• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjanjian Internasional yang telah dira

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perjanjian Internasional yang telah dira"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Perkembangan Hukum Perjanjian Internasional Sebelum Berdirinya

Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Dalam perkembangan sejarah hubungan internasional, perjanjian yang dilakukan antara negara mempunyai peranan yang sangat mendasar, apalagi perjanjian itu sendiri merupakan sumber Hukum Internasional dan sekaligus sebagai cara bagi semua negara untuk mengembangkan kerjasama yang damai meskipun sistem sosial dan konstitusinya berbeda. Hal ini sejalan dengan tujuan United Nations dalam rangka menciptakan keadaan dalam suasana yang adil dan menghormati kewajiban-kewajiban internasional yang timbul dengan perjanjian antar negara tersebut.

Sebelum berdirinya United Nations, masalah perjanjian antar negara baik bersifat bilateral maupun multilateral, dalam perkembangan kemajuan Hukum Internasional masih belum dapat dikodifikasikan secara menyeluruh dan mendasar, karena itu di dalam praktek pembuatan perjanjian antar negara pada masa itu masih didasarkan pada aturan-aturan kebiasaan internasional. Mengenai mekanisme untuk membentuk aturan-aturan-aturan-aturan baru dalam Hukum Internasional adalah sangat terbatas. Kebiasaan tersebut hanya mengandalkan pada tindakan dalam praktek negara yang didukung oleh ‘Opinio Jurist’,walaupun tidak selalu, biasanya merupakan suatu proses yang berkembang dan tepat pada waktunya.

Perjanjian itu di lain pihak merupakan cara yang lebih bersifat langsung dan formal dalam pembentukan Hukum Internasional. Negara melakukan kegiatan-kegiatan yang sangat banyak dengan menggunakan perjanjian itu sebagai alat walaupun dirasakan kurangnya prosedur di dalam Hukum Internasional. Sedangkan kenyataannya ada banyak cara, di mana subyek dalam perundang-undangan nasional sesuatu negara dapat membuat hak dan kewajiban yang mengikat. Sebagai contoh, suatu peperangan akan diakhiri, pertikaian akan diselesaikan, wilayah akan diduduki/didapat, kepentingan-kepentingan khusus telah ditentukan, suatu persekutuan dibentuk dan suatu organisasi internasional didirikan, yang semuanya itu dibuat dengan menggunakan perjanjian. Karena itu konsep tentang perjanjian dan pelaksanaannya menjadi faktor yang sangat penting bagi perkembangan Hukum Internasional.1

(2)

Dengan adanya perjanjian dan bentuk persetujuan internasional lainnya tersebut telah merupakan kenyataan yang tercatat dalam sejarah. Sejak masa Grotius ( Hugo de Groot) sampai masa-masa sesudahnya hal itu telah merupakan kebiasaan bagi negarawan untuk menggunakan aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan yang bersifat kontraktual antara individu-individu secara tersendiri dalam mengembangkan aturan-aturan Hukum Internasional yang mengatur perjanjian antar negara. Kemudian setelah beberapa dekade terdapat usaha untuk merumuskan aturan-aturan Hukum Internasional tersebut. Walaupun usaha-usaha yang dirintis itu masih dalam tahap rancangan tentang prinsip-prinsip umum, dalam prakteknya telah diterapkan oleh negara sebagai keseragaman yang diharapkan dapat mendorong usaha kodifikasi Hukum Perjanjian Internasional di masa berikutnya. Usha-usaha itu telah dapat dibuktikan dengan adanya Konvensi Havana mengenai Perjanjian pada Tahun 1928 dan Harvard Research in International Law yang menghasilkan suatu “Rancangan Konvensi tentang Hukum Perjanjian” pada Tahun 1935.2

Namun, usaha-usaha tersebut dianggap kurang bersifat menyeluruh di bidang Perjanjian Internasional, karena itu dianggap perlu dan mendesak bagi United Nations untuk segera melakukan kodifikasi dan pengembangan kemajuan Hukum Perjanjian Internasional guna membina perdamaian dan keamanan internasional dan mengembangkan hubungan bersahabat serta tercapainya kerjasama antar negara. Kebutuhan yang sangat mendesak dari masyarakat United Nations tersebut juga didasari adanya dua pengalaman yang penting, yaitu, pertama adanya kesulitan dari negara yang akan menyampaikan instrumen ratifikasi terhadap Perjanjian Multilateral dengan “keberatan-keberatan”, “pensyaratan-pensyaratan” atau “Reservations”, dan ke dua, keikutsertaan negara-negara baru dalam Perjanjian Multilateral Umum (General Multilateral Treaties) yang dibuat di bawah naungan Liga Bangsa Bangsa (League of Nations) yang sudah ada sebelum United Nations terbentuk.

a. Ratifikasi Perjanjian Multilateral dengan “Reservations”

Masalah “keberatan” terhadap Perjanjian Multilateral menjadi persoalan yang praktis pada waktu “The General Assembly” dalam Tahun 1950 menghadapi masalah “Keberatan” terhadap konvensi Mengenai Pencegahan dan Penghukuman Terhadap Kejahatan Genosida”3 meminta kepada International Court of Justice untuk 2 Lihat Fenwick CG, International Law, Fourth Edition, 1965, p.514-549, lihat juga Glahn Gv, Law among Nations, An Introduction to Public International Law, Second Edition, 1970,p.420.

3 yang disetujui oleh General Assembly pada tanggal 9 Desember 194 Convention on

(3)

memberikan pendapatnya tentang akibat “keberatan” terhadap konvensi dan dalam waktu yang bersamaan juga telah menyerukan kepada International Law Commission4 untuk mempelajari masalah umum dari sudut pandang kodifikasi dan pengembangan kemajuan Hukum Internasional.5

International Court of justice kemudian memberikan jawaban yang dianggap masih menyangsikan yaitu dengan mengusulkan agar setiap pihak konvensi mempertimbangkan bahwa negara yang membuat “keberatan” merupakan pihak terhadap konvensi tersebut, apabila “keberatan” itu menurut pendapatnya adalah sesuai dengan maksud dan tujuan konvensi itu, yaitu dengan membuat keputusan tersendiri dengan negara tertentu.6 International Court of justice telah berpedoman pada praktek yang telah ada pada Sekretaris Jenderal United Nations, bahwa suatu “keberatan” yang dinyatakan sah haruslah diterima oleh para pihak yang membuat perjanjian.7

General assembly kemudian mengakhiri persoalan tersebut dengan mengesahkan suatu Resolusi yang meminta kepada Sekretaris Jenderal United Nations untuk tetap berlaku sebagai depositor dari semua dokumen yang berisi “keberatan-keberatan” itu kepada negara-negara yang berkepentingan dan menyerahkannya kepada setipa negara untuk menarik konsekuensi hukum dari penyampaian itu.8

b. Keikutsertaan Negara-Negara Baru Dalam Perjanjian Multilateral Umum.

Sehubungan dengan masalah keikutsertaan negara-negara baru sebagai pihak pada Perjanjian Multilateral Umum tertentu yang dihasilkan semasa Liga Bangsa-Bangsa, dalam Tahun 1962 General assembly pernah meminta kepada Komisi Hukum Internasional9 untuk mempelajari masalah tersebut. Pada masa itu Dewan Liga Bangsa-Bangsa telah diberikan otorisasi untuk mengundang negara-negara lainnya

Januari 1951.

4 Untuk mengembangkan Hukum Internasional secara progresif, maka The General Assembly of the United Nations dalam sidangnya yang ke dua pada Tahun 1947 mengeluarkan sebuah Resolusi Nomor 174/II tentang Pembentukan “International Law

Commission” didasarkan pada ketentuan Pasal 13 ayat 1 butir a-Charter of the United

Nations yang berbunyi :..promoting international cooperation in the political fields and encouraging the progressive development of International law and its codification.

5 Fenwick CG, Ibid.p.528. 6 UN Yearbook, 1951, p.820.

7 Report of the International Law Commission, 1951, p.3-8. 8 UN Yearbook, 1951, p.832.

(4)

sebagai tambahan untuk menjadi pihak dari perjanjian-perjanjian tersebut, tetapi bagi negara-negara yang tidak diundang oleh Dewan sebelum dibubarkannya Liga Bangsa-Liga Bangsa pada Tahun 1946 tidak dapat menjadi pihak karena tidak adanya undangan untuk itu. Masalah tersebut pada mulanya oleh International law Commission telah dimintakan perhatian dari General Assembly.

