• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN PSIKOPATOLOGI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PADA PASANGAN INFERTILITAS YANG MENJALANI FERTILISASI IN VITRO DI KLINIK YASMIN RSCM KENCANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAMBARAN PSIKOPATOLOGI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PADA PASANGAN INFERTILITAS YANG MENJALANI FERTILISASI IN VITRO DI KLINIK YASMIN RSCM KENCANA"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

GAMBARAN PSIKOPATOLOGI DAN FAKTOR-FAKTOR

YANG MEMENGARUHI PADA PASANGAN INFERTILITAS

YANG MENJALANI FERTILISASI IN VITRO DI KLINIK

YASMIN RSCM KENCANA

TESIS

DYANI PITRA VELYANI 0906565154

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

BIDANG STUDI ILMU KEDOKTERAN JIWA JAKARTA

AGUSTUS 2014

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

GAMBARAN PSIKOPATOLOGI DAN FAKTOR-FAKTOR

YANG MEMENGARUHI PADA PASANGAN INFERTILITAS

YANG MENJALANI FERTILISASI IN VITRO DI KLINIK

YASMIN RSCM KENCANA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar DOKTER SPESIALIS ILMU KEDOKTERAN JIWA

DYANI PITRA VELYANI 0906565154

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

BIDANG STUDI ILMU KEDOKTERAN JIWA JAKARTA

(3)

ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Dyani Pitra Velyani

NPM : 0906565154

Tanda Tangan : ... Tanggal : 26 Agustus 2014

(4)

Tesis ini diajukan oleh :

Nama : Dyani Pitra Velyani

NPM : 0906565154

Program Studi : Ilmu Kedokteran Jiwa

Judul Tesis : Gambaran Psikopatologi dan Faktor-faktor yang Memengaruhi pada Pasangan Infertilitas yang Menjalani Fertilisasi in Vitro di Klinik Yasmin RSCM Kencana

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Dokter Spesialis pada Program Studi Ilmu Kedokteran Jiwa, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : dr. Charles Evert Damping SpKJ(K) ( ...) Pembimbing II : dr. Andon Hestiantoro, SpOG(K) (...) Pembimbing Akademi : dr. Feranindhya Agiananda, SpKJ ( ...) Penguji : dr. Sylvia Detri Elvira, SpKJ(K) ( ...) Penguji : dr. Charles Evert Damping, SpKJ(K) (………...) Penguji : dr. Feranindhya Agiananda, SpKJ (………...)

Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : 24 Juni 2014

(5)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan pada Allah SWT atas segala berkah dan karunianya yang membuat saya dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di program studi Ilmu Kedokteran Jiwa, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Saya menghaturkan terima kasih kepada dr. Charles Evert Damping SpKJ(K) selaku pembimbing penelitian saya yang telah sabar memberikan bimbingan dan dukungannya sejak masa-masa kebingungan dalam pemilihan topik penelitian hingga akhirnya penelitian ini dapat selesai. Terima kasih kepada dr. Sylvia Detri Elvira SpKJ(K) sebagai penguji sekaligus narasumber penelitian yang juga sangat membantu hingga penelitian ini dapat terlaksana. Terima kasih juga saya sampaikan pada dr. Feranindhya Agiananda SpKJ selaku pembimbing akademik yang telah merelakan banyak waktunya untuk terlibat langsung dalam penelitian ini, meredakan kekalutan saya dan selalu memberikan semangat. Terima kasih kepada dr. Andon Hestiantoro, SpOG(K) selaku Kepala Klinik Yasmin RSCM Kencana yang juga merupakan pembimbing penelitian dari Departemen Obstetri dan Ginekologi yang memungkinkan terlaksananya penelitian ini. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada dr. A.A.A.A Kusumawardhani selaku Kepala Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan kepada dr.Natalia Widiasih SpKJ(K) MPdKed selaku ketua program studi Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang senantiasa memberikan dukungan.

Penelitian ini melibatkan banyak pihak. Saya mengucapkan terima kasih kepada teman-teman PPDS dr. Adhika Anindita, dr. Deasyanti, dr. Mutiara, dr. Imelda Gracia, dr. Alvina, dr. Elvina, dr. Endang Legiarti, dr. Olga Leodirista, dr. Ryan Aditya, teman-teman di Klinik Yasmin RSCM Kencana mbak Tetya, mbak Widhi, Mbak Sammy serta kakak-kakak perawat yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, juga dokter-dokter di Klinik Yasmin Kencana yang telah berperan besar hingga terlaksananya penelitian ini, serta banyak pihak lain yang telah memberikan dukungannya.

Tak lupa terima kasih tak terhingga pada ibu, ayah, suami dan anak tercinta atas limpahan kasih sayang, doa serta dukungan yang tak berkesudahan.

Saya menyadari bahwa penelitian ini jauh dari sempurna, namun saya berharap hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi pada kemajuan ilmu pengetahuan

Jakarta, Agustus 2014

Penulis

(6)

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah

ini:

Nama : Dyani Pitra Velyani

NPM : 0906565154

Program Studi : Dokter Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa Departemen : Psikiatri

Fakultas : Kedokteran Jenis karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Gambaran Psikopatologi dan Faktor-faktor yang Memengaruhi pada Pasangan Infertilitas yang Menjalani Fertilisasi in Vitro di Klinik Yasmin RSCM Kencana

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,

mengalihmedia/formatkan,

mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan

memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta Pada tanggal : 26 Agustus 2014

Yang menyatakan

(7)

vi

Universitas Indonesia ABSTRAK

Nama : Dyani Pitra Velyani Program Studi : Ilmu Kedokteran Jiwa

Judul : Gambaran Psikopatologi dan Faktor-faktor yang Memengaruhi pada Pasangan Infertilitas yang Menjalani Fertilisasi in Vitro di Klinik Yasmin RSCM Kencana

Fertilisasi invitro (FIV), atau yang biasa dikenal oleh masyarakat awam sebagai “program bayi tabung”, adalah metode Assisted Reproductive Therapy (ART) yang dilakukan saat metode lain untuk mengatasi masalah infertilitas telah mengalami kegagalan (end of the line treatment). Terapi ini menghabiskan banyak waktu, biaya, tenaga, serta digambarkan sebagai emotional roller-coaster bagi pasangan yang menjalaninya.

Penelitian ini merupakan studi kuantitatif dan kualitatif untuk mengetahui fenomena psikologis yang terjadi pada pasangan suami istri dengan masalah infertilitas yang menjalani program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana dan mengetahui bagaimana pasangan suami istri memaknai masalah infertilitas dan terapi FIV yang mereka jalani.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa gejala kecemasan merupakan gambaran yang paling banyak ditemukan. Pada uji statistik tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara faktor demografi yaitu suku dan agama, durasi infertilitas, riwayat terapi FIV sebelumnya serta tahapan FIV yang sedang dijalani dengan adanya psikopatologi. Hal ini kemungkinan besar berhubungan dengan kesiapan mental pasangan sebelum menjalani terapi FIV, penerimaan pasangan terhadap kondisi infertilitasnya, serta religious coping positif yang dilakukan oleh pasangan dalam memaknai hasil dari terapi yang mereka jalani.

Kata Kunci: fertilisasi in vitro; fenomena psikologis; infertilitas; psikopatologi

(8)

ABSTRACT

Name : Dyani Pitra Velyani

Program : Psychiatry

Title : Psychopathological Profile and Its Influencing Factors in Infertility Couples Undergoing In vitro Fertilization (IVF) inYasmin Clinic, Kencana Cipto Mangunkusumo Hospital

In vitro fertilization (IVF), is a method of therapy which was done after other methods to overcome infertility problems had failed (end of the line treatment). This therapy is time-, cost-, energy-consuming, and also described as an emotional roller-coster for the couples.

This research is a quantitative and qualitative study to discover psychological phenomenon that occurs in couples with infertility problems who underwent the program in Yasmin Clinic at RSCM Kencana and to explore how the couples experience this problem and IVF therapy.

The results showed that anxiety are the most common symptoms. The statistical test found no significant association between demographic factors (race and religion), duration of infertility, history of previous treatment and the stages of IVF in relation with the presence of psychopathology. This is most likely related to the mental preparation of couples before undergoing IVF, partner acceptance of the condition of infertility, and positive religious coping were performed by couples in defining the outcome of their treatment.

Keywords: in vitro fertilization; infertility; psychological phenomenon; psychopathology

(9)

viii

Universitas Indonesia DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

1. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 4 1.3 Hipotesis ... 5 1.4 Tujuan Penelitian ... 5 1.5 Manfaat Penelitian ... 7 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9 2.1 Infertilitas ... 9

2.2 Aspek Psikologis Infertilitas ... 10

2.2.1 Infertilitas dan Perempuan ... 12

2.2.2 Infertilitas dan Laki-laki... 14

2.2.3 Perbedaan Mekanisme Koping Perempuan dan Laki-laki dalam Menghadapi Infertilitas ... 15

2.3 Aspek Psikologis Terapi Fertilisasi in Vitro (FIV) ... 16

2.4 Self Rating Questionnaire-20 ... 20

2.5 Kerangka Teori ... 22

2.6 Kerangka Konsep ... 23

3. METODOLOGI PENELITIAN ... 24

3.1 Desain Penelitian ... 24

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 24

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 24

3.4 Kriteria Inklusi dan Ekskusi ... 24

3.5 Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel ... 25

3.6 Izin Subjek Penelitian dan Masalah Etika ... 26

3.7 Metode Pengumpulan Data ... 26

3.8 Instrumen Penelitian ... 27

3.9 Cara Kerja ... 27

3.10 Kerangka Kerja... 29

3.11 Manajemen dan Analisis Data... 30

3.12 Definisi Operasional ... 30

3.13 Jadwal Penelitian ... 31

3.14 Anggaran ... 32

3.15 Organisasi Penelitian ... 32

(10)

4. HASIL PENELITIAN... 33

4.1 Data Hasil Penelitian ... 36

4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 36

4.1.2 Data Kondisi Klinis Infertilitas... 38

4.1.3 Data Kondisi Psikopatologi berdasar Skor SRQ-20 ... 40

4.2 Hubungan Karakteristik Subyek Penelitian dengan Adanya Psikopatologi 40 4.2.1 Gambaran Psikopatologi pada Suami yang Menjalani Program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana ... 40

4.2.2 Gambaran Psikopatologi pada Istri yang Menjalani Program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana ... 41

4.2.3 Hubungan antara Suku dengan Psikopatologi pada Suami ... 41

4.2.4 Hubungan antara Suku dengan Psikopatologi pada Istri ... 42

4.2.5 Hubungan antara Agama dengan Psikopatologi pada Suami ... 43

4.2.6 Hubungan antara Agama dengan Psikopatologi pada Istri ... 43

4.2.7 Hubungan antara Lama Menikah dengan Psikopatologi pada Suami ... 44

4.2.8 Hubungan antara Lama Menikah dengan Psikopatologi pada Istri .. 45

4.2.9 Hubungan antara Fase FIV dengan Psikopatologi pada Suami... 45

4.2.10 Hubungan antara Fase FIV dengan Psikopatologi pada Istri ... 46

4.2.11 Hubungan antara Jumlah Siklus FIV dengan Psikopatologi pada Suami ... 47

4.2.12 Hubungan antara Jumlah Siklus FIV dengan Psikopatologi pada Istri ... 47

4.3 Pemaknaan Pasangan Suami Istri terhadap Infertilitas dan Terapi FIV yang Mereka Jalani di Klinik Yasmin RSCM Kencana ... 48

4.3.1 Riwayat Perjalanan Terapi ... 50

4.3.2 Makna Memiliki Anak ... 50

4.3.3 Makna Infertilitas ... 51

4.3.4 Komunikasi Pasanngan dalam Menghadapi Masalah Infertilitas dan dalam Menjalani Terapi FIV ... 52

4.3.5 Dukungan Pasangan dalam Menghadapi Masalah Infertilitas dan Dalam Menjalani Terapi... 52

4.3.6 Pengaruh Masalah Infertilitas dan Terapi FIV terhadap Kualitas Hubungan Seksual ... 53

4.3.7 Cara Mengatasi Perasaan Negatif terkait Infertilitas ... 54

4.3.8 Tuntutan dari Keluarga maupun Lingkungan yang Dirasakan oleh Pasangan dengan Infertilitas ... 54

4.3.9 Dukungan dari Keluarga terhadap Pasangan dalam Menghadapi Masalah Infertilitas dan Terapi FIV ... 55

4.3.10 Dukungan dari Lingkungan terhadap Pasangan dalam Menghadapi Masalah Infertilitas ... 55

4.3.11 Persiapan dalam Menjalani Terapi FIV ... 55

4.3.12 Kerahasiaan dan Stigma tentang FIV... 56

4.3.13 Dampak yang Dirasakan terkait Terapi FIV ... 57

4.3.14 Pandangan terhadap Keberhasilan dan Ketidakberhasilan Terapi... 58

(11)

x

Universitas Indonesia

4.3.16 Hal-hal yang Dipertimbangkan untuk Kembali Menjalani Terapi

FIV ... 59

4.3.17 Kebutuhan akan Pendampingan dan Akses Pelayanan ... 60

4.3.18 Pengaruh Kultur terhadap Penyampaian Kebutuhan ... 60

5. PEMBAHASAN ... 61

6. SIMPULAN DAN SARAN ... 70

6.1Simpulan ... 70

6.2 Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian berdasarkan Umur, Tingkat Pendidikan, Pekerjaan, Agama, dan Suku Bangsa ... 37

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Durasi Infertilitas, Jenis Infertilitas, Jumlah Siklus FIV Sebelumnya serta Tahapan FIV Saat Ini ... 39

Tabel 3. Data Kondisi Psikopatologi berdasar Skor SRQ-20 ... 40

Tabel 4. Distribusi Psikopatologi Suami yang Menjalani Program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana ... 40

Tabel 5. Distribusi Psikopatologi pada Istri yang Menjalani Program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana ... 41

Tabel 6. Hubungan antara Suku dengan Psikopatologi pada Suami yang Menjalani Program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana ... 41

Tabel 7. Hubungan antara Suku dengan Psikopatologi pada Istri yang Menjalani Program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana ... 42

Tabel 8. Hubungan antara Agama dengan Psikopatologi pada Suami yang Menjalani Program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana... 43

Tabel 9. Hubungan antara Agama dengan Psikopatologi pada Istri yang Menjalani Program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana ... 44

Tabel 10. Hubungan antara Lama Menikah dengan Psikopatologi pada Suami yang Menjalani Program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana ... 44

Tabel 11. Hubungan antara Lama Menikah dengan Psikopatologi pada Istri yang Menjalani Program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana... 45

Tabel 12. Hubungan antara Fase FIV dengan Psikopatologi pada Suami yang Menjalani Program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana... 46

Tabel 13. Hubungan antara Fase FIV dengan Psikopatologi pada Istri yang Menjalani Program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana... 46

Tabel 14. Hubungan antara Jumlah Siklus FIV dengan Psikopatologi pada Suami yang Menjalani Program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana ... 47

Tabel 15. Hubungan antara Jumlah Siklus FIV dengan Psikopatologi pada Istri yang Menjalani Program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana ... 48

(13)

xii

Universitas Indonesia DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Keterangan Lolos Kaji Etik ... 77

Lampiran 2. Lembar Informasi Penelitian ... 78

Lampiran 3. Formulasi Persetujuan Mengikuti Penelitian ... 80

Lampiran 4. Kuesioner Biodata ... 84

Lampiran 5. Self Rating Questionnaire (SRQ)-20 ... 86

Lampiran 6. Pedoman Wawancara ... 87

Lampiran 7. Pengolahan Data Statistik ... 88

Lampiran 8. Matrikulasi Wawancara ... 94

(14)

1.1 Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk hidup memiliki naluri untuk berpasangan dan meneruskan keberlangsungan spesiesnya. Sebagai makhluk yang tertinggi, memiliki keturunan juga melingkupi berbagai tujuan lainnya seperti untuk menunjukkan identitas seksual, kompetensi, maturitas sosial, mempertahankan pernikahan, serta mendapatkan penghargaan di mata sosial. Keinginan untuk memiliki keturunan ini sama besar baik pada perempuan maupun laki-laki, namun, definisi peran perempuan yang lebih besar dalam keluarga dibandingkan perannya dalam pekerjaan serta penghayatan yang lebih intim terhadap kehamilan menjadikan keinginan untuk memiliki anak ini sebagai pencapaian yang lebih penting, kalau tidak dapat dikatakan utama, dan aspirasi gender dari seorang perempuan.1,2,3

Fertilitas manusia dikatakan paling rendah bila dibandingkan dengan berbagai spesies lainnya. Pada setiap siklus menstruasi, hanya terdapat 30% kemungkinan terjadinya kehamilan pada manusia. Pada pasangan yang melakukan hubungan seksual secara regular tanpa pengaman, maka terdapat kemungkinan sebesar 85% untuk terjadi kehamilan dalam satu tahun. Diperkirakan 5 sampai 10% pasangan memerlukan waktu satu hingga dua tahun untuk mendapatkan kehamilan.4,5

Infertilitas didefinisikan sebagai kondisi saat tidak terjadi kehamilan setelah pasangan melakukan hubungan seksual secara rutin tanpa alat ataupun teknik pencegah kehamilan. Prevalensi terjadinya infertilitas di negara yang lebih maju adalah 3,5 hingga 16,7%, sedangkan prevalensi di negara yang kurang maju berada dalam rentang 6,9 hingga 9,3%, dengan prevalensi median 9%. Hanya kurang lebih separuh dari pasangan yang mengalami infertilitas yang mencari pertolongan, dan hanya kurang lebih 22,4% yang sungguh-sungguh mendapatkan penanganan.6 Kondisi infertilitas sendiri memengaruhi individu dan juga pasangan. Sebanyak 71% perempuan melaporkan bahwa kondisi infertilitas

(15)

2

Universitas Indonesia

memengaruhi kehidupan pernikahannya. Sebagai individu, seorang perempuan mengatakan bahwa infertilitas memengaruhi perasaannya terhadap identitas, status, perasaan defektif dan inkompeten.7 Sebuah studi yang dilakukan oleh Chachamovich dkk mendapatkan adanya gambaran depresi dan ansietas yang sedikit berada di bawah garis ambang pada kelompok laki-laki yang menghadapi masalah infertilitas.8

Beberapa penelitian mendapatkan bahwa perempuan menunjukkan gambaran morbibiditas psikiatri yang lebih besar dibandingkan pasangan laki-lakinya dalam menghadapi masalah infertilitas. Pada studi perbandingan morbiditas psikiatri yang dilaporkan Guerra dkk, didapatkan morbiditas psikiatri pada 61,1% perempuan dan 21% laki-laki. Hal ini dikaitkan dengan berbagai faktor diantaranya ambang stresor perempuan yang lebih rendah, keseimbangan hormonal, pandangan sosiokultural dan stigma infertilitas pada perempuan, serta intervensi medis yang lebih invasif pada perempuan. Pada sebuah studi yang dilakukan oleh Purnamawati NWA di RSCM pada pasangan dengan infertilitas, didapatkan bahwa gambaran proporsi depresi yang lebih besar pada istri yaitu 43,5% dibandingkan pada suami yaitu sebesar 15,2%.5,9

Laki-laki menghadapi masalah infertilitas dengan cara yang berbeda dengan perempuan. Walaupun banyak studi yang mendapatkan bahwa laki-laki lebih sedikit terpengaruh dengan masalah infertilitas yang ia hadapi, hal ini harus diinterpretasikan sebagai perbedaan gender dalam menghadapi stres, distres emosional dan kedukaan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Sesuai norma sosial tentang maskulinitas, laki-laki cenderung untuk menekan emosinya dan akan menunjukkan sikap tabah dan mengambil peran dalam menguatkan pasangan yang bersedih dalam masalah infertilitas. Laki-laki juga cenderung menutup diri mengenai masalah infertilitas yang ia hadapi. Hal ini dihubungkan dengan stigma yang melekat pada infertilitas laki-laki. Infertilitas pada laki-laki lebih banyak dihubungkan dengan disfungsi seksual, dan hasil pemeriksaan berupa “rendahnya jumlah sperma” akan menyinggung maskulinitas stereotipik laki-laki.8,10

Pasangan yang mengalami infertilitas akan mencoba mencari berbagai jalan keluar untuk mendapatkan keturunan. Berbagai pemeriksaan akan dijalani oleh

(16)

pasangan untuk mengetahui penyebab dari infertilitas. Dan tidak jarang, penyebab infetilitas tersebut tetap tidak dapat mereka ketahui karena pada 25-30% kasus, penyebab infertilitas tidak diketahui. Terapi yang dapat dilakukan pada perempuan maupun pada laki-laki adalah berupa terapi hormonal, obat, ataupun pembedahan. Apabila metode-metode tersebut tidak juga berhasil, maka assisted

reproductive technology (ART) menjadi pilihan.3,6,11

Fertilisasi invitro (FIV), atau yang biasa dikenal oleh masyarakat awam sebagai “program bayi tabung”, adalah metode ART yang dilakukan saat metode lain seperti inseminasi telah mengalami kegagalan. Metode ini mulai dikembangkan pada manusia sejak tahun 1950an dan hingga saat ini telah dilakukan kurang lebih satu juta siklus FIV pertahun dengan angka kesuksesan 20 hingga 30%, dan belakangan meningkat hingga 48%. Sampai dengan tahun 2008 telah dilahirkan tiga juta anak dari kehamilan dengan metode FIV ini. Program ini memerlukan waktu yang panjang, biaya yang tidak sedikit, dan angka kesuksesannya pun relatif kecil sehingga membutuhkan kesiapan baik materi maupun non materi dari pasangan. Selain membutuhkan kesiapan materi maupun non materi mereka juga mengalami tekanan fisik maupun emosional, baik pada perempuan, maupun pasangannya.12 Pasangan juga menghadapi pandangan masyarakat dan agama yang tidak seragam mengenai program bayi tabung. Gereja Katolik secara tegas menyatakan ketidaksetujuannya terhadap terapi FIV karena menganggap prosedur ini mencampuri tangan Tuhan dengan mengatur terjadinya ovulasi, pertemuan sel telur dan sperma di luar rahim, manipulasi konsepsi embrio, serta penyimpanan beku yang dilakukan. Islam melalui fatwa para ulama membolehkan teknik FIV ini selama dilakukan dengan menggunakan sel telur dan sperma dari pasangan suami istri yang terikat dalam pernikahan Islam. Yahudi membolehkan FIV dengan pemahaman bahwa bahkan teknologi pun merupakan perpanjangan dari tangan Tuhan. Pandangan yang berbeda-beda ini membuat pasangan seringkali melakukan terapi secara sembunyi-sembunyi untuk menghindari penilaian orang lain yang akan memengaruhi mereka.13

FIV terdiri dari lima tahapan yaitu: produksi sel telur, pengambilan sel telur, inseminasi atau injeksi sperma intrasitoplasmik, transfer embrio serta suplementasi fase luteal. Tiap fase merupakan stresor tersendiri bagi pasangan.

(17)

4

Universitas Indonesia

Perempuan biasanya merasa khawatir dengan intervensi invasif yang mereka jalani dan juga merasa tidak nyaman dengan efek yang ditimbulkan oleh terapi hormonal yang mereka dapatkan, sementara laki-laki banyak menyatakan kekhawatiran tentang rangkaian prosedur yang dijalani oleh pasangan mereka. Banyak pasangan melaporkan bahwa stresor terbesar bagi mereka adalah saat mereka akan mendapatkan apakah program tersebut berhasil membuat mereka mendapatkan kehamilan. Saat kehamilan telah terjadi pun, kecemasan terhadap kehamilan cenderung lebih tinggi daripada kehamilan yang terjadi secara alami.12

Sesuai dengan apa yang telah dipaparkan di atas, dianggap perlu dilakukan penelitian mengenai gambaran psikopatologi pada pasangan suami istri yang menjalani terapi FIV, faktor-faktor apa saja yang memengaruhinya, bagaimana pasangan memaknai infertilitas, hal-hal apa saja yang membawa pasangan dalam mempertimbangkan dan memutuskan untuk menjalani terapi FIV, serta apa saja yang mendukung dalam menghadapi stresor atau memperberat stresor pada pasangan tersebut. Dengan mengetahui hal tersebut diharapkan peranan psikiater akan menjadi lebih optimal dalam penatalaksanaan komprehensif dalam terapi FIV.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian tersebut di atas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran psikopatologi pada pasangan suami istri yang menjalani terapi FIV?

2. Faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan dengan munculnya psikopatologi?

3. Bagaimana pasangan memaknai masalah infertilitas yang mereka alami dan terapi FIV yang mereka jalani?

4. Hal-hal apa saja yang mendukung dan memberatkan pasangan dalam menghadapi stresor berkaitan dengan infertilitas dan terapi FIV yang mereka jalani?

(18)

1.3 Hipotesis

- Terdapat hubungan antara faktor demografi yaitu suku dan agama dengan munculnya psikopatologi pada pasangan suami istri yang menjalani terapi FIV

- Terdapat hubungan antara durasi infertilitas, jumlah siklus FIV yang telah dijalani, serta fase terapi yang dijalani dengan munculnya psikopatologi pada pasangan suami istri yang menjalani terapi FIV

- Terdapat hubungan antara faktor psikososial yaitu tuntutan keluarga, dukungan emosional, dan komunikasi dengan pasangan dengan munculnya psikopatologi pada pasangan suami istri yang menjalani terapi FIV

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui fenomena psikologis yang terjadi pada pasangan suami istri dengan masalah infertilitas yang menjalani program FIV dan mengetahui bagaimana pasangan suami istri memaknai masalah infertilitas dan terapi FIV yang mereka jalani.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran psikopatologi pada suami yang menjalani program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana.

2. Untuk mengetahui gambaran psikopatologi pada istri yang menjalani program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana.

3. Untuk mengetahui hubungan antara suku dengan munculnya psikopatologi pada suami yang menjalani terapi FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana.

4. Untuk mengetahui hubungan antara suku dengan munculnya psikopatologi pada istriyang menjalani terapi FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana.

(19)

6

Universitas Indonesia

5. Untuk mengetahui hubungan antara agama dengan munculnya psikopatologi pada suami yang menjalani terapi FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana.

6. Untuk mengetahui hubungan antara agama dengan munculnya psikopatologi pada istri yang menjalani terapi FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana.

7. Untuk mengetahui hubungan antara durasi infertilitas dengan munculnya psikopatologi pada suami yang menjalani terapi FIVdi Klinik Yasmin RSCM Kencana.

8. Untuk mengetahui hubungan antara durasi infertilitas dengan munculnya psikopatologi pada istri yang menjalani terapi FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana.

9. Untuk mengetahui hubungan antara jumlah siklus FIV yang telah dijalani dengan munculnya psikopatologi pada suami yang menjalani terapi FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana.

10. Untuk mengetahui hubungan antara jumlah siklus FIV yang telah dijalani dengan munculnya psikopatologi pada istri yang menjalani terapi FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana.

11. Untuk mengetahui hubungan antara fase FIV yang dijalani dengan munculnya psikopatologi pada suami yang menjalani terapi FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana.

12. Untuk mengetahui hubungan antara fase FIV yang dijalani dengan munculnya psikopatologi pada istri yang menjalani terapi FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana.

13. Untuk mengetahui hubungan antara tuntutan keluarga dengan munculnya psikopatologi pada suami yang menjalani terapi FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana.

14. Untuk mengetahui hubungan antara tuntutan keluarga dengan munculnya psikopatologi pada istri yang menjalani terapi FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana.

(20)

15. Untuk mengetahui hubungan antara dukungan emosional dengan munculnya psikopatologi pada suami yang menjalani terapi FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana.

16. Untuk mengetahui hubungan antara dukungan emosional dengan munculnya psikopatologi pada istri yang menjalani terapi FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana.

17. Untuk mengetahui hubungan antara komunikasi dengan pasangan dengan munculnya psikopatologi pada suami yang menjalani terapi FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana.

18. Untuk mengetahui hubungan antara komunikasi dengan pasangan dengan munculnya psikopatologi pada istri yang menjalani terapi FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana.

19. Untuk mengetahui bagaimana suami memaknai masalah infertilitas dan terapi FIV yang mereka jalani.

20. Untuk mengetahui bagaimana istri memaknai masalah infertilitas dan terapi FIV yang mereka jalani.

21. Untuk mengetahui hal-hal yang mendukung dan memberatkan suami dalam menghadapi stresor berkaitan dengan infertilitas dan terapi FIV yang mereka jalani.

22. Untuk mengetahui hal-hal yang mendukung dan memberatkan istri dalam menghadapi stresor berkaitan dengan infertilitas dan terapi FIV yang mereka jalani.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Di Bidang Pendidikan

Penelitian ini merupakan sarana dalam proses pendidikan. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan dalam bidang psikiatri khususnya bidang consultation liaison psychiatry dan bidang obstetri ginekologi khususnya bidang infertilitas dan fertilisasi in vitro.

(21)

8

Universitas Indonesia 1.5.2 Di Bidang Pengembangan

Data yang didapat pada penelitian ini dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut di bidang consultation liaison psychiatry dan bidang terapi infertilitas

1.5.3 Di Bidang Pelayanan Masyarakat

Dengan mengetahui gambaran psikopatologi pada pasangan suami istri yang menjalani program FIV serta mengetahui faktor risiko dan faktor pendukungnya, diharapkan intervensi psikologis yang lebih terarah dan tepat kebutuhan pada pasien FIV dapat dilakukan.

Dengan mengetahui gambaran psikopatologi pada pasangan suami istri yang menjalani program FIV dapat dilakukan tatalaksana komprehensif dengan peran optimal consultation liaison psychiatry antara Departemen Psikiatri dan Departemen Obstetri Ginekologi pada pasien yang menjalani terapi FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana.

(22)

2.1 Infertilitas

Infertilitas adalah suatu kondisi saat sistem reproduksi tidak memungkinkan terjadinya konsepsi atau kehamilan setelah terjadi hubungan seksual secara regular tanpa alat atau teknik pencegah kehamilan selama minimal satu tahun. Kondisi ini diperkirakan terjadi pada kurang lebih 6,1 juta orang di Amerika Serikat dan 3,5 juta orang di Inggris. World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa infertilitas terjadi pada 15% dari seluruh pasangan dan diperkirakan akan meningkat dalam 20 tahun ke depan. Infertilitas dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu infertilitas primer dan infertilitas sekunder. Seseorang dikatakan mengalami infertilitas primer bila ia tidak pernah memiliki keturunan sebelumnya dan mengalami kesulitan dalam usahanya untuk mendapatkan keturunan saat ini. Infertilitas sekunder adalah apabila seseorang sudah pernah memiliki anak sebelumnya namun saat ini memiliki kesulitan untuk mendapatkan keturunan kembali.4,11

Penyebab infertilitas dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari faktor perempuan, faktor laki-laki, faktor keduanya, dan bahkan pada 10-30% kasus penyebabnya tidak diketahui. Beberapa kondisi yang dapat menjadi penyebab infertilitas perempuan diantaranya adalah gangguan ovulasi, hal ini dapat terjadi akibat dari berbagai masalah klinis seperti polikistik ovari, gangguan tiroid (hipotiroid atau hipertiroid), kegagalan ovarian prematur; gangguan pada tuba dan pelvis, termasuk endometriosis dan Pelvic Inflammatory Disease (PID); gangguan uterus seperti mioma submukosum dan polip endometrium; usia; serta penggunaan medikasi dan zat adiktif. Beberapa kondisi yang dapat menjadi penyebab infertilitas pada laki-laki diantaranya adalah gangguan hipotalamus atau hipofisis, gangguan pada testis, atau gangguan penyaluran sperma akibat penyakit pada penis ataupun kelenjar di sekitarnya, serta penggunaan medikasi dan alkohol. Selain itu terdapat juga beberapa kondisi yang dapat memengaruhi fertilitas baik laki-laki maupun perempuan diantaranya adalah berat badan baik yang berlebih

(23)

10

Universitas Indonesia

ataupun kondisi malnutrisi, infeksi menular seksual, kebiasaan merokok, faktor lingkungan seperti pajanan terhadap pestisida, logam dan solven dan stres.14,15,16

Terapi fertilisasi in vitro (FIV) dapat dikatakan merupakan salah satu jalan keluar terakhir bagi pasangan yang mengalami masalah infertilitas. FIV dilakukan sebagai tatalaksana dari berbagai kondisi infertilitas. Pada awalnya, terapi FIV ini hanya dilakukan pada perempuan yang mengalami hambatan pada ovarium. Namun belakangan ini FIV dilakukan pada berbagai masalah infertilitas lainnya seperti endometriosis, masalah antibodi terhadap sperma, kualitas sperma yang buruk dan juga infertilitas dengan penyebab yang tidak diketahui.12

Keberhasilan terapi FIV hingga saat ini telah meningkat. Di Amerika Serikat, angka keberhasilannya telah meningkat dari 38% menjadi 48% pada perempuan dengan usia dibawah 35 tahun. Pedoman dari National Institute for

Health and Clinical Excellence (NICE) menetapkan bahwa FIV kini harus

ditawarkan bahkan pada perempuan dengan usia hingga 42 tahun dan pada pasangan yang telah melakukan hubungan seksual tanpa pengaman selama dua tahun tanpa terjadinya kehamilan.12,17

Pelaksanaan FIV terdiri dari lima tahapan yaitu: produksi sel telur yang melibakan stimulasi hormon serta stimulasi ovarium baik dengan pil maupun injeksi, pengambilan sel telur, inseminasi atau injeksi sperma intrasitoplasmik, transfer embrio serta suplementasi fase luteal. Komplikasi dapat terjadi selama rangkaian terapi dilakukan. Risiko terjadinya tromboemboli vena pada trimester pertama kehamilan pasca FIV meningkat hingga sepuluh kali lipat dibandingkan populasi umum, dan 6-7% kehamilan mengalami penyulit berupa hiperstimulasi ovarium.18,19

2.2 Aspek Psikologis Infertilitas

Infertilitas menimbulkan trauma psikologis pada kebanyakan pasangan dan memengaruhi baik istri maupun suami. Kebanyakan pasangan menggambarkan infertilitas sebagai kejadian yang paling menekan dalam hidup mereka. Kondisi ini mengakibatkan berbagai sekuele negatif seperti terganggunya kehidupan seksual, ketidakpuasan dalam pernikahan, terganggunya komunikasi, harga diri yang rendah serta perasaan tidak mampu dan terisolasi. Kondisi infertilitas juga

(24)

membawa pasangan pada berbagai pemeriksaan dan prosedur medis lainnya yang memengaruhi kondisi fisik, mental, serta ekonomi.20

Beberapa studi telah melakukan evaluasi profil psikologis pada pasangan infertil dan didapatkan bahwa kondisi ini memengaruhi baik pada perempuan maupun laki-laki dengan prevalensi psikopatologi yang lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Infertilitas dikatakan menunjukkan pengaruh yang lebih besar pada perempuan. El Kissi dkk dalam studinya mengutip penelitian Keye dkk yang melaporkan bahwa 57% perempuan dan hanya 12% laki-laki yang menganggap bahwa infetilitas adalah hal terburuk dalam hidup mereka. Studi lain yang dikutip oleh El Kissi yaitu penelitian McEwan dkk mendapatkan bahwa 40% perempuan dan hanya 13% laki-laki yang mengalami gejala psikologis yang secara klinis bermakna dan kondisi yang lebih berat terutama dialami oleh perempuan yang berusia lebih muda tanpa adanya diagnosis infertilitas yang jelas. Pada sebuah studi terhadap pasangan dengan masalah infertilitas di Italia didapatkan bahwa terdapat 14,7% perempuan dengan gejala kecemasan dan 17,9% dengan gejala depresi, sementara hanya didapatkan 4,5% laki-laki yang mengalami gejala kecemasan dan 6,9% dengan gejala depresi.20

Infertilitas dihayati secara berbeda-beda oleh pasangan yang mengalaminya. Pada tinjauan kritis literatur yang dilakukan oleh Greil didapatkan bahwa pasangan infertil mengaitkan kondisinya sebagai fokus dari identitas, perasaan kehilangan kendali, perasaan cacad dan kurangnya kompetensi, ketiadaan status, stres dalam perkawinan dan relasi seksual, perasaan terasing dari “dunia fertil”, stigma sosial, kesulitan untuk menghayati infertilitas tersebut, terikat dalam proses terapi, dengan tekanan dalam menjalani terapi serta pada penyedia layanan. Cook dkk, sebagaimana dikutip oleh Downey mendapatkan bahwa 71% perempuan melaporkan bahwa infertilitas memengaruhi kehidupan pernikahan mereka baik secara positif maupun negatif. Infertilitas dapat menguatkan hubungan dalam pernikahan ataupun menjadi faktor yang melemahkannya. Downey juga mengutip pernyataan Connolly dkk bahwa infertilitas cenderung lebih menimbulkan kesulitan dalam pernikahan saat penyebab dari infertilitas tersebut adalah dari pihak laki-laki, dan bahwa lama pasangan menjalani terapi berkaitan dengan menurunnya “sense of wellbeing” pada pasangan.7,21

(25)

12

Universitas Indonesia

Infertilitas berakibat pada area penting dalam pernikahan yaitu fungsi serta kenikmatan seksual. Beberapa efek negatif dalam kehidupan seksual pasangan telah banyak dilaporkan seperti terjadinya impotensi, anorgasmia, serta menurunnya hasrat seksual. Hubungan seksual yang terjadwal, yang biasanya dilakukan saat pasangan menjalani terapi fertilitas juga didapatkan dapat mengganggu fungsi seksual pasangan. Hingga 10% dari kasus infertilitas dikaitkan dengan adanya disfungsi seksual pada laki-laki.7

Selain akibat pada fungsi seksual, infertilitas juga memengaruhi hubungan keluarga dan sosial pasangan. Tuntutan dari keluarga besar untuk memiliki keturunan, orangtua yang berulang kali menanyakan kehadiran cucu mereka akan menimbulkan perasaan tertekan pada pasangan. Nilai agama yang mementingkan adanya keturunan, ataupun kerabat serta teman yang telah memiliki anak akan menambah rasa malu dan gagal pasangan. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya penghindaran dan isolasi sosial pasangan demi menghindari rasa sedih dan juga rasa iri yang akan timbul pada diri mereka. Selain itu, infertilitas yang biasa dikaitkan dengan fungsi seksual akan membuat pasangan merasa malu dan enggan untuk terbuka mengenai kondisinya.7

2.2.1 Infertilitas dan Perempuan

Banyak studi mendapatkan bahwa perempuan lebih terpengaruh dengan kondisi infetilitas dibandingkan laki-laki. Droszdol dan Skrzypulec, sebagaimana dikutip oleh Guerra, dalam studinya pada pasangan infertil mendapatkan bahwa prevalensi depresi pada perempuan mencapai 30-40%. Pada perbandingan morbiditas psikiatri oleh Guerra dkk didapatkan 61,1% pada perempuan dan 21% pada laki-laki. Studi yang dilakukan oleh Dyer dkk mendapatkan bahwa perempuan infertil mengalami tekanan psikologis yang lebih besar dibandingkan perempuan fertil. Morbiditas pada perempuan dengan infertilitas primer ternyata lebih tinggi dibandingkan perempuan yang telah memiliki anak sebelumnya dan mengalami infertilitas sekunder. Selain itu didapatkan bahwa perempuan cenderung mengalami tekanan emosional yang lebih besar saat menjalani terapi fertilitas dan bila infertilitas dikaitkan dengan faktor istri. Kondisi ini dikaitkan dengan gender, namun bagaimanapun juga tekanan psikologis ini memengaruhi

(26)

prediktor yang penting dari “sense of wellbeing” seperti kualitas pernikahan serta dukungan sosial.9,22

Dyer dkk dalam studinya pada populasi di subsahara Afrika mendapatkan bahwa infertilitas berperan dalam meningkatnya instabilitas pernikahan. Infertilitas menempatkan perempuan dalam instabilitas pernikahan, keregangan, turunnya status sosial, kesehatan mental serta disinheritance. Beberapa studi juga mendapatkan bahwa perempuan infertil dapat mengalami kekerasan fisik oleh suami ataupun keluarga dari pihak suami.22,23,24

Ideologi pronatalis menganut keyakinan bahwa nilai sosial seseorang bertautan dengan prokreasi. Pandangan ini sangat berdampak pada perempuan. Fisher, sebagaimana dikutip oleh Parry DC, menjelaskan bahwa kebanyakan perempuan menghadapi tekanan untuk mengandung atau membesarkan anak. Dengan berkembangnya kebudayaan pada beberapa dekade terakhir, peran sebagai ibu tetap dianggap sebagai peran utama bagi seorang perempuan. Hal ini menyebabkan anggapan bahwa menjadi ibu secara biologis adalah jalur yang paling berharga bagi perempuan dalam perannya sebagai orangtua. Parry DC juga mengutip pernyataan dari Wolf yang mengatakan, “segala perjuangan untuk menjadi fertil dan mengandung anak biologisnya sendiri adalah sangat menyayat hati, namun hal ini sesuai dengan bagaimana perempuan dibuat merasa bahwa jalan tersebutlah yang paling baik untuk menjadi ibu.”25

Pentingnya memiliki anak sebagai penentu status sosial di lingkungan budaya tertentu sangat memengaruhi dampak infertilitas pada perempuan. Hal ini bahkan berlaku hingga kini, ketika karir perempuan telah jauh berkembang, memiliki anak tetap menjadi hal yang penting kalaupun tidak yang utama. Pada lingkungan yang mengajarkan bahwa arti perempuan sangat dikaitkan dengan perannya sebagai ibu, perempuan yang tidak pernah mengalami kehamilan, kelahiran, dan menjadi orangtua akan dikucilkan dalam percakapan. Pasangan akan mendapat tekanan untuk mendapatkan keturunan segera setelah menikah. Saat ditemukan adanya kemungkinan infertilitas, laki-laki akan merasa dipermalukan dan perempuan cenderung akan disalahkan karena tidak dapat hamil. Bahkan saat infertilitas laki-laki telah diketahui, perempuan cenderung mengambil tanggungjawab akan masalah infertilitas yang mereka alami.7,25,26

(27)

14

Universitas Indonesia 2.2.2 Infertilitas dan laki-laki

Berbagai studi di bidang psikosomatik telah membuahkan kesepakatan bahwa laki-laki lebih sedikit terpengaruh oleh infertilitas dibandingkan perempuan. Penelitian oleh Purnamawati pada pasangan infertil di RSUPN Ciptomangunkusumo mendapatkan gambaran proporsi depresi yang lebih besar pada perempuan yaitu 43,5% dibandingkan pada laki-laki yaitu sebesar 15,2%. Namun perbedaan respons psikologis ini harus diinterpretasikan lebih pada perbedaan gender dalam bereaksi terhadap stres, tekanan emosional, dan kedukaan daripada reaksi spesifik terhadap infertilitas. Sesuai dