• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek lokasi dalam integrasi industri

2 PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI TERINTEGRAS

2.4 Aspek lokasi dalam integrasi industri

Integrasi lokasi industri telah berkembang sejak abad ke-19 dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi. Alfred Marshall dalam buku Principles of Economics tahun 1890 memperkenalkan konsep aglomerasi ekonomi guna menghemat biaya transportasi karena kedekatan pada pemasok maupun konsumen, menyatukan pasar pekerja, serta memanfaatkan keunggulan komparatif. (Porter, 2000; Bekele dan Jackson, 2006; Ellison et al., 2007; Clinton et al., 2008).

Ekonomi aglomerasi adalah ekonomi skala yang dihasilkan ketika dua atau lebih perusahaan dari industri sejenis saling berdekatan pada kawasan tertentu. Aglomerasi juga akan menarik perusahaan lain berinvestasi di lokasi tersebut (Akundi, 2000). Sebelumnya, ahli ekonomi Inggris Sir William Petty (1623- 1687) telah memperkenalkan teori Growth Pole dan dilanjutkan oleh ekonom Perancis Francois Perroux (1903-1987) pada pertengahan tahun 1950an yang mengacu pada pengelompokan industri pada suatu kawasan sebagai pusat pertumbuhan sekaligus sebagai katalis bagi daerah sekitarnya agar terjadi trickle down effect (Adell, 1999; Parr, 1999; Krimi et al., 2010). Meski tidak

18

memasukkan konsentrasi geografis sebagai kriteria, namun teori ini telah diterapkan sebagai kebijakan regional di Britania sejak tahun 1960an.

Multiplier effects memainkan peranan penting dalam teori growth pole yang mendasari gagasannya bahwa dinamika aktivitas ekonomi berdampak pada kemajuan ekonomi lokal maupun regional, dan multiplier effects merupakan basis mekanisme dimana kutub pertumbuhan mempengaruhi kemajuan di sekelilingnya (Domański dan Gwosdz, 2010). Keuntungan aglomerasi diperoleh dari tiga

komponen ekonomi lokalisasi: 1) penggabungan bursa tenaga kerja dengan ketrampilan spesifik, 2) ketersediaan input dan pelayanan spesial, 3) penyebaran teknologi yang merupakan inti diskusi tentang industry clustering dan aglomerasi (Audretsch et al., 2007).

Porter (1990) kemudian mengembangkan konsep integrasi klaster vertikal dan horizontal dalam bentuk model berlian dengan dua elemen kunci; 1) adanya keterkaitan antar perusahaan dan 2) kedekatan lokasi (Schmitz dan Nadvi. 1999; van Hofe dan Chen, 2006). Porter (1990; 1993; 1994; 1998) mendefinisikan klaster sebagai “Konsentrasi geografis perusahaan, pemasok spesialis, penyedia jasa, usaha industri terkait, dan kumpulan lembaga seperti perguruan tinggi, lembaga standarisasi, asosiasi pengusaha yang saling terkait pada bidang tertentu, dimana selain berkompetisi mereka juga bekerja sama”. Windsperger (2006) memadukan konsep resource-based view dengan model berlian Porter untuk menganalisis keunggulan bersaing lokasi dan efek interaksi antara perusahaan dengan sumberdaya spesifik lokasi.

Keunggulan kompetitif regional sebagai hasil klaster industri dan interdependensi antar perusahaan dalam klaster merupakan interaksi dari empat element: 1). Strategi, struktur dan persaingan perusahaan; 2). Syarat-syarat permintaan; 3). Industri pendukung terkait; dan 4). Syarat-syarat faktor (input). Porter berpendapat faktor “kunci” produksi (specialized factors) bisa diciptakan, bukan diwariskan. Specialiazed factors produksi ini adalah tenaga kerja terampil, kapital dan infrastruktur yang melibatkan investasi berkelanjutan yang susah ditiru. Hal inilah yang akan menciptakan keunggulan kompetitif. Interlink keempat faktor ini dikenal dengan istilah Porter’s Diamond Model (Gambar 2.4).

19 Gambar 2.4. Model Berlian (Porter, 1998)

Keberhasilan mengembangkan klaster Silicon Valley telah membentuk imajinasi dunia sebagai model pengelolaan ekonomi wilayah yang inovatif. Beberapa klaster industri yang dianggap sukses sebagai replika Silicon Valley antara lain Boston Route 128 di Amerika, Cambridge Science Park di Inggris, Silicon Plateau Bangalore (Rawat, 2005) dan industri petrokimia di Singapura (Pillai, 2006) dimana terdapat interaksi antara universitas-industri-kewirausahaan serta konvergensi berbagai sumberdaya pengetahuan di lokasi tersebut. Teori klaster Porter telah menarik perhatian pada rentang luas bidang akademik: urban planning, geografi, dan ekonomi bukan sebatas konsep analitis, bahkan sebagai key policy tool (Martin dan Sunley, 2003; Motoyama, 2008; Reid et al., 2008).

