• Tidak ada hasil yang ditemukan

Industri karet alam Indonesia

5 ANALISIS SITUASIONAL AGROINDUSTRI KARET ALAM

5.1 Industri karet alam Indonesia

Industri karet dan barang karet dikelompokkan menjadi tiga kelompok industri; (1) industri hulu (bokar dan kayu karet), (2) industri antara (RSS, karet remah, lateks pekat dan crepe) dan (3) industi hilir (ban dan produk terkait, barang jadi karet untuk industri, militer, alas kaki, penggunaan umum, alat kesehatan dan laboratorium) (Depperin, 2009). Di sini terlihat bahwa meski kayu karet masuk dalam kategori industri hulu, namun pada pengembangan selanjutnya luput dari perhatian, baik sebagai produk antara maupun produk akhir.

Salah satu poin rumusan hasil Konferensi Agribisnis Karet Menunjang Industri Lateks dan Kayu 2003 di Medan adalah: “Sistem dan usaha agribisnis karet saat ini dan ke depan hendaknya tidak hanya ditujukan untuk menghasilkan lateks dan barang setengah jadi lainnya, tapi juga pemanfaatan kayu karet.” Pemanfaatan karet untuk industri disajikan pada Gambar 5.1.

Gambar 5.1. Pohon industri karet (Deptan, 2007)

Pada tahun 2009, produksi karet Indonesia turun menjadi 2,44 juta ton, sementara Thailand justru naik menjadi 3,09 juta ton. Akibat rendahnya

72

produktivitas ini, produksi karet alam yang cuma 2,4 juta ton ini hanya cukup utuk memasok 63% dari total kapasitas pabrik karet remah nasional yang mencapai 3,8 juta ton/tahun (Gapkindo, 2010). Hal ini memunculkan wacana agar izin pendirian pabrik karet remah dihentikan. Di Kalimantan Selatan misalnya, dari 13 pabrik karet yang mampu mengolah 185.000 ton karet per tahun hanya menerima pasokan 100.000 – 110.000 ton per tahun (54% – 60%) pada tahun 2007. Sementara 15 pabrik karet di Kalimantan Barat yang tergabung dalam Gapkindo terancam gulung tikar karena kekurangan bahan baku. Dari kebutuhan bokar 400.000 ton /tahun hanya bisa terpenuhi 180.000 ton/tahun atau hanya 45%.

Laporan tahunan PTPN XIII (2008) yang memiliki dua unit pabrik karet remah dengan kapasitas 60 ton karet kering/hari (18.000 ton/tahun) dalam lima tahun terakhir terus mengalami penurunan pasokan bahan baku sehingga produksi juga menurun seperti disajikan pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1. Realisasi produksi pengolahan karet remah PTPN XIII

No Tahun Realisasi (ton/hari) Persentase (%) Perubahan (+/-) 1 2003 41,87 70,0 -- 2 2004 45,98 76,6 +6,6% 3 2005 46,60 77,7 +1,1% 4 2006 44,52 74,2 -3,5% 5 2007 36,67 61,2 -13,0% 6 2008 32,52 53,7 -7,5% Rata-rata 41,40 68,9

Sumber: Laporan tahunan PTPN XIII (2008).

Untuk meningkatkan produktivitas karet nasional, pemerintah sejak tahun 2005 telah menggulirkan program revitalisasi perkebunan dengan target 50.000 hektar perluasan dan 250.000 hektar peremajaan. Salah satu kendala revitalisasi ini adalah karena pihak bank selaku peminjam modal tidak berani mengucurkan dananya kepada petani karena tidak ada perusahaan penjamin (avalist). Peraturan Menteri Keuangan No. 117/ PMK.06/2006 tentang Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP) mensyaratkan adanya perusahaan avalis (penjamin) dalam penyaluran kredit perbankan. Hal ini juga tercantum dalam Permentan Nomor: 33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang Pengembangan

73 Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan. Avalis adalah perusahaan mitra yang ditetapkan oleh Dirjen Perkebunan yang memberikan jaminan pengembangan perkebunan.

