• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembimbing II : dr. Andon Hestiantoro, SpOG(K)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Aspek Psikologis Terapi Fertilisasi in Vitro (FIV)

Fertilisasi in vitro (FIV) merupakan “end-of-the-line treatment” dalam tatalaksana infertilitas. Banyak pasangan telah melalui berbagai pemeriksaan dan telah mencapai berbagai metode terapi tanpa hasil selama bertahun-tahun hingga akhirnya memutuskan untuk mencoba terapi FIV. Prosedur terapi dari FIV sendiri

memiliki kompleksitas yang menuntut secara fisik, emosional, terkait dengan masalah etik dan nilai yang berlaku dalam masyarakat, serta memiliki angka keberhasilan yang relatif rendah. Berbagai hal ini membuat pasangan yang melaluinya mengalami perasaan yang mereka gambarkan sebagai “emotional

roller coaster”. Greenfeld dkk menyatakan bahwa dukungan perlu diberikan

untuk mengatasi berbagai spektrum emosional yang dialami pasangan seperti euforia, kecemasan dan disforia selama menjalani protokol terapi yang kompleks. Newman mengutip hasil studi Milne yang mendapatkan bahwa 78% subjek (28 pasangan) menggunakan kata “melelahkan” dan “menguras fisik maupun emosional” serta “menghancurkan perasaan” dalam menggambarkan pengalaman mereka.30

Dari beberapa studi yang dikutip oleh Eugster diantaranya oleh Hearn dkk dan Shaw dkk, didapatkan bahwa secara umum pasangan yang mulai menjalani terapi FIV memiliki gambaran psikologis yang cukup baik, dengan gambaran status dan trait ansietas yang hanya sedikit mengalami elevasi dibandingkan data normatif. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya adalah efek dari self selection, bahwa hanya pasangan yang dapat melakukan penyesuaian dengan baik yang akan mencari pertolongan medis akan kondisinya dan berani menghadapi tuntutan emosional yang tinggi dari terapi FIV, sementara pasangan dengan kondisi psikologis yang tidak optimal mungkin akan terlalu lemah untuk menghadapi pemeriksaan infertilitas yang kompleks. Hal lain yang mungkin memengaruhi adalah bahwa pasangan-pasangan ini telah menghadapi infertilitas selama bertahun-tahun dan mereka telah menemukan cara untuk menghadapi stresor tersebut dengan cukup baik. Beaurepaire dkk, sebagaimana dikutip oleh Eugster, berpendapat bahwa penyebab tidak didapatkannya depresi pada wanita yang baru memulai terapi FIV adalah karena depresi adalah akibat dari perasaan kehilangan. Saat pasangan memulai terapi FIV, mereka memulai prosedur dengan harapan tinggi bahkan tidak realistik akan kesuksesan terapi. Harapan ini untuk sementara dapat menekan perasaan kehilangan yang sebelumnya mereka alami saat divonis mengalami infertilitas. Saat prosedur FIV telah berulang kali dilakukan dan kehamilan tetap tidak terjadi, maka saat itulah seorang perempuan akan merasakan kehilangan yang nyata karena berhadapan

18

Universitas Indonesia

dengan kenyataan bahwa ia mungkin tidak akan dapat memiliki anak. Kondisi ini membuat seseorang menjadi rentan untuk mengalami depresi.12

Pelaksanaan FIV terdiri dari lima tahapan yaitu:

1. Produksi sel telur yang melibatkan stimulasi hormon serta stimulasi folikel. Pada tahapan ini perempuan akan mendapatkan injeksi gonadotropin yang mengandung follicle stimulating hormone (FSH), luteineizing hormone (LH), serta diikuti dengan injeksi human chorionic hormone (hCG);

2. Pengambilan sel telur, dengan prosedur melalui jalur vaginal dengan panduan alat USG;

3. Inseminasi atau injeksi sperma intrasitoplasmik, yang dapat diikuti dengan kriopreservasi embrio;

4. Transfer embrio dengan bantuan proses hatching embrio pada endometrium, serta;

5. Suplementasi fase luteal.18

Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai aspek emosional yang terjadi dalam berbagai tahapan tersebut. Connoly dkk dalam studinya mendapatkan bahwa saat yang dianggap paling menekan bagi pasangan baik laki-laki maupun perempuan adalah saat menunggu hasil dari transfer embrio, menunggu hasil dari terapi FIV, dan mendapatkan bahwa terapi FIV tersebut tidak berhasil. Studi yang dilakukan oleh Dudok de Wit, sebagaimana dikutip oleh Eugster dkk, menunjukkan bahwa pada tiap fase, dilaporkan adanya ketegangan yang meningkat, menurun selama transfer embrio dan kembali meningkat saat menunggu apakah embrio berhasil terimplantasi. Dalam studi ini juga didapatkan bahwa fase-fase saat pasangan tidak berkontak langsung dengan rumah sakit dirasakan lebih berat karena pasangan tidak merasa mendapatkan dukungan dari rumah sakit. Pada laki-laki, keharusan untuk mengeluarkan spermanya dalam waktu yang terbatas di rumah sakit dilaporkan sebagai sesuatu yang menekan.12,31

Newman dan Zouves melakukan studi pada pasangan untuk mendapatkan gambaran tentang reaksi emosional yang terjadi pada tiap fase terapi dan menggolongkan respons subjek dalam beberapa kategori yaitu ansietas, depresi, kehilangan kontrol, dan perasaan positif. Pada fase induksi ovulasi didapatkan ansietas yang lebih tinggi pada perempuan, perasaan positif yang lebih banyak

pada laki, selain itu didapatkan perasaan kehilangan kontrol baik pada laki-laki maupun perempuan, terutama perasaan seakan hidup mereka dalam kondisi “on hold”. Pada fase pengambilan oosit, kecemasan tetap paling banyak dirasakan terutama oleh perempuan dan dideskripsikan dengan perasaan tegang dan khawatir. Perasaan optimis juga dirasakan paling tinggi. Fase berikutnya, yaitu transfer embrio, perasaan positif dilaporkan paling tinggi dibandingkan pada fase-fase lainnya. Perasaan kehilangan kontrol juga dirasakan cukup tinggi oleh perempuan dan juga kecemasan. Laki-laki menunjukkan tingkat kecemasan dan perasaan kehilangan kontrol yang rendah. Fase saat pasangan harus menunggu apakah konsepsi berhasil terjadi merupakan fase saat kecemasan didapatkan paling tinggi baik bagi perempuan maupun laki-laki, begitu juga dengan perasaan kehilangan kontrol. Perasaan depresi juga dirasakan lebih banyak dirasakan oleh perempuan dibandingkan laki-laki. Saat mengetahui hasil apakah terjadi kehamilan, perasaan depresi dirasakan oleh 90% perempuan dan 94% laki-laki. Perasaan kehilangan kontrol juga didapatkan tinggi pada perempuan dengan perasaan frustasi yang mendominasi. Perasaan positif berada pada tingkat terendah pada perempuan maupun laki-laki. Perasaan positif yang paling banyak disampaikan adalah perasaan lega.30

Eugster menyatakan bahwa setelah tiga percobaan terapi FIV, 60% pasangan tidak berhasil mengalami kehamilan. Pasangan yang mengalami ketidakberhasilan harus menghadapi lagi masalah infertilitasnya. Leiblum dkk, sebagaimana dikutip oleh Eugster, dalam studinya menyatakan bahwa kekecewaan karena kegagalan FIV banyak dirasakan oleh pasangan. Pasangan juga merasakan ketegangan yang tinggi, kesedihan, kemarahan dan depresi. Hal ini terutama dilaporkan oleh perempuan daripada laki-laki. Pada pasangan yang berhasil mengalami kehamilan, kecemasan lebih banyak dialami. Studi dari Reading dkk, yang juga dikutip oleh Eugster, mendapatkan bahwa perempuan yang menjalani FIV memiliki tingkat kecemasan yang tidak berbeda secara signifikan dengan perempuan yang melakukan konseling genetik, namun kedua kelompok ini memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan primipara normal. Eugster dkk juga mengutip hasil yang didapatkan oleh McMahon dkk dalam studinya yang menunjukkan bahwa bila jumlah siklus FIV

Dokumen terkait