Meski konsep klaster telah diterima secara luas oleh lembaga-lembaga internasional, pendekatan ini juga tidak sepi dari berbagai kritik. Gibbs dan Bernat (1997) menyatakan, “a cluster-based industrial strategy is not the industrial development sollution for all rural communities”. Davies dan Ellis (2000) mengecam keras teori competitive advantage of nation dan menyebutkan bahwa teori klaster Porter telah tamat riwayatnya dengan istilah “final judgement”. Beberapa kritik terhadap teori klaster Porter antara lain:

1) Analisis pengembangan ekonomi Porter pada level negara kurang mengena karena beranjak dari pendekatan mikro-ekonomi, meski pada level perusahaan

Industri pendukung & terkait Strategi, struktur & persaingan perusahaan Syarat-syarat permintaan Syarat-syarat faktor Pemerintah

20

Porter berhasil memadukan pendekatan Schumpeterian dan pendekatan resource-based untuk memperoleh keunggulan bersaing (Grant, 1991). 2) Porter mengabaikan beberapa determinan penting keunggulan bersaing seperti

peran sejarah, politik dan budaya. Hal ini mendorong keyakinan bahwa masalah keunggulan bersaing dapat diatasi secara eksklusif melalui pengukuran kebijakan ekonomi (O’Shaughnessy, 1996).

3) Pengembangan klaster tidak selalu menjadi ambisi yang realistik dan tepat bagi para pembuat kebijakan di semua wilayah bahkan cenderung menjadi mitos. Tidak semua tempat bisa menjadi replika Silicon Valey. Klaster bisa diadopsi sebagai strategi pengembangan ekonomi lokal setelah dianalisis dengan teliti keunikan dan keistimewaan lokasi itu (Palazuelos, 2005; Cortright, 2006).

4) Klaster industri memiliki definisi yang luas. Meski terdapat batasan geografis dan bidang industri, namun tidak ada aturan yang jelas seberapa kuat keterkaitan antar industri, konsentrasi geografis yang diperlukan oleh klaster atau level spesialisasi industri yang dibutuhkan. Hubungan teoritis kurang spesifik, data empiris telah dipilih secara selektif dan ditafsirkan secara subyektif (Grant, 1991; Martin dan Sunley, 2003).

5) Daerah mengalami kesulitan untuk menentukan industri apa yang paling tepat untuk pengklasteran. Pengembangan industri klaster membutuhkan identifikasi keunggulan kompetitif suatu daerah berdasarkan tenaga kerja, keunikan karakteristik daerah, ketersediaan dan kualitas infrastruktur serta kedekatan pasar (Barkley and Henry, 2001).

6) Meski kerangka kerja Porter telah didiskusikan secara luas dalam literatur manajemen, kontribusi aktualnya terhadap badan ilmu pengetahuan dalam literatur ekonomi dan manajemen tidak pernah diklarifikasi (Smit, 2010).

Pada waktu hampir bersamaan dengan Porter (1990), trio Fujita (1988), Krugman (1991) dan Venables (1996) memperkenalkan istilah “new economic geography”. Suatu negara secara endogenus terdiferensiasi menjadi “industrialized core” dan “agricultural periphery” dengan memanfaatkan keunggulan lokasi, biaya transportasi minimal dengan permintaan lebih besar, namun lokasi permintaan itu sendiri tergantung pada distribusi pabrik pengolahan

21 (Krugman, 1991; Fujita and Thisse 1996; 2008). Bekele dan Jackson (2006) meringkas berbagai pendekatan teoritis integrasi lokasi industri seperti disajikan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Pendekatan teoritis dan kunci pendekan integrasi lokasi industri Pendekatan

Teoritis Kunci pendekatan Rujukan utama

Classical Aglomeration Theory

• Ekonomi skala eksternal

o Urbanisasi vs. ekonomi lokalisasi Penyatuan pasar pekerja Pembagian input Penyebaran teknologi Keragaman

• Kaitan antar-industri dan interdependensi o Analisis industri kompleks

o Growth pole/kebijakan pusat

Marshall (1890), Weber (1929), Ohlin (1933), Hoover (1937) Geographical Economics or New Economic Geography • Eksternalitas ekonomi

• Ekonomi dan disekonomi aglomerasi

• Aglomerasi dan distribusi regional pendapatan dan kesejahteraan

• Peningkatan return dan persaingan tidak sempurna

Krugman (1991), Venables (1996), Fujita and Thisse (2002)

Flexible Specialization School

• Dari ekonomi skala ke bentuk organisasi industri yang fleksibel

• Interdependensi yang tidak diperdagangkan o Pengikatan ekonomi ke dalam sosial,

budaya dan struktur kelembagaan • Organisasi industri dan budaya bisnis

Brusco (1982), Piore and Sable (1984), Scott (1988), Storper (1995) Regional

Innovation Systems

• Ekonomi ilmu pengetahuan baru

• Ilmu pengetahuan dan pembelajaran kolektif o Pengetahuan tersembunyi vs terkodikifikasi o Pola penciptaan, pembagian, pembelajaran,

dan inovasi pengetahuan, terlokalisasi

Lundval (1992), Cooke and Morgan (1998), Malmberg and Maskell (2002) Competitiveness • Klaster dan keunggulan kompetitif wilayah

o Kerjasama dan persaingan o Kemitraan dengan kelembagaan o Sumberdaya wilayah dan infrastruktur

Porter (1990)

Dynamic Externalities

• Penyebaran pengetahuan dan teori pertumbuhan endogenus

• Gagasan, pendidikan, riset dan kelembagaan • Spesialisasi vs keragaman, monopoli vs

kompetisi dan kedekatan geografis

Romer (1986), Lucas (1988), Glaeser et al. (1992), Henderson et al. (1995) Sumber: Bekele dan Jackson (2006).

New geographical economists menyatakan bahwa konfigurasi spasial aktivitas ekonomi merupakan hasil dari dua kekuatan berlawanan; yakni kekuatan aglomerasi (sentripetal) dan kekuatan dispersi (sentrifugal). Kekuatan sentrifugal cenderung membuat pengklasteran aktivitas ekonomi termasuk penyatuan bursa

22

pekerja, penyebaran teknologi, pasokan barang antara, dan ukuran pasar. Kekuatan sentrifugal mencakup immobility of labor, peningkatan sewa lahan dan dis-ekonomi eksternal seperti masalah kemacetan dan lingkungan akibat peningkatan konsentrasi massa. Fokus kajian ini terhadap aglomerasi adalah pasar, teknologi dan eksternalitas lainnya yang muncul melalui proses aglomerasi lokal atau regional. Biaya transportasi, immobilitas buruh dan ukuran relatif pasar merupakan determinan kunci pada distribusi pendapatan dan kesejahteraan regional (Krugman dan Venables 1996).

Kajian Najib et al. (2011) tentang dayasaing klaster UKM industri pengolahan pangan di Indonesia menyimpulkan beberapa kelebihan klaster industri ini, yaitu:

1) Memiliki kinerja bisnis lebih baik karena UKM terklaster menerima dukungan dari pemerintah dan kedekatan geografis di antara UKM menciptakan banyak peluang untuk meningkatkan kinerja.

2) Penjualan, pangsa pasar dan profit UKM terklaster secara signifikan lebih tinggi.

3) Meski UKM pengolahan pangan di Indonesia menghadapi banyak masalah seperti kurangnya modal dan akses pasar, namun bergabung dalam satu kawasan membuat mereka mampu meningkatkan kinerja bisnis.

4) Klaster memiliki dampak positif dan saling melengkapi. 5) Terdapat kesenjangan dalam orientasi pasar dan inovasi.

Friedmann dan Douglass (1978) mengembangkan strategi agropolitan untuk pengembangan agroindustri di negara-negara Asia sebagai pendekatan komprehensif yang mengaitkan perkotaan dengan pengembangan perdesaan. Douglass (1998) merekomendasikan strategi ini untuk pengembangan industri pertanian di Indonesia. Konsep agropolitan dituangkan dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang meski sudah diintroduksi pada tahun 2002. Salah satu kendala penerapan agropolitan di Indonesia adalah jarak. Di Jawa, untuk radius pelayanan 5 – 10 km, dengan jumlah penduduk antara 50 – 150 ribu jiwa dan kepadatan minimal 200 jiwa/km2 sebagai distrik agropolitan, konsep dan strategi ini mungkin diterapkan, namun sulit untuk daerah-daerah seperti Kalimantan dan Papua (Nugroho, 2008).

23 Di Malaysia, menurut Shaffril et al. (2010) dan Buang et al. (2011) agropolitan merupakan pendekatan perencanaan dari bawah yang menjanjikan ekonomi riil dan pemberdayaan sosio-psikologis untuk warga miskin perdesaan. Pendekatan ini beranjak dari model konvensional growth pole yang bersipat top- down yang hasilnya justru pemberdayaan agensi organisasi ketimbang warga miskin perdesaan yang jadi target. Model agropolitan memberikan pemberdayaan ekonomi bagi warga miskin perdesaan sebagai target tapi tidak memberdayakan untuk membuat keputusan. Proyek agropolitan potensial berperan sebagai sebagai katalis utama untuk mengatasi masalah kemiskinan absolut.