Program revitalisasi dan peremajaan karet rakyat tidak berjalan dengan baik. Evaluasi kegiatan sampai dengan akhir tahun 2009 menyimpulkan rencana pengembangan perkebunan melalui Program Revitalisasi Perkebunan tahun 2007 s/d 2010 dengan plafon dana yang tersedia sebesar Rp 38,48 trilyun melalui penyediaan dana kredit dari 16 Bank Pelaksana, sampai dengan akhir tahun 2009, hanya mampu membiayai pengembangan perkebunan seluas 1,2 juta ha yang terdiri dari kelapa sawit 781.944 ha, karet 264.162 ha dan kakao 169.871 ha dari target semula 2,0 juta ha. Realisasi penyaluran kredit hanya mencapai Rp. 455,37 milyar (12%).

Hasil penelitian BPTK (2004) di Kabupaten Barito Utara menunjukkan bahwa petani hanya menerima harga 44,9% - 56,9% atau rata-rata 50,2% terhadap harga FOB SIR 20 di Banjarmasin. Informasi perkembangan harga FOB SIR 20 Banjarmasin yang menjadi patokan harga pembelian bokar di tingkat petani tidak sampai kepada para petani. Harga di tingkat pedagang mencapai 79,6% dengan marjin keuntungan sebesar 19,1% dan marjin keuntungan pabrik pengolah sebesar 10,5%. Kondisi ini menunjukkan posisi tawar pedagang relatif kuat jika dibandingkan dengan para petani. Penelitian Peramune and Budiman (2007) menunjukkan bahwa para petani karet secara nasional hanya memperoleh 30% - 50% dari harga FOB.

Kondisi ini tetap bertahan meski terjadi kenaikan harga FOB SIR 20 bulan Desember 2007 yang telah mencapai 2,5 USD/kg (1 USD = Rp. 9.419), harga slab di Banjarmasin masih Rp. 12.400/kg atau hanya 52,7% dari harga FOB. Ketika harga FOB SIR 20 mencapai 2,97 USD/kg (1 USD = Rp. 9.308) di awal Januari 2010, harga jual slab di tingkat petani di Barito Utara berkisar antara Rp. 8.000 – Rp. 10.000/kg atau rata-rata 36 % dari harga FOB. Nilai ini masih di bawah target 75 – 80% dari harga FOB. Pada bulan Januari 2011, harga SIR 20 telah mencapai 5,3 USD (sekitar Rp. 48.000), sementara harga di tingkat petani hanya Rp. 18.000 atau sekitar 40% dari harga FOB.

74

Tataniaga bokar di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan berbeda dengan Sumatera Selatan yang memiliki tempat lelang bokar di Kabupaten Muara Enim, Prabumulih dan Sekayu. Salah satunya adalah pasar lelang KUD Berkat Desa Lubuk Raman di Muara Enim. Pasar lelang ini merupakan hasil Proyek Pengembangan Karet Rakyat (PPKR) yang dicanangkan pemerintah pusat. Tujuan utama diselenggarakannya pasar lelang ini adalah untuk meningkatkan harga di tingkat petani. Selain itu, pasar lelang ini bertujuan untuk memutus rantai tataniaga bokar. Sebelum adanya pasar lelang, rantai perdagangan sangat panjang. Bokar dari petani ke pengumpul desa, kemudian ke pengumpul kecamatan, dan akhirnya ke pengumpul kabupaten sebelum masuk pabrik. Adanya pasar lelang ini bisa memutus tali rantai dari petani langsung ke pabrik. Lelang diadakan dua kali sebulan yaitu tanggal 2 dan tanggal 16. Jumlah bokar yang masuk mencapai 700 hingga 1000 ton per bulan dengan nilai lelang mencapai Rp. 2,8 milyar per bulan. Pembeli bokar yang datang ke lokasi pelelangan merupakan perwakilan dari pabrik. Namun tak semua pabrik bisa masuk pasar lelang ini, hanya pabrik yang berbadan hukum dan tercatat sebagai Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) saja yang bisa mengikutinya. Umumnya pembeli datang dari Palembang dan Jambi.

