• Tidak ada hasil yang ditemukan

pembuktian perjanjian kartel semen menurut hukum persaingan usaha indonesia (studi kasus putusan komisi pengawas persaingan usaha Nomor 01/KPPU-I/2010)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "pembuktian perjanjian kartel semen menurut hukum persaingan usaha indonesia (studi kasus putusan komisi pengawas persaingan usaha Nomor 01/KPPU-I/2010)"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

i

PEMBUKTIAN PERJANJIAN KARTEL SEMEN MENURUT HUKUM PERSAINGAN USAHA INDONESIA

(Studi Kasus Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 01/KPPU-I/2010)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh: ALI ALATAS 109048000012

KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)
(3)
(4)
(5)

v

ABSTRAK

ALI ALATAS. NIM 109048000012.

PEMBUKTIAN PERJANJIAN KARTEL SEMEN MENURUT HUKUM

PERSAINGAN USAHA INDONESIA (Studi Kasus Putusan Komisi Pengawas

Persaingan Usaha Nomor 01/KPPU-I/2010).

Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan

Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. xiii +

69 halaman + 3 halaman daftar pustaka + halaman lampiran.

Penelitian ini melihat penggunaan teori pembuktian undang-undang negatif yang dianut di Indonesia khususnya rezim hukum persaingan usaha Indonesia sebagaimana dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan juga dijabarkan Perkom no 4 tahun 2010 tentang penjelasan pasal 11 tentang kartel yang mana dijalankan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam membuktikan perjanjian kartel, terutama dalam kasus kartel semen tahun 2010.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif dengan analisis data kualitatif. Penelitian normatif dengan menggunakan

pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan Konseptual

(Conceptual Aprroach). Selanjutnya sumber data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain bahan hukum primer yaitu Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 01/KPPU-I/2010, serta peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

Hasil penelitian ini, keputusan yang diambil oleh majelis komisi yang memutuskan para terlapor, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan kartel. merupakan keputusan yang tepat dilakukan, sebab dengan tidak ditemukan dua alat bukti yang sah dan meyakinkan telah terjadi tindakan kartel, berdasarkan teori pembuktian undang-undang secara negatif yang dianut Indonesia, tidak bisa menetapkan seseorang bersalah..

Kata Kunci : Kartel, KPPU, Bukti Tidak Langsung, Perjanjian, Pasar Oligopoli.

Pembimbing : Prof. Dr. Zainuddin Ali, MA

(6)

vi

Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat serta anugrah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“PEMBUKTIAN PERJANJIAN KARTEL SEMEN MENURUT HUKUM

PERSAINGAN USAHA INDONESIA (Studi Kasus Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 01/KPPU-I/2010)” Sholawat serta salam penulis sampaikan kepada Nabi Besar Muhamad SAW, yang membawa rahmat Allah SWT

dan mengenalkan kita kepada jalan kebenaran, jalan yang diridhai oleh Allah SWT.

Selanjutnya, dalam kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih

yang tak terhingga kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Jakarta.

2. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH selaku ketua program studi Ilmu Hukum

serta Drs. Abu Thamrin, SH, MH. selaku sekretaris program studi Ilmu

Hukum atas segala petunjuk dalam penyusunan skripsi ini.

3. Prof. H. Zainuddin Ali, MA yang telah bersedia menjadi pembimbing

penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran dan ketelitian memberikan

masukan hingga skripsi ini selesai.

4. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. dan H M. Yasir, SH, MH yang telah

bersedia menjadi penguji dalam ujian skripsi ini serta memberikan banyak

masukan terhadap penulisan skripsi ini, sehingga penulis mengetahui

(7)

vii

5. Segenap Dosen serta staf karyawan fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Alfitra, SH. MH. selaku dosen pembimbing akademik, yang telah

membimbing dan mengarahkan, baik dalam perkuliahan maupun hal

akademik lainnya.

7. Segenap staf Perpustakaan Fakultas syariah dan hukum, staf Perpustakaan

Utama UIN syarif Hidayatullah Jakarta serta staf yang telah memberikan

fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

8. Sebesar-besarnya tidak pernah terlupa penulis ucapakan kepada Ayahanda

Saifuddin Abubakar dan Ibunda Siti Nurhasanah, yang selalu berusaha dan

berdoa memberikan yang terbaik untuk penulis., semoga Allah SWT

senantiasa memberikan kekuatan Iman, Islam dan mengasihi keduanya.

9. Jid Habib Abdullah Alatas dan Almarhumah Jidah Hababah Khadijah Alkaff

serta Almarhum Baba Sain Nahili dan Jidah Nene yang selalu memberikan

doa dan kasih sayang untuk kesuksesan dan menginspirasi penulis. Semoga

mereka baik yang masih hidup maupun yang tidak selalu dibawah naungan

rahmat Allah SWT

10.Saudara-saudara penulis Muhammad Naquib, Ibrahim, Fikri Syarif atas segala

doa dan bantuannya.

11.Ammati Wirda, ammi Nuh, ammati Mona, ammi Hanif dan ammi Abbas

beserta segenap keluarga Abdullah Alatas lainnya untuk segala doa dan

(8)

viii

12.Keluarga Besar Sain Nahili kota bambu yang turut mendukung penulis.

13.Imam Besar FPI Al Habib Dr. Muhammad Rizieq Shihab, Lc. MA. DPMSS.

Dan Al Habib Ir. Ali Zainal Abidin bin Hasan Assegaf yang telah menjadi

pembina dan menasehati penulis dalam menempuh kehidupan dunia dan

akhirat.

14.Seluruh keluarga besar Front Pembela Islam dan Majelis Ta’limul Ansab

untuk memberikan dukungan moril bagi penulis.

15.Sahabat Ilmu Hukum angkatan 2008, 2009, 2010, terutama Syafiq

Shalabiyah, Fachrobi, Jajang Indra Fadilah, Irvan, Anto, Jerry, Rizki, Arfandi,

Arif Prasetyo, serta sahabat–sahabat lain yang tidak dapat disebutkan satu

persatu.

Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada

khususnya dan segenap para akademisi dan masyarakat pada umumnya.

Jakarta Juni 2015

(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI... iii

LEMBAR PERNYATAAN... iv

ABSTRAK... v

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR LAMPIRAN... xii

BAB I Pendahuluan……… 1

A. Latar Belakang……… 1

B. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah………. 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 6

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu……….. 7

E. Kerangka Teori dan Konseptual………. 8

F. Metode Penelitian……… 14

G. Teknik Penulisan... 18

H. Sistematika Penulisan……….. 18

Bab II Studi Teoritis Pembuktian Perjanjian Kartel...…… 20

A. Aspek Pembuktian...………... 20

(10)

x

C. Perjanjian Kartel……….. 39

BAB III Posisi Kasus...………. 46

BAB IV Analisis Kasus Kartel Semen Indonesia 2010...………. 63

A. Pembuktian Perjanjian Kartel Semen di Indonesia...……... 63

B. Pertimbangan Majelis Komisi Dalam Putusannya……... 65

C. Metode Pembuktian yang Digunakan KPPU... 66

BAB V PENUTUP... 68

A. Kesimpulan... 68

B. Saran... 69

DAFTAR PUSTAKA... 70

(11)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

A. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 10 tahun 2010 tentang

Penjelasan Pasal 11 Undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan

(12)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan ekonomi, industri dan perdagangan dewasa ini di Indonesia amatlah pesat. Perkembangan ini dapat dilihat munculnya beragam variasi barang dan/atau jasa yang tidak sepi dari peminatnya. Terlebih lagi, kuatnya arus

industrialisasi dan perdagangan global lewat investasi multinasional, mendorong

terciptanya iklim usaha di Indonesia menjadi lebih semarak. Kondisi ini tentu pada

akhirnya menciptakan suatu persaingan yang ketat antar pelaku usaha.