Dalam tahun yang sama dalam laporan International Law Commission kepada General Assembly telah dinyatakan bahwa International law Commission telah menemukan kesulitan dalam usaha mencari penyelesaian yang cepat dan memuaskan terhadap masalah tersebut melalui jalur rancangan pasal-pasal mengenai Hukum Perjanjian dan karena itu menyarankan untuk membicarakan kemungkinan penyelesaian masalahnya lebih cepat dengan menggunakan prosedur yang lain seperti langkah-langkah administratif.

Atas rekomendasi International law Commission maka General Assembly telah mengeluarkan Resolusi 10 yang menetapkan bahwa General Assembly merupakan badan yang paling layak untuk meneruskan tugas The League of Nations sehubungan dengan adanya 21 Perjanjian Multilateral umum yang sifatnya Non Politis atau teknis yang dihasilkan sewaktu berdirinya the League of Nations. Resolusi itu juga minta kepada Sekretaris Jenderal United Nations mengenai beberapa hal:

a. Agar resolusi tersebut juga diberitahukan kepada pihak dari perjanjian-perjanjian multilateral umum, tetapi mereka yang bukan anggota United Nations;

b. Menyampaikan resolusi ini kepada negra-negara anggota yang menjadi pihak dari perjanjian-perjanjian multilateral umum;

c. Mengadakan konsultasi jika perlu dengan negara-negara tersebut serta Badan-Badan Khusus United Nations yang ada kaitannya denga masalahnya mengenai apakah perjanjian-perjanjian multilateral umum yang tidak berlaku lagi telah digantikan, atau tidak lagi ditawarkan kepada negara lain untuk aksesi atau memerlukan tindakan lain untuk menyesuaikan dengan kondisi seperti yang ada sekarang;

d. Melaporkan kepada General Assembly dalam sidang berikutnya mengenai pelaksanaan resolusi ini;

e. Mengundang setiap negara anggota baik United Nations maupun Badan Khusus United Nations atau yang menjadi pihak dalam Statuta International Court of Justice ataupun yang telah dipercayakan dengan tugas-tugas General

(5)

Assembly dan yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi pihak dari perjanjian yang dipersoalkan untuk melakukan aksesi dengan mendepositokan satu instrumen aksesi kepada Sekretaris Jenderal United Nations.

Atas dasar resolusi tersebut, General Assembly kemudian menyatakan persetujuannya terhadap 9 dari 21 perjanjian multilateral umum itu yang dapat diaksesi oleh negara-negara lainnya yang berminat sebagai tambahan dan meminta perhatian dari para pihak yang berkeinginan untuk mengesahkan beberapa perjanjian itu pada kondisi seperti yang ada sekarang, khususnya dalam hal pihak-pihak yang baru akan memintanya.11

2. Lingkup Perjanjian Internasional.

Mengenai lingkup dari permasalahan perjanjian internasional hampir tidak ada batasnya karena menyangkut masalah politik, ekonomi, perdagangan, sosial, kebudayaan, dan berbagai persoalan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Daftar macam perjanjian juga hampir tidak ada akhirnya dari perjanjian tentang Persekutuan Militer, pengaturan Perlucutan Senjata, perilaku peperangan,, membuat perdamaian, jaminan terhadap netralitas, penyelesaian sengketa, perbatasan, ekstradisi, hubungan diplomatik dan konsuler, pelayaran dan lalu-lintas perkapalan, penerbangan, bea cukai, hak cipta, perpajakan, imigrasi, kondisi perburuhan, kesejahteraan sosial, pertukaran budaya, bantuan ekonomi dan teknik, masalah pengungsi, timbangan dan ukuran, perhubungan dan topik-topik khusus lainnya.

Bagi kerjasama dan saling ketergantingan internasional memang diperlukan bagi negara-negara untuk membuat ratusan perjanjian yang bukan saja mengatur urusan mereka satu sama lain, tetapi juga untuk meningkatkan kepentingan dan kemudahan masing-masing. Seperti juga kontrak-kontrak dalam kehidupan domestik, perjanjian benar-benar merupakan pokok dalam hubungan masyarakat internasional.12 Kemampuan untuk membuat perjanjian internasional adalah merupakan satu atribut dari negara yang berdaulat.13 Suatu perjanjia pada dasarnya merupakan persetujuan antara para pihak mengenai berbagai persoalan internasional. Meskipun perjanjian-perjanjian itu dibuat antara negara dan organisasi internasional pada intinya juga menyangkut hubungan antara negara. International Law Commission ternyata telah

(6)

dapat menyelesaikan seperangkat rancangan pasal-pasal mengenai perjanjian antar negara dan organisasi internasional.14

Kemudian Konvensi Internasional mengenai Hukum Perjanjian telah ditandatangani pada Tahun 1969 dan telah berlaku sejak Tahun 1980, karena itu maka penekanannya pada aturan-aturan yang layak yang telah muncul diantara negara-negara. Konvensi Wina mengenai Hukum Perjanjian 1969 sebagian memuat Hukum Kebiasaan15 dan merupakan kerangka dasar bagi setiap pembicaraan mengenai sifat perjanjian.

3. Fungsi Dan Tujuan Perjanjian Internasional.

Dalam kehidupan masyarakat internasional dewasa ini, Perjanjian Internasional mempunyai beberapa fungsi yang tidak bisa diabaikan. Fungsi pentingnya telah mendapatkan pengakuan umum anggota masyarakat bangsa-bangsa. Keadaan demikian tercermin pada masyarakat internasional yang tertuang dalam Preambul Konvensi Wina Tahun 1969 mengenai Perjanjian Internasional. Peran penting yang fundamental dari Perjanjian Internasional dalam sejarah hubungan internasional tidak dapat dipungkiri lagi. Beberapa fungsi dan tujuan Perjanjian Internasional adalah sebagai berikut :

a. Perjanjian Internasional merupakan sarana utama yang praktis bagi transaksi dan komunikasi antar anggota masyarakat negara;

b. Perjanjian Internasional sebagai sumber Hukum Internasional, yang oleh keluarga bangsa-bangsa telah diakui mempunyai posisi tertentu yang berkembang dengan pesat. Sumber-sumber Hukum Internasional yang lain dewasa ini terbukti tidak memiliki kemampuan seperti Perjanjian Internasional dalam menanggulangi tuntutan yang semakin besar dari masyarakat internasional;

c. Perjanjian Internasional sebagai sarana pengembangan kerja sama internasional secara damai telah menunjukkan hasil positif. Tidak terhitung lagi jumlah negara di semua kawasan dunia telah mengadakan kerjasama antar negara melalui perundingan internasional yang menghasilkan banyak Perjanjian Internasional. d. Perjanjian Internasional sebagai media penyelesaian sengketa internasional.

Sengketa internasional yang bermunculan di berbagai bagian dunia tidak sedikit yang diselesaikan dengan sarana Perjanjian Internasional;

14 Yearbook of the International Law Commission, 1982, Vol.II, Pt 2,p.9, lihat Shaw MN,

p.458-459.

(7)

e. Perjanjian Internasional merupakan alat kontrol bagi para peserta yang terlibat di dalam melaksanakan isi perjanjian tersebut;

f. Perjanjian Internasional menjamin “kepastian Hukum” (Rechtzeikerheid) bagi para pihak yang berkepentingan;

g. Perjanjian Internasional menimbulkan hukum (Law Making) bagi subyek, peserta dalam Perjanjian Internasional yang bersangkutan.

BAB II

KODIFIKASI HUKUM PERJANJIAN16

A. Hukum Perjanjian Sebagai Topik Utama.

International Law Commission dalam sidangnya yang pertama Tahun 1949 telah menempatkan Hukum Perjanjian Internasional diantara topik-topik yang dianggap cocok untuk kodifikasi. Karena pembahasan topik-topik lainnya maka

(8)

Komisi baru dapat membicarakan kembali topik Hukum Perjanjian pada Tahun 1953 dalam sidangnya yang ke lima dan kemudian dalam sidangnya yang ke enam Tahun 1954. Namun tidak ada kemajuan yang berarti yang diperoleh dari komisi karena penggantian penggantian rappoteur khusus (special rapporteur) yang terjadi pada saat itu.