Ekspor produk karet Indonesia masih didominasi oleh produk antara (hampir 95%), dimana 93% adalah dalam bentuk SIR (Standard Indonesian Rubber) atau yang dikenal sebagai karet remah (crumb rubber) terutama SIR 20. Serapan konsumsi dalam negeri baru 15% (414 ribu ton), sangat kecil dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 61,4% (Natural Rubber Statistics, 2011). Industri ban merupakan industri yang dominan dalam menyerap pasokan karet dalam negeri dengan konsumsi sekitar 60%. Industri lain adalah sarung tangan, alas kaki, selang belt transmision yang merupakan industri berskala menengah dan kecil. Kemampuan modal dan pemasaran menjadi kendala dalam pengembangan industri menengah dan kecil tersebut. Produksi sarung tangan misalnya, dari 100 milyar pcs/tahun, Indonesia hanya memproduksi 10%, sementara Malaysia dan Thailand memproduksi 60% dan 30% (Depperin, 2009). Perkembangan ekspor karet alam Indonesia disajikan pada Tabel 5.2.

75 Tabel 5.2. Export karet alam Indonesia menurut tipe dan mutu (dalam ton)

TIPE DAN MUTU 2004 2005 2006 2007 2008

Lateks pekat 11.755 4.014 8.334 7.610 8.547 RSS 145.895 334.125 325.393 275.497 137.756 RSS 1 68.237 62.802 RSS 2 551 85 RSS 3 540 608 RSS 4 532 276 RSS 5 114 0 Lainnya 205.522 73.985 SIR 1.684.959 1.674.721 1.952.268 2.121.863 2.148.447 SIR 3L 8.352 9.722 SIR 3CV 116.145 64.880 50.726 4.287 9.894 10 32.248 3.381 -- 33.792 40.921 20 1.524.435 1.605.956 1.897.205 2.063.306 2.077.274 SIR lainnya 12.131 504 4.337 12.126 10.636 Lainnya 31.652 10.921 3 1.786 706 GRAND TOTAL 1.874.261 2.023.781 2.285.997 2.406.756 2.295.456 Nilai (USD) 2.180.030.642 2.582.546.554 4.320.704.955 4.868.746.275 6.056.572.688 Sumber: Gapkindo (2010)

Di Indonesia tidak dijumpai lembaga pemerintah yang khusus menangani kebijakan dan aktivitas pengembangan karet seperti Rubber Development Board di India, GERUCO di Vietnam, Office of the Rubber Replanting Aid Fund di Thailand, dan Rubber Development Department di Srilanka. (Peramune and Budiman, 2007). Di Malaysia ada Malaysian Ruber Board bahkan belakangan pemerintah mendirikan Rubber Industry (Replanting) Board dan RISDA (Rubber Smallholders Development Authority) (Zaidon et al., 2007; Kamaruzzaman and Yahy, 2008). Indonesia baru mendeklarasikan Dewan Karet Indonesia pada tanggal 2 Juni 2010 meski telah menjadi anggota IRCo (International Rubber Consortium Ltd) bersama-sama dengan Thailand dan Malasysia sejak 8 Agustus 2002 di Bali. Sebelumnya, Indonesia merupakan anggota INRO (International Natural Rubber Organization) yang telah bubar sejak 13 Oktober 1999 dan ANRPC (Association of Natural Rubber Producing Countries) sejak tahun 1970 yang beranggotakan China, India, Indonesia, Malaysia, Papua New Guinea, Singapora, Sri Lanka, Thailand dan Vietnam.

Karet di Kalimantan Tengah merupakan komoditas unggulan utama di sektor usaha perkebunan, bahkan menempati peringkat teratas untuk komoditas, produk dan jasa unggulan lintas sektor (Bank Indonesia, 2008a). Lahan kebun

76

karet di Kabupaten Barito Utara tersebar di enam kecamatan seluas 53.333 ha dengan produksi mencapai 41.564 ton slab per tahun dan memenuhi syarat sebagai bahan olah karet (bokar) untuk SIR 20 dengan produktivitas berkisar antara 652,4 – 707,3 kg/ha/tahun menurut penelitian BPTK (2004).