Bab II Studi Teoritis Pembuktian Perjanjian Kartel
A. Aspek Pembuktian
1. Definisi Pembuktian
Kata pembuktian berasal dari kata “bukti” yang apabila diterjemahkan
kedalam bahasa inggris terdapat dua kata yaitu evidence dan proof. Evidence
memiliki makna informasi yang memberikan dasar-dasar yang mendukung suatu keyakinan bahwa beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu adalah benar.
Sedangkan kata proof mengacu pada hasil suatu proses evaluasi dan menarik
kesimpulan terhadap evidence atau dapat juga digunakan lebih luas mengacu pada
proses itu sendiri.1
Karenanya evidence lebih dekat maknanya kepada alat bukti sedangkan proof
dapat diartikan pembuktian yang mengarah pada suatu proses.2 Oleh sebab itu, bukti
merujuk pada suatu alat-alat bukti yang mana termasuk barang bukti yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Sementara pembuktian merujuk pada suatu proses mengenai pengumpulan bukti, memperlihatkan bukti sampai dengan
penyampaian bukti tersebut kepada pengadilan.3
1
Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta;Penerbit Erlangga, 2012), h. 2.
2
Ibid, h. 2-3
3
2. Teori Pembuktian
Walaupun Komisi Pengawas Persaingan Usaha bukanlah merupakan lembaga peradilan, tetapi dalam Undang-undang diberi kewenangan untuk memutus perkara (quasi Yudisial) dalam kasus Persaingan Usaha, karenanya dalam membahas tentang pembuktian suatu perkara perlu juga kiranya dipahami tentang teori-teori pembuktian dalam menilai alat-alat bukti yang ada, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
a. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Positif
Pembuktian yang hanya melulu menggunakan alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang. Dikatakan secara positif karena didasarkan pada undang-undang melulu. Artinya, jika suatu perbuatan telah terbukti lewat alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang, maka keyakinan hakim menjadi tidak diperlukan.
b. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu
Teori ini berlawanan dengan teori pembuktian menurut undang-undang secara positif. Ini didasari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwapun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan dari terdakwa kadang-kadang tidak menjamin terdakwa telah benar-benar melakukan tindakan yang telah didakwakan. Oleh karena itu diperlukan keyakinan hakim sendiri. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang.
22
c. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Dengan Alasan
Logis
Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut pembuktian yang berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu. Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu.
d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Negatif
Dalam sistem atau teori pembuktian undang-undang secara negatif ini, pemidaan didasarkan kepada pembuktian berganda yaitu pada peraturan perundang-undangan dan keyakinan hakim, dan menurut undang-undang, dasar keyakinan itu bersumber pada peraturan udang-undang. Dalam KUHAP pasal 183 disebutkan:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah
yang bersalah melakukannya.”
Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam KUHAP pasal
184, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari keyakinan tersebut.
sehingga artinya KUHAP menganut sistem atau teori pembuktian secara negatif.4
Dan dalam hal pembuktian terdapat beberapa teori yang dipakai seperti yang telah dijelaskan di atas. Jika diamati secara seksama karakter yang ada dalam proses pembuktian di KPPU masuk pada kategori yang terakhir yaitu teori pembuktian berdasarkan undang-undang yang negatif hal tersebut diperjelas dengan ketentuan
dalam Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999 tentang alat bukti.5
3. Alat Bukti
Alat Bukti (bewijsmiddel) yang digunakan oleh Komisi Pengawas Persaingan
Usaha pada dasarnya hampir sama dengan yang ada dalam KUHAP.6 Alat-alat bukti
yang digunakan dalam persaingan usaha sebagaimana dijelaskan oleh pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yaitu;
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat dan atau dokumen
d. Petunjuk
e. Keterangan Pelaku usaha.
4
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta;Sinar Grafika, 2008), h. 251-256.
5
Sukarmi, Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha, Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 6, 2011, h. 131.
6
Rachmadi Usman, Hukum Acara Persaingan Usaha Di Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika, 2013), h. 37.
24
Alat-alat bukti yang digunakan dalam pemeriksaan perkara persaingan ini dapat dijabarkan sebagai berikut;
a. Keterangan saksi
Saksi adalah setiap orang atau pihak yang mengetahui terjadinya pelanggaran terhadap Undang-undangnomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha TidakSehat dan memberikan
keterangan guna kepentingan pemeriksaan.7
b. Keterangan/pendapat ahli
Ahli adalah orang yang memiliki keahlian di bidang terkait dengan dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan memberikan keterangan pendapat guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan
tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuan.8
Keterangan ahli diperlukan dalam pemeriksaaan perkara yang rumit. Saksi
ahli dapat dihadirkan atas inisiatif pelaku usaha maupun KPPU.9
c. Surat dan/atau dokumen
Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam pemeriksaan suatu perkara menggunakan juga surat/dokumen yang dianggap relevan terhadap
7 Ibid, h. 161. 8 Ibid, h. 161. 9
perkaranya, mulai dari surat yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemerintahan RI, kemudian bukti tertulis lainnya seperti berita acara
kesepakatan, memorandum of understanding, dan perjanjian tertulis lain yang
berhubungan dengan penetapan harga.10 Suatu petunjuk yang didapat dalam
bentuk tertulis, kekuatan pembuktiannya dikategorikan sama dengan kekuatan
pembuktian surat atau dokumen.11
d. Petunjuk
Menurut pasal 188 ayat 1 KUHAP, alat bukti petunjuk adalah:
“Perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak dan siapa pelakunya.”
Dalam perkara monopoli dan persaingan usaha, alat bukti petunjuk
merupakan indirect evidence yang dapat diterima, akan tetapi penggunaan
bukti petunjuk tidak dapat disamaratakan, harus dilihat kasus per kasus.12
e. Keterangan Pelaku Usaha
Keterangan pelaku usaha ini termasuk keterangan pelapor dan terlapor. Pelapor adalah setiap orang yang menyampaikan laporan kepada KPPU mengenai terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
10
Devi Meyliana, Hukum Persaingan Usaha; Studi Konsep Pembuktian Terhadap Perjanjian Penetapan Harga Dalam Persaingan Usaha, (Malang; Setara Press, 2013), h. 92.
11
Sukarmi, Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha, h. 132.
12
26
Persaingan Usaha Tidak Sehat, baik yang melakukan tuntutan ganti rugi maupun tidak. Terlapor adalah pelaku usaha dan/atau pihak lain yang diduga melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Keterangan terlapor tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alas an
yang kuat dan dapat diterima Majelis Komisi.13
Alat-alat bukti ini kemudian lebih diperinci lagi oleh KPPU dalam Perkom Nomor 4 tahun 2010 tentang pedoman pasal 11. Beberapa alat bukti untuk penanganan perkara kartel antara lain:
1. Dokumen atau rekaman kesepakatan harga, kuota produksi atau
pembagian wilayah pemasaran.
2. Dokumen atau rekaman daftar harga (price list) yang dikeluarkan oleh
pelaku usaha secara individu selama beberapa periode terakhir (bisa tahunan atau per semester).
3. Data perkembangan harga, jumlah produksi dan jumlah penjualan di
beberapa wilayah pemasaran selama beberapa periode terakhir (bulanan atau tahunan).
4. Data kapasitas produksi.
5. Data laba operasional atau laba usaha dan keuntungan perusahaan
yang saling berkoordinasi.
13
Devi Meyliana, Hukum Persaingan Usaha; Studi Konsep Pembuktian Terhadap Perjanjian Penetapan Harga Dalam Persaingan Usaha, h. 161.
6. Hasil analisis pengolahan data yang menunjukkan keuntungan yang
berlebih/excessive profit.
7. Hasil analisis data concious parallelism terhadap koordinasi harga,
kuota produksi atau pembagian wilayah pemasaran.
8. Data laporan keuangan perusahaan untuk masing-masing anggota
yang diduga terlibat selama beberapa periode terakhir.
9. Data pemegang saham setiap perusahaan yang diduga terlibat beserta
perubahannya.
10.Kesaksian dari berbagai pihak atas telah terjadinya komunikasi,
koordinasi dan/atau pertukaran informasi antar para peserta kartel.
11.Kesaksian dari pelanggan atau pihak terkait lainnya atas terjadinya
perubahan harga yang saling menyelaraskan diantara para penjual yang diduga terlibat kartel.
12.Kesaksian dari karyawan atau mantan karyawan perusahaan yang
diduga terlibat mengenai terjadinya kebijakan perusahaan yang diselaraskan dengan kesepakatan dalam kartel.
13.Dokumen, rekaman dan/atau kesaksian yang memperkuat adanya
faktor pendorong kartel sesuai indikator yang telah dijelaskan pada
perkom.14
4. Bukti Langsung dan Tidak Langsung
14
Dalam perkom dijelaskan mengenai indikator-indikator ekonomi yang digunakan oleh KPPU untuk menentukan dugaan awal telah terjadinya perilaku kartel, lebih lanjut dapat dibaca di Perkom
28
Dalam hukum persaingan usaha khusunya mengenai kartel biasanya
digunakan dua Metode pembuktian, yaitu pembuktian lewat direct evidence atau
bukti tidak langsung dan pembuktian lewat circumstancial evidence atau bukti
situasional atau lebih dikenal indirect evidence atau bukti tidak langsung.15
Pembuktian langsung adalah pembuktian yang diarahkan pada eksistensi penjanjian dengan membuktikan semua dokumen, notulen atau tempat pertemuan dari suatu tindakan kartel. Sedangkan pembuktian berdasarkan keadaan atau pembuktian tidak langsung adalah pembuktian berdasarkan kesimpulan yang diambil dari berbagai tindakan atau kondisi sistematis yang dilakukan oleh para kompetitor komoditas barang atau jasa tertentu yang menunjukkan keyakinan kuat bahwa telah
terjadi koordinasi di antara mereka.16
Terdapat dua macam tipe pembuktian tidak langsung, meliputi bukti komunikasi dan bukti ekonomi. Dari kedua bukti tersebut, bukti komunikasi atau fasilitasi lebih penting dibandingkan bukti ekonomi. Bukti komunikasi adalah bukti dimana pelaku kartel bertemu melakukan komunikasi akan tetapi tidak menjelaskan
substansi komunikasi tersebut.17
Di negara lain, misal Australia, untuk membuktikan eksistensi kesepakatan (meeting of the minds) yang diharuskan dalam pembuktian adanya perjanjian yang melanggar hukum persaingan, bukti situasional (circumstancial evidence) bisa
15
A. Junaidi, “Pembuktian Kartel Dalam UU No. 5/1999” Kompetisi, 11 ( 2008), h. 9.
16
Ibid, h. 9.
17
dipakai seperti: petunjuk perbuatan yang paralel, petunjuk tindakan bersama-sama, petunjuk adanya kolusi, petunjuk adanya struktur harga yang serupa (dalam kasus
price fixing) dan lain sebagainya.18
Namun bukti ini tidak bisa diterapkan sama rata, sebagai contoh kadangkala peningkatan harga secara paralel merupakan petunjuk adanya pasar yang bersaing
secara ketat (highly competitive).19 Karenanya, di Indonesia sendiri masih terdapat
pro kontra dalam menggunakan bukti tidak langsung. Mengingat dalam sistem hukum beracara baik dalam HIR-RBG atau dalam UU No. 5 Tahun 1999 tidak dikenal dalam alat bukti yang secara eksplisit berbunyi bukti tidak langsung ataupun
bukti ekonomi.20
Penegakan hukum persaingan selalu berusaha mendapatkan bukti langsung berupa perjanjian dalam kasus kartel, dimana dalam kenyataannya sangat sulit didapatkan sebagaimana yang sudah diuraikan di bagian terdahulu. Sehingga bukti tidak langsung menjadi sangat penting keberadaannya dalam proses pembuktian
kartel.21
B. Konsep Kartel Dan Pelarangannya