Di dalam perkembangan lebih lanjut dalam lima sidangnya yang diadakan antara Tahun 1956-1960, komisi telah menerima laporan-laporan yang cukup berhasil dari rapporteur khusus yang menangani masalah Hukum Perjanjian dengan disertai rancangan De Novo dan kemudian disusunnya dalam bentuk satu “Expository Code” atau “Code of a General Character” dan belum dalam bentuk konvensi internasional. Pada waktu itu Komisi ternyata baru dapat memusatkan pekerjaannya mengenai topik Perjanjian Internasional pada sidangnya yang ke sebelas pada Tahun 1959 dan telah berhasil mengesahkan sementara naskah yang terdiri dari 14 pasal termasuk komentarnya. Pada waktu komisi melaporkan hasil kerjanya mengenai topik tersebut kapada General Assembly dalam tahun yang sama, komisi juga telah menjelaskan alasan-alasan keterlambatannya dengan menyatakan sebagai berikut :

“Secara singkat, hukum Perjanjian bukanlah dengan sendirinya tergantung dari perjanjian, tetapi merupakan bagian dari Hukum Kebiasaan Internasional secara umum. Pertanyaan bisa timbul apakah Hukum Perjanjian itu diwujudkan dalam suatu Konvensi Multilateral, tetapi beberapa negara tidak menjadi pihak atau menjadi pihak pada konvensi itu dan kemudian sesudahnya menolaknya, karena ternyata mereka akan atau tetap terikat pada ketentuan-ketentuan dari perjanjian tersebut sepanjang ketentuan-ketentuan-ketentuan-ketentuan itu memasukkan Hukum Kebiasaan Internasional de lege lata.

Tidak diragukan lagi kesulitan timbul bila suatu konvensi memasukkan aturan-aturan hukum kebiasaan internasional. Dalam praktek hal itu sering tidak menjadi masalah. Dalam hal Hukum perjanjian hal itu bisa menjadi masalah karena Hukum Perjanjian itu sendiri merupakan dasar dari kekuatan dan pengaruh dari semua perjanjian. Dengan pertimbangan-pertimbangantersebut maka jika diputuskan untuk memasukkan “Code” tersebut atau sebagian darinya dalam bentuk satu konvensi internasional, maka perumusan akan sangat berubah dan mungkin penghapusan dari beberapa pokok, yang sudah tentu diperlukan “.17

Dalam sidangnya yang ke tiga belas, International law Commission telah merubah cara kerjanya dengan mempersiapkan rancangan pasal yang mampu untuk

17 Yearbook of the International law Commission, 1959, volume II, document A/4169,

(9)

dijadikan dasar bagi suatu Konvensi Internasional. Keputusan ini kemudian dijelaskan lagi oleh Komisi dalam sidangnya yang ke empat belas sebagai berikut :

“Pertama, satu “Expository Code” bagaimanapun juga telah dirumuskan dengan baik, tidak dapat diwujudkan sebagai sesuatu yang efektif seperti satu konvensi untuk menggabungkan hukum, dan penggabungan Hukum perjanjian adalah penting sekali dewasa ini pada waktu banyak negara baru telah menjadi anggota masyarakat Internasional.

Kedua, Kodifikasi Hukum Perjanjian Internasional melalui suatu Konvensi Multikultural akan memberikan peluang bagi semua negara untuk ikut serta secaralangsung dalam perumusan hukum jika mereka menghendakinya, dan keikutsertaan mereka dalam pekerjaan-pekerjaan kodifikasi nampaknya bagi komisi sangat diperlukan agar hukum Perjanjian dapat ditempatkan sebagai dasar yang paling luas dan paling terjamin.18

B. Pengesahan Rancangan Pasal-Pasal.

Dalam sidang yang sama komisi telah berhasil mengesahkan satu rancangan sementara yang terdiri dari 29 pasal mengenai kesimpulan, masa berlakunya dan registrasi perjanjian serta memutuskan untuk menyampaikan rancangan tersebut kepada pemerintah negara-negara anggota untuk memperoleh tanggapan. Dalam membahas laporan komisi tersebut, dalam tahun yang sama General Assembly telah memberikan rekomendasi kepada komisi untuk menerukan pekerjaannya tentang hukum perjanjian dengan memperhatikan semua pandangan yang diketemukan dalam sidang General Assembly oleh para delegasi negara anggota dari tanggapan tertulis yang disampaikan oleh Pemerintah negara-negara anggota.19

Dalam tahun berikutnya Komisi tekah membahas laporan dari Rapporteur Khusus dan kemudian mengesahkan lagi rancangan sementara yang terdiri dari 24 pasal meliputi pembatalan, berakhirnya dan penangguhan perjanjian serta memutuskan seperti biasanya untuk menyampaikan kepada pemerintah negara-negara anggota untuk mendpatkan komentar mereka. Dalam sidangnya yang ke enam-belasTahun 1964, komisi kemudian membahas lagi laporan Rapporteur Khusus dan mengesahkan satu rancangan sementara dari 19 Pasal berikutnya tentang penerapan, pengaruh, peninjauan kembali dan penafsiran perjanjian dan 18 Ibid. 1962, volume II, document A/5209, para.17.

(10)

dengan demikian lengkaplah sudah rancangan sementara mengenai topik itu. Bagian ke tiga dari rancangan pasal-pasal ini juga dimintakan komentar dari pemerintah-pemerintah negara anggota.

Pada sidangnya yang ke tujuh-belas komisi sudah mulai mengadakan tinjauan kembali tentang rancangan pasal-pasal sehubungan dengan komentar yang ditrerima dan pembicaraan dalam Komite VI (Komite Hukum) General Assembly di mana mayoritas banyak dari wakil-wakil negara anggota menyepakati keputusan komisi untuk memberikan kodifikasi terhadap Perjanjian Internasional dalam bentuk “Konvensi”. Di sidang berikutnya, komisi telah selesai mempelajari rancangan pasal-pasal yang terdiri dari 75 pasal termasuk komentar masing-masing. Pada waktu komisi menyampaikan laporannya kepada General Assembly, komisi memberikan rekomendasi agar General Assembly menyelenggarakan satu Konferensi Internasional yang Berkuasa Penuh (International Conference of Plenipotentiaries) untuk mempelajari rancangan pasal-pasal yang dihasilkan oleh komisi mengenai Hukum Perjanjian dan menyelesaikan satu Konvensi mengenai masalah itu.20

Dalam penyusunan rancangan pasal-pasal, komisi memutuskan untuk membatasi lingkup penerapan dari pasal-pasal tersebut untuk perjanjian-perjanjian yang dibuat antara negara, tidak dimasukkan perjanjian-perjanjian antara negara dan subyek Hukum Internasional lainnya (misalnya seperti Organisasi Internasional) dan antara subyek-subyek lainnya tersebut. Komisi juga memutuskan untuk tidak memasukkan Persetujuan Internasional yang bukan dalam bentuk tertulis. Disamping itu komisi juga memutuskan bahwa rancangan pasal-pasal tersebut tidak memuat ketentuan apapun mengenai topik-topik seperti: dampak pecahnya peperangan bagi perjanjian-perjanjian, suksesi negara dalam kaitannya dengan perjanjian-perjanjian, masalah tanggung jawab internasional suatu negara dalam hal gagalnya melaksanakan kewajiban suatu perjanjian, “most favoured nation clause”, dan penerapan perjanjian yang diadakan untuk hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan atau dinikmati oleh individu-individu.

C. Penyelenggaraan Konferensi Internasional Berkuasa Penuh.

Atas rekomendasi komisi, maka General Assembly dalam sidangnya yang ke dua puluh satu telah memutuskan untuk menyelenggarakan satu Konferensi Internasional

(11)

Berkuasa Penuh (International Conference of Plenipotentiaries) untuk membicarakan Hukum Perjanjian Internasional dan untuk menggabungkan hasil yang dicapai oleh komisi dalam suatu konvensi internasional dan instrumen-instrumen lainnya serupa itu jika dipandang layak. General Assembly juga minta kepada Sekretaris Jenderal United Nations untuk mengadakan sidang pertama pada awal 1968 dan sidang yang ke dua pada awal 196921.

Tahun berikutnya, General Assembly juga memutuskan untuk mengadakan sidang pertama konferensi Perserikatan bangsa-Bangsa mengenai Hukum Perjanjian dalam bulan Maret 1968 di Wina Austria22 (United Nations Conference on the Law of treaties). Atas dasar ini, maka sidang pertama telah diselenggarakan pada tanggal 26 Maret sampai 24 Mei 1968 di kota Wina dan dihadiri oleh 103 negara termasuk para peninjau dari 13 Badan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Badan Antar Pemerintah lainnya. Sedangkan sidang keduanya diselenggarakan di tempat yang sama dari tanggal 6 April sampai 22 Mei 1969 dan dihadiri oleh 110 negara serta peninjau dari 15 badan Khusus dan Badan Antar Pemerintah.23

Akhirnya konferensi telha mengesahkan Konvensi Wina mengenai hukum Perjanjian pada tanggal 23 Mei 1969 dengan perbandingan suara 76 negara menyetujui, satu negara menyatakan menolak (Perancis) dan 19 negara lagi menyatakan abstain (termasuk semua anggota Blok Soviet). Konvensi ini terdiri dari Mukadimah, 85 Pasal dan Satu lampiran. Konvensi ini telah dibuka untuk penandatanganan pada tanggal 23 Mei 1969 dan diteruskan sampai tanggal 30 Nopember 1969 di kementerian Luar negeri Austria dan setelah itu di markas Besar perserikatan Bangsa-Bngsa di New York sampai tanggal 30 April 1970. Penandatanganan tersebut dilakukan sambil menunggu ratifikasi. Konvensi terbuka untuk aksesi oleh setiap negara yang bukan penandatangan, diperbolehkan menjadi pihak. Sejak tanggal 27 januari 1980 konvensi itu telah mulai berlaku dan sampai tanggal 20 Oktober 2003 telah ada 96 negara yang telah menjadi pihak pada Konvensi.

Disamping telah disahkannya Konvensi mengenai Hukum Perjanjian itu, konferensi juga telah menyetujui dua Deklarasi dan lima Resolusi24:

a. Declaration on the Prohibition of Military, Political or Economic Coercion in the Conclusion of Treaties:

b. Declaration on Universal Participation in the Vienna Convention on the Law of Treaties:

c. Lima Resolusi yang dilampirkan pada Final Act of the Conference.25

21 Lihat Resolusi Majleis Umum PBB 2166 (XXI) tanggal 5 Desember 1966. 22 Ibid, Resolusi 2287 (XXII) tanggal 6 Desember 1967.

23 Lihat Official Records of the United Nations Conference on the Law of treaties, First Session (E.68.V.7), Ibid, Second Session E.70.V.6)

(12)

D. Konvensi Perjanjian Antara Negara dan Organisasi Internasional dan Antara Organisasi Internasional dan Organisasi Internasioanl.26

Setelah Konvensi tentang Perjanjian Antar Negara berhasil disahkan, maka Komisi dalam masa kerja berikutnya menyiapkan rancangan perjanjian antara negara dan organisasi internasional dan antara organisasi internasional dengan organisasi internasional. Rancangan naskah konvensi ini diserahkan oleh Komisi kepada General Assembly dan kemudian dengan Resolusi Nomor 39/86 Tahun 1984, tanggal 13 Desemebr 1984 General Assembly menyerukan kepada negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menyelenggarakan konferensi di Wina dari tanggal 18 februari sampai 21 Maret 1986. Berdasarkan pada rancangan naskah konvensi hasil karya Komisi tersebut, diadakanlah konferensi di Wina pada tanggal tersebut dengan landasan pokok pembahasan hasil kara komisi. Pada tanggal 20 maret 1986 wakil=-wakil para pihak yang mengadakan perundingan berhasil menyepakati naskah final konvensi dan pada tanggal 21 Maret 1986 perjanjian itu terbuka untuk ditandatangani oleh semua negara yang hadir dalam konferensi. Kemudian sebagaimana biasa kepada negara-negara diberikan kesempatan untuk menyatakan persetujuan terikat pada konvensi. Selanjutnya konvensi ini lebih dikenal dengan nama ”Konvensi Wina Tahun 1986 tentang Hukum Perjanjian Antar Negara dan Organisasi Internasional dan antara Organisasi Internasional dan Organisasi Internasional (The 1986 Vienna Convention on the Law of Treaties between State and International Organisation and between International Organisation and International Organisation), atau disebut juga Konvensi Wina 1986 .

Timbul pertanyaan, mengapa Hukum Perjanjian Internasional ini dipisahkan pengaturannya di dalam masing-masing konvensi yang berbeda ? Menurut International Law Commission Hukum Perjanjian Internasional yang tumbuh dan berkembang sebelumnya dalam bentuk Hukum Kebiasaan Internasional bagian terbesar merupakan kaidah-kaidah Hukum Perjanjian Internasional yang berkenaan dengan perjanjian antar negara. Juga dalam prkateknya ternyata negara-negara lah yang paling banyak dan paling sering mengadakan perjanjian internasional. Kaidah-kaidah Hukum Perjanjian 25 Lihat Official records of the United Nations Conference on the Law of Treaties, First and second Sessions, Document of the Conference (United nations Publication, Doc.A/Conf.39/26.

(13)

Internasional yang mengatur tentang perjanjian antar negara ternyata sangat luas ruang lingkupnya. Sedangkan pada lain pihak, perjanjian antara negara dengan organisasi internasional maupun antara organisasi internasional dan organisasi internasional dalam beberapa hal memiliki karakteristik tersendiri yang tidak sama dengan perjanjian antara negara dengan negara.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka dipandang lebih tepat jika Hukum Perjanjian Internasional yang mengatur perjanjian antara negara dengan negara diatur dalam konvensi tersendiri. Demikian pula kaidah hukum Perjanjian antara negara dan organisasi internasional dan perjanjian antara organisasi internasional dan organisasi internasional diatur dalam suatu perjanjian tersendiri. Meskipun terpisah dalam masing-masing konvensi, tidaklah berarti bahwa substansi dari ke dua konvensi tersebut berbeda sama sekali, sebagian besar substansinya mengandung kesamaan.

Pertanyaan selanjutnya akan timbul, bagaimanakah pengaturan hukumnya mengenai perjnjian-perjanjian internasional antara negara ataupun organisasi internasional di satu pihak dengan subyek-subyek Hukum internasional lainnya ? Demikian pula pengaturan tentang perjanjian antara subyek subyek Hukum Internasional lainnya selain daripada negara dan organisasi internasional satu dengan lainnya ? Sepanjang mereka ini memilikikapasitas untuk mengadakan perjanjian internasional dan memang haknya untuk mengadakan perjanjian internasional diakui dan dijamin oleh Hukum Internasional.,maka kaidah-kaidah hukum Perjanjia Internasional yang mengaturnya adalah kaidah-Kaidah hukum Perjanjian Internasional yang berupa Kebiasaan Internasional.

(14)

itu terdapat juga beberapa pasal yang merupakan hasil pengembangan progresif atas kaidah-kaidah hukum Perjanjian Internasional.27

Dengan adanya dua konvensi tentang Hukum Perjanjian Internasional tidaklah berarti bahwa kaidah-kaidah itu sudah semuanya tercakup ke dalam ke dua konvensi ini, di luar ke dua konvensi masih terdapat kaidah-kaidah Hukum Perjanjian Internasional yang antara lain berbentuk hukum kebiasaan Internasional, sepanjang tidak bertebtangan dengan kaidah Hukum Perjanjian Internasional yang terdapat dalam ke dua konvensi; kaidah-kaidah Hukum perjanjian internasional yang berbentuk Yurisprudensui, doktrin atau pendapat sarjana ataupun yang berupa General principles of Law reqognized by Civilized Nations, maupun yang berbentuk keputusan atau resolusi organisasi-organisasi internasional. Dengan perkataan lain semua yang dikemukakan di atas itu merupakan sumber hukum dalam arti formal dari hukum perjanjian internasional.28

E. DEFINISI DAN PENGERTIAN PERJANJIAN INTERNASIONAL.29 1. Pengertian Perjanjian Internasional.

Di zaman modern, perjanjian internasional telah merupakan sumber Hukum Internasional yang sangat penting. Bila Mahkamah Internasional harus memutuskan satu perselisihan internasional, upaya pertama adalah untuk menemukan apakah ada perjanjian internasional apa tidak. Dalam hal terdapat suatu perjanjian yang mengatur persoalan yang disengketakan, keputusan Mahkamah akan didasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut. Perjanjian internasional menempati

27 Inilah merupakan salah satu bukti bahwa antara kegiatan pengkodifikasian Hukum Internasional dengan pengembangan progresif Hukum Internasional seperti ditegaskan dalam Pasal 13 ayat 1 butir a Piagam PBB, walaupun secara teoritis dapat dibedakan pengertiannyam tetapai secara praktis ternyata sukar untuk dibedakan, apalagi dipisahkan. Lihat dan bacalah ulasan Mochtar Kusumaatmadja dalam MASALAH LEBAR LAUT TERRITORIAL PADA KONFERENSI-KONFERENSI HUKUM LAUT DI JENEWA 1958 DAN 1960, DISERTASI, Penerbit PT Universitas , Bandung, Thn.1962, hlm.13-17.

28 Bandingkan dengan sumber-sumber Hukum Internasional pada umumnya, yang terdiri atas perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab, putusan badan-badan peradilan atau yurisprudensi, doktrin atau pendapat para sarjana, dan putusan atau resolusi organisasi-organisasi internasional. Semuanya ini adalah juga merupakan sumber hukum dalam arti formal dari Hukum Perjanjian Internasional, sebab pada hakekatnya Hukum Perjanjian Internasional itu adalah hanya salah satu bagian atau salah satu bidang saja dari Hukum Internasional pada umumnya.

(15)

posisi sama yang penting di dalam bidang Hukum Internasional sebagaimana perundang-undangan di dalam hukum nasional.

Perjanjian Internasional adalah suatu persetujuan antara dua negara atau lebih di mana mereka membina atau mencari hubungan yang diatur oleh Hukum Internasional. Menurut pandangan Oppenheim, perjanjian internasional adalah persetujuan yang bersifat kontraktual antara negara atau organisasi negara yang menimbulkan hak dan kewajiban secara hukum bagi para pihak.30 Lain halnya pendapat Schwarzenberger yang mendefinisikan, perjanjian adalah persetujuan diantara subyek Hukum Internasional yang menimbulkan suatu kewajiban yang mengikat di dalam Hukum Internasional, sedangkan menurut Starke, dalam hampir semua kasus obyek perjanjian adalah untuk mengenakan kewajiban yang mengikat pada negara-negara yang menjadi pihak pada perjanjian tersebut.31

Dalam rancangan sementara yang dibuat oleh Komisi Hukum Internasional, telah memberikan definisi tentang Perjanjian Internasional sebagai berikut:

“Setiap persetujuan internasional dalam bentuk tertulis apakah yang terhimpun dalam satu instrumen atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun juga bentuknya (perjanjian, konvensi, protokol, covenant, piagam, statuta, akta, deklarasi, concordat, pertukaran nota, agreed minute, memorandum persetujuan, modus vivendi atau sesuatu sebutan lainnya) yang dibuat antara dua negara atau lebih atau subyek Hukum Internasional lainnya yang diatur oleh Hukum Internasional.

Mengenai pencantuman subyek hukum “Internasional lainnya” dimaksudkan untuk memberi peluang terhadap perjanjian yang dibuat oleh organisasi internasional, Takhta Suci Vatikan dan kesatuan internasional lainnya.

Di dalam Konvensi Wina Tahun 1969 mengenai Hukum Perjanjian seperti terlihat dalam rancangan akhir yang disusun oleh Komisi Hukum Internasional, ketentuan-ketentuan dibatasi pada perjanjian-perjanjian antar negara (Pasal 1). Di dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa Konvensi Wina Tahun 1969 tidak berlaku bagi persetujuan internasional yang dibuat oleh negara-negara dan subyek Hukum Internasional lainnya atau antara subyek Hukum Internasional yang lain tersebut atau bagi persetujuan internasional yang bukan dalam bentuk tertulis tidak akan berpengaruh terhadap kekuatan hukum persetujuan-persetujuan semacam itu. Sedangkan Pasal 2 (1) (a) Konvensi Wina 1969

30 Oppenheim L, International law, vol.1, Eight Edition, hlm.877, lihat pula Fawett JES,

The Law of Nations, London, 1968, hlm.89.

(16)

memberikan definisi bahwa suatu perjanjian seperti juga persetujuan internasional yang dibuat oleh negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh Hukum Internasional, apakah tersusun dalam satu instrumen, dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun bentuknya yang dibuat secara khusus. Ketentuan ini memberi peluang pada masalah tentang stattus atau kedudukan persetujuan yang dibuat antar negara dan individu-individu serta badan hukum secara tersendiri dan yang diatur dalam hukum nasional.

2. Definisi Perjanjian Internasional.

Pasal 2 (1) (a) Konvensi Wina 1969 memberikan definisi suatu perjanjian, untuk maksud konvensi tersebut sebagai berikut :

Treaty means an international agreement concluded between states, in written form and governed by International Law, wether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation. (Perjanjian artinya suatu persetujuan internasional yang diadakan antara negara-negara dalam bentuk yang tertulis dan diatur oleh Hukum Internasional baik yang berupa satu instrumen tunggal atau berupa dua atau lebih instrumen yang saling berkaitan tanpa memandang apapun juga namanya).

Definisi ini tidak memasukkan persetujuan antara negara yang diatur oleh hukum nasional dan persetujuan antar negara yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menciptakan hubungan secara hukum. Tidak dimasukkannya ke dua jenis persetujuan ke dalam definisi perjanjian jelas merupakan hal yang sudah biasa, tetapi definisi yang diberikan di dalam Konvensi Wina 1969 sejauh itu dianggap lebih kontroversial, karena tidak memasukkan persetujuan lisan antara negara dan persetujuan dari jenis apapun antara organisasi internasional atau antara dengan organisasi internasional.32

Definisi perjanjian dalam konvensi Wina 1969 sengaja tidak memasukkan persetujuan internasional yang dibuat antara negara dan organisasi internasional atau diantara organisasi internasional sendiri33 dan tidak juga memasukkan persetujuan internasional tidak dalam bentuk ertulis. Komisi Hukum Internasional yang menyiapkan rancangan pasal-pasal mengenai Hukum Perjanjian sebagai dasar pekerjaannya untuk pengembangan kemajuan dan kodifikasi yang dicantumkan dalam Konvensi Wina mengenai Hukum Perjanjian menjelaskan bahwa definisi tentang istilah Perjanjian yang diusulkan sama sekali bukan dimaksudkan untuk menyangkal bahwa subyek hukum internasional lainnya 32 Peter Malanczuk, Modern Introduction to International Law, Seventh Edition,

Akehurst’s, hlm.130-131.

(17)

seperti organisasi internasional, kelompok pemberontak, boleh saja membuat perjanjian sama halnya dengan Komisi hukum Internasional yang menjelaskan bahwa pembatasan istilah perjanjian dan persetujuan internasional yang dinyatakan dalam tulisan bukanlah dimaksudkan untuk menyangkal kekuatan hukum dari persetujuan lisan yang dibuat di bawah hukum Internasional.34

Definisi yang diberikan oleh Mc.Nair lebih luas dibandingkan dengan Konvensi Wina 1969 karena dengan memasukkan persetujuan internasional yang dibuat antara negara dan organisasi internasional, atau diantara organisasi internasional sendiri, tetapi definisi tersebut tidak memasukkan persetujuan yang tidak dalam bentuk tertulis. Tentu saja Mc.Nair menyadari khususnya bahwa meskipun hal itu jarang untuk menemukan persetujuan lisan yang dibuat diantara negara, tidak bisa dikatakan bahwa hukum internasional menganggap bentuk tertulis itu merupakan hal yang penting untuk pembuatan suatu persetujuan antar negara35 Dalam hal ini Mc.Nair merujuk pada Keputusan Permanent Court of International Justice (PCIJ) dalam kasus “Legal Status of Eastern Greenland” dalam Tahun 1933 tatkala PCIJ harus membicarakan arti hukum dari “suatu pernyataan lisan” yang dibuat oleh Menteri Luar Negeri Norwegia M.Ihlen yang ditujukan kepada Duta Denmark yang ditempatkan di Norwegia. PCIJ menyimpulkan sebagai berikut :

“Bahwa satu jawaban seperti ini yang diberikan oleh Menteri Luar Negeri atas nama pemerintahnya untuk menjawab permintaan dari wakil diplomatik dari negara lain, mengenai masalah yang ada di bawah bidang wewenangnya, adalah mengikat pada negara di mana Duta itu berasal.”36

Mahkamah Internasional juga pernah membicarakan seberapa jauh pernyataan lisan yang diberikan oleh seorang Kepala Negara, seorang Menteri Luar Negeri atau menteri-menteri lainnya dalam pemerintahan yang menimbulkan suatu komitmen yang mengikat pada negara yang bersangkutan. Dalam kasus uji coba nuklir (Australia Vs Perancis ) dalam tahun 1974, Mahkamah telah menghubungkan bobot khusus dari pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh Presiden Perancis, Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri sesudah dilakukan secara lisan dalam masalah itu. Pernyataan-pernyataan tersebut menurut Mahkamah kehendak dari Perancis untuk menghentikan uji coba nuklir di udara setelah 34 Report of the International Law Commission on its 17 th and 18 th Sessions (1966),

A/6305/Rev.1, hlm.22

(18)

selesai serangakaian uji coba yang dilakukan dalam tahun 1974. Dalam memberikan analisa mengenai arti hukum dari pernyataan-pernyataan tersebut Mahkamah menyatakan sebagai berikut :

“Mengenai masalah bentuk, harus dilihat bahwa ini bukan dalam wewenang hukum Internasional yang harus menentukan syarat-syarat yang tepat atau khusus. Apakah suatu pernyataan dibuat secara lisan atau tertulis tidak ada perbedaan yang mendasar, untuk penyatuan semacam itu yang dibuat dalam situasi tertentu dapat menimbulkan komitmen dalam Hukum Internasional yang tidak perlu bahwa semua itu harus dilakukan dalam bentuk tertulis”37

Meskipun demikian perlu juga kita meninjau definisi perjanjian internasional antara negara dan organisasi internasional serta antara organisasi internasional dan organisasi internasional, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) butir a dari Konvensi Wina tahun 1986 sebagai berikut :

“Treaty means an international agreement governed by International Law and concluded in written form:

i. Between one or more states and one or more international organisations, or

ii. Between international organisations, wether that agreement is

iii. embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation.

(Perjanjian berarti suatu persetujuan internasional yang diatur oleh hukum Internasional dan dirumuskan dalam bentuk tertulis:

1. antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih organisasi internasional; atau

2. sesama organisasi internasional, baik persetujuan itu berupa satu instrumen atau lebih dari satu instrumen yang saling berkaitan dan tanpa memandang apapun juga namanya.)

Menurut I Wayan Parthiana, ke dua macam pengertian perjanjian internasional baik dalam Konvensi Wina Tahun 1969 maupun dalam Konvensi Wina Tahun 1986 mengandung unsur atau kualifikasi yang sama seperti kualifikasi perjanjian internasional . Hanya saja sesuai dengan masing-masing namanya, ruang lingkupnya menjadi lebih sempit. Dapat dikatakan bahwa ke dua pengertian perjanjian internasional itu merupakan pemisahan dari

(19)

pengertian perjanjian internasional berdasarkan pada subyek-subyek hukum yang dapat membuat ataupun dapat terikat pada suatu perjanjian.38

3. Definition of key terms used in the UN Treaty Collection

Introduction

This introductory note seeks to provide a basic - but not an exhaustive - overview of the key terms employed in the United Nations Treaty Collection to refer to international instruments binding at international law: treaties, agreements, conventions, charters, protocols, declarations, memoranda of understanding, modus vivendi and exchange of notes. The purpose is to facilitate a general understanding of their scope and function.

Over the past centuries, state practice has developed a variety of terms to refer to international instruments by which states establish rights and obligations among themselves. The terms most commonly used are the subject of this overview. However, a fair number of additional terms have been employed, such as "statutes", "covenants", "accords" and others. In spite of this diversity of terminology, no precise nomenclature exists. In fact, the meaning of the terms used is variable, changing from State to State, from region to region and instrument to instrument. Some of the terms can easily be interchanged: an instrument that is designated "agreement" might also be called "treaty".

The title assigned to such international instruments thus has normally no overriding legal effects. The title may follow habitual uses or may relate to the particular character or importance sought to be attributed to the instrument by its parties. The degree of formality chosen will depend upon the gravity of the problems dealt with and upon the political implications and intent of the parties.

Although these instruments differ from each other by title, they all have common features and international law has applied basically the same rules to all of these instruments. These rules are the result of long practice among the States, which have accepted them as binding norms in their mutual relations. Therefore, they are regarded as international customary law. Since there was a general desire to codify these customary rules, two international conventions were negotiated. The 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties ("1969 Vienna 38 I Wayan Parthiana, Perjanjian Internasional Bagian I (Bandung: mandar Maju,

(20)

Convention"), which entered into force on 27 January 1980, contains rules for treaties concluded between States. The 1986 Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations ("1986 Vienna Convention"), which has still not entered into force, added rules for treaties with international organizations as parties. Both the 1969 Vienna Convention and the 1986 Vienna Convention do not distinguish between the different designations of these instruments. Instead, their rules apply to all of those instruments as long as they meet certain common requirements.

Article 102 of the Charter of the United Nations provides that "every treaty and every international agreement entered into by any Member State of the United Nations after the present Charter comes into force shall as soon as possible be registered with the Secretariat and published by it". All treaties and international agreements registered or filed and recorded with the Secretariat since 1946 are published in the UNTS. By the terms "treaty" and "international agreement", referred to in Article 102 of the Charter, the broadest range of instruments is covered. Although the General Assembly of the UN has never laid down a precise definition for both terms and never clarified their mutual relationship, Art.1 of the General Assembly Regulations to Give Effect to Article 102 of the Charter of the United Nations provides that the obligation to register applies to every treaty or international agreement "whatever its form and descriptive name". In the practice of the Secretariat under Article 102 of the UN Charter, the expressions "treaty" and "international agreement" embrace a wide variety of instruments, including unilateral commitments, such as declarations by new Member States of the UN accepting the obligations of the UN Charter, declarations of acceptance of the compulsory jurisdiction of the International Court of Justice under Art.36 (2) of its Statute and certain unilateral declarations that create binding obligations between the declaring nation and other nations. The particular designation of an international instrument is thus not decisive for the obligation incumbent on the Member States to register it.

(21)

matters. Finally, treaty terminology might be indicative of the relationship of the treaty with a previously or subsequently concluded agreement.

(b) Treaty as a specific term: There are no consistent rules when state practice employs the terms "treaty" as a title for an international instrument. Usually the term "treaty" is reserved for matters of some gravity that require more solemn agreements. Their signatures are usually sealed and they normally require ratification. Typical examples of international instruments designated as "treaties" are Peace Treaties, Border Treaties, Delimitation Treaties, Extradition Treaties and Treaties of Friendship, Commerce and Cooperation. The use of the term "treaty" for international instruments has considerably declined in the last decades in favor of other terms.

Agreements

The term "agreement" can have a generic and a specific meaning. It also has acquired a special meaning in the law of regional economic integration.

(a) Agreement as a generic term: The 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties employs the term "international agreement" in its broadest sense. On the one hand, it defines treaties as "international agreements" with certain characteristics. On the other hand, it employs the term "international agreements" for instruments, which do not meet its definition of "treaty". Its Art.3 refers also to "international agreements not in written form". Although such oral agreements may be rare, they can have the same binding force as treaties, depending on the intention of the parties. An example of an oral agreement might be a promise made by the Minister of Foreign Affairs of one State to his counterpart of another State. The term "international agreement" in its generic sense consequently embraces the widest range of international instruments.

(22)

conclude agreements with the host country to an international conference or to a session of a representative organ of the Organization. Especially in international economic law, the term "agreement" is also used as a title for broad multilateral agreements (e.g. the commodity agreements). The use of the term "agreement" slowly developed in the first decades of this century. Nowadays by far the majority of international instruments are designated as agreements.

(c) Agreements in regional integration schemes: Regional integration schemes are based on general framework treaties with constitutional character. International instruments which amend this framework at a later stage (e.g. accessions, revisions) are also designated as "treaties". Instruments that are concluded within the framework of the constitutional treaty or by the organs of the regional organization are usually referred to as "agreements", in order to distinguish them from the constitutional treaty. For example, whereas the Treaty of Rome of 1957 serves as a quasi-constitution of the European Community, treaties concluded by the EC with other nations are usually designated as agreements. Also, the Latin American Integration Association (LAIA) was established by the Treaty of Montevideo of 1980, but the subregional instruments entered into under its framework are called agreements.

Charters

The term "charter" is used for particularly formal and solemn instruments, such as the constituent treaty of an international organization. The term itself has an emotive content that goes back to the Magna Carta of 1215. Well-known recent examples are the Charter of the United Nations of 1945 and the Charter of the Organization of American States of 1952. Conventions

The term "convention" again can have both a generic and a specific meaning.

(23)

as customary law or the general principles of international law. The generic term "convention" thus is synonymous with the generic term "treaty".

(b) Convention as a specific term: Whereas in the last century the term "convention" was regularly employed for bilateral agreements, it now is generally used for formal multilateral treaties with a broad number of parties. Conventions are normally open for participation by the international community as a whole, or by a large number of states. Usually the instruments negotiated under the auspices of an international organization are entitled conventions (e.g. Convention on Biological Diversity of 1992, United Nations Convention on the Law of the Sea of 1982, Vienna Convention on the Law of Treaties of 1969). The same holds true for instruments adopted by an organ of an international organization (e.g. the 1951 ILO Convention concerning Equal Remuneration for Men and Women Workers for Work of Equal Value, adopted by the International Labour Conference or the 1989 Convention on the Rights of the Child, adopted by the General Assembly of the UN).

Declarations

The term "declaration" is used for various international instruments. However, declarations are not always legally binding. The term is often deliberately chosen to indicate that the parties do not intend to create binding obligations but merely want to declare certain aspirations. An example is the 1992 Rio Declaration. Declarations can however also be treaties in the generic sense intended to be binding at international law. It is therefore necessary to establish in each individual case whether the parties intended to create binding obligations. Ascertaining the intention of the parties can often be a difficult task. Some instruments entitled "declarations" were not originally intended to have binding force, but their provisions may have reflected customary international law or may have gained binding character as customary law at a later stage. Such was the case with the 1948 Universal Declaration of Human Rights. Declarations that are intended to have binding effects could be classified as follows:

(24)

(c) A declaration can also be an informal agreement with respect to a matter of minor importance.

(d) A series of unilateral declarations can constitute binding agreements. A typical example are declarations under the Optional Clause of the Statute of the International Court of Justice that create legal bonds between the declarants, although not directly addressed to each other. Another example is the unilateral Declaration on the Suez Canal and the arrangements for its operation issued by Egypt in 1957 which was considered to be an engagement of an international character.

Exchange of Notes

An "exchange of notes" is a record of a routine agreement, that has many similarities with the private law contract. The agreement consists of the exchange of two documents, each of the parties being in the possession of the one signed by the representative of the other. Under the usual procedure, the accepting State repeats the text of the offering State to record its assent. The signatories of the letters may be government Ministers, diplomats or departmental heads. The technique of exchange of notes is frequently resorted to, either because of its speedy procedure, or, sometimes, to avoid the process of legislative approval.

Memorandum of Understanding

A memorandum of understanding is an international instrument of a less formal kind. It often sets out operational arrangements under a framework international agreement. It is also used for the regulation of technical or detailed matters. It is typically in the form of a single instrument and does not require ratification. They are entered into either by States or International Organizations. The United Nations usually concludes memoranda of understanding with Member States in order to organize its peacekeeping operations or to arrange UN Conferences. The United Nations also concludes memoranda of understanding on cooperation with other international organizations.

(25)

A modus vivendi is an instrument recording an international agreement of temporary or provisional nature intended to be replaced by an arrangement of a more permanent and detailed character. It is usually made in an informal way, and never requires ratification.

Protocols

The term "protocol" is used for agreements less formal than those entitled "treaty" or "convention". The term could be used to cover the following kinds of instruments:

(a) A Protocol of Signature is an instrument subsidiary to a treaty, and drawn up by the same parties. Such a Protocol deals with ancillary matters such as the interpretation of particular clauses of the treaty, those formal clauses not inserted in the treaty, or the regulation of technical matters. Ratification of the treaty will normally ipso facto involve ratification of such a Protocol.

(b) An Optional Protocol to a Treaty is an instrument that establishes additional rights and obligations to a treaty. It is usually adopted on the same day, but is of independent character and subject to independent ratification. Such protocols enable certain parties of the treaty to establish among themselves a framework of obligations which reach further than the general treaty and to which not all parties of the general treaty consent, creating a "two-tier system". The Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights of 1966 is a well-known example.

(c) A Protocol based on a Framework Treaty is an instrument with specific substantive obligations that implements the general objectives of a previous framework or umbrella convention. Such protocols ensure a more simplified and accelerated treaty-making process and have been used particularly in the field of international environmental law. An example is the 1987 Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer adopted on the basis of Arts.2 and 8 of the 1985 Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer.

(d) A Protocol to amend is an instrument that contains provisions that amend one or various former treaties, such as the Protocol of 1946 amending the Agreements, Conventions and Protocols on Narcotic Drugs.

(26)

(f) A Proces-Verbal is an instrument that contains a record of certain understandings arrived at by the contracting parties.

Signatories and Parties

The term “Parties", which appears in the header of each treaty, in the publication Multilateral Treaties Deposited with the Secretary-General, includes both "Contracting States" and "Parties". For general reference, the term "Contracting States" refers to States and other entities with treaty-making capacity which have expressed their consent to be bound by a treaty where the treaty has not yet entered into force or where it has not entered into force for such States and entities; the term "Parties" refers to States and other entities with treaty-making capacity which have expressed their consent to be bound by a treaty and where the treaty is in force for such States and entities.)

Treaties

The term "treaty" can be used as a common generic term or as a particular term which indicates an instrument with certain characteristics.

(a) Treaty as a generic term: The term "treaty" has regularly been used as a generic term embracing all instruments binding at international law concluded between international entities, regardless of their formal designation. Both the 1969 Vienna Convention and the 1986 Vienna Convention confirm this generic use of the term "treaty". The 1969 Vienna Convention defines a treaty as "an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation". The 1986 Vienna Convention extends the definition of treaties to include international agreements involving international organizations as parties. In order to speak of a "treaty" in the generic sense, an instrument has to meet various criteria. First of all, it has to be a binding instrument, which means that the contracting parties intended to create legal rights and duties. Secondly, the instrument must be concluded by states or international organizations with treaty-making power. Thirdly, it has to be governed by international law. Finally the engagement has to be in writing. Even before the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties, the word "treaty" in its generic sense had been generally reserved for engagements concluded in written form.(

Home | Overview | Databases | Publications | Training | Treaty Events | Contacts

(27)

© United Nations, 2013. All Rights Reserved).

4. Hubungan Perjanjian dengan Persetujuan

Mengenai masalah “persetujuan”, pertama, adanya syarat bahwa persetujuan itu harus diatur oleh hukum Internasional dan harus juga diadakan dalam lingkup Hukum Internasional, dan haruslah dimaksudkan untuk menghasilkan dampak hukum (Selon les regles de droit international). Untuk membantu membedakan suatu perjanjian dengan persetujuan lainnya yang meskipun dibuat antara negara atau subyek hukum internasional lainnya, diatur bukan oleh hukum Internasional, tetapi oleh hukum nasional dari salah satu pihak (atau oleh beberapa dari sistem hukum nasional lainnya yang dipilih oleh para pihak). Suatu contoh seperti kontrak dari negara yang dibuat antara Pemerintah Ruritania dan Pemerintah Utopia, di mana pemerintah Utopia telah menyetujui untuk menjual kepada Pemerintah Ruritania sebanyak 1000 ton daging yang didasarkan pada bentuk kontrak yang sudah baku yang digunakan dalam perdagangan daging. Kontrak semacam itu bukanlah merupakan sebuah perjanjian dan tidak diatur oleh hukum Internasional tetapi menurut syarat-syarat kontrak itu sendiri dilengkapi jika perlu dengan prinsip-prinsip hukum secara umum39. Transaksi-transaksi lainnya dari hukum yang sifatnya privat, seperti sewa rumah dan gedung dan persetujuan pinjaman, dapat juga berlangsung antara negara, dalam hal seperti itu akan menjadi sukar untuk menentukan apakah para pihak menghendaki transaksi itu diatur oleh Hukum Internasional atau oleh prinsip-prinsip hukum umum atau dengan sistem tertentu dari hukum nasional.40Masalah yang lain nampak pada penggunaan beberapa istilah seperti yang sudah dibahas pada nomor 3 di atas.

Sudah lama sekali perjanjian telah digunakan oleh banyak negara dengan tujuan untuk mengusahakan kewajiban yang mengikat di bawah Hukum Internasional satu terhadap yang lain. Dengan demikian berarti negara-negara telah menyetujui untuk membatasi kebebasan mereka untuk bertindak dalam bidang-bidang tertentu dan untuk mengiukti tindakan-tindakan tertentu untuk keuntungan bersama. Hyde mengamati bahwa persetujuan antara negara itu telah dianggap sebagai suatu peristiwa yang diperlukan oleh pergaulan internasional dan persetujuan tersebut telah meningkat baik jumlah maupun ragamnya karena pergaulan terus berkembang dan menghasilkan satu kesadaran dan saling ketergantungan. Dalam lingkup dan polanya, perjanjian-perjanjian itu telah mencatat dengan cermat kebutuhan yang selalu 39 Mc.Nair, op.cit.hlm.1-5

(28)

berubah dalam masyarakat internasional yang tercermin dalam tingkat kemajuan dari negara-negara tertentu dari keterpencilan menjadi kebersamaan dalam persekutuan dengan negara-negara lainnya.41

Tidak setiap instrumen internasional, bagaimanapun dikatakan resmi itu akan dianggap sebagai suatu perjanjian. Kecuali jika instrumen itu menimbulkan kewajiban yang bersifat kontraktual antara dua negara atau lebih, yang menjadi syarat pokok bagi perjanjian tidak terpenuhi. Karena itu naskah yang dinyatakan secara sungguh-sungguh atau ditandatangani oleh wakil-wakil negara atau secara sepihak diumumkan oleh mereka dapat dianggap dalam keadaan ini sebagai deklarasi mengenai kebijakan (Declaration of policy), yang walaupun mengikat secara moral dan politik tidak menimbulkan kewajiban-kewajiban hukum diantara negara-negara. Untuk golongan ini dapat dilihat pada Piagam Atlantik, yang bersejarah yang dikeluarkan pada tanggal 14 Agustus 1941 yang memasukkan pernyataan bersama Presiden Roosevelt dan Perdana Menteri Churchill, Deklarasi moskow tanggal 30 Oktober 1943 mengenai Keamanan secara Umum dan Universal Declaration of Human Rights .

Sesuai dengan Pasal 2 Konvensi Wina 1969 suatu perjanjian dapat didefinisikan sebagai suatu persetujuan di mana dua negara atau lebih mengadakan atau berusaha untuk mengadakan hubungan diantara mereka dan diatur oleh Hukum Internasional. Selama satu persetujuan antara negara terbukti kebenarannya, dengan pengertian bahwa itu bukan persetujuan yang diatur oleh hukum nasional domestik, dan asal saja ditujukan untuk menciptakan suatu hubungan hukum, jenis instrumen atau naskah apapun, atau pertukaran secara lisan yang diatur oleh negara yang melibatkan perbuatan dapat merupakan perjanjian, tanpa melihat bentuk atau suasana pembuatannya. Tentu saja istilah “Perjanjian” bisa dianggap sebagai nomen generalissimum dalam Hukum Internasional, dan dapat memasukkan suatu persetujuan diantara organisasi internasional inter se , atau diantara satu organisasi internasional di satu pihak dan negara atau negara-negara di pihak lain42. Meskipun harus diingat bahwa ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Wina 1969 tidak menerapkan pada instrumen-instrumen lainnya, tetapi dibatasi pada perjanjian antara negara yang dibuat dalam bentuk tertulis.43

41 Hyde, International Law Chiefly as interpreted and applied in the United Sates, Second Edition, Rev.Ed.Vol II, hlm 1369.

(29)

5. Lebih jauh tentang....TERMINOLOGI DAN PENGKLASIFIKASIAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

(diambil dari bahan kuliah Hk.Perjanjian Internasional Fakultas Hukum UGM)

(30)

terkandung di dalamnya. Hal ini berbeda dengan ketentuan perundangan dalam Hukum nasional Indonesia yang mengenal adanya hierarkhi peraturan perundang-undangan, dalam perjanjian internasional berbagai penamaan perjanjian internasional mempunyai konsekuemsi hukum yang sama.

Konvensi Wina tahun 1969 mengenai Hukum Perjanjian Internasional dan Konvensi Wina Tahun 1986 mengenai Hukum Perjanjia Internasional antara Negara dan Organisasi Internasional atau antar Organisasi-Organisasi Internasional tidak melakukan pembedaan atas berbagai bentuk Perjanjian Internasional. Selain itu Pasal 102 Piagam PBB hanya membedakan Perjanjian Internasional menurut terminologi “Treaty” dan “International Agreement”, yang hingga saat inipun tidak ada definisi yang tegas antara ke dua terminologi tersebut. Beberapa penamaan dari Perjanjian Internasional yang ada antara lain:

Treaties (Traktat)

Convention ( Konvensi)

Letter of Intent

Agreement (Persetujuan)

Charter (Piagam)

Protocol (Protokol)

Declaration (Deklarasi)

Final Act

Summary Records

Memorandum of Understanding

Arrangement

Exchange of Notes

Modus Vivendi

Side Letter

Joint Statement

Joint Declaration

Memorandum of Cooperation

Letter of Agreement

Letter of Understanding

Record of Understanding

Minutes of Meeting

Agreed Minutes

(31)

diatur dalam perjanjian atau untuk menunjukkan hubungan antara satu perjanjian internasional dengan perjanjian internasional lainnya.

Selain dikenal adanya berbagai penamaan perjanjian internasional, untuk tujuan pemahaman tentang perjanjian internasional, juga dibuat beberapa pengklasifikasian perjanjian internasional menurut cara peninjauan terhadap perjanjian internasional. Ada beberapa kriteria yang dapat digunakan dalam pengklasifikasian perjanjian internasional. Beberapa kriteria tersebut antara lain :

1. Berdasarkan Petugas yang membuat perjanjian Internasional a. Perjanjian Internasional antar kepala Negara;

b. Perjanjian Internasional antar Kepala Pemerintah; c. Perjanjian Internasional antar Menteri.

Perbedaan perutusan tersebut tidak mempengaruhi kekuatan mengikatnya Perjanjian Internasional. Pernyataan menteri Luar negeri suatu negara kepada Menteri Luar negeri negara lain sama kekuatan mengikatnya dengan Perjanjian antar Kepala Negara. Bagi Hukum Internasional isi dan substansi perjanjian internasional lebih penting dari pada siapa delegasi dalam perundingan.

2. Berdasarkan Proses Pembentukannya.

a. Perjanjian Internasional yang diadakan melalui tiga tahap, yaitu Perundingan, Penandatanganan dan Ratifikasi (Pengesahan). Biasanya perjanjian semacam ini diadakan untuk hal-hal yang dianggap sangat penting/vital, sehingga memerlukan persetujuan badan-badan yang berwenang untuk mengadakan perjanjian.

b. Perjanjian Internasional yang diadakan hanya melalui dua tahap, yaitu Perundingan dan Penandatanganan, tanpa Ratifikasi. Biasanya merupakan perjanjian-perjanjian yang tidak begitu penting/vital, sederhana dan memerlukan penyelesaian yang cepat/segera. Misalnya Perjanjian Perdagangan Jangka Pendek, dan sebagainya. c. Berdasarkan Jumlah Peserta Dalam Perundingan.

1) Traktat Bilateral, yaitu traktat/perjanjian internasional yang diadakan oleh dan antara dua pihak;

2) Traktat Multilateral yaitu Traktat/Perjanjian Internasional yang diadakan banyak pihak/lebih dari dua pihak.

d. Berdasarkan Hakikatnya (langsung dan Tidak Langsung Membentuk Hukum)

(32)

yang mengadakan perjanjian saja. Umunya Treaty Contract bersifat Perjanjian Bilateral, dimana pihak ke tiga tidak dapat turut serta dalam Treaty Contract, yang diadakan oleh pihak-pihak yang mengadakan perjanjian semula. Misalnya :

“Arrangement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Iran on Cultural Exchange Programme Years 2006-2008.

2) Law Making Treaty, yaitu traktat-traktat yang langsung membentuk hukum atau perjanjian-perjanjian internasional yang meletakkan ketentuan-ketentuan/kaidah-kaidah hukum masyarakat Internasional secara keseluruhan. Umumnya “law Making Treaty” bersifat Perjanjian Multilateral dan terbuka untuk pihak-pihak di luar peserta perundingan untuk menyatakan keikutsertaannya dalam perjanjian tersebut. Misalnya : “Asean Framework Agreement on Mutual Recognition Arrangements 1998”

BAB III

BEBERAPA ASPEK DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL.

A.Proses Pembuatan Perjanjian Internasional.

(33)

PI Berlaku

Perundingan/Negosiasi Persetujuan Saat Mulai Berlakunya PI

Verifikasi delegasi Penandatanganan Pendaftaran PI ke Lembaga Penyimpanan dan UNTS

Penunjukan delegasi Naskah PI Exists Ratifikasi/aksesi (multilateral)

Negara/org.Int. Tukar menukar Instrumen

Penandatanganan (Bilateral) Pendaftaran PI ke UNTS

1. Penunjukan Delegasi dan verifikasi Delegasi.

Untuk membuat perjanjian internasonal baik negara maupun organisasi internasional memerlukan petugas untuk melakukan perundingan. Dalam Pasal 7 Konvensi Wina 1969 disebutkan bahwa para pihak yang secara otomatis dapat mewakili suatu negara tanpa melalui harus memiliki full power adalah :

a. Kepala Negara, Kepala Pemerintahan dan Menteri Luar Negeri untuk maksud melakukan semua tindakan yang berhubungan dengan penutupan suatu perjanjian; b. Kepala Misi diplomatik untuk maksud menyetujui teks perjanjian antar negara

pengirim dan negara dimana mereka diakreditasikan;

c. Wakil-wakil yang dikirim oleh suatu negara kepada suatu Konferensi internasional atau organisasi internasionl atau satu dari organ-organnya untuk maksud menyetujui teks perjanjian di dlam konferensi itu, organisasi itu atau organ-organnya.

Referensi

Dokumen terkait

Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Contoh 2 yang telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, apabila dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun

Reformasi birokrasi juga merupakan langkah strategis membangun sumber daya aparatur Negara yang professional, memiliki daya guna dan hasil guna yang professional

Sesuai atau tidaknya antara materi dengan media yang digunakan akan berdampak pada hasil pembelajaran siswa.. Keadaan

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pengampunan dalam menyikapi perselingkuhan suami dari perspektif konseling feminis merupakan sebuah pilihan dan kekuatan yang

In the first two sites (non- irrigated winter wheat and irrigated maize fields) seasonal reference ET A data series are obtained by the WinEtro model.. In situ

Dennis Ladores Mrs... Dennis Ladores

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian ransum mengandung 70% hijauan dengan komposisi beragam dan 30% konsentrat meng- hasilkan asam propionat

Perencanaan Kembali dan Analisis Harga Jual Setiap Unit Rumah pada Proyek Perumahan Permata Biru Purbayan.. Skripsi, Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas