• Tidak ada hasil yang ditemukan

BEBERAPA ASPEK DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL. A.Proses Pembuatan Perjanjian Internasional

Dalam dokumen Perjanjian Internasional yang telah dira (Halaman 32-47)

Signatories and Parties

BEBERAPA ASPEK DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL. A.Proses Pembuatan Perjanjian Internasional

Proses pembuatan Perjanjian Internasional bukanlah proses yang sederhana apalagi jika masalah yang dibahas merupakan isu-isu yang penting. Umumnya diperlukan waktu yang cukup lama untuk menghasilkan suatu perjanjian internasional. Misalnya untuk melahirkan Konvensi PBB tentang Hukum laut III (United Nations Conference on the Law of the Sea /UNCLOS III) diperlukan waktu selama 9 tahun.44 Hal ini karena proses pembuatan Perjanjian Internasional merupakan rangkaian dari tahap-tahap penting sebagai berikut: 44 Proses pembuatan UNCLOS III dimulai dari desember 1973 sampai September 1982 yang secara keseluruhan berjumlah i2 kali sidang. Konvensi ini diterima dalam Konferensi Hukum Laut III pada tanggal 30 April 1982 di New York untuk ditandatangani mulai tanggal 10 desember 1982 di montego bay Jamaika.

PI Berlaku

Perundingan/Negosiasi Persetujuan Saat Mulai Berlakunya PI

Verifikasi delegasi Penandatanganan Pendaftaran PI ke Lembaga Penyimpanan dan UNTS

Penunjukan delegasi Naskah PI Exists Ratifikasi/aksesi (multilateral) Negara/org.Int. Tukar menukar Instrumen

Penandatanganan (Bilateral) Pendaftaran PI ke UNTS

1. Penunjukan Delegasi dan verifikasi Delegasi.

Untuk membuat perjanjian internasonal baik negara maupun organisasi internasional memerlukan petugas untuk melakukan perundingan. Dalam Pasal 7 Konvensi Wina 1969 disebutkan bahwa para pihak yang secara otomatis dapat mewakili suatu negara tanpa melalui harus memiliki full power adalah :

a. Kepala Negara, Kepala Pemerintahan dan Menteri Luar Negeri untuk maksud melakukan semua tindakan yang berhubungan dengan penutupan suatu perjanjian; b. Kepala Misi diplomatik untuk maksud menyetujui teks perjanjian antar negara

pengirim dan negara dimana mereka diakreditasikan;

c. Wakil-wakil yang dikirim oleh suatu negara kepada suatu Konferensi internasional atau organisasi internasionl atau satu dari organ-organnya untuk maksud menyetujui teks perjanjian di dlam konferensi itu, organisasi itu atau organ-organnya.

Selain pihak-pihak yang disebutkan di atas, maka seorang delegasi untuk menjadi wakil dalam suatu perundingan harus memiliki dokumen yang disebut “Full Power”, yakni suatu dokumen yang berasal dari penguasa yang berwenang dari suatu negara yang menunjuk seseorang atau orang-orang untuk mewakili negara tersebut untuk berunding, menyetujui atau

mengesahkan teks suatu perjanjian, untuk menyatakan persetujuan negara terikat pada perjanjian atau untuk menyelesaikan tindakan-tindakan lainnya yang berkenaan dengan suatu perjanjian. Full power ini umumnya berisi nama-nama utusan dan juga luasan wewenang yang dimiliki. Dalam Perjanjian Internasional multilateral pemberitahuan itu dilakukan melalui panitia yang kemudian melaporkannya kepada Konferensi.

Disamping Full Power suatu delegasi yang menghadiri suatu konferensi internasional dalam kerangka suatu organisasi internasional biasanya dilengkapi dengan “Credential” atau surat kepercayaan. Menurut Pasal 27 Rules of Procedure of the General Assembly, surat-surat kepercayaan delegasi suatu negara k Majelis Sidang Umum PBB harus diserahkan ke Sekretaris Jenderal seminggu sebelum sidang dimulai. Jadi yang diperlukan untuk PBB dan Badan-Badan Subsider lainnya adalah surat-surat kepercayaan dan bukan Full Power. Bagi PBB surat kepercayaan ini adalah mutlak-untuk mengetahui dan kalau perlu memutuskan delegasi mana yang betul-betul mewakili suatu negara bila terdapat Pemerintah tandingan dari suatu negara.

2.Perundingan/Negosiasi dan Persetujuan.

Perundingan dalam pembuatan Perjanjian Internasional bilateral dilakukan dengan saling bicara secara langsung, sementara dalam pembuatan perjanjian internasional multilateral perundingan dilakukan dalam konferensi diplomatik. Konferensi diplomatik itu merupakan perundingan yang resmi. Disamping perundingan resmi itu dapat pula dilakukan perundingan yang tidak resmi di luar konferensi. Dalam tahapan ini para delegasi tetap mengadakan hubungan dengan Pemerintah masing-masing untuk berkonsultasi cara untuk mempertahankan konsep dari pemerintahnya dan untuk mendapatkan instruksi-instruksi baru terkait dengan masalah yang dibahas. Perundingan diharapkan ditutup dengan penetapan keputusan yang diperjanjikan. Penetapan keputusan itu, dalam Perjanjian Internasional Bilateral dilakukan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak yang berjanji, sementara dalam Perjanjian Internasional Multilateral, penerimaan naskah dapat ditentukan dengan :

-

Unanimity System

(Sistem Kebulatan Suara). Menurut sistem ini, suatu hal untuk dapat

disetujui atau dicapai kata sepakat akan berlaku mengikat jika mendapat persetujuan dari seluruh negara peserta pada Perjanjian Internasional tersebut atau seluruh negara yang terlibat dalam proses perundingan untuk memutuskan naskah suatu perjanjian internasional.. Jika

ternyata ada satu negara saja menyatakan ketidaksetujuannya, maka kata sepakat tersebut tidak dapat tercapai.

-Pan America System. Menurut sistem ini untuk tercapainya sebuah kesepakatan tidak

diperlukan diperlukan adanya persetujuan bulat dari seluruh negara peserta, namun ditetapkan sesuai dengan besaran yang disepakati bersama di antara para pihak, misalnya persetujuan teks perjanjian terjadi dengan suara 2/3 negara yang hadir dalam memberikan suara. Sistem ini disebut dengan Teori Pan Amerika karena untuk pertama kalinya diperkenalkan dan dianut oleh negara-negara yang ada di Benua Amerika yang tergabung dalam organisasi Negara-Negara Amerika (Organization of American states/OAS) pada Tahun 1932. Negara yang berpartisipasi dalam negosiasi disebut “Negara Peserta” (Contracting States).

3. Penandatanganan.

Apabila draft final Perjanjian Internasional telah disetujui, berarti instrumen ini telah siap untuk ditandatangani. Dalam praktek, umumnya akan ada jeda waktu yang cukup antara tahap persetujuan dan penandatanganan. Kondisi ini dimaksudkan agar para delegasi mempunyai waktu yang cukup untuk mempelajari dan berkonsultasi terlebih dahulu dengan pemerintahnya sebelum mengambil sikap untuk menandatangani atau tidak draft final yang ada. Tahap penandatanganan biasanya merupakan hal yang paling formal di mana tindakan penandatanganan merupakan hal yang essensial bagi suatu perjanjian internasional, karena terutama penandatangananlah yang memberi status otentik suatu teks perjanjian internasional. Disamping memberikan status otentik dalam Perjanjian Internasional yang dalam kategori tidak membutuhkan adanya ratifikasi maka penandatanganan ini juga berarti saat mengikatnya perjanjian internasional, jadi perjanjian akan berlaku sejak penandatanganan.

4.Ratifikasi/Aksesi (Consent to be bound).

Ratifikasi adalah proses yang dilalui oleh pemerintah atau organisasi internasional untuk secara resmi menyatakan terikat oleh traktat atau perjanjian internasional lain setelah pemerintah atau organisasi internasional menandatanganinya. Ratifikasi ini merupakan tahap wajib yang harus dilakukan dalam pembuatan sebuah perjanjian internasional, khususnya perjanjian internasional yang sifatnya multilateral sebagai tanda penerimaan atau pengesahan terhadap sebuah naskah perjanjian internasional untuk menciptakan ikatan hukum bagi para

pihaknya.45 Keharusan adanya tahap ratifikasi dalam perjanjian internasional ini karena hukum internasional mempunyai karakter yang berbeda dengan hukum nasional terkait dengan masalah pemberlakuannya, jika hukum nasional akan mengikat semua warga negara dalam satu negara sejak diundangkan, Hukum Internasional tidak dapat secara Ex propiovigore berlaku secara efektif dalam suatu negara sebelum ada proses transformasi

46maupun delegasi47.

Seiring dengan berkembangnya prinsip-prinsip demokrasi dan prinsip kedaulatan negara, maka mekanisme ratifikasi ini makin banyak digunakan karena dirasa perlu untuk memeriksa lagi perjanjian yang telah dibuat dan yang telah ditandatangani para delegasi. Proses koreksi terhadap perjanjian ini selain dimaksudkan untuk mempelajari kembali isi dari perjanjian dan melihat pada kondisi dalam negeri apakah sudah siap jika perjanjian tersebut akan diterapkan, juga dimaksudkan sebagai pelaksanaan hak legislatif dari parlemen untuk turut serta dalam proses pembuatan perjanjian internasional48. Secara detail tujuan dari ratifikasi adalah sebagai berikut :

a. Pelaksanaan Perjanjian Internasional menyangkut kepentingan dan mengikat masa depan negara dalam hal-hal tertentu, karena itu harus disahkan oleh kekuasaan negara tertinggi;

b. Untuk menghindari kontroversi antara utusan-utusan yang berunding dengan Pemerintah yang mengutus mereka;

c. Perlu adanya waktu agar instansi-instansi yang bersangkutan dapat mempelajari naskah yang diterima;

45 Catatan: ada beberapa perjanjian internasional yang dalam proses pembuatannya tidak mewajibkan untuk melakukan ratifikasi namun hanya dengan penandatanganan saja sudah dapat menciptakan ikatan hukum dengan negara pihak. Biasanya perjanjian internasional semacam ini adalah perjanjian internasional yang sifatnya bilateral, atau materi yang diatur hanya materi sederhana, dan itupun harus dinyatakan dalam salah satu pasal dalam klausula formal perjanjian bahwa perjanjian tersebut berlaku sejak diadakan penandatanganan perjanjian oleh para pihak. Sebagian besar perjanjian internasional yang ada mewajibkan adanya tahap ratifikasi, sementara penandatanganan hanya dimaksudkan sebagai persetujuan atau legalitas atas naskah yang dihasilkan menjadi naskah autentik.

46 Teori ini mengatakan bahwa untuk berlakunya Hukum Internasional dalam hukum nasional perlu ditransformasikan melalui sebuah adopsi khusus (Sugeng Istanto, 1998, Hukum Internasional, Universitas Atmajaya Yogyakarta, halaman 7)

47 Teori ini juga mengatakan bahwa untuk berlakunya Hukum Internasional dalam Hukum Nasional perlu ditransformasikan melalui sebuah adopsi khusus, namun adopsi di sini bukan sebuah proses transformasi namun merupakan kelanjutan satu proses pembentukan hukum yang dimulai dari penetapan perjanjian internasional sampai menjadi ketentuan hukum yang mengikat umum dalam satu negara.

48 Catatan: umumnya delegasi yang mewakili suatu negara dalam pembuatan sebuah perjanjian internasional adalah wakil eksekutif.

d. Pengaruh rezim parlementer yang mempunyai wewenang untuk mengawasi kegiatan-kegiatan eksekutif;

Dalam Pasal 14 Konvensi Wina 1969 dijelaskan bahwa persetujuan suatu negara untuk diikat suatu perjanjian dinyatakan dalam bentuk ratifikasi apabila:

a. Perjanjian itu sendiri mengharuskan supaya persetujuan diberikan dalam bentuk ratifikasi;

b. Bila terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding setuju untuk ratifikasi;

c. Bila utusan-utusan negara menandatangani perjanjian tersebut dengan syarat untuk meratifikasinya kemudian, atau;

d. Full Powers delegasi itu sendiri menyatakan bahwa ratifikasi diharuskan kemudian. Ratifikasi merupakan hak sepenuhnya dari negara yang berdaulat yang tidak dapat dipaksakan oleh negara atau organisasi ingernasional manapun, walaupun negara tersebut telah membubuhkan persetujuan terhadap materi dalam perjanjian lewat penandatanganan karena ini terkait dengann kekuatan dan kesiapan sebuah bangsa untuk menerima konsekuensi atas hak dan kewajiban yang terlahir dari perjanjian tersebut. Konsekuensi dari pernytaan terikat dalam sebuah perjnjian, maka sebuah negara pihak selain berhak untuk menikmati semua hak-hak yang disediakan juga wajib untuk memenuhi semua kewajiban yang terlahir dari perjanjian tersebut. Prinsip ini dikenal dengan “Pacta Sunt Servanda”, bahwa dalam sebuah perjanjian yang dibuat secara sah akan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan tidak dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat para pihak atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.49 Suatu negara adakalanya menglami kesulitan atau sangat terlambat sekali dan bahkan tidak melakukan sama sekali untuk menjadi pihak atau meratifikasi konvensi-konvensi atau perjanjian internasional walaupun instrumen internasional tersebut penting bagi negara yang bersangkutan. Hal ini terjadi karena dijumpainya kendala-kendala di dalam proses ratifikasi perjanjian internasional. Menurut Prof.Dr.Sumaryo Suryokusumo, SH.LLM kendala-kendala tersebut pada hakekatnya disebabkan oleh :

a. Constitutional Factor

Masalah konstitusional merupakan salah satu faktor yang menjadi kendala bagi peratifikasian perjnjian internasional oleh suatu negara. Hal ini terkait adanya satu atau beberapa ketentuan dalam konstitusi negara yang bersangkutan yang berlawanan dengan satu atau beberapa ketentuan yang ada dalam perjanjian internasional yang akan diratifikasi. Kendala semacam ini dalam banyak kasus di 49 Lihat Sudarsono, kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.

beberapa negara tidak saja menghambat ratifikasi namun sampai pada sikap negara untuk tidak meratifikasi perjanjian tersebut atau menunggu sampai dengan ada amandemen konstitusi negara yang bersngkutan untuk menyesuaikan ketentuan yang bertentangan dengan perjanjian internasional, baru kemudian dapat untuk diratifikasi. b. Jurisdictional Factor

Kendala yurisdiksi adalah kendala yang disebabkan karena negara yang bersangkutan tidak mau mengakui jurisdiksi dari mahkamah Internasional50, padahal dalam salah satu pasal dari perjanjian internasional tersebut memuat ketentuan bahwa dalam hal terjadi sengketa yang terkait dengan pelaksanaan hak dan kewajiban yang terlahir dari perjanjian tersebut, penyelesaiannya diserahkan kepada Mahkamah Internasional, dan dalam perjanjian tersebut juga tidak memperbolehkan adanya reservasi.

c. Substantive Factor

Faktor substansi menghambat proses ratifikasi oleh berbagai negara di dunia. Kendala ini lebih kepada substansi yang diatur dari perjanjian internasional yang bersangkutan yang dianggap tidak sesuai dengan kondisi dalam negara yang bersangkutan. Umumnya ketidaksesuaian substansi ini bisa dilihat dari aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya serta teknis pelaksanaannya perjanjian internasional tersebut apabila diterapkan oleh negara yang bersangkutan. Di dalam negara-negara berkembang dan dalam kategori yang masih terbelakang umumnya faktor substansi ini juga berkaitan dengan kesulitan dari pihak legislatif untuk memahami materi yang diatur dalam perjanjian tersebut, sehingga dalam proses pembahasan untuk peratifikasian perjanjian internasional tersebut mengalami keterlambatan dan berkepanjangan dan bahkan sampai tertunda. Di beberapa negara selain berbagai komisi yang dibentuk juga ada komisi ahli (expert Commission) yang anggotanya para pakar berbagai bidang dan bukan merupakan anggota parlemen (Non parliamentarian) yang bertugas untuk membahas secara substantif permasalahannya sehingga dapat memberikan rekomendasi dari parlemen untuk pengesahan terakhir.

50 Pada prinsipnya yurisdiksi dari mahkamah Internasional sifatnya non compulsory, wewenang wajib dari mahkamah Internasional hanya dapat terjadi bila negara negara sebelumnya dalam suatu persetujuan menerima wewenang tersebut (Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam era Dinamika Global, PT Alumni Bandung Edisi ke 2, hlm.260.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh suatu negara sebelum melakukan proses ratifikasi adalah :

a. Apakah materi yang diatur dalam perjanjian tersebut berkaitan dengan kepentingan nasional negara tersebut ;

b. Apakah konsekuensi hukum yang terlahir dari perjanjian tersebut sudah mampu untuk dilaksanakan oleh negara tersebut :

c. Apakah perjanjian internasional yang bersangkutan memungkinkan bagi negara tersebut untuk melakukan reservasi51 atau deklarasi 52

Sebenarnya penggunaan kata ratifikasi dewasa ini tidaklah seperti istilah ratifikasi yang dimaksudkan dalam Konvensi Wina tahun 1969, dimana istilah ratifikasi ini lebih dimaksudkan sebagai pengesahan atas perjanjian internasional. Menurut Konvensi Wina 1969 Pasal 2 (b) sebenarnya pengesahan suatu perjanjian internasional tidak harus selalu dengan ratifikasi melainkan dapat dengan :

a. Ratifikasi (Ratification), adalah bentuk pengesahan terhadap perjanjian yang sudah ditandatangani oleh delegasi dari suatu negara (Negara yang bersangkutan termasuk sebagai negara perunding/negosiating state);

b. Aksesi (Accession) adalah pengesahan terhadap perjanjian yang tidak ditandatangani (Negara yang bersangkutan bukan merupakan negara perunding dalam perjanjian yang disahkan),;

c. Penerimaan (Acceptance) dan Penyetujuan (Approval); acceptance adn approval adalah pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak dalam suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut (Direktorat Jenderal hukum dan Perjanjian Internasional 2006, Pedoman Teknis dan Referensi tentang Pembuatan Perjanjian Internasional, Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya, Direktorat jenderal hukum Dan Perjanjian Internasional, Departemen Luar negeri jakarta, hlm.30).

51 Reservasi adalah pernyataan sepihak bagaimanapun diungkapkan atau dinamakan yang dibuat oleh suatu negara ketika menabndatangani, mengesahkan, menerima, menyetujui atau ikut serta pada suatu perjanjian dengan mana ia mengakui meniadakan atau mengubah akibat hukum dari ketentuan-ketentuan tertentu suatu perjanjian dalam penerapannya terhadap perjanjian tersebut (Sumaryo Suryokusumo, Studi kasus Hukum Internasional, Tata Nusa Jakarta, hlm.179).

52 Deklarasi adalah pernyataan sepihak suatu negara tentang pemahaman atau penafsiran mengenai suatu ketentuan dalam perjanjian internasional yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui atau mengesahkan perjanjian internasional yang bersifat multilateral guna memperjelas makna ketentuan tersebut dan tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi hak dan kewajiban negara dalam Perjanjian Internasional (Pasal 1 poin (6) UURI No.24 tahun 2000 tentang Pwerjanjian Internasional)

Adapun mengenai bentuk mana yang harus diambil oleh suatu negara untuk melakukan pengesahan terhadap perjanjian internasional pada umumnya diatur lebih rinci oleh perjanjian itu sendiri dengan memperhatikan prinsip umum dalam perjanjian internasional.

Adapun mengenai mekanisme ratifikasinya, Hukum Internasional memberikan kewenangan kepada masing masing negara untuk mengatur mekanismenya menurut konstitusi negara masing-masing. Hal ini karena pengaturan tentang kewenangan kekuasaan pembuatan perjnjian internasional antara satu negara dengan negara lain tidak sama. Secara umum ada tiga tipe kewenangan kekuasaan pembuatan perjanjian internasional.

a. Kewenangan mutlak eksekutif;

Kewenangan ini pada umumnya terdapat pada sistem monokrasi dengan kekuasaan terkonsentrasi pada Kepala negara sebagai kepala eksekutif. Sistem ini umumnya dipkai dalam sistem monarkhi absolut;

b. Kewenangan mutlak legislatif’

Kewenangan ini umumnya berkembang pada saat di mana lembaga legislatif suatu kekuasaan termasuk di dalamnya kekuasaan pembuatan perjanjian; c. Pembagian kewenangan antara eksekutif dan legislatif.

Kewenangan untuk membuat perjanjian berada di tangan lembaga eksekutif, namun untuk melaksanakan kewenangan tersebut lembaga eksekutif harus mendapat persetujuan dari lembaga legislatif. Jadi di sini menekankan pada perlunya kerjasama antara lembaga eksekutif dan legislatif dalam pembuatan perjanjian internasional.

5.Pendaftaran dan Publikasi Perjanjian Internasional.

Proses pendaftaran dan publikasi suatu perjanjian internasional merupakan proses yang penting. Semua perjanjian internasional baik yang sifatnya bilateral maupun multilateral sesegera mungkin harus didaftarkan pada Sekretariat PBB setelah berlaku sesuai dengan Pasal 102 piagam PBB, Pendaftaran itu disertai pula dengan publikasinya secara luas dan terbuka dalam The United Nations Treaty Series (UNTS). Akibat dari pendaftaran dan pengumuman itu ialah bahwa perjanjian internasional itu dapat digunakan sebagai dasar hukum di hadapan organ PBB. Tidak didaftarkan perjanjian internasional itu tidak berarti batalnya perjanjian tersebut. Perjanjian yang tidak didaftarkan masih daoat digunakan sebagai dasar hukum di hadapan badan atau peradilan di luar PBB.

Disamping pendaftaran ke PBB, untuk Perjanjian Internasional yang sifatnya multilateral juga diwajibkan untuk didaftarkan pada lembaga penyimpan yang ditunjuk dalam perjanjian pada saat negara menyatakan ratifikasi atau aksesinya, dengan kewajiban lembaga penyimpan untuk mencatat dan menginformasikannya kepada seluruh negara pihak. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui posisi suatu negara dalam suatu perjanjian internasional beserta hak dan kewajibannya berdasarkan perjanjian internasional tersebut.

6.Saat Mulai Berlakunya Perjanjian (Enter into Force Treaty).

Menurut ketentuan Pasal 24 ayat (1) Konvensi Wina 1969, berlakunya suatu perjanjian internasional tergantung pada :

a. Ketentuan perjanjian itu sendiri;

b. Atau apa yang telh disetujui oleh negara peserta.

Dalam praktek suatu perjanjian dapat berlaku pada saat : a. Penandatanganan Perjanjian;

b. Pada tanggal yang disepakati melalui pertukaran Nota (Exchange of Notes). c. Penyampaian notifikasi bahwa prosedur internal telah dipenuhi;

d. Pertukaran Piagam Pengesahan; e. Pengesahan;

f. Cara lain yang disepakati para pihak, misalnya Simlified Procedure, yakni keterikatan secara otomatis pada Perjanjian Internasional, apabila dalam masa tertentu tidak menyampaikan notifikasi tertulis untuk menolak keterikatannya pada suatu perjanjiaj internasional.

B.Bahasa Perjanjian Internasional.

Masalah bahasa dalam pembuatan perjanjian Internasional merupakan satu hal penting yang perlu mendapat pengaturan secara khusus. Hal ini mengingat para pihak dalam Perjanjian Internasional, umunya memiliki bahasa nasional yang berbeda-beda sehingga untuk menghindari penafsiran yang berbeda atas materi perjanjian internasional. Perlu disepakati aturan tertentu dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian. Beberapa pengaturan masalah bahasa dalam Perjanjian Internasional adalah sebagai berikut :

Untuk Perjanjian Internasional yang sifatnya bilateral, pengaturannya tidak begitu rumit. Naskah perjanjian pada prinsipnya cukup dibuat dalam bahsa nasional masing-masing pihak berdasarkan urutan abjad dalam Bahasa Inggris dan dalam bahasa Inggris naskah terakhirnya . Sebagai contoh :

a. Indonesia (bahasa Indonesia)+Mesir (bahasa Arab)= naskahnya dalam Bahsaa Arab , Indonesia dan Inggris.

b. Indonesia (Bahasa Indonesia+Singapura (Bahasa Inggris); Naskahnya cukup dalam Bahasa Indonesia dan Inggris;

Demikian juga jika pihaknya tiga atau empat negara, umumnya mekanisme pengaturan bahasanya seperti dalam pengaturan dalam Perjanjian Internasional Bilateral. Misalnya jika pihaknya Indonesia, India, Thailand dan Inggris. Dalam pelaksanaannya nanti, jika terjadi perbedaan dalam hal penafsiran teks perjanjian internasional, maka naskah dalam Bahasa Inggrislah yang diutamakan penggunaannya.

2. Perjanjian Internasional Multilateral.

Pada perjanjian internasional yang sifatnya multilateral pengaturannya berbeda. Hal ini karena dalam perjanjian ini umumnya pihaknya sangat banyak bahkan sampai mencapai ratusan, sehingga sangat menyulitkan jika harus dibuat dalam masing-masing bahasa dari negara pihak. Dalam praktekny, umumnya negara hanya memilih Bahasa Inggris saja sebagai bahasa resminya, sementara di PBB ada enam bahasa resmi yaitu : Inggris, Perancis, Spanyol, China Rusia dan bahasa Arab. Pada prinsipnya dalam Perjanjian Internasional multilateral bahasa apa saja yang dianggap resmi tidak ada ketentuannya secara baku, namun tergantung pada keinginan para negara perunding yang akan dituangkan juga dalam salah satu pasal dalam Perjanjian Internasional tersebut.53

C. Pensyaratan (Reservation)

Pensyaratan (Reservation) adalah suatu sistem, di mana suatu negara yang merupakan pihak pada perjanjian dapat menyatakan pensyaratan pada pasal-pasal tertentu. Jadi, kalau pensyaratan tersebut diterima, maka negara yang bersangkutan 53 Misalnya dalam article 53 The International Covenant on Civil and Political Rights dinyatakan : “The present Covenant, of which the Chinese, English, french, Russian and Spanish texts are equally authentic, shall be deposited in the archives of the United Nations”.

dapat menolak pelaksanaan pasal-pasal tersebut untuknya. Pensyaratan dapat diajukan waktu penandatanganan, ratifikasi, akseptasi, aprobasi dan aksesi.

Bila pensyaratan ini dimungkinkan, jumlah pihak pada suatu perjanjian menjadi lebih banyak, namun sistem ini dapat pula menimbulkan kesukaran-kesukaran karena uniformitas perjanjian menjadi tidak terjaga karena pensyaratan suatu negara dapat berlainan dengan pensyaratan negara lain. Disamping itu integritas perjanjian tidak terjamin lagi dan akan sulit juga untuk diketahui pasal-pasal mana yan berlaku dan tidak berlaku bagi suatu negara.

Walaupun sistem ini menimbulkan kesulitan-kesulitan namun praktek

Dalam dokumen Perjanjian Internasional yang telah dira (Halaman 32-47)

Dokumen terkait