainnya : Kios Pertanian

Jarak Tanam

Dalam upaya pencapaian target program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian melalui Badan Pengembangan dan Penelitian telah banyak mengeluarkan rekomendasi untuk diaplikasikan oleh petani. Salah satu rekomendasi ini adalah penerapan sistem tanam yang benar dan baik melalui pengaturan jarak tanam yang di kenal dengan sistem tanam jajar legowo.

Menurut Sembiring (2001), sistem tanam legowo merupakan salah satu sistem tanam padi sawah yang apabila dibandingkan dengan sistem tanam lainnya memiliki keuntungan sebagai berikut:

(41)

2. Sistem tanaman berbaris ini memberi kemudahan petani dalam pengelolaan usahataninya seperti: pemupukan susulan, penyiangan, pelaksanaan pengendalian hama dan penyakit (penyemprotan). Di samping itu juga lebih mudah dalam mengendalikan hama tikus.

3. Meningkatkan jumlah tanaman pada kedua bagian pinggir untuk setiap set legowo, sehingga berpeluang untuk meningkatkan produktivitas tanaman akibat peningkatan populasi.

4. Sistem tanaman berbaris ini juga berpeluang bagi pengembangan sistem produksi padi-ikan (mina padi) atau parlebek (kombinasi padi, ikan, dan bebek).

5. Meningkatkan produktivitas padi hingga mencapai 10-15 persen.

Secara umum jarak tanam yang dipakai adalah 20 cm x 20 cm dan bisa di modifikasi menjadi 22,5 cm x 22,5 cm atau 25 cm x 25 cm sesuai pertimbangan varietas padi yang akan di tanam atau tingkat kesuburan tanahnya. Jarak tanam untuk padi yang sejenis dengan varietas IR 64 seperti varietas ciherang cukup dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm sedangkan untuk varietas padi yang memiliki penampilan lebat dan tinggi perlu di beri jarak tanam yang lebih lebar misalnya 22,5 cm sampai 25 cm. Demikian juga pada tanah yang kurang subur cukup digunakan jarak tanam 20 cm x 20 cm sedangkan pada tanah yang lebih subur perlu di beri jarak yang lebih lebar misal 22,5 cm atau pada tanah yang sangat subur jarak tanamnya bisa 25 cm x 25 cm. Pemilihan ukuran jarak tanam ini bertujuan agar mendapatkan hasil yang optimal (Dinas Pertanian Tasikmalaya, 2013). Petani di wilayah sampel menjawab bahwa jarak tanam padi yang digunakan adalah 27 cm x 27 cm yang di jawab oleh 66 persen petani sampel dan 25 cm x 25 cm di jawab oleh 31 persen petani sampel (Tabel 14). Petani menyatakan bahwa, semakin besar jarak tanam yang digunakan semakin besar produksi yang dihasilkan. Jarak tanam ini biasa dipergunakan pada saat musim hujan dengan rata-rata produksi sekitar 6 – 7 ton per ha.

Tabel 14. Informasi Jarak Tanam yang Digunakan

No Sumber Kategori I Kategori II Total

(42)

Jajar legowo (2 : 1) adalah cara tanam padi di mana setiap dua baris tanaman diselingi oleh satu barisan kosong yang memiliki jarak dua kali dari jarak tanaman antar baris sedangkan jarak tanaman dalam barisan adalah setengah kali jarak tanam antar barisan. Dengan demikian jarak tanam pada sistem jajar legowo (2 : 1) adalah 20 cm (antar barisan) x 10 cm (barisan pinggir) x 40 cm (barisan kosong).

Penggunaan Benih

Secara umum pembagian benih padi unggul di Indonesia ada 4 macam yaitu: benih penjenis (label putih), benih dasar (label kuning), benih pokok (label ungu) dan benih sebar (label biru). Pada wilayah sampel, klasifikasi benih yang yang digunakan adalah benih sebar (label biru). Jumlah benih yang digunakan adalah 20 – 25 kg/ha (46 persen) dan 25-30 kg/ha (41 persen) seperti yang terlihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Jumlah benih yang digunakan per Ha

No Sumber Kategori I Kategori II Total

n % n % N %

1 20 - 25 kg/ha [1] 38 53 75 43 113 46 2 25 - 30 kg/ha [2] 19 26 81 47 100 41 3 30 - 35 kg/ha [3] 13 18 18 10 31 12

4 35 - 40 kg/ha [4] 2 3 0 0 2 1

Total 72 100 174 100 246 100.0

Menurut anjuran dari pemerintah, kebutuhan benih 25 kg per hektar. Tetapi di wilayah sampel, kenyataan yang terjadi dalam penggunaan benih adalah > 25 kg per ha. Informasi yang di dapat dari wilayah sampel bahwa penggunaan benih yang tidak sesuai dengan anjuran pemerintah ditujukan untuk mengantisipasi hama keong mas. Sehingga dalam satu tancep bisa di tanam 4-5 bibit (rumpun).

(43)

6. PERILAKU PETANI PADI DI JAWA BARAT

Perilaku Pemilihan Benih

Jenis varietas yang umum digunakan berdasarkan kabupaten untuk kedua kategori petani adalah Ciherang (92 persen), IR 64 (5 persen) dan Situ Bagendit (3 persen) (Tabel 16).

Tabel 16. Jenis varietas yang umum digunakan berdasarkan Kabupaten

No. Varietas Cianjur Subang Tasikmalaya Total

n % N % n % N %

1 Ciherang 85 96.6 95 99.0 46 74.2 226 92

2 IR 64 3 3.4 1 1.0 7 11.3 11 5

3 Situ Bagendit 0 0.0 0 0.0 9 14.5 9 3

Total 88 100.0 96 100.0 62 100.0 246 100 Alasan petani memilih varietas Ciherang adalah karena varietas ini produksinya tinggi, rasa nasinya yang pulen dan disukai konsumen serta mempunyai kelebihan tahan terhadap hama dan penyakit terutama hama wereng coklat biotipe 2 dan 3 serta penyakit hawar daun bakteri strain III dan IV (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2012). Dengan menggunakan analisis Thurstone, terlihat bahwa alasan petani di wilayah sampel memilih varietas ini karena harga jual gabah kering panen (GKP), rasa nasi dan ketersediaan benih di pasar. Ketiga atribut ini merupakan prioritas tertinggi, artinya merupakan atribut yang paling di anggap penting oleh petani dalam pemilihan benih (Gambar 5).

Total

Gambar 5. Faktor Penentu Pemilihan Benih

(44)

Banyak kelebihan dan keunggulan yang dimiliki oleh ketiga varietas ini, oleh sebab itu perlu analisis lanjutan untuk menggambarkan alternatif pengganti andai ketiga varietas sudah tidak mudah lagi ditemui di pasar. Dengan diagram pohon (Gambar 6) terlihat bahwa varietas yang dapat dijadikan alternatif pengganti ke tiga varietas adalah Cigeulis dan Inpari 1.

Gambar 6. Diagram Pohon Pilihan Varietas berdasarkan Prioritas

(45)

Tabel 17. Pilihan varietas berdasarkan Prioritas

Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3 Varietas N % Varietas n % Varietas N % Informasi mengenai harga benih yang digunakan pada wilayah sampel adalah berkisar antara Rp. 20.000,- s/d Rp. 50 .000,- per kantong (5 kg). Dapat ditambahkan di sini, harga per kg nya berkisar antara Rp. 10.000,- s/d Rp. 15.000,. Hal ini dijawab oleh 79 persen dari petani sampel (Tabel 18).

Tabel 18. Informasi harga benih yang digunakan

(46)

Tingkat kepentingan pemilihan benih diperlukan untuk model regresi logistik. 98 persen responden menjawab bahwa pemilihan benih merupakan hal yang sangat menentukan dalam keputusan berusahatani, sedangkan 2 persen responden menjawab bahwa pemilihan benih merupakan hal yang cukup menentukan (Tabel 19).

Tabel 19. Tingkat kepentingan pemilihan benih sebagai Faktor Penentu Keputusan Berusahatani

Dengan menggunakan Model Regresi Logistik (Tabel 20) dapat ditemukan faktor-faktor apa yang menjadikan penentu atau memengaruhi aspek ekonomi petani dalam pemilihan benih. Faktor-faktor tersebut adalah kategori petani, keturunan, dan kecocokan lahan. Dilihat dari tanda koefisiennya, kategori petani bertanda positif yang artinya petani dengan kategori 1 cenderung memiliki wawasan ekonomi dalam pemilihan benih dibandingkan dengan petani kategori 2. Turunan mempunyai tanda koefisien negatif, artinya di sini petani yang bertani padi karena aspek keturunan/tradisi cenderung tidak menganggap penting wawasan ekonomi dalam pemilihan benih, hal ini di duga karena bertani sudah merupakan tradisi. Kecocokan lahan juga mempunyai tanda koefisien negatif, artinya petani cenderung tidak menganggap penting wawasan ekonomi dalam pemilihan benih. Untuk lebih jelasnya dapat juga dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 20. Model Regresi Logistik faktor-faktor yang memengaruhi Aspek Ekonomi Petani dalam Pemilihan Benih

(47)

Perilaku Pemupukan

Faktor penentu dalam pemilihan pupuk menurut petani kategori 1 adalah jenis lahan (33 persen), dosis yang digunakan dan harga beli yang murah (21 persen). Sedangkan petani kategori 2 menjawab faktor yang menentukan dalam pemilihan pupuk adalah dosis yang digunakan (40 persen), produksi/produktivitas (24 persen) serta jenis lahan (18 persen) (Tabel 21). Hal ini mengindikasikan bahwa perilaku petani kategori 2 lebih kepada peningkatan produksi yang sebesar-besarnya, karena faktor penentu berikutnya yang mempunyai persentase kedua terbesar adalah dosis yang digunakan.

Tabel 21. Faktor Penentu dalam Pemilihan Pupuk

No Atribut

Kategori

Total

1 2

n % n % N %

1 Jenis Lahan 24 33 32 18 56 23

2 Dosis yang digunakan 15 21 69 40 84 34

3 Ramah lingkungan 8 11 11 6 19 8

4 Harga Beli Murah 15 21 21 12 36 15 5 Produksi/Produktivitas 10 14 41 24 51 21

Total 72 100 174 100 246 100

Dengan analisis Thurstone, dapat dijelaskan bahwa secara umum di Jawa Barat faktor yang menjadi penentu dalam pemilihan pupuk dengan prioritas tertinggi adalah dosis yang digunakan. Sedangkan berdasarkan kategori petani, kategori 1 lebih menganggap penting jenis lahan sebagai faktor penentu dalam pemilihan pupuk.

Gambar 7. Faktor Penentu Pemilihan Pupuk

(48)

Menurut Nuhing (2003), jenis lahan berpengaruh terhadap penerapan teknologi dan akan menjadi kendala dalam pembangunan pertanian. Rendahnya pendapatan petani menyebabkan rendahnya penggunaan pupuk, dan justru meningkatkan biaya pestisida, karena ketakutan mereka akan terjadinya gagal panen. Kondisi ini nampak jelas pada usahatani padi yang dilakukan di Subak Meliling. Menurut Sinukaban (1997), permasalahan ini bisa berdampak serius karena dapat terus menerus saling memiskinkan kalau faktor-faktor penyebabnya tidak di atasi. Pemilihan skala prioritas mana yang harus ditanggulangi lebih dahulu apakah kemiskinan atau kerusakan lingkungan merupakan pilihan yang sulit. Pilihan yang sulit ini menyebabkan pemutusan siklus yang saling memiskinkan ini haruslah dilakukan secara bersamaan antara pengendalian kerusakan lingkungan dan pengentasan kemiskinan (Sinukaban dan Sihite 1993).

Terkait bahasan mengenai kerusakan lingkungan, selanjutnya perlu dilakukan analisis trend penggunaan pupuk organik dan anorganik sebagai dasar untuk melihat keberlanjutan sistem pertanian di masa yang akan datang. Hal ini berguna untuk menekan dampak negatif terhadap kerusakan lingkungan di masa yang akan datang dengan seminimal mungkin.

Gambar 8 memperlihatkan analisis trend penggunaan pupuk organik. Secara umum dosis pupuk organik yang digunakan petani sampel mengindikasikan bahwa penggunaan pupuk organik yang meningkat untuk masa beberapa tahun ke depan adalah dosis 1 ton/ha, sedangkan untuk dosis yang lebih besar (>1 ton/ha) kecendrungannya sudah berkurang dan cenderung mendekati nol.

Gambar 8. Analisis Trend Penggunaan Pupuk Organik

Begitu juga dengan penggunaan pupuk anorganik, analisis trend menunjukkan bahwa penggunaan dosis yang lebih rendah kecenderungannya tidak terlalu signifikan untuk beberapa tahun ke depan. Sedangkan penggunaan dosis yang lebih besar mempunyai trend yang menurun bahkan mendekati nol (Gambar 9). Dapat diambil kesimpulan bahwa kecenderungan petani ke depan akan lebih banyak menggunakan pupuk organik dari pada penggunaan pupuk anorganik. Menurut BPPT (2013), dengan penggunaan pupuk organik pada lahan sawah akan berdampak terhadap penurunan gas rumah kaca (GRK).

0%

5/10 thn yg lalu Saat ini Perkiraan ke

(49)

Gambar 9. Analisis Trend Penggunaan Pupuk Anorganik

Tabel 22 memperlihatkan bahwa 81 persen petani di wilayah sampel menjawab bahwa pemilihan pupuk sangat menentukan sebagai faktor penentu dalam berusahatani, sedangkan kriteria cukup menentukan sebesar 19 persen. Oleh sebab itu perlu pengujian model dengan regresi logistik, untuk melihat motif ekonomi maupun motif ekologi petani dalam pemilihan pupuk ini.

Tabel 22. Tingkat Kepentingan Pemilihan Pupuk Sebagai Faktor Penentu Keputusan Berusahatani

Model Regresi Logistik faktor yang memengaruhi aspek ekonomi petani dalam pemilihan pupuk (Tabel 23) yaitu jabatan, umur petani, kategori petani, dan dosis pupuk. Koefisien jabatan petani bertanda negatif, artinya petani yang memiliki jabatan sebagai pemilik lahan cenderung tidak memperhatikan aspek ekonomi dalam pemilihan pupuk dibandingkan dengan petani yang bukan pemilik lahan. Hal ini disebabkan karena usahatani padi ini merupakan usaha yang mereka anggap sudah biasa mereka lakukan.

Koefisien umur petani bertanda positif, artinya petani dengan usia lebih muda (<=50 thn) cenderung menganggap penting aspek ekonomi dalam pemilihan pupuk dibandingkan dengan petani usia tua. Di duga hal ini erat kaitannya dengan pengetahuan yang dimiliki oleh petani usia lebih muda, di mana petani dengan usia lebih muda ini lebih respon terhadap perubahan harga di pasar dibandingkan dengan petani usia lebih tua.

(50)

Tabel 23. Model Regresi Logistik faktor yang memengaruhi Aspek Ekonomi petani dalam Pemilihan Pupuk

Predictor Coef SE Coef Z P Odds

Ratio

Constant 280,010 129,690 2,16 0,031

x1 Jabatan -117,334 0,325521 -3,60 0,000 0,31

x2 Umur 0,909277 0,340118 2,67 0,008 2,48

x3 Pendidikan -0,0887079 0,312046 -0,28 0,776 0,92 x4 Keanggotaan -0,401709 121,611 -0,33 0,741 0,67 x5 Turunan -0,160563 0,321196 -0,50 0,617 0,85 x6 Kategori -193,853 0,390675 -4,96 0,000 0,14 x7 Luas lahan 0,0489759 0,101631 0,48 0,630 1,05 x8 Lahannya cocok -0,376184 0,399395 -0,94 0,346 0,69 x9 Iklimnya cocok -0,151268 0,596792 -0,25 0,800 0,86 x10 Dosis -104,849 0,419529 -2,50 0,012 0,35 Kategori petani, petani dengan kategori 1 cenderung tidak memperhatikan aspek ekonomi dalam pemilihan pupuk dibandingkan dengan petani kategori 2. Sedangkan untuk dosis pupuk yang digunakan, petani yang menggunakan dosis pupuk organik < 1 ton/ha cenderung tidak menganggap penting aspek ekonomi dalam pemilihan pupuk dibandingkan dengan petani yang menggunakan dosis pupuk organik >= 1 ton/ha. Diasumsikan bahwa penggunaan pupuk dengan jumlah yang sedikit erat kaitannya dengan biaya produksi yang rendah .

(51)

Tabel 24. Model Regresi Logistik Faktor yang Memengaruhi Aspek Ekologi

Perilaku Pengendalian Hama Penyakit dan Tanaman

Pengendalian hama dan penyakit tanaman merupakan pendekatan pengendalian yang memperhitungkan faktor ekologi sehingga pengendalian dilakukan agar tidak mengganggu keseimbangan alami dan tidak menimbulkan kerugian besar. Pengendalian hama penyakit tanaman merupakan panduan berbagai cara pengendalian hama dan penyakit, diantaranya dengan melakukan monitoring populasi hama dan kerusakan tanaman sehingga penggunaan teknologi pengendalian dapat lebih tepat. Secara umum, alasan yang paling dianggap penting oleh petani dalam pemilihan pestisida adalah karena tingkat populasi hama (46 persen) dan jenis penyakit (36 persen) seperti terlihat pada Tabel 25. Tabel 25. Faktor yang memengaruhi Pemilihan Pestisida

No Atribut

(52)

Gambar 10. Analisis Thurstone Penentu Pemilihan Pestisida

Menurut Andre (2004), dalam penelitiannya yang berjudul Analisis perilaku petani padi dalam proses keputusan pembelian pestisida di daerah karawang, Jawa Barat, menyimpulkan bahwa pertimbangan awal petani padi membeli pestisida adalah kualitas (85 persen), harga (40 persen) dan merk (20 persen). Pada saat proses pembelian, alasan petani padi menggunakan merek yang dipakai karena kualitasnya memuaskan (87 persen), harga terjangkau (49 persen), dan kemudahan diperoleh (30 persen).

Dilihat dari trend (kecenderungan) penggunaan pestisida (Gambar 11) kecendrungan penggunaan dosis pestisida pada wilayah sampel menunjukkan dosis yang lebih rendah mempunyai trend yang meningkat, sedangkan kecendrungan untuk dosis yang lebih besar pengunaannya semakin menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa petani di Jawa Barat sudah mulai mempunyai pemikiran yang baik terhadap dampak lingkungan yang diakibatkan oleh penggunaan dosis pestisida, oleh sebab itu perlu kiranya pemerintah dalam hal ini sebagai pengambil kebijakan untuk terus mengusahakan penyuluhan-penyuluhan terkait kerugian ataupun dampak yang disebabkan oleh penggunaan dosis pestisida yang berlebihan dan tidak sesuai dengan dosis seharusnya.

Gambar 11. Analisis Trend Penentu Pemilihan Pestisida 0%

20% 40% 60% 80% 100%

5/10 thn yg lalu Saat ini Perkiraan ke

depan

Per

sen

tase

(53)

Dari jawaban petani sampel, 46,3 persen menjawab bahwa pemilihan pestisida merupakan faktor penentu dalam keputusan berusahatani padi (Tabel 26). Untuk melihat faktor-faktor apa yang memengaruhinya, dapat digunakan analisis model logistik.

Tabel 26. Kriteria Pemilihan Pestisida Merupakan Faktor Penentu Bagi Keputusan Usahatani Padi Model Regresi Logistik faktor yang memengaruhi aspek ekonomi petani dalam pemilihan pestisida (Tabel 27) yaitu jabatan petani, dan kategori petani. Jabatan petani, petani dengan jabatan sebagai pemilik lahan cenderung tidak memperhatikan aspek ekonomi dalam pemilihan pestisida dibandingkan dengan petani yang bukan pemilik lahan. Hal ini di duga karena karakteristik petani pemilik lahan yang sudah terbiasa dengan proses produksi pertanian, sehingga dalam pemilihan pestisida petani sudah terbiasa memprediksi berapa pemakaian pestisida, di mana hal ini erat juga kaitannya dengan aspek lingkungan. Artinya di sini, rasional petani ikut dilibatkan.

Alasan yang sama juga terhadap kategori petani di mana petani dengan kategori 1 cenderung tidak memperhatikan aspek ekonomi dalam pemilihan pestisida dibandingkan dengan petani kategori 2. Kategori 1 adalah petani yang konsisten menanam padi, artinya karena pemilihan pestisida sudah merupakan kebiasaan, maka petani bisa lebih bersikap rasional.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Model Perilaku Petani Padi
Gambar 2. Kerangka Segitiga Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Tabel 5. Status Kepemilikan Lahan yang Diusahakan (yang Utama)
Tabel 6.  Tabel 6. Alasan melakukan usahatani padi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis regresi logistik dalam penelitian ini dilakukan untuk melihat faktor apa saja yang meningkatkan resiko kegemukan pada sampel dengan variabel bebasnya terdiri

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan hambatan kewirausahaan dengan jiwa kewirausahaan petani padi sawah di daerah penelitian, mengetahui apa faktor internal

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan hambatan kewirausahaan dengan jiwa kewirausahaan petani padi sawah di daerah penelitian, mengetahui apa faktor internal

Untuk melihat peluang petani yang menerapkan benih padi varietas ciherang terhadap faktor luas lahan yang mempengaruhi penerapan benih padi varietas ciherang dapat

Dalam penelitian ini, menggunakan analisis deskriptif untuk melihat perkembangan dari kebijakan program Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) dengan melihat hasil angket yang

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi sawah, mengetahui pendapatan petani dari usahatani padi sawah dan melihat

Sedangkan berdasarkan uji T dapat disimpulkan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi perilaku pertanian ramah lingkungan petani padi secara parsial yaitu karakteristik

Pada penelitian ini digunakan model regresi logistik biner untuk melihat faktor apa saja yang mempengaruhi seseorang sehingga menderita penyakit Diabetes Melitus dengan mengambil