i
PEMBUKTIAN PERJANJIAN KARTEL SEMEN MENURUT HUKUM PERSAINGAN USAHA INDONESIA
(Studi Kasus Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 01/KPPU-I/2010)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh: ALI ALATAS 109048000012
KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
v
ABSTRAK
ALI ALATAS. NIM 109048000012.
PEMBUKTIAN PERJANJIAN KARTEL SEMEN MENURUT HUKUM
PERSAINGAN USAHA INDONESIA (Studi Kasus Putusan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha Nomor 01/KPPU-I/2010).
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. xiii +
69 halaman + 3 halaman daftar pustaka + halaman lampiran.
Penelitian ini melihat penggunaan teori pembuktian undang-undang negatif yang dianut di Indonesia khususnya rezim hukum persaingan usaha Indonesia sebagaimana dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan juga dijabarkan Perkom no 4 tahun 2010 tentang penjelasan pasal 11 tentang kartel yang mana dijalankan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam membuktikan perjanjian kartel, terutama dalam kasus kartel semen tahun 2010.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif dengan analisis data kualitatif. Penelitian normatif dengan menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan Konseptual
(Conceptual Aprroach). Selanjutnya sumber data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain bahan hukum primer yaitu Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 01/KPPU-I/2010, serta peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Hasil penelitian ini, keputusan yang diambil oleh majelis komisi yang memutuskan para terlapor, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan kartel. merupakan keputusan yang tepat dilakukan, sebab dengan tidak ditemukan dua alat bukti yang sah dan meyakinkan telah terjadi tindakan kartel, berdasarkan teori pembuktian undang-undang secara negatif yang dianut Indonesia, tidak bisa menetapkan seseorang bersalah..
Kata Kunci : Kartel, KPPU, Bukti Tidak Langsung, Perjanjian, Pasar Oligopoli.
Pembimbing : Prof. Dr. Zainuddin Ali, MA
vi
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat serta anugrah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“PEMBUKTIAN PERJANJIAN KARTEL SEMEN MENURUT HUKUM
PERSAINGAN USAHA INDONESIA (Studi Kasus Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 01/KPPU-I/2010)” Sholawat serta salam penulis sampaikan kepada Nabi Besar Muhamad SAW, yang membawa rahmat Allah SWT
dan mengenalkan kita kepada jalan kebenaran, jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
Selanjutnya, dalam kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih
yang tak terhingga kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Jakarta.
2. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH selaku ketua program studi Ilmu Hukum
serta Drs. Abu Thamrin, SH, MH. selaku sekretaris program studi Ilmu
Hukum atas segala petunjuk dalam penyusunan skripsi ini.
3. Prof. H. Zainuddin Ali, MA yang telah bersedia menjadi pembimbing
penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran dan ketelitian memberikan
masukan hingga skripsi ini selesai.
4. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. dan H M. Yasir, SH, MH yang telah
bersedia menjadi penguji dalam ujian skripsi ini serta memberikan banyak
masukan terhadap penulisan skripsi ini, sehingga penulis mengetahui
vii
5. Segenap Dosen serta staf karyawan fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Alfitra, SH. MH. selaku dosen pembimbing akademik, yang telah
membimbing dan mengarahkan, baik dalam perkuliahan maupun hal
akademik lainnya.
7. Segenap staf Perpustakaan Fakultas syariah dan hukum, staf Perpustakaan
Utama UIN syarif Hidayatullah Jakarta serta staf yang telah memberikan
fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
8. Sebesar-besarnya tidak pernah terlupa penulis ucapakan kepada Ayahanda
Saifuddin Abubakar dan Ibunda Siti Nurhasanah, yang selalu berusaha dan
berdoa memberikan yang terbaik untuk penulis., semoga Allah SWT
senantiasa memberikan kekuatan Iman, Islam dan mengasihi keduanya.
9. Jid Habib Abdullah Alatas dan Almarhumah Jidah Hababah Khadijah Alkaff
serta Almarhum Baba Sain Nahili dan Jidah Nene yang selalu memberikan
doa dan kasih sayang untuk kesuksesan dan menginspirasi penulis. Semoga
mereka baik yang masih hidup maupun yang tidak selalu dibawah naungan
rahmat Allah SWT
10.Saudara-saudara penulis Muhammad Naquib, Ibrahim, Fikri Syarif atas segala
doa dan bantuannya.
11.Ammati Wirda, ammi Nuh, ammati Mona, ammi Hanif dan ammi Abbas
beserta segenap keluarga Abdullah Alatas lainnya untuk segala doa dan
viii
12.Keluarga Besar Sain Nahili kota bambu yang turut mendukung penulis.
13.Imam Besar FPI Al Habib Dr. Muhammad Rizieq Shihab, Lc. MA. DPMSS.
Dan Al Habib Ir. Ali Zainal Abidin bin Hasan Assegaf yang telah menjadi
pembina dan menasehati penulis dalam menempuh kehidupan dunia dan
akhirat.
14.Seluruh keluarga besar Front Pembela Islam dan Majelis Ta’limul Ansab
untuk memberikan dukungan moril bagi penulis.
15.Sahabat Ilmu Hukum angkatan 2008, 2009, 2010, terutama Syafiq
Shalabiyah, Fachrobi, Jajang Indra Fadilah, Irvan, Anto, Jerry, Rizki, Arfandi,
Arif Prasetyo, serta sahabat–sahabat lain yang tidak dapat disebutkan satu
persatu.
Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada
khususnya dan segenap para akademisi dan masyarakat pada umumnya.
Jakarta Juni 2015
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI... iii
LEMBAR PERNYATAAN... iv
ABSTRAK... v
KATA PENGANTAR... vi
DAFTAR ISI... ix
DAFTAR LAMPIRAN... xii
BAB I Pendahuluan……… 1
A. Latar Belakang……… 1
B. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah………. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 6
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu……….. 7
E. Kerangka Teori dan Konseptual………. 8
F. Metode Penelitian……… 14
G. Teknik Penulisan... 18
H. Sistematika Penulisan……….. 18
Bab II Studi Teoritis Pembuktian Perjanjian Kartel...…… 20
A. Aspek Pembuktian...………... 20
x
C. Perjanjian Kartel……….. 39
BAB III Posisi Kasus...………. 46
BAB IV Analisis Kasus Kartel Semen Indonesia 2010...………. 63
A. Pembuktian Perjanjian Kartel Semen di Indonesia...……... 63
B. Pertimbangan Majelis Komisi Dalam Putusannya……... 65
C. Metode Pembuktian yang Digunakan KPPU... 66
BAB V PENUTUP... 68
A. Kesimpulan... 68
B. Saran... 69
DAFTAR PUSTAKA... 70
xi
DAFTAR LAMPIRAN
A. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 10 tahun 2010 tentang
Penjelasan Pasal 11 Undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan ekonomi, industri dan perdagangan dewasa ini di Indonesia amatlah pesat. Perkembangan ini dapat dilihat munculnya beragam variasi barang dan/atau jasa yang tidak sepi dari peminatnya. Terlebih lagi, kuatnya arus
industrialisasi dan perdagangan global lewat investasi multinasional, mendorong
terciptanya iklim usaha di Indonesia menjadi lebih semarak. Kondisi ini tentu pada
akhirnya menciptakan suatu persaingan yang ketat antar pelaku usaha.
Persaingan dalam kegiatan usaha adalah suatu hal yang niscaya dan
merupakan “nafas” dari kegiatan usaha itu sendiri.1
Tidak ada kegiatan usaha yang
dilakukan oleh sesama manusia yang tidak memunculkan suatu persaingan karena
tentunya pelaku usaha memerlukan konsumen agar usahanya dapat mendatangkan
keuntungan. Pada akhirnya para pelaku usaha mencoba berbagai cara untuk menarik
hati konsumen.
Dalam salah satu bentuk pasar yaitu pasar oligopoli,2 disana hanya terdapat
sedikit pelaku usaha dalam pasar tersebut yang mana akibat diterapkan barrier to
entry atau hambatan masuk kedalam pasar tersebut. Dalam pasar jenis ini pula
1
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya di Indonesia
(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 1.
2
2
terdapat saling ketergantungan antara masing-masing pelaku usaha sehingga
keputusan strategis suatu perusahaan tergantung dari keputusan strategis perusahaan
lainnya yang terdapat dalam pasar tersebut.3Kondisi pasar inilah yang kemudian
melahirkan tindakan kartel.4
Kartel sesungguhnya merupakan salah satu strategi yang diterapkan antar
pelaku usaha untuk mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksinya.
Asumsinya apabila produksi mereka didalam pasar dikurangi sedangkan permintaan
dalam pasar tetap, akan berakibat pada naiknya harga produk ketingkat yang lebih
tinggi. Namun apabila jumlah produk di pasar berlimpah maka akan berkaibat pada
penurunan harga.5
Apabila terjadi persaingan yang sehat maka tentunya terjadi perlombaan
antara pelaku usaha untuk memuaskan konsumen dengan menurunkan harga atau
menaikan kualitas produknya. Akan tetapi untuk menghindari kerugian akibat tidak
efisiennya pelaku usaha, justru pelaku usaha terkadang melakukan kerjasama untuk
mengatur harga dengan mengatur jumlah produksi dan/atau wilayah pemasaran untuk
menaikan harga produk yang akan merugikan konsumen.
3
Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks , (Jakarta: GTZ, 2009), h. 36.
4
Ibid, h. 106.
5
Biasanya praktek kartel dapat tumbuh dan berkembang pada struktur pasar
oligopoli, dimana lebih mudah untuk bersatu dan menguasai pangsa pasar.6 Pelaku
usaha mencoba untuk membentuk suatu kerjasama horizontal atau biasanya
berbentuk asosiasi yang sesungguhnya dapat melakukan tindakan positif seperti
standarisasi kelayakan suatu produk tetapi digunakan untuk melakukan pengaturan
harga yang dapat menghambat persaingan usaha.7
Dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Antimonopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, disebutkan bahwa perjanjian kartel dikategorikan
termasuk sebagai perjanjian yang dilarang oleh undang-undang tersebut.8 Perjanjian
disini bukan hanya mengenai perjanjian yang tertulis, tetapi juga perjanjian yang
tidak tertulis.9 Pentingnya mengakui perjanjian yang tidak tertulis tersebut karena
tentunya pelaku usaha tidaklah ceroboh dengan memformalkan perjanjian mereka
dalam bentuk tertulis, sehingga dapat dengan mudah terbuktikan.10
Salah satu kasus kartel terakhir yang telah diputuskan oleh Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) adalah kasus dugaan kartel semen yang dilakukan oleh
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 117.
8
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
9
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
10
4
Indonesia cenderung mahal disaat biaya produksi semen yang seharusnya menurun
seiring dengan harga batu bara dan minyak mentah dunia yang cenderung menurun.11
Kondisi ini juga diperkuat dengan pernyataan Menteri Perindustrian saat itu
yaitu Fahmi Idris yang menyatakan bahwa industri semen Indonesia cenderung
mengarah pada praktek oligopoli karena jumlah pemainnya yang sedikit.12 Sehingga
Komisi Pengawas Persaingan Usaha menduga terjadi pelanggaran Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat pasal 5 tentang perjanjian pengaturan harga dan pasal 11 tentang kartel.
Walaupun banyak pihak yang merasakan aroma praktek kartel tersebut,
namun pada tanggal 18 Agustus KPPU memutuskan bahwa tindakan para pelaku
usaha semen yang tergabung dalam Asosiasi Semen Indonesia tidak terbukti
melakukan tindakan perjanjian kartel. Oleh karenanya penulis merasa perlu
menelitinya yang hasilnya dituangkan dalam skripsi yang berjudul, PEMBUKTIAN
PERJANJIAN KARTEL SEMEN MENURUT HUKUM PERSAINGAN
USAHA INDONESIA (Studi kasus Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Nomor 01/KPPU-I/2010).
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
11
http://www.tempo.co/read/news/2010/04/22/090242441/KPPU-Duga-Ada-Kartel-Harga-Semen-Indonesia, diakses pada tanggal 17 april 2013.
12
Dari Pemaparan diatas terdapat berbagai permasalahan yang dapat di
indentifikasi, yang pada gilirannya akan diteliti sesuai batasan kemampuan penulis,
masalah yang dapat di identifikasi penulis yaitu;
a. Bagaimanakah menjaga persaingan agar tetap sehat?
b. Bagaimakah melindungi konsumen dalam persaingan usaha yang tidak
sehat?
c. Bagaimanakah penegakan hukum pada hukum persaingan usaha di
Indonesia?
d. Apakah asosiasi pelaku usaha dapat terhindar dari perjanjian kartel?
e. Bagaimanakah membuktikan telah terjadi perjanjian kartel menurut
hukum persaingan usaha Indonesia?
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan dari apa yang telah penulis identifikasi, karena begitu luasnya
cakupan penelitian ini, maka kajian ini hanya akan dibatasi pada perihal pembuktian
perjanjian kartel yang digunakan dalam membuktikan terjadinya tindakan yang
dimaksud oleh pasal 11 Undang-Undang nomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yaitu mengenai kartel, yang
mana juga dibatasi pada studi kasus putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
nomor 01/KPPU-I/2010.
6
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah diuraikan di
atas, maka permasalahan yang menjadi kajian penulis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pembuktian perjanjian kartel menurut hukum persaingan
usaha Indonesia?
b. Bagaimana pertimbangan Majelis Komisi dalam memberikan putusannya?
c. Apakah metode pembuktian yang digunakan oleh Komisi Pengawas
Persaingan Usaha telah tepat dalam membuktikan telah terjadi tindakan
kartel dalam kasus kartel semen tahun 2010?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui pembuktian perjanjian kartel menurut hukum
persaingan usaha Indonesia.
b. Untuk mengetahui pertimbangan Majelis Komisi dalam memberikan
putusannya.
c. Untuk mengetahui metode pendekatan yang digunakan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha telah tepat dalam membuktikan telah terjadi tindakan
kartel dalam kasus kartel semen tahun 2010.
Selain tujuan yang ingin dicapai di atas, penulis juga berharap ada manfaat
yang dapat diambil dari penelitian ini. Adapun manfaat yang diharapkan dalam
penelitian ini, antara lain :
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan sebisa mungkin memperkaya dan
menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum sehingga
dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam pengembangan dalam Ilmu
Hukum pada umumnya dan Hukum Persaingan Usaha pada khususnya
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam menjelaskan kepada
masyarakat perihal perilaku kartel sebagai salah satu perilaku yang
dilarang karena dapat menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Setelah penulis melakukan peninjauan terhadap kajian terdahulu terdapat
beberapa kajian yang berhubungan dengan penelitian ini yaitu, Tesis berjudul Kajian
Pendekatan Hukum Kartel Menurut Hukum Persaingan Usaha, Penulis Felix
Marcel Tambunan, 2006, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.Penilitian tersebut
membahas tentang pendekatan hukum kartel menurut hukum persaingan usaha
dengan membandingkan antara hukum persaingan usaha Indonesia dengan hukum
persaingan usaha Amerika Serikat. Bahasan tersebut juga menyentuh permasalahan
8
permasalahan Kartel dengan membandingkan kepada Amerika Serikat yang
menggunakan pendekatan per se illegal dalam konstruksi norma mengenai kartel.
Setelah itu terdapat skripsi berjudul Pembuktian Praktik Kartel Menurut
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Dalam Kasus-Kasus Kartel Di Indonesia,
Ananta Aji Guna, 2010, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penilitian ini juga
membahas tentang kartel, penelitian ini lebih ditekankan kepada hukum
pembuktiannya sehingga muncul istilah direct evidence dan circumstansial evidence.
Perbedaan mendasar kedua studi tersebut dengan apa yang akan penulis bahas adalah
karena penulis melakukan analisis terhadap suatu kasus kartel dengan menggunakan
pendekatan pembuktian Kartel setelah dikeluarkannya Perkom nomor 4 tahun 2010
tentang Pedoman Pelaksanaan pasal 11 tentang Kartel berdasarkan Undang-undang
nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, yang mana kedua studi sebelumnya belum menyentuhnya.
E. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Beberapa teori yang akan digunakan dalam penilitian ini adalah sebagai
berikut:
Dalam perjanjian dalam hukum antimonopoli adalah ikatan.13Yang menjadi pertanyaan adalah kapan suatu ikatan berlaku secara hukum. Hal ini
dibagi dua, yaitu;Ikatan Hukum Suatu pihak terkait dengan hukum jika
perjanjian yang dilakukan mengakibatkan kewajiban hukum.Mengingat
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) maka perjanjian yang
menghambat persaingan usaha tidak mengikat menurut hukum karena dapat
dibatalkan.
Selain ikatan hukum, pasal 1 angka 7 UU No. 1999 juga mencakup
ikatan ekonomi. Ikatan ekonomi dihasilkan oleh suatu perjanjian jika ada
standar perilaku tertentu yang harus ditaati bukan karena persyaratan hukum,
tetapi dalam rangka mencegah kerugian ekonomi. Salah satu contoh adalah
menentukan harga dibawah harga pasar.
Dengan bahasa yang lebih sederhana, pelaku usaha harus “ikut arus”
dengan “permainan” yang telah disepakati jika tidak maka ia akan mengalami
kerugian atau “tergilas.” Yang biasa terjadi adalah saling memahami dengan
melihat pasar sehingga dalam perjanjian hukum persaingan usaha ada yang
disebut dengan “expressagreement” (perjanjian yang tegas dan nyata) dan
“tacit agreement” (perjanjian secara diam-diam). Contoh express agreement
adalah jika terdapat dan pengakuan telah terjadi kesepakatan antarpelaku
usaha, baik secara tertulis maupun tidak. Adapun tacit agreement jika perilaku
13
10
seorang atau sekelompok pelaku usaha membuat pelaku usaha lain “ikut”
dengan caranya, sehingga seolah-olah telah terjadi perjanjian.14
b. Teori Pembuktian
1) Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Positif
Pembuktian yang hanya melulu menggunakan alat bukti yang disebutkan
oleh undang-undang. Dikatakan secara positif karena didasarkan pada
undang-undang melulu. Artinya, jika suatu perbuatan telah terbukti lewat
alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang, maka keyakinan
hakim menjadi tidak diperlukan.
2) Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu
Teori ini berlawanan dengan teori pembuktian menurut undang-undang
secara positif. Ini didasari bahwa alat bukti berupa pengakuan
terdakwapun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan dari
terdakwa kadang-kadang tidak menjamin terdakwa telah benar-benar
melakukan tindakan yang telah didakwakan. Oleh karen itu diperlukan
keyakinan hakim sendiri. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan
tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang.
3) Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Dengan Alasan Logis
14
Mustafa Kamal Rokan,Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya Di Indonesia, h. 87-87.
Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut pembuktian yang berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu. Menurut teori ini, hakim dapat memutusakn seseorang bersalah berdasarkan
keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian
disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada
peraturan-peraturan pembuktian tertentu.
4) Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Negatif
Dalam sistem atau teori pembuktian undang-undang secara negatif ini,
pemidaan didasarkan kepada pembuktian berganda yaitu pada peraturan
perundang-undangan dan keyakinan hakim, dan menurut undang-undang,
dasar keyakinan itu bersumber pada peraturan udang-undang. Dalm
KUHAP pasal 183 disebutkan:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang,
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi
dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada
undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam KUHAP pasal
184, disertai dengan keyakinan hakim yang diperloeh dari keyakinan tersebut.
sehingga artinya KUHAP menganut sistem atau teori pembuktian secara negatif.15
15
12
2. Kerangka Konseptual
Dalam pembahasan ini, akan diuraikan beberapa konsep-konsep terkait
terhadap beberapa istilah yang akan sering digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
a. Perjanjian
Sebagaimana dalam pasal 1313 Burgerlijk wetboek atau Kitab
Undang-undang Hukum Perdata:
“Suatu Perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Dengan kata lain perjanjian atau kontrak merupakan peristiwa hukum
dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.16
b. Kartel
Dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dijelaskan
mengenai kartel yaitu;
“Pelaku Usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat.”
Dalam pasal di atas dapat dipahami bahwa kartel adalah suatu
tindakan perjanjian antar pelaku usaha yang bertujuan „mempengaruhi harga‟
16
dengan mengatur jumlah produksi dan/atau wilayah pemasaran suatu barang
dan/atau jasa sehingga „dapat berakibat‟ pada terjadinya praktek monopoli dan
persaingan usaha yang tidak sehat.
Menurut KPPU dalam Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2010
mengenai pedoman pelaksanaan pasal 11 tentang kartel, suatu kartel dapat
terjadi apabila suatu kelompok perusahaan dalam suatu industri tertentu yang
seharusnya bersaing satu sama lain, tetapi mereka setuju untuk melakukan
koordinasi kegiatannya dengan mengatur produksi, pembagian wilayah,
kolusi tender dan kegiatan-kegiatan anti persaingan usaha lainnya, sehingga
mereka dapat menaikan harga dan memeperoleh keuntungan di atas harga
yang kompetitif.17
Menurut Richard Postner sebagaimana yang dikutip oleh Mustafa
Kamal Rokan, kartel adalah
“a contract among competing seller to fix the price of product they sell (or, what is the small thing, to limit their output) is likely any other contract in the sense that the parties would not sign it unless they expected it to make them all better of”.18
Terdapat beberapa karakteristik dari kartel yaitu, terdapat konspirasi
antar pelaku usaha. Kedua, melakukan penetapan harga. Ketiga, agar
17
Lampiran, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan pasal 11 tentang Kartel berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
18
14
penetapan harga dapat efektif, maka dilakukan pula alokasi terhadap
konsumen, produksi atau wilayah pemasaran. Keempat, adanya perbedaan
kepentingan misalnya karena perbedaan biaya.19
F. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, untuk kemudian
mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam
gejala yang bersangkutan.20
Penulis dalam melakukanproses penelitian ini menggunakan metode
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang
meletakan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.21 Sistem norma yang
dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan
perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, serta doktrin (ajaran) hukum. Sementara
metode penulisan yang digunakan adalah deskriptif analitis yakni mengungkapkan
19
Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, h. 107.
20
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. Ke-3, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), h. 42.
21
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum sebagai
objek penelitian.22
2. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pendekatan
perundang-undangan (statue approach), karena isu hukum yang ada pada skripsi ini
tentang isu hukum dogmatis, sehingga pendekatan perundang-undangan pasti
digunakan dalam skripsi ini. Selain itu, pendekatan perundang-undangan juga
digunakan sebagai arahan untuk menghindari kekeliruan dalam pengambilan
konklusi. Selain pendekatan perundang-undangan, penulis juga menggunakan
pendekatan konsep (conceptual approach), yang digunakan untuk memahami
konsep-konsep penting yang akan dibahas dalam penelitian ini.
3. Sumber Data
Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder yang artinya
data yang sebelumnya telah diolah oleh orang lain. Data sekunder antara lain
dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berbentuk laporan,
buku harian, dan lain-lain.23 Data sekunder ini meliputi bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier :
a. Bahan Hukum Primer
22
Zainuddin Ali, Metode Penelilitian Hukum, Cet.Ke-4, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 175.
23
16
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan.Selain
peraturan perundang-undangan, yang termasuk dalam bahan hukum
primer yaitu catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.24 Peraturan
perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
Perkom Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kartel dan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan Persaingan Usaha.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat kaitannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa,
memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer. Yang termasuk
dalam bahan hukum sekunder yaitu semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi25, misalnya dapat
berupa hasil karya dari kalangan hukum, penelusuran internet,
majalah, surat kabar, dan sebagainya.
c. Bahan Non-Hukum
24
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan keenam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 141.
25
Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder yang dipandang perlu.Bahan non hukum
dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi,
Filsafat, Kebudayaan atau laporan-laporan penelitian non-hukum
sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian.26
Bahan-bahan non-hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan
memperluas wawasan peneliti.
4. Pengolahan dan Analisis Data
Data-data yang telah ada disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara
perspektif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Cara pengolahan
sumber data dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu
permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang
dihadapi,27sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai
sumber yang berhubungan dengan topik dalam skripsi ini, sehingga diperoleh
kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.
Selanjutnya sumber data yang telah diolah lalu dianalisis dan dikaji untuk
mengetahui bagaimana pendekatan Pembuktian yang digunakan dalam membuktikan
Perjanjian kartel.
26
Ibid. h. 143.
27
18
G. Teknik Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” dengan sistematika yang
terbagi dalam lima bab.
H. Sistematika Penulisan
Sesuai dengan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-bab
sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut:
BAB I Pada bab ini merupakan Pendahuluan, yang berisi Latar
Belakang, Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah, Tujuan
dan Manfaat Penelitian, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu,
Kerangka Konseptual, Metode Penelitian, dan Sistematika
Penulisan.
BAB II Pada bab ini merupakan tinjauan umum pembuktian, konsep
kartel, Perjanjian kartel.
BAB III Pada bab ini membahas mengenai tentang posisi kasus kartel
semen tahun 2010.
BAB IV Pada bab ini merupakan analisis terhadap Penerapan
pembuktian perjanjian sesuai pasal 11 Undang-Undang Nomor
BAB V Bab ini merupakan bab terakhir atau Penutup, yang berisi
kesimpulan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas
20 BAB II
STUDI TEORITIS PEMBUKTIAN PERJANJIAN KARTEL
A. Aspek Pembuktian
1. Definisi Pembuktian
Kata pembuktian berasal dari kata “bukti” yang apabila diterjemahkan
kedalam bahasa inggris terdapat dua kata yaitu evidence dan proof. Evidence
memiliki makna informasi yang memberikan dasar-dasar yang mendukung suatu
keyakinan bahwa beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu adalah benar.
Sedangkan kata proof mengacu pada hasil suatu proses evaluasi dan menarik
kesimpulan terhadap evidence atau dapat juga digunakan lebih luas mengacu pada
proses itu sendiri.1
Karenanya evidence lebih dekat maknanya kepada alat bukti sedangkan proof
dapat diartikan pembuktian yang mengarah pada suatu proses.2 Oleh sebab itu, bukti
merujuk pada suatu alat-alat bukti yang mana termasuk barang bukti yang
menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Sementara pembuktian merujuk pada suatu
proses mengenai pengumpulan bukti, memperlihatkan bukti sampai dengan
penyampaian bukti tersebut kepada pengadilan.3
1
Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta;Penerbit Erlangga, 2012), h. 2.
2
Ibid, h. 2-3
3
2. Teori Pembuktian
Walaupun Komisi Pengawas Persaingan Usaha bukanlah merupakan lembaga
peradilan, tetapi dalam Undang-undang diberi kewenangan untuk memutus perkara
(quasi Yudisial) dalam kasus Persaingan Usaha, karenanya dalam membahas tentang
pembuktian suatu perkara perlu juga kiranya dipahami tentang teori-teori pembuktian
dalam menilai alat-alat bukti yang ada, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
a. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Positif
Pembuktian yang hanya melulu menggunakan alat bukti yang
disebutkan oleh undang-undang. Dikatakan secara positif karena didasarkan
pada undang-undang melulu. Artinya, jika suatu perbuatan telah terbukti lewat
alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang, maka keyakinan hakim
menjadi tidak diperlukan.
b. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu
Teori ini berlawanan dengan teori pembuktian menurut
undang-undang secara positif. Ini didasari bahwa alat bukti berupa pengakuan
terdakwapun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan dari terdakwa
kadang-kadang tidak menjamin terdakwa telah benar-benar melakukan
tindakan yang telah didakwakan. Oleh karena itu diperlukan keyakinan hakim
sendiri. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan
22
c. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Dengan Alasan
Logis
Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut
pembuktian yang berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu.
Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan
keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian
disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada
peraturan-peraturan pembuktian tertentu.
d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Negatif
Dalam sistem atau teori pembuktian undang-undang secara negatif ini,
pemidaan didasarkan kepada pembuktian berganda yaitu pada peraturan
perundang-undangan dan keyakinan hakim, dan menurut undang-undang,
dasar keyakinan itu bersumber pada peraturan udang-undang. Dalam KUHAP
pasal 183 disebutkan:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah
yang bersalah melakukannya.”
Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada
184, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari keyakinan tersebut.
sehingga artinya KUHAP menganut sistem atau teori pembuktian secara negatif.4
Dan dalam hal pembuktian terdapat beberapa teori yang dipakai seperti yang
telah dijelaskan di atas. Jika diamati secara seksama karakter yang ada dalam proses
pembuktian di KPPU masuk pada kategori yang terakhir yaitu teori pembuktian
berdasarkan undang-undang yang negatif hal tersebut diperjelas dengan ketentuan
dalam Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999 tentang alat bukti.5
3. Alat Bukti
Alat Bukti (bewijsmiddel) yang digunakan oleh Komisi Pengawas Persaingan
Usaha pada dasarnya hampir sama dengan yang ada dalam KUHAP.6 Alat-alat bukti
yang digunakan dalam persaingan usaha sebagaimana dijelaskan oleh pasal 42
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, yaitu;
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta;Sinar Grafika, 2008), h. 251-256.
5
Sukarmi, Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha, Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 6, 2011, h. 131.
6
24
Alat-alat bukti yang digunakan dalam pemeriksaan perkara persaingan ini
dapat dijabarkan sebagai berikut;
a. Keterangan saksi
Saksi adalah setiap orang atau pihak yang mengetahui terjadinya
pelanggaran terhadap Undang-undangnomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha TidakSehat dan memberikan
keterangan guna kepentingan pemeriksaan.7
b. Keterangan/pendapat ahli
Ahli adalah orang yang memiliki keahlian di bidang terkait dengan
dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan
memberikan keterangan pendapat guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan
ahli adalah keterangan yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan
tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuan.8
Keterangan ahli diperlukan dalam pemeriksaaan perkara yang rumit. Saksi
ahli dapat dihadirkan atas inisiatif pelaku usaha maupun KPPU.9
c. Surat dan/atau dokumen
Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam pemeriksaan suatu perkara
menggunakan juga surat/dokumen yang dianggap relevan terhadap
7
Ibid, h. 161.
8
Ibid, h. 161.
9
perkaranya, mulai dari surat yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga
pemerintahan RI, kemudian bukti tertulis lainnya seperti berita acara
kesepakatan, memorandum of understanding, dan perjanjian tertulis lain yang
berhubungan dengan penetapan harga.10 Suatu petunjuk yang didapat dalam
bentuk tertulis, kekuatan pembuktiannya dikategorikan sama dengan kekuatan
pembuktian surat atau dokumen.11
d. Petunjuk
Menurut pasal 188 ayat 1 KUHAP, alat bukti petunjuk adalah:
“Perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak dan siapa pelakunya.”
Dalam perkara monopoli dan persaingan usaha, alat bukti petunjuk
merupakan indirect evidence yang dapat diterima, akan tetapi penggunaan
bukti petunjuk tidak dapat disamaratakan, harus dilihat kasus per kasus.12
e. Keterangan Pelaku Usaha
Keterangan pelaku usaha ini termasuk keterangan pelapor dan terlapor.
Pelapor adalah setiap orang yang menyampaikan laporan kepada KPPU
mengenai terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
10
Devi Meyliana, Hukum Persaingan Usaha; Studi Konsep Pembuktian Terhadap Perjanjian Penetapan Harga Dalam Persaingan Usaha, (Malang; Setara Press, 2013), h. 92.
11
Sukarmi, Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha, h. 132.
12
26
Persaingan Usaha Tidak Sehat, baik yang melakukan tuntutan ganti rugi
maupun tidak. Terlapor adalah pelaku usaha dan/atau pihak lain yang diduga
melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Keterangan terlapor tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alas an
yang kuat dan dapat diterima Majelis Komisi.13
Alat-alat bukti ini kemudian lebih diperinci lagi oleh KPPU dalam Perkom
Nomor 4 tahun 2010 tentang pedoman pasal 11. Beberapa alat bukti untuk
penanganan perkara kartel antara lain:
1. Dokumen atau rekaman kesepakatan harga, kuota produksi atau
pembagian wilayah pemasaran.
2. Dokumen atau rekaman daftar harga (price list) yang dikeluarkan oleh
pelaku usaha secara individu selama beberapa periode terakhir (bisa
tahunan atau per semester).
3. Data perkembangan harga, jumlah produksi dan jumlah penjualan di
beberapa wilayah pemasaran selama beberapa periode terakhir
(bulanan atau tahunan).
4. Data kapasitas produksi.
5. Data laba operasional atau laba usaha dan keuntungan perusahaan
yang saling berkoordinasi.
13
6. Hasil analisis pengolahan data yang menunjukkan keuntungan yang
berlebih/excessive profit.
7. Hasil analisis data concious parallelism terhadap koordinasi harga,
kuota produksi atau pembagian wilayah pemasaran.
8. Data laporan keuangan perusahaan untuk masing-masing anggota
yang diduga terlibat selama beberapa periode terakhir.
9. Data pemegang saham setiap perusahaan yang diduga terlibat beserta
perubahannya.
10.Kesaksian dari berbagai pihak atas telah terjadinya komunikasi,
koordinasi dan/atau pertukaran informasi antar para peserta kartel.
11.Kesaksian dari pelanggan atau pihak terkait lainnya atas terjadinya
perubahan harga yang saling menyelaraskan diantara para penjual
yang diduga terlibat kartel.
12.Kesaksian dari karyawan atau mantan karyawan perusahaan yang
diduga terlibat mengenai terjadinya kebijakan perusahaan yang
diselaraskan dengan kesepakatan dalam kartel.
13.Dokumen, rekaman dan/atau kesaksian yang memperkuat adanya
faktor pendorong kartel sesuai indikator yang telah dijelaskan pada
perkom.14
4. Bukti Langsung dan Tidak Langsung
14
28
Dalam hukum persaingan usaha khusunya mengenai kartel biasanya
digunakan dua Metode pembuktian, yaitu pembuktian lewat direct evidence atau
bukti tidak langsung dan pembuktian lewat circumstancial evidence atau bukti
situasional atau lebih dikenal indirect evidence atau bukti tidak langsung.15
Pembuktian langsung adalah pembuktian yang diarahkan pada eksistensi
penjanjian dengan membuktikan semua dokumen, notulen atau tempat pertemuan
dari suatu tindakan kartel. Sedangkan pembuktian berdasarkan keadaan atau
pembuktian tidak langsung adalah pembuktian berdasarkan kesimpulan yang diambil
dari berbagai tindakan atau kondisi sistematis yang dilakukan oleh para kompetitor
komoditas barang atau jasa tertentu yang menunjukkan keyakinan kuat bahwa telah
terjadi koordinasi di antara mereka.16
Terdapat dua macam tipe pembuktian tidak langsung, meliputi bukti
komunikasi dan bukti ekonomi. Dari kedua bukti tersebut, bukti komunikasi atau
fasilitasi lebih penting dibandingkan bukti ekonomi. Bukti komunikasi adalah bukti
dimana pelaku kartel bertemu melakukan komunikasi akan tetapi tidak menjelaskan
substansi komunikasi tersebut.17
Di negara lain, misal Australia, untuk membuktikan eksistensi kesepakatan
(meeting of the minds) yang diharuskan dalam pembuktian adanya perjanjian yang
melanggar hukum persaingan, bukti situasional (circumstancial evidence) bisa
15
A. Junaidi, “Pembuktian Kartel Dalam UU No. 5/1999” Kompetisi, 11 ( 2008), h. 9.
16
Ibid, h. 9.
17
dipakai seperti: petunjuk perbuatan yang paralel, petunjuk tindakan bersama-sama,
petunjuk adanya kolusi, petunjuk adanya struktur harga yang serupa (dalam kasus
price fixing) dan lain sebagainya.18
Namun bukti ini tidak bisa diterapkan sama rata, sebagai contoh kadangkala
peningkatan harga secara paralel merupakan petunjuk adanya pasar yang bersaing
secara ketat (highly competitive).19 Karenanya, di Indonesia sendiri masih terdapat
pro kontra dalam menggunakan bukti tidak langsung. Mengingat dalam sistem
hukum beracara baik dalam HIR-RBG atau dalam UU No. 5 Tahun 1999 tidak
dikenal dalam alat bukti yang secara eksplisit berbunyi bukti tidak langsung ataupun
bukti ekonomi.20
Penegakan hukum persaingan selalu berusaha mendapatkan bukti langsung
berupa perjanjian dalam kasus kartel, dimana dalam kenyataannya sangat sulit
didapatkan sebagaimana yang sudah diuraikan di bagian terdahulu. Sehingga bukti
tidak langsung menjadi sangat penting keberadaannya dalam proses pembuktian
kartel.21
B. Konsep Kartel Dan Pelarangannya
1. Definisi Kartel
18
Ibid, h. 132.
19
Anna Maria Tri Anggraini, Penggunaan Analisis Ekonomi dalam Mendeteksi Kartel Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha, (Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 4, 2010), h. 43.
20
Sukarmi, Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha, h. 142.
21
30
Kartel kadangkala diartikan secara sempit, namun disisi lain juga diartikan
secara luas. Dalam arti sempit, kartel adalah sekelompok perusahaan yang
seharusnya saling bersaing, tetapi mereka justru menyetujui satu sama lain untuk
”menetapkan harga” guna meraih keuntungan monopolistis. Sedangkan dalam
pengertian luas, kartel meliputi perjanjian antara para pesaing untuk membagi pasar,
mengalokasikan pelanggan, dan menetapkan harga.22
Dalam Black’s Law Dictionary, Kartel adalah:
“an association of two or more legally independent entities that explicitly agree to coordinate their prices or output for the purpose of increasing their collective profits”23
Yang diterjemahkan “suatu perkumpulan dari dua atau lebih subjek hukum
yang secara jelas setuju untuk mengatur harga atau jumlah produksinya dengan
maksud untuk meningkatkan keuntungan mereka bersama”
Menurut Sukarmi kartel merupakan “kerjasama sejumlah perusahaan yang
bersaing untuk mengkoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah
produksi dan harga suatu barang dan atau jasa untuk memperoleh keuntungan diatas
tingkat keuntungan yang wajar.”24
Menurut Didik J. Rachbini, Jika para yang bersaing ternyata melakukan
koordinasi bersama untuk mengontrol pasar, maka usaha ini disebut sebagai praktek
22 Anna maria Tri Anggraini, ”
Penggunaan Analisis Ekonomi Dalam Mendeteksi Kartel Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha”,Jurnal Persaingan Usaha Komisi Pengawas Persaingan
Usaha edisi 4 (Desember 2010), h. 31.
23
Ganner B.A, Black’s Law Dictionar, (St Paul Minn: West Group, 1999), h. 206.
24Sukarmi, “
kartel, yang sangat merugikan masyarakat. Koordinasi ini biasa diwujudkan dalam
berbagai cara, yaitu perjanjian pengendalian harga, jumlah yang diproduksi, dan
wilayah pemasaran. Praktek ini merupakan usaha pelaku-pelaku ekonomi untuk
mengendalikan pasar secara horizontal (horizontal restraint).25
Richard Postner sebagaimana yang dikutip Mustafa Kamal Rokan, kartel
adalah:
“a contract among competing seller to fix the price of product they sell (or, what is the small thing, to limit their output) is likely any other contract in the sense
that the parties would not sign it unless they expected it to make them all better of.”26
Artinya: (Sebuah perjanjian diantara pelaku usaha untuk mengatur harga dari produk yang mereka jual (atau setidaknya membatasi pengeluaran produknya) selayaknya sebuah perjanjian yang lain dimana para pihak tidak akan setuju kecuali hal tersebut akan menguntungkannya; pen)
Menurut KPPU suatu kartel terjadi apabila suatu kelompok perusahaan dalam
suatu industri tertentu yang seharusnya bersaing satu sama lain, tetapi mereka setuju
untuk melakukan koordinasi kegiatannya dengan mengatur produksi, pembagian
wilayah, kolusi tender dan kegiatan-kegiatan anti persaingan usaha lainnya, sehingga
mereka dapat menaikan harga dan memperoleh keuntungan diatas harga yang
kompetitif.27
25
Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik; Kebijakan dan Strategi Pembanguna, (Jakarta: Granit, 2004), h. 124.
26
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya Di Indonesia,
(Jakarta: RajawaliPers, 2012), h. 117.
27
32
Kartel merupakan salah satu strategi yang digunakan para pelaku usaha untuk
mempengaruhi harga suatu komoditas tertentu dengan cara mengatur jumlah
produksinya. Asumsinya, jika mereka mengurangi jumlah produksinya sedangkan
permintaan pasar tetap maka akan berakibat pada naiknya harga ketingkat yang lebih
tinggi, tetapi sebaliknya, apabila jumlah produknya berlimpah dipasar maka harga
akan turun.28
Agar harga pasaran produksinya tidak terlalu jatuh dan tetap dapat bisa
memberikan keuntungan sebanyak-banyaknya, para pelaku usaha biasanya membuat
suatu perjanjian diantaranya untuk mengatur mengenai jumlah produksi yang ada di
pasar sehingga harga dapat dijaga untuk tidak terlalu murah.29 Biasanya perjanjian
kartel tesebut dipraktikan dalam asosiasi dagang, yang mana dalam asosiasi dagang
tersebut para pelaku usaha anggotanya akan mudah untuk menyusun standarisasi dan
juga sekaligus melakukan pengaturan harga yang dapat menghambat persaingan
usaha sehat.30
Kartel memiliki beberapa karakteristik yaitu, pertama, terdapat konspirasi
antar pelaku usaha. Kedua, melakukan penetapan harga. Ketiga, agar penetapan harga
dapat efektif, maka dilakukan pula alokasi terhadap konsumen, produksi atau wilayah
28
Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha: AntaraTeksdanKonteks, (Jakarta: GTZ, 2009), h. 106.
29
Ibid, h.107.
30
pemasaran. Keempat, adanya perbedaan kepentingan misalnya karena perbedaan
biaya.31
Karena kartel biasanya berujung pada penetapan harga, struktur pasar dapat
juga mempengaruhi terjadinya penetapan harga harga tersebut. Herbert Hoverkamp
menjelaskan mengenai karakteristik pasar dan faktor-faktor yang mendukung
terjadinya price fixing, yaitu:
a. Market concentration
Tingkat konsentrasi pasar dimana hanya terdapat sejumlah kecil
perusahaan sejenis dan kesamaan kondisi dari masing-masing pelaku
usaha, akan memperbesar kemungkinan terjadinya price fixing
b. Barrier to entry
Hambatan masuk yang besar menyebabkan sulitnya pesaing untuk
masuk sehingga barang subtitusi tidak tersedia di pasar. Dalam kondisi
ini, pemain lama dalam di pasar bersangkutan (incumbent)
berkemungkinan besar melakukan kolusi dengan perusahaan lain
untuk menetapkan harga
c. Sales method
Metode penjualan melalui proses pelelangan, memperbesar
kemungkinan untuk timbulnya price fixing dikalangan pelaku usaha
d. Product Homogenity
31
34
Homogenitas produk atau kesamaan produk yang tersedia dipasar akan
memudahkan pelaku usaha untuk melakukan price fixing.
e. Facilitation device
Sarana yang dapat memfasilitasi terjadinya price fixing seperti
standarisasi produk, integrasi vertical, pengaturan harga penjualan oleh
para pengecer dan pengumuman harga (secara eksplisit atau implisit)
serta pengiriman harga pola dasar. Selain itu, sarana dalam asosiasi
dagang yang menaungi kepentingan pelaku usaha juga dapat dijadikan
fasilitas bagi pelaku usaha untuk melakukan perjanjian penetapan
harga.32
Kesuksesan dari kartel tergantung pada jenis industri, caranya beroperasi
dimana faktor utama penentunya tergantung pada kerjasama diantara pesaing itu
sendiri. Semakin banyak jumlah pelaku usaha pesaing yang ikut dalam kerjasama
kartel itu, maka control atau pengawasan yang dilakukan akan semakin sulit.33
2. Akibat Kartel
Kartel dapat memberikan kerugian bagi perekonomian suatu negara sebagai
contoh misalnya dapat mengakibatkan terjadinya inefisinsi alokasi, inefisiensi
produksi, menghambat inovasi dan penemuan teknologi baru, menghambat masuknya
32
A.M. Tri Anggraini, Perspektif Perjanjian Penetapan Harga Menurut Hukum Persaingan Usaha Dalam Masalah-Masalah Hukum Kontemporer, Dalam Masalah-Masalah Hukum Ekonomi Kontemporer,editor Ridwan Khairandy, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), h, 262-264.
33
investor baru, serta menyebabkan kondisi perekonomian negara tidak kondusif dan
kurang kompetitif dibandingkan negara-negara lain yang menerapkan sistem
persaingan usaha yang sehat.34
Kerugian atas kartel juga dapat dirasakan konsumen, karena konsumen harus
membayar harga atas barang dan atau jasa lebih mahal dari pada harga pasar.
Disamping itu juga terbatasnya barang dan atau jasa yang diproduksi, baik dari sisi
jumlah maupun mutunya, dan yang terakhir adalah terbatasnya pilihan Pelaku
Usaha.35
Akibat lain yang ditimbulkan kartel adalah terciptanya praktek monopoli oleh
pelaku kartel sehingga secara perekonomian makro mengakibatkan inefisiensi
pengalokasian sumber daya yang dicerminkan dengan timbulnya deadweight loss.
Dari sisi konsumen, konsumen akan kehilangan hak atas pilihan harga, kualitas
barang yang bersaing dan layanan purna jual yang baik.36
3. Pelarangan Kartel
Usaha melarang tindakan dari kartel ini mulai dikenal lewat Section 1
Sherman Act yang berbunyi;
Every contract, combination in the form of trust or otherwise, or conspiracy in restrain of trade or commerce among the several states, or with foreign nations, is hereby declared to be illegal. Every person who shall make any contract or engage in any combination or conspiracy hereby declared to be illegal shall be deemed guilty of a felony.
36
(setiap perjanjian, persekutuan dalam bentuk trust atau yang lainnya, atau
konspirasi dalam penguasaan perdagangan diantara beberapa pihak, dengan
negara-negara lain, dengan ini dinyatakan illegal. Setiap orang yang melakukan perjanjian
atau kombinasi atau konspirasi yang telah dinyatakan illegal dianggap bersalah atas
kejahatan serius; Pen)
Di Amerika Serikat kartel, sebagaimana price fixing, dianggap sebagai naked
restraint (penguasaan pasar secara nyata/terang-terangan;pen) yang bertujuan tunggal
untuk mempengaruhi tingkat harga dan output. Oleh karena itu wajar Sherman Act
memperlakukan kartel sebagai Per Se illegal, demikian juga dengan Australia dan
Uni Eropa. Alasannya menurut mereka, kartel tidak menghasilkan efisiensi sama
sekali atau efesiensi yang didapat tidak sebanding dengan dampak negatifnya.37
Sedang Indonesia sejak tahun 1999 menerapkan melakukan pelarangan
terhadap kartel sebagaimana dalampasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dijelaskan
mengenai kartel yaitu;
“Pelaku Usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha
pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat.38
37
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 56.
38
Dalam pasal diatas dapat dipahami bahwa pelarangan kartel di Indonesia
sedikit berbeda dengan yang dilakukan dengan sebagaimana yang dianut oleh
sebagian negara-negara Barat, Indonesia merumuskan pelarangan kartel dengan
rumusan rule of reason yang mana dalam membuktikan kartel yang dilarang, harus
diperiksa alasan-alasan para pelaku usaha apakah kartel yang dilakukan mereka dapat
diterima (reasonable restraint) atau tidak.39
Dalam Islam pada prinsipnya apabila kita melakukan mu’amalah selain objek
mu’amalah yaitu barang dan/atau jasa yang harus diperhatikan kehalalannya, aspek
mengenai metode ber-mu’amalah juga merupakan hal penting yang harus
diperhatikan. Ini didasari oleh ayat- ayat Al Qur‟an sebagai berikut;
ۡعت ۡ ت أ ۡث ۡۡٱب سا ٱ ٰ ۡ أ ۡ اقي ف ا كۡأت ا حۡٱ ى إ ٓا ب ا ۡدت طٰ ۡٱب ۡيب ٰ ۡ أ ا ٓ كۡأت َ
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui40”
Selain ayat di atas Allah SWT juga berfirman;
اك َٱ إ ۚۡ سف أ ا ٓ تۡقت َ ۚۡ ضا ت ع ً ٰجت ت أ َٓإ طٰ ۡٱب ۡيب ٰ ۡ أ ا ٓ كۡأت َ ا اء ي ٱا يأٰٓي ا يح ۡ ب
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
39
Pedoman pasal 11, h. 24
40
38
sama-suka di antara kamu. Danjanganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu41”
Makna dari lafazh طٰ ۡٱبmengisyaratkan kepada kita bahwa penguasaan atau
perpindahan kekayaan tidak boleh dilakukan “…Secara zalim melalui dominasi,
pencurian, kecurangan, riba, penimbunan, judi, suap, tindak perugian, penipuan,
pencurangan, segala cara lain yang mengandung kezaliman atau penipuan, jual beli
sesuatu yang tidak diperbolehkan, atau sewa-menyewa sesuatu yang tidak
diperbolehkan.”42
Kartel juga dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang terlarang atau haram
dilakukan, ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah SAW yang berbunyi;
تحيَ اق س هي ع ه ي ص ه س ع ه ع ه يض ه د ع ب ع ع ئطاخَا
43
“Dari Ma’mar bin Abdillah dari Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda:”Tidaklah seorang menimbun (Ihtikar) kecuali dia berdosa”.
Ihtikar seringkali diterjemahkan sebagai monopoli dan/atau penimbunan,
padahal sesungguhnya ihtikar tidak identik dengan itu. Dalam Islam seseorang boleh
saja menjadi penjual satu-satunya dipasar demikian pula memiliki stock barang untuk
keperluan persediaan. Yang dilarang adalah ihtikar, yaitu mengambil keuntungan
diatas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikti barang untuk harga yang
41
Q.S. An Nisa, 29.
42
Yusuf Al Qardhawi, Yusuf Al-Qardhawi, 7 Kaidah Utama Fikih Muamalat, Penerjemah Ferdian Hasmand, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2014).h. 85
43
lebih tinggi.44 Di zaman Rasullulah SAW, salah satu cara melakukan ihtikar adalah
dengan cara menimbun agar harga naik akibat kelangkaan tersebut.45
Pendapat ini diperkuat lewat hadits Rasulullah SAW yang berbunyi;
ئطاخ ف ي س ا ى ع ا ب ي اغي أ دي ي ح تحا
46
Barangsiapa menimbun suatu timbunan supaya menjualnya dengan harga yang tinggi kepada kaum muslimin, maka dia telah berbuat dosa
Perilaku ihtikar yang dilakukan secara berkelompok itulah yang memiliki
kesamaan dengan perilaku kartel, yang mana keduanya memiliki kesamaan tujuan
yaitu “bermaksud mempengaruhi harga” di pasar agar lebih tinggi dari harga
semestinya. Oleh karena itu, pada dasarnya Islam juga mengharamkan praktek kartel.
C. Perjanjian Kartel
Kartel pada dasarnya merupakan perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku
usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan antara keduanya.47 Oleh karena
itu dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, tindakan kartel dikategorikan sebagai
suatu perjanjian yang dilarang. Maka dari itu, pemahaman tentang konsep perjanjian
sangatlah penting
Musnad Ahmad Hadits Nomor 8617.
47
40
Sebagaimana dalam pasal 1313 Burgerlijkwetboek atau Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata “Suatu Perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”Dengan kata lain
perjanjian atau kontrak merupakan peristiwa hukum dimana seorang berjanji kepada
orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu.48
Suatu perjanjian atau kontrak terlahir pada saat terjalinnya kesepakatan. Oleh
karena itu, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak maka lahirlah suatu
perjanjian, walaupun perjanjian tersebut belum dilaksanakan.49 Oleh sebab itu
consensus atau kesepakatan menjadi dasar yang sangat penting bagi suatu perjanjian.
Dalam hukum persaingan usaha di Indonesia, sebagaimana Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, dalam pasal 1 angka 7 dikatakan bahwa;
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dari satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun baik tertulis maupun tidak tertulis.”
Walaupun secara sepintas definisi perjanjian dalam pasal 1313 BW dengan
definisi perjanjian menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, terlihat sama namun
sesungguhnya terdapat perbedaan mendasar diantara keduanya.
48
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), h. 2.
49
Menurut Kamal Rokan, perjanjian dalam teori persaingan usaha adalah upaya
atau lebih pelaku usaha dalam konteks strategi pasar. Oleh karenanya, esensi dari
perjanjian dalam persaingan usaha yaitu kesepakatan antara para pelaku usaha, yang
seharusnya bersaing, tentang tingkah laku pasar mereka baik keseluruhannya maupun
sebagian dari keseluruhan tingkah laku pasar.50 Sehingga persaingan diantara pelaku
usaha, pada akhirnya, menghilang.
Kartel merupakan akibat dari struktur pasar yang oligopolis.51Oleh karena itu,
“Perjanjian” pada pasar oligopoli lebih mengarah pada perjanjian yang bersifat
horizontal. Pada struktur pasar ini pun biasanya tidak terjadi perjanjian yang bersifat
tertulis atau lisan antar pelaku usaha, namun biasanya di tentukan oleh “saling
keterkaitan reaksi tanpa perjanjian” dan perilaku yang saling disesuaikan.52
Perjanjian dalam persaingan usaha terkadang hanya didasarkan pada “feeling”
ekonomi untuk menyamakan harga dan mengikuti pola pesaing lainnya. Sehingga tak
jarang perjanjian dapat terjalin tanpa memerhatikan apakah pihak yang menjalin
perjanjian melakukannya dengan suka rela atau tidak. Inilah yang membedakan
perjanjian dalam pengertian KUHperdata dengan perjanjian dalam hukum anti
42
Karenanya, dalam Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha nomor 4
tahun 2010 tentang pedoman pasal 11 Undang-undang nomor 5 tahun 1999, salah
satu syarat terjadinya kartel adalah terjadinya perjanjian atau kolusi antara pelaku
usaha, yang mana terdapat dua bentuk kolusi dalam kartel yaitu kolusi eksplisit dan
kolusi diam-diam.54
Kolusi eksplisit, dimana para anggota mengkomunikasikan kesepakatan
mereka secara langsung yang dapat dibuktikan dengan adanya dokumen perjanjian,
data mengenai audit bersama, kepengurusan kartel, kebijakan-kebijakan tertulis, data
penjualan dan data-data lainnya. 55
Sedangkan kolusi diam-diam, dimana pelaku usaha anggota kartel tidak
berkomunikasi secara langsung, pertemuan-pertemuan juga diadakan secara rahasia.
Biasanya yang dipakai sebagai media adalah asosiasi industri, sehingga
pertemuan-pertemuan anggota kartel dikamuflasekan dengan pertemuan-pertemuan-pertemuan-pertemuan yang legal
seperti pertemuan asosiasi. Bentuk kolusi yang kedua ini sangat sulit untuk dideteksi
oleh penegak hukum. Namun pengalaman dari berbagai negara membuktikan bahwa
setidaknya 30% kartel adalah melibatkan asosiasi.56
54
KPPU Perkom Nomor 4 Tahun 2010, h. 4.
55
KPPU Perkom Nomor 4 Tahun 2010, h.8.
56