Persaingan dalam kegiatan usaha adalah suatu hal yang niscaya dan

merupakan “nafas” dari kegiatan usaha itu sendiri.1

Tidak ada kegiatan usaha yang

dilakukan oleh sesama manusia yang tidak memunculkan suatu persaingan karena

tentunya pelaku usaha memerlukan konsumen agar usahanya dapat mendatangkan

keuntungan. Pada akhirnya para pelaku usaha mencoba berbagai cara untuk menarik

hati konsumen.

Dalam salah satu bentuk pasar yaitu pasar oligopoli,2 disana hanya terdapat

sedikit pelaku usaha dalam pasar tersebut yang mana akibat diterapkan barrier to

entry atau hambatan masuk kedalam pasar tersebut. Dalam pasar jenis ini pula

1

Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya di Indonesia

(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 1.

2

(13)

2

terdapat saling ketergantungan antara masing-masing pelaku usaha sehingga

keputusan strategis suatu perusahaan tergantung dari keputusan strategis perusahaan

lainnya yang terdapat dalam pasar tersebut.3Kondisi pasar inilah yang kemudian

melahirkan tindakan kartel.4

Kartel sesungguhnya merupakan salah satu strategi yang diterapkan antar

pelaku usaha untuk mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksinya.

Asumsinya apabila produksi mereka didalam pasar dikurangi sedangkan permintaan

dalam pasar tetap, akan berakibat pada naiknya harga produk ketingkat yang lebih

tinggi. Namun apabila jumlah produk di pasar berlimpah maka akan berkaibat pada

penurunan harga.5

Apabila terjadi persaingan yang sehat maka tentunya terjadi perlombaan

antara pelaku usaha untuk memuaskan konsumen dengan menurunkan harga atau

menaikan kualitas produknya. Akan tetapi untuk menghindari kerugian akibat tidak

efisiennya pelaku usaha, justru pelaku usaha terkadang melakukan kerjasama untuk

mengatur harga dengan mengatur jumlah produksi dan/atau wilayah pemasaran untuk

menaikan harga produk yang akan merugikan konsumen.

3

Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks , (Jakarta: GTZ, 2009), h. 36.

4

Ibid, h. 106.

5

(14)

Biasanya praktek kartel dapat tumbuh dan berkembang pada struktur pasar

oligopoli, dimana lebih mudah untuk bersatu dan menguasai pangsa pasar.6 Pelaku

usaha mencoba untuk membentuk suatu kerjasama horizontal atau biasanya

berbentuk asosiasi yang sesungguhnya dapat melakukan tindakan positif seperti

standarisasi kelayakan suatu produk tetapi digunakan untuk melakukan pengaturan

harga yang dapat menghambat persaingan usaha.7

Dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Antimonopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, disebutkan bahwa perjanjian kartel dikategorikan

termasuk sebagai perjanjian yang dilarang oleh undang-undang tersebut.8 Perjanjian

disini bukan hanya mengenai perjanjian yang tertulis, tetapi juga perjanjian yang

tidak tertulis.9 Pentingnya mengakui perjanjian yang tidak tertulis tersebut karena

tentunya pelaku usaha tidaklah ceroboh dengan memformalkan perjanjian mereka

dalam bentuk tertulis, sehingga dapat dengan mudah terbuktikan.10

Salah satu kasus kartel terakhir yang telah diputuskan oleh Komisi Pengawas

Persaingan Usaha (KPPU) adalah kasus dugaan kartel semen yang dilakukan oleh

Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya di Indonesia,

(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 117.

8

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

9

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

10

(15)

4

Indonesia cenderung mahal disaat biaya produksi semen yang seharusnya menurun

seiring dengan harga batu bara dan minyak mentah dunia yang cenderung menurun.11

Kondisi ini juga diperkuat dengan pernyataan Menteri Perindustrian saat itu

yaitu Fahmi Idris yang menyatakan bahwa industri semen Indonesia cenderung

mengarah pada praktek oligopoli karena jumlah pemainnya yang sedikit.12 Sehingga

Komisi Pengawas Persaingan Usaha menduga terjadi pelanggaran Undang-Undang

No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat pasal 5 tentang perjanjian pengaturan harga dan pasal 11 tentang kartel.

Walaupun banyak pihak yang merasakan aroma praktek kartel tersebut,

namun pada tanggal 18 Agustus KPPU memutuskan bahwa tindakan para pelaku

usaha semen yang tergabung dalam Asosiasi Semen Indonesia tidak terbukti

melakukan tindakan perjanjian kartel. Oleh karenanya penulis merasa perlu

menelitinya yang hasilnya dituangkan dalam skripsi yang berjudul, PEMBUKTIAN

PERJANJIAN KARTEL SEMEN MENURUT HUKUM PERSAINGAN

USAHA INDONESIA (Studi kasus Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Nomor 01/KPPU-I/2010).

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

11

http://www.tempo.co/read/news/2010/04/22/090242441/KPPU-Duga-Ada-Kartel-Harga-Semen-Indonesia, diakses pada tanggal 17 april 2013.

12

(16)

Dari Pemaparan diatas terdapat berbagai permasalahan yang dapat di

indentifikasi, yang pada gilirannya akan diteliti sesuai batasan kemampuan penulis,

masalah yang dapat di identifikasi penulis yaitu;

a. Bagaimanakah menjaga persaingan agar tetap sehat?

b. Bagaimakah melindungi konsumen dalam persaingan usaha yang tidak

sehat?

c. Bagaimanakah penegakan hukum pada hukum persaingan usaha di

Indonesia?

d. Apakah asosiasi pelaku usaha dapat terhindar dari perjanjian kartel?

e. Bagaimanakah membuktikan telah terjadi perjanjian kartel menurut

hukum persaingan usaha Indonesia?

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan dari apa yang telah penulis identifikasi, karena begitu luasnya

cakupan penelitian ini, maka kajian ini hanya akan dibatasi pada perihal pembuktian

perjanjian kartel yang digunakan dalam membuktikan terjadinya tindakan yang

dimaksud oleh pasal 11 Undang-Undang nomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yaitu mengenai kartel, yang

mana juga dibatasi pada studi kasus putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

nomor 01/KPPU-I/2010.

(17)

6

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah diuraikan di

atas, maka permasalahan yang menjadi kajian penulis dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pembuktian perjanjian kartel menurut hukum persaingan

usaha Indonesia?

b. Bagaimana pertimbangan Majelis Komisi dalam memberikan putusannya?

c. Apakah metode pembuktian yang digunakan oleh Komisi Pengawas

Persaingan Usaha telah tepat dalam membuktikan telah terjadi tindakan

kartel dalam kasus kartel semen tahun 2010?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui pembuktian perjanjian kartel menurut hukum

persaingan usaha Indonesia.

b. Untuk mengetahui pertimbangan Majelis Komisi dalam memberikan

putusannya.

c. Untuk mengetahui metode pendekatan yang digunakan Komisi Pengawas

Persaingan Usaha telah tepat dalam membuktikan telah terjadi tindakan

kartel dalam kasus kartel semen tahun 2010.

(18)

Selain tujuan yang ingin dicapai di atas, penulis juga berharap ada manfaat

yang dapat diambil dari penelitian ini. Adapun manfaat yang diharapkan dalam

penelitian ini, antara lain :

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini nantinya diharapkan sebisa mungkin memperkaya dan

menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum sehingga

dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam pengembangan dalam Ilmu

Hukum pada umumnya dan Hukum Persaingan Usaha pada khususnya

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam menjelaskan kepada

masyarakat perihal perilaku kartel sebagai salah satu perilaku yang

dilarang karena dapat menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Setelah penulis melakukan peninjauan terhadap kajian terdahulu terdapat

beberapa kajian yang berhubungan dengan penelitian ini yaitu, Tesis berjudul Kajian

Pendekatan Hukum Kartel Menurut Hukum Persaingan Usaha, Penulis Felix

Marcel Tambunan, 2006, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.Penilitian tersebut

membahas tentang pendekatan hukum kartel menurut hukum persaingan usaha

dengan membandingkan antara hukum persaingan usaha Indonesia dengan hukum

persaingan usaha Amerika Serikat. Bahasan tersebut juga menyentuh permasalahan

(19)

8

permasalahan Kartel dengan membandingkan kepada Amerika Serikat yang

menggunakan pendekatan per se illegal dalam konstruksi norma mengenai kartel.

Setelah itu terdapat skripsi berjudul Pembuktian Praktik Kartel Menurut

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Dalam Kasus-Kasus Kartel Di Indonesia,

Ananta Aji Guna, 2010, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penilitian ini juga

membahas tentang kartel, penelitian ini lebih ditekankan kepada hukum

pembuktiannya sehingga muncul istilah direct evidence dan circumstansial evidence.

Perbedaan mendasar kedua studi tersebut dengan apa yang akan penulis bahas adalah

karena penulis melakukan analisis terhadap suatu kasus kartel dengan menggunakan

pendekatan pembuktian Kartel setelah dikeluarkannya Perkom nomor 4 tahun 2010

tentang Pedoman Pelaksanaan pasal 11 tentang Kartel berdasarkan Undang-undang

nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat, yang mana kedua studi sebelumnya belum menyentuhnya.

E. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Beberapa teori yang akan digunakan dalam penilitian ini adalah sebagai

berikut:

(20)

Dalam perjanjian dalam hukum antimonopoli adalah ikatan.13Yang menjadi pertanyaan adalah kapan suatu ikatan berlaku secara hukum. Hal ini

dibagi dua, yaitu;Ikatan Hukum Suatu pihak terkait dengan hukum jika

perjanjian yang dilakukan mengakibatkan kewajiban hukum.Mengingat

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) maka perjanjian yang

menghambat persaingan usaha tidak mengikat menurut hukum karena dapat

dibatalkan.

Selain ikatan hukum, pasal 1 angka 7 UU No. 1999 juga mencakup

ikatan ekonomi. Ikatan ekonomi dihasilkan oleh suatu perjanjian jika ada

standar perilaku tertentu yang harus ditaati bukan karena persyaratan hukum,

tetapi dalam rangka mencegah kerugian ekonomi. Salah satu contoh adalah

menentukan harga dibawah harga pasar.

Dengan bahasa yang lebih sederhana, pelaku usaha harus “ikut arus”

dengan “permainan” yang telah disepakati jika tidak maka ia akan mengalami

kerugian atau “tergilas.” Yang biasa terjadi adalah saling memahami dengan

melihat pasar sehingga dalam perjanjian hukum persaingan usaha ada yang

disebut dengan “expressagreement” (perjanjian yang tegas dan nyata) dan

tacit agreement” (perjanjian secara diam-diam). Contoh express agreement

adalah jika terdapat dan pengakuan telah terjadi kesepakatan antarpelaku

usaha, baik secara tertulis maupun tidak. Adapun tacit agreement jika perilaku

13

(21)

10

seorang atau sekelompok pelaku usaha membuat pelaku usaha lain “ikut”

dengan caranya, sehingga seolah-olah telah terjadi perjanjian.14

b. Teori Pembuktian

1) Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Positif

Pembuktian yang hanya melulu menggunakan alat bukti yang disebutkan

oleh undang-undang. Dikatakan secara positif karena didasarkan pada

undang-undang melulu. Artinya, jika suatu perbuatan telah terbukti lewat

alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang, maka keyakinan

hakim menjadi tidak diperlukan.

2) Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu

Teori ini berlawanan dengan teori pembuktian menurut undang-undang

secara positif. Ini didasari bahwa alat bukti berupa pengakuan

terdakwapun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan dari

terdakwa kadang-kadang tidak menjamin terdakwa telah benar-benar

melakukan tindakan yang telah didakwakan. Oleh karen itu diperlukan

keyakinan hakim sendiri. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan

tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang.

3) Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Dengan Alasan Logis

14

Mustafa Kamal Rokan,Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya Di Indonesia, h. 87-87.

(22)

Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut pembuktian yang berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu. Menurut teori ini, hakim dapat memutusakn seseorang bersalah berdasarkan

keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian

disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada

peraturan-peraturan pembuktian tertentu.

4) Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Negatif

Dalam sistem atau teori pembuktian undang-undang secara negatif ini,

pemidaan didasarkan kepada pembuktian berganda yaitu pada peraturan

perundang-undangan dan keyakinan hakim, dan menurut undang-undang,

dasar keyakinan itu bersumber pada peraturan udang-undang. Dalm

KUHAP pasal 183 disebutkan:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang,

kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi

dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada

undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam KUHAP pasal

184, disertai dengan keyakinan hakim yang diperloeh dari keyakinan tersebut.

sehingga artinya KUHAP menganut sistem atau teori pembuktian secara negatif.15

15

(23)

12

2. Kerangka Konseptual

Dalam pembahasan ini, akan diuraikan beberapa konsep-konsep terkait

terhadap beberapa istilah yang akan sering digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

a. Perjanjian

Sebagaimana dalam pasal 1313 Burgerlijk wetboek atau Kitab

Undang-undang Hukum Perdata:

Suatu Perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Dengan kata lain perjanjian atau kontrak merupakan peristiwa hukum

dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji

untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.16

b. Kartel

Dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dijelaskan

mengenai kartel yaitu;

“Pelaku Usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat.”

Dalam pasal di atas dapat dipahami bahwa kartel adalah suatu

tindakan perjanjian antar pelaku usaha yang bertujuan „mempengaruhi harga‟

16

(24)

dengan mengatur jumlah produksi dan/atau wilayah pemasaran suatu barang

dan/atau jasa sehingga „dapat berakibat‟ pada terjadinya praktek monopoli dan

persaingan usaha yang tidak sehat.

Menurut KPPU dalam Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2010

mengenai pedoman pelaksanaan pasal 11 tentang kartel, suatu kartel dapat

terjadi apabila suatu kelompok perusahaan dalam suatu industri tertentu yang

seharusnya bersaing satu sama lain, tetapi mereka setuju untuk melakukan

koordinasi kegiatannya dengan mengatur produksi, pembagian wilayah,

kolusi tender dan kegiatan-kegiatan anti persaingan usaha lainnya, sehingga

mereka dapat menaikan harga dan memeperoleh keuntungan di atas harga

yang kompetitif.17

Menurut Richard Postner sebagaimana yang dikutip oleh Mustafa

Kamal Rokan, kartel adalah

a contract among competing seller to fix the price of product they sell (or, what is the small thing, to limit their output) is likely any other contract in the sense that the parties would not sign it unless they expected it to make them all better of”.18

Terdapat beberapa karakteristik dari kartel yaitu, terdapat konspirasi

antar pelaku usaha. Kedua, melakukan penetapan harga. Ketiga, agar

17

Lampiran, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan pasal 11 tentang Kartel berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

18

(25)

14

penetapan harga dapat efektif, maka dilakukan pula alokasi terhadap

konsumen, produksi atau wilayah pemasaran. Keempat, adanya perbedaan

kepentingan misalnya karena perbedaan biaya.19

F. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode,

sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau

beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, untuk kemudian

mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam

gejala yang bersangkutan.20

Penulis dalam melakukanproses penelitian ini menggunakan metode

penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang

meletakan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.21 Sistem norma yang

dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan

perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, serta doktrin (ajaran) hukum. Sementara

metode penulisan yang digunakan adalah deskriptif analitis yakni mengungkapkan

19

Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, h. 107.

20

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. Ke-3, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), h. 42.

21

(26)

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum sebagai

objek penelitian.22

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pendekatan

perundang-undangan (statue approach), karena isu hukum yang ada pada skripsi ini

tentang isu hukum dogmatis, sehingga pendekatan perundang-undangan pasti

digunakan dalam skripsi ini. Selain itu, pendekatan perundang-undangan juga

digunakan sebagai arahan untuk menghindari kekeliruan dalam pengambilan

konklusi. Selain pendekatan perundang-undangan, penulis juga menggunakan

pendekatan konsep (conceptual approach), yang digunakan untuk memahami

konsep-konsep penting yang akan dibahas dalam penelitian ini.

3. Sumber Data

Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder yang artinya

data yang sebelumnya telah diolah oleh orang lain. Data sekunder antara lain

dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berbentuk laporan,

buku harian, dan lain-lain.23 Data sekunder ini meliputi bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder, dan bahan hukum tersier :

a. Bahan Hukum Primer

22

Zainuddin Ali, Metode Penelilitian Hukum, Cet.Ke-4, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 175.

23

(27)

16

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai

kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan.Selain

peraturan perundang-undangan, yang termasuk dalam bahan hukum

primer yaitu catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.24 Peraturan

perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 tentang Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,

Perkom Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kartel dan peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan Persaingan Usaha.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat kaitannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa,

memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer. Yang termasuk

dalam bahan hukum sekunder yaitu semua publikasi tentang hukum

yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi25, misalnya dapat

berupa hasil karya dari kalangan hukum, penelusuran internet,

majalah, surat kabar, dan sebagainya.

c. Bahan Non-Hukum

24

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan keenam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 141.

25

(28)

Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder yang dipandang perlu.Bahan non hukum

dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi,

Filsafat, Kebudayaan atau laporan-laporan penelitian non-hukum

sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian.26

Bahan-bahan non-hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan

memperluas wawasan peneliti.

4. Pengolahan dan Analisis Data

Data-data yang telah ada disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara

perspektif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Cara pengolahan

sumber data dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu

permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang

dihadapi,27sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai

sumber yang berhubungan dengan topik dalam skripsi ini, sehingga diperoleh

kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

Selanjutnya sumber data yang telah diolah lalu dianalisis dan dikaji untuk

mengetahui bagaimana pendekatan Pembuktian yang digunakan dalam membuktikan

Perjanjian kartel.

26

Ibid. h. 143.

27

(29)

18

G. Teknik Penulisan

Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” dengan sistematika yang

terbagi dalam lima bab.

H. Sistematika Penulisan

Sesuai dengan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-bab

sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut:

BAB I Pada bab ini merupakan Pendahuluan, yang berisi Latar

Belakang, Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah, Tujuan

dan Manfaat Penelitian, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu,

Kerangka Konseptual, Metode Penelitian, dan Sistematika

Penulisan.

BAB II Pada bab ini merupakan tinjauan umum pembuktian, konsep

kartel, Perjanjian kartel.

BAB III Pada bab ini membahas mengenai tentang posisi kasus kartel

semen tahun 2010.

BAB IV Pada bab ini merupakan analisis terhadap Penerapan

pembuktian perjanjian sesuai pasal 11 Undang-Undang Nomor

(30)

BAB V Bab ini merupakan bab terakhir atau Penutup, yang berisi

kesimpulan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas

(31)

20 BAB II

STUDI TEORITIS PEMBUKTIAN PERJANJIAN KARTEL

A. Aspek Pembuktian

1. Definisi Pembuktian

Kata pembuktian berasal dari kata “bukti” yang apabila diterjemahkan

kedalam bahasa inggris terdapat dua kata yaitu evidence dan proof. Evidence

memiliki makna informasi yang memberikan dasar-dasar yang mendukung suatu

keyakinan bahwa beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu adalah benar.

Sedangkan kata proof mengacu pada hasil suatu proses evaluasi dan menarik

kesimpulan terhadap evidence atau dapat juga digunakan lebih luas mengacu pada

proses itu sendiri.1

Karenanya evidence lebih dekat maknanya kepada alat bukti sedangkan proof

dapat diartikan pembuktian yang mengarah pada suatu proses.2 Oleh sebab itu, bukti

merujuk pada suatu alat-alat bukti yang mana termasuk barang bukti yang

menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Sementara pembuktian merujuk pada suatu

proses mengenai pengumpulan bukti, memperlihatkan bukti sampai dengan

penyampaian bukti tersebut kepada pengadilan.3

1

Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta;Penerbit Erlangga, 2012), h. 2.

2

Ibid, h. 2-3

3

(32)

2. Teori Pembuktian

Walaupun Komisi Pengawas Persaingan Usaha bukanlah merupakan lembaga

peradilan, tetapi dalam Undang-undang diberi kewenangan untuk memutus perkara

(quasi Yudisial) dalam kasus Persaingan Usaha, karenanya dalam membahas tentang

pembuktian suatu perkara perlu juga kiranya dipahami tentang teori-teori pembuktian

dalam menilai alat-alat bukti yang ada, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:

a. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Positif

Pembuktian yang hanya melulu menggunakan alat bukti yang

disebutkan oleh undang-undang. Dikatakan secara positif karena didasarkan

pada undang-undang melulu. Artinya, jika suatu perbuatan telah terbukti lewat

alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang, maka keyakinan hakim

menjadi tidak diperlukan.

b. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu

Teori ini berlawanan dengan teori pembuktian menurut

undang-undang secara positif. Ini didasari bahwa alat bukti berupa pengakuan

terdakwapun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan dari terdakwa

kadang-kadang tidak menjamin terdakwa telah benar-benar melakukan

tindakan yang telah didakwakan. Oleh karena itu diperlukan keyakinan hakim

sendiri. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan

(33)

22

c. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Dengan Alasan

Logis

Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut

pembuktian yang berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu.

Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan

keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian

disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada

peraturan-peraturan pembuktian tertentu.

d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Negatif

Dalam sistem atau teori pembuktian undang-undang secara negatif ini,

pemidaan didasarkan kepada pembuktian berganda yaitu pada peraturan

perundang-undangan dan keyakinan hakim, dan menurut undang-undang,

dasar keyakinan itu bersumber pada peraturan udang-undang. Dalam KUHAP

pasal 183 disebutkan:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah

yang bersalah melakukannya.”

Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada

(34)

184, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari keyakinan tersebut.

sehingga artinya KUHAP menganut sistem atau teori pembuktian secara negatif.4

Dan dalam hal pembuktian terdapat beberapa teori yang dipakai seperti yang

telah dijelaskan di atas. Jika diamati secara seksama karakter yang ada dalam proses

pembuktian di KPPU masuk pada kategori yang terakhir yaitu teori pembuktian

berdasarkan undang-undang yang negatif hal tersebut diperjelas dengan ketentuan

dalam Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999 tentang alat bukti.5

3. Alat Bukti

Alat Bukti (bewijsmiddel) yang digunakan oleh Komisi Pengawas Persaingan

Usaha pada dasarnya hampir sama dengan yang ada dalam KUHAP.6 Alat-alat bukti

yang digunakan dalam persaingan usaha sebagaimana dijelaskan oleh pasal 42

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat, yaitu;

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta;Sinar Grafika, 2008), h. 251-256.

5

Sukarmi, Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha, Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 6, 2011, h. 131.

6

(35)

24

Alat-alat bukti yang digunakan dalam pemeriksaan perkara persaingan ini

dapat dijabarkan sebagai berikut;

a. Keterangan saksi

Saksi adalah setiap orang atau pihak yang mengetahui terjadinya

pelanggaran terhadap Undang-undangnomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha TidakSehat dan memberikan

keterangan guna kepentingan pemeriksaan.7

b. Keterangan/pendapat ahli

Ahli adalah orang yang memiliki keahlian di bidang terkait dengan

dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan

memberikan keterangan pendapat guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan

ahli adalah keterangan yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan

tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuan.8

Keterangan ahli diperlukan dalam pemeriksaaan perkara yang rumit. Saksi

ahli dapat dihadirkan atas inisiatif pelaku usaha maupun KPPU.9

c. Surat dan/atau dokumen

Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam pemeriksaan suatu perkara

menggunakan juga surat/dokumen yang dianggap relevan terhadap

7

Ibid, h. 161.

8

Ibid, h. 161.

9

(36)

perkaranya, mulai dari surat yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga

pemerintahan RI, kemudian bukti tertulis lainnya seperti berita acara

kesepakatan, memorandum of understanding, dan perjanjian tertulis lain yang

berhubungan dengan penetapan harga.10 Suatu petunjuk yang didapat dalam

bentuk tertulis, kekuatan pembuktiannya dikategorikan sama dengan kekuatan

pembuktian surat atau dokumen.11

d. Petunjuk

Menurut pasal 188 ayat 1 KUHAP, alat bukti petunjuk adalah:

Perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena

persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak dan siapa pelakunya.”

Dalam perkara monopoli dan persaingan usaha, alat bukti petunjuk

merupakan indirect evidence yang dapat diterima, akan tetapi penggunaan

bukti petunjuk tidak dapat disamaratakan, harus dilihat kasus per kasus.12

e. Keterangan Pelaku Usaha

Keterangan pelaku usaha ini termasuk keterangan pelapor dan terlapor.

Pelapor adalah setiap orang yang menyampaikan laporan kepada KPPU

mengenai terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan

10

Devi Meyliana, Hukum Persaingan Usaha; Studi Konsep Pembuktian Terhadap Perjanjian Penetapan Harga Dalam Persaingan Usaha, (Malang; Setara Press, 2013), h. 92.

11

Sukarmi, Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha, h. 132.

12

(37)

26

Persaingan Usaha Tidak Sehat, baik yang melakukan tuntutan ganti rugi

maupun tidak. Terlapor adalah pelaku usaha dan/atau pihak lain yang diduga

melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Keterangan terlapor tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alas an

yang kuat dan dapat diterima Majelis Komisi.13

Alat-alat bukti ini kemudian lebih diperinci lagi oleh KPPU dalam Perkom

Nomor 4 tahun 2010 tentang pedoman pasal 11. Beberapa alat bukti untuk

penanganan perkara kartel antara lain:

1. Dokumen atau rekaman kesepakatan harga, kuota produksi atau

pembagian wilayah pemasaran.

2. Dokumen atau rekaman daftar harga (price list) yang dikeluarkan oleh

pelaku usaha secara individu selama beberapa periode terakhir (bisa

tahunan atau per semester).

3. Data perkembangan harga, jumlah produksi dan jumlah penjualan di

beberapa wilayah pemasaran selama beberapa periode terakhir

(bulanan atau tahunan).

4. Data kapasitas produksi.

5. Data laba operasional atau laba usaha dan keuntungan perusahaan

yang saling berkoordinasi.

13

(38)

6. Hasil analisis pengolahan data yang menunjukkan keuntungan yang

berlebih/excessive profit.

7. Hasil analisis data concious parallelism terhadap koordinasi harga,

kuota produksi atau pembagian wilayah pemasaran.

8. Data laporan keuangan perusahaan untuk masing-masing anggota

yang diduga terlibat selama beberapa periode terakhir.

9. Data pemegang saham setiap perusahaan yang diduga terlibat beserta

perubahannya.

10.Kesaksian dari berbagai pihak atas telah terjadinya komunikasi,

koordinasi dan/atau pertukaran informasi antar para peserta kartel.

11.Kesaksian dari pelanggan atau pihak terkait lainnya atas terjadinya

perubahan harga yang saling menyelaraskan diantara para penjual

yang diduga terlibat kartel.

12.Kesaksian dari karyawan atau mantan karyawan perusahaan yang

diduga terlibat mengenai terjadinya kebijakan perusahaan yang

diselaraskan dengan kesepakatan dalam kartel.

13.Dokumen, rekaman dan/atau kesaksian yang memperkuat adanya

faktor pendorong kartel sesuai indikator yang telah dijelaskan pada

perkom.14

4. Bukti Langsung dan Tidak Langsung

14

(39)

28

Dalam hukum persaingan usaha khusunya mengenai kartel biasanya

digunakan dua Metode pembuktian, yaitu pembuktian lewat direct evidence atau

bukti tidak langsung dan pembuktian lewat circumstancial evidence atau bukti

situasional atau lebih dikenal indirect evidence atau bukti tidak langsung.15

Pembuktian langsung adalah pembuktian yang diarahkan pada eksistensi

penjanjian dengan membuktikan semua dokumen, notulen atau tempat pertemuan

dari suatu tindakan kartel. Sedangkan pembuktian berdasarkan keadaan atau

pembuktian tidak langsung adalah pembuktian berdasarkan kesimpulan yang diambil

dari berbagai tindakan atau kondisi sistematis yang dilakukan oleh para kompetitor

komoditas barang atau jasa tertentu yang menunjukkan keyakinan kuat bahwa telah

terjadi koordinasi di antara mereka.16

Terdapat dua macam tipe pembuktian tidak langsung, meliputi bukti

komunikasi dan bukti ekonomi. Dari kedua bukti tersebut, bukti komunikasi atau

fasilitasi lebih penting dibandingkan bukti ekonomi. Bukti komunikasi adalah bukti

dimana pelaku kartel bertemu melakukan komunikasi akan tetapi tidak menjelaskan

substansi komunikasi tersebut.17

Di negara lain, misal Australia, untuk membuktikan eksistensi kesepakatan

(meeting of the minds) yang diharuskan dalam pembuktian adanya perjanjian yang

melanggar hukum persaingan, bukti situasional (circumstancial evidence) bisa

15

A. Junaidi, “Pembuktian Kartel Dalam UU No. 5/1999” Kompetisi, 11 ( 2008), h. 9.

16

Ibid, h. 9.

17

(40)

dipakai seperti: petunjuk perbuatan yang paralel, petunjuk tindakan bersama-sama,

petunjuk adanya kolusi, petunjuk adanya struktur harga yang serupa (dalam kasus

price fixing) dan lain sebagainya.18

Namun bukti ini tidak bisa diterapkan sama rata, sebagai contoh kadangkala

peningkatan harga secara paralel merupakan petunjuk adanya pasar yang bersaing

secara ketat (highly competitive).19 Karenanya, di Indonesia sendiri masih terdapat

pro kontra dalam menggunakan bukti tidak langsung. Mengingat dalam sistem

hukum beracara baik dalam HIR-RBG atau dalam UU No. 5 Tahun 1999 tidak

dikenal dalam alat bukti yang secara eksplisit berbunyi bukti tidak langsung ataupun

bukti ekonomi.20

Penegakan hukum persaingan selalu berusaha mendapatkan bukti langsung

berupa perjanjian dalam kasus kartel, dimana dalam kenyataannya sangat sulit

didapatkan sebagaimana yang sudah diuraikan di bagian terdahulu. Sehingga bukti

tidak langsung menjadi sangat penting keberadaannya dalam proses pembuktian

kartel.21

B. Konsep Kartel Dan Pelarangannya

1. Definisi Kartel

18

Ibid, h. 132.

19

Anna Maria Tri Anggraini, Penggunaan Analisis Ekonomi dalam Mendeteksi Kartel Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha, (Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 4, 2010), h. 43.

20

Sukarmi, Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha, h. 142.

21

(41)

30

Kartel kadangkala diartikan secara sempit, namun disisi lain juga diartikan

secara luas. Dalam arti sempit, kartel adalah sekelompok perusahaan yang

seharusnya saling bersaing, tetapi mereka justru menyetujui satu sama lain untuk

”menetapkan harga” guna meraih keuntungan monopolistis. Sedangkan dalam

pengertian luas, kartel meliputi perjanjian antara para pesaing untuk membagi pasar,

mengalokasikan pelanggan, dan menetapkan harga.22

Dalam Black’s Law Dictionary, Kartel adalah:

an association of two or more legally independent entities that explicitly agree to coordinate their prices or output for the purpose of increasing their collective profits”23

Yang diterjemahkan “suatu perkumpulan dari dua atau lebih subjek hukum

yang secara jelas setuju untuk mengatur harga atau jumlah produksinya dengan

maksud untuk meningkatkan keuntungan mereka bersama”

Menurut Sukarmi kartel merupakan “kerjasama sejumlah perusahaan yang

bersaing untuk mengkoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah

produksi dan harga suatu barang dan atau jasa untuk memperoleh keuntungan diatas

tingkat keuntungan yang wajar.”24

Menurut Didik J. Rachbini, Jika para yang bersaing ternyata melakukan

koordinasi bersama untuk mengontrol pasar, maka usaha ini disebut sebagai praktek

22 Anna maria Tri Anggraini, ”

Penggunaan Analisis Ekonomi Dalam Mendeteksi Kartel Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha”,Jurnal Persaingan Usaha Komisi Pengawas Persaingan

Usaha edisi 4 (Desember 2010), h. 31.

23

Ganner B.A, Black’s Law Dictionar, (St Paul Minn: West Group, 1999), h. 206.

24Sukarmi, “

(42)

kartel, yang sangat merugikan masyarakat. Koordinasi ini biasa diwujudkan dalam

berbagai cara, yaitu perjanjian pengendalian harga, jumlah yang diproduksi, dan

wilayah pemasaran. Praktek ini merupakan usaha pelaku-pelaku ekonomi untuk

mengendalikan pasar secara horizontal (horizontal restraint).25

Richard Postner sebagaimana yang dikutip Mustafa Kamal Rokan, kartel

adalah:

a contract among competing seller to fix the price of product they sell (or, what is the small thing, to limit their output) is likely any other contract in the sense

that the parties would not sign it unless they expected it to make them all better of.”26

Artinya: (Sebuah perjanjian diantara pelaku usaha untuk mengatur harga dari produk yang mereka jual (atau setidaknya membatasi pengeluaran produknya) selayaknya sebuah perjanjian yang lain dimana para pihak tidak akan setuju kecuali hal tersebut akan menguntungkannya; pen)

Menurut KPPU suatu kartel terjadi apabila suatu kelompok perusahaan dalam

suatu industri tertentu yang seharusnya bersaing satu sama lain, tetapi mereka setuju

untuk melakukan koordinasi kegiatannya dengan mengatur produksi, pembagian

wilayah, kolusi tender dan kegiatan-kegiatan anti persaingan usaha lainnya, sehingga

mereka dapat menaikan harga dan memperoleh keuntungan diatas harga yang

kompetitif.27

25

Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik; Kebijakan dan Strategi Pembanguna, (Jakarta: Granit, 2004), h. 124.

26

Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya Di Indonesia,

(Jakarta: RajawaliPers, 2012), h. 117.

27

(43)

32

Kartel merupakan salah satu strategi yang digunakan para pelaku usaha untuk

mempengaruhi harga suatu komoditas tertentu dengan cara mengatur jumlah

produksinya. Asumsinya, jika mereka mengurangi jumlah produksinya sedangkan

permintaan pasar tetap maka akan berakibat pada naiknya harga ketingkat yang lebih

tinggi, tetapi sebaliknya, apabila jumlah produknya berlimpah dipasar maka harga

akan turun.28

Agar harga pasaran produksinya tidak terlalu jatuh dan tetap dapat bisa

memberikan keuntungan sebanyak-banyaknya, para pelaku usaha biasanya membuat

suatu perjanjian diantaranya untuk mengatur mengenai jumlah produksi yang ada di

pasar sehingga harga dapat dijaga untuk tidak terlalu murah.29 Biasanya perjanjian

kartel tesebut dipraktikan dalam asosiasi dagang, yang mana dalam asosiasi dagang

tersebut para pelaku usaha anggotanya akan mudah untuk menyusun standarisasi dan

juga sekaligus melakukan pengaturan harga yang dapat menghambat persaingan

usaha sehat.30

Kartel memiliki beberapa karakteristik yaitu, pertama, terdapat konspirasi

antar pelaku usaha. Kedua, melakukan penetapan harga. Ketiga, agar penetapan harga

dapat efektif, maka dilakukan pula alokasi terhadap konsumen, produksi atau wilayah

28

Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha: AntaraTeksdanKonteks, (Jakarta: GTZ, 2009), h. 106.

29

Ibid, h.107.

30

(44)

pemasaran. Keempat, adanya perbedaan kepentingan misalnya karena perbedaan

biaya.31

Karena kartel biasanya berujung pada penetapan harga, struktur pasar dapat

juga mempengaruhi terjadinya penetapan harga harga tersebut. Herbert Hoverkamp

menjelaskan mengenai karakteristik pasar dan faktor-faktor yang mendukung

terjadinya price fixing, yaitu:

a. Market concentration

Tingkat konsentrasi pasar dimana hanya terdapat sejumlah kecil

perusahaan sejenis dan kesamaan kondisi dari masing-masing pelaku

usaha, akan memperbesar kemungkinan terjadinya price fixing

b. Barrier to entry

Hambatan masuk yang besar menyebabkan sulitnya pesaing untuk

masuk sehingga barang subtitusi tidak tersedia di pasar. Dalam kondisi

ini, pemain lama dalam di pasar bersangkutan (incumbent)

berkemungkinan besar melakukan kolusi dengan perusahaan lain

untuk menetapkan harga

c. Sales method

Metode penjualan melalui proses pelelangan, memperbesar

kemungkinan untuk timbulnya price fixing dikalangan pelaku usaha

d. Product Homogenity

31

(45)

34

Homogenitas produk atau kesamaan produk yang tersedia dipasar akan

memudahkan pelaku usaha untuk melakukan price fixing.

e. Facilitation device

Sarana yang dapat memfasilitasi terjadinya price fixing seperti

standarisasi produk, integrasi vertical, pengaturan harga penjualan oleh

para pengecer dan pengumuman harga (secara eksplisit atau implisit)

serta pengiriman harga pola dasar. Selain itu, sarana dalam asosiasi

dagang yang menaungi kepentingan pelaku usaha juga dapat dijadikan

fasilitas bagi pelaku usaha untuk melakukan perjanjian penetapan

harga.32

Kesuksesan dari kartel tergantung pada jenis industri, caranya beroperasi

dimana faktor utama penentunya tergantung pada kerjasama diantara pesaing itu

sendiri. Semakin banyak jumlah pelaku usaha pesaing yang ikut dalam kerjasama

kartel itu, maka control atau pengawasan yang dilakukan akan semakin sulit.33

2. Akibat Kartel

Kartel dapat memberikan kerugian bagi perekonomian suatu negara sebagai

contoh misalnya dapat mengakibatkan terjadinya inefisinsi alokasi, inefisiensi

produksi, menghambat inovasi dan penemuan teknologi baru, menghambat masuknya

32

A.M. Tri Anggraini, Perspektif Perjanjian Penetapan Harga Menurut Hukum Persaingan Usaha Dalam Masalah-Masalah Hukum Kontemporer, Dalam Masalah-Masalah Hukum Ekonomi Kontemporer,editor Ridwan Khairandy, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), h, 262-264.

33

(46)

investor baru, serta menyebabkan kondisi perekonomian negara tidak kondusif dan

kurang kompetitif dibandingkan negara-negara lain yang menerapkan sistem

persaingan usaha yang sehat.34

Kerugian atas kartel juga dapat dirasakan konsumen, karena konsumen harus

membayar harga atas barang dan atau jasa lebih mahal dari pada harga pasar.

Disamping itu juga terbatasnya barang dan atau jasa yang diproduksi, baik dari sisi

jumlah maupun mutunya, dan yang terakhir adalah terbatasnya pilihan Pelaku

Usaha.35

Akibat lain yang ditimbulkan kartel adalah terciptanya praktek monopoli oleh

pelaku kartel sehingga secara perekonomian makro mengakibatkan inefisiensi

pengalokasian sumber daya yang dicerminkan dengan timbulnya deadweight loss.

Dari sisi konsumen, konsumen akan kehilangan hak atas pilihan harga, kualitas

barang yang bersaing dan layanan purna jual yang baik.36

3. Pelarangan Kartel

Usaha melarang tindakan dari kartel ini mulai dikenal lewat Section 1

Sherman Act yang berbunyi;

Every contract, combination in the form of trust or otherwise, or conspiracy in restrain of trade or commerce among the several states, or with foreign nations, is hereby declared to be illegal. Every person who shall make any contract or engage in any combination or conspiracy hereby declared to be illegal shall be deemed guilty of a felony.

(47)

36

(setiap perjanjian, persekutuan dalam bentuk trust atau yang lainnya, atau

konspirasi dalam penguasaan perdagangan diantara beberapa pihak, dengan

negara-negara lain, dengan ini dinyatakan illegal. Setiap orang yang melakukan perjanjian

atau kombinasi atau konspirasi yang telah dinyatakan illegal dianggap bersalah atas

kejahatan serius; Pen)

Di Amerika Serikat kartel, sebagaimana price fixing, dianggap sebagai naked

restraint (penguasaan pasar secara nyata/terang-terangan;pen) yang bertujuan tunggal

untuk mempengaruhi tingkat harga dan output. Oleh karena itu wajar Sherman Act

memperlakukan kartel sebagai Per Se illegal, demikian juga dengan Australia dan

Uni Eropa. Alasannya menurut mereka, kartel tidak menghasilkan efisiensi sama

sekali atau efesiensi yang didapat tidak sebanding dengan dampak negatifnya.37

Sedang Indonesia sejak tahun 1999 menerapkan melakukan pelarangan

terhadap kartel sebagaimana dalampasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999

Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dijelaskan

mengenai kartel yaitu;

“Pelaku Usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha

pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat.38

37

Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 56.

38

(48)

Dalam pasal diatas dapat dipahami bahwa pelarangan kartel di Indonesia

sedikit berbeda dengan yang dilakukan dengan sebagaimana yang dianut oleh

sebagian negara-negara Barat, Indonesia merumuskan pelarangan kartel dengan

rumusan rule of reason yang mana dalam membuktikan kartel yang dilarang, harus

diperiksa alasan-alasan para pelaku usaha apakah kartel yang dilakukan mereka dapat

diterima (reasonable restraint) atau tidak.39

Dalam Islam pada prinsipnya apabila kita melakukan mu’amalah selain objek

mu’amalah yaitu barang dan/atau jasa yang harus diperhatikan kehalalannya, aspek

mengenai metode ber-mu’amalah juga merupakan hal penting yang harus

diperhatikan. Ini didasari oleh ayat- ayat Al Qur‟an sebagai berikut;

ۡعت ۡ ت أ ۡث ۡۡٱب سا ٱ ٰ ۡ أ ۡ اقي ف ا كۡأت ا حۡٱ ى إ ٓا ب ا ۡدت طٰ ۡٱب ۡيب ٰ ۡ أ ا ٓ كۡأت َ

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui40”

Selain ayat di atas Allah SWT juga berfirman;

اك َٱ إ ۚۡ سف أ ا ٓ تۡقت َ ۚۡ ضا ت ع ً ٰجت ت أ َٓإ طٰ ۡٱب ۡيب ٰ ۡ أ ا ٓ كۡأت َ ا اء ي ٱا يأٰٓي ا يح ۡ ب

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu

dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka

39

Pedoman pasal 11, h. 24

40

(49)

38

sama-suka di antara kamu. Danjanganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya

Allah adalah Maha Penyayang kepadamu41”

Makna dari lafazh طٰ ۡٱبmengisyaratkan kepada kita bahwa penguasaan atau

perpindahan kekayaan tidak boleh dilakukan “…Secara zalim melalui dominasi,

pencurian, kecurangan, riba, penimbunan, judi, suap, tindak perugian, penipuan,

pencurangan, segala cara lain yang mengandung kezaliman atau penipuan, jual beli

sesuatu yang tidak diperbolehkan, atau sewa-menyewa sesuatu yang tidak

diperbolehkan.”42

Kartel juga dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang terlarang atau haram

dilakukan, ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah SAW yang berbunyi;

تحيَ اق س هي ع ه ي ص ه س ع ه ع ه يض ه د ع ب ع ع ئطاخَا

43

“Dari Ma’mar bin Abdillah dari Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam

bersabda:”Tidaklah seorang menimbun (Ihtikar) kecuali dia berdosa”.

Ihtikar seringkali diterjemahkan sebagai monopoli dan/atau penimbunan,

padahal sesungguhnya ihtikar tidak identik dengan itu. Dalam Islam seseorang boleh

saja menjadi penjual satu-satunya dipasar demikian pula memiliki stock barang untuk

keperluan persediaan. Yang dilarang adalah ihtikar, yaitu mengambil keuntungan

diatas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikti barang untuk harga yang

41

Q.S. An Nisa, 29.

42

Yusuf Al Qardhawi, Yusuf Al-Qardhawi, 7 Kaidah Utama Fikih Muamalat, Penerjemah Ferdian Hasmand, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2014).h. 85

43

(50)

lebih tinggi.44 Di zaman Rasullulah SAW, salah satu cara melakukan ihtikar adalah

dengan cara menimbun agar harga naik akibat kelangkaan tersebut.45

Pendapat ini diperkuat lewat hadits Rasulullah SAW yang berbunyi;

ئطاخ ف ي س ا ى ع ا ب ي اغي أ دي ي ح تحا

46

Barangsiapa menimbun suatu timbunan supaya menjualnya dengan harga yang tinggi kepada kaum muslimin, maka dia telah berbuat dosa

Perilaku ihtikar yang dilakukan secara berkelompok itulah yang memiliki

kesamaan dengan perilaku kartel, yang mana keduanya memiliki kesamaan tujuan

yaitu “bermaksud mempengaruhi harga” di pasar agar lebih tinggi dari harga

semestinya. Oleh karena itu, pada dasarnya Islam juga mengharamkan praktek kartel.

C. Perjanjian Kartel

Kartel pada dasarnya merupakan perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku

usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan antara keduanya.47 Oleh karena

itu dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, tindakan kartel dikategorikan sebagai

suatu perjanjian yang dilarang. Maka dari itu, pemahaman tentang konsep perjanjian

sangatlah penting

Musnad Ahmad Hadits Nomor 8617.

47

(51)

40

Sebagaimana dalam pasal 1313 Burgerlijkwetboek atau Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata “Suatu Perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang

atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”Dengan kata lain

perjanjian atau kontrak merupakan peristiwa hukum dimana seorang berjanji kepada

orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan

sesuatu.48

Suatu perjanjian atau kontrak terlahir pada saat terjalinnya kesepakatan. Oleh

karena itu, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak maka lahirlah suatu

perjanjian, walaupun perjanjian tersebut belum dilaksanakan.49 Oleh sebab itu

consensus atau kesepakatan menjadi dasar yang sangat penting bagi suatu perjanjian.

Dalam hukum persaingan usaha di Indonesia, sebagaimana Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat, dalam pasal 1 angka 7 dikatakan bahwa;

“Perjanjian adalah suatu perbuatan dari satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun baik tertulis maupun tidak tertulis.”

Walaupun secara sepintas definisi perjanjian dalam pasal 1313 BW dengan

definisi perjanjian menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, terlihat sama namun

sesungguhnya terdapat perbedaan mendasar diantara keduanya.

48

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), h. 2.

49

(52)

Menurut Kamal Rokan, perjanjian dalam teori persaingan usaha adalah upaya

atau lebih pelaku usaha dalam konteks strategi pasar. Oleh karenanya, esensi dari

perjanjian dalam persaingan usaha yaitu kesepakatan antara para pelaku usaha, yang

seharusnya bersaing, tentang tingkah laku pasar mereka baik keseluruhannya maupun

sebagian dari keseluruhan tingkah laku pasar.50 Sehingga persaingan diantara pelaku

usaha, pada akhirnya, menghilang.

Kartel merupakan akibat dari struktur pasar yang oligopolis.51Oleh karena itu,

“Perjanjian” pada pasar oligopoli lebih mengarah pada perjanjian yang bersifat

horizontal. Pada struktur pasar ini pun biasanya tidak terjadi perjanjian yang bersifat

tertulis atau lisan antar pelaku usaha, namun biasanya di tentukan oleh “saling

keterkaitan reaksi tanpa perjanjian” dan perilaku yang saling disesuaikan.52

Perjanjian dalam persaingan usaha terkadang hanya didasarkan pada “feeling”

ekonomi untuk menyamakan harga dan mengikuti pola pesaing lainnya. Sehingga tak

jarang perjanjian dapat terjalin tanpa memerhatikan apakah pihak yang menjalin

perjanjian melakukannya dengan suka rela atau tidak. Inilah yang membedakan

perjanjian dalam pengertian KUHperdata dengan perjanjian dalam hukum anti

(53)

42

Karenanya, dalam Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha nomor 4

tahun 2010 tentang pedoman pasal 11 Undang-undang nomor 5 tahun 1999, salah

satu syarat terjadinya kartel adalah terjadinya perjanjian atau kolusi antara pelaku

usaha, yang mana terdapat dua bentuk kolusi dalam kartel yaitu kolusi eksplisit dan

kolusi diam-diam.54

Kolusi eksplisit, dimana para anggota mengkomunikasikan kesepakatan

mereka secara langsung yang dapat dibuktikan dengan adanya dokumen perjanjian,

data mengenai audit bersama, kepengurusan kartel, kebijakan-kebijakan tertulis, data

penjualan dan data-data lainnya. 55

Sedangkan kolusi diam-diam, dimana pelaku usaha anggota kartel tidak

berkomunikasi secara langsung, pertemuan-pertemuan juga diadakan secara rahasia.

Biasanya yang dipakai sebagai media adalah asosiasi industri, sehingga

pertemuan-pertemuan anggota kartel dikamuflasekan dengan pertemuan-pertemuan-pertemuan-pertemuan yang legal

seperti pertemuan asosiasi. Bentuk kolusi yang kedua ini sangat sulit untuk dideteksi

oleh penegak hukum. Namun pengalaman dari berbagai negara membuktikan bahwa

setidaknya 30% kartel adalah melibatkan asosiasi.56

54

KPPU Perkom Nomor 4 Tahun 2010, h. 4.

55

KPPU Perkom Nomor 4 Tahun 2010, h.8.

56

Gambar

Tabel Konsumsi Nasional Semen 2004-2009

Referensi

Dokumen terkait

KEDUDUKAN HUKUM PUTUSAN & PARA PIHAK PADA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA. ( KPPU ) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ACARA

KPPU dalam menjalankan tugas-tugasnya yang terdapat dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat,

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjalankan peran sesuai dengan tugas yang diberikan Undang-Undang Nomor

b) mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke.. dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang

Tetapi dalam perkara indakasi kartel oleh APBI pihak otoritas persaingan usaha/KPPU menggunakan metode Harrington, Dan pengertian dari Metode Harrington ini adalah

ANALISIS PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 09/KPPU-L/2009 DAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR.. 502 K/Pdt.Sus/2010 TENTANGDUGAAN KASUSMONOPOLIDAN PERSAINGAN USAHA

Terkait dengan pelanggaran Pasal 19 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dalam putusannya,

KPPU dalam menjalankan tugas-tugasnya yang terdapat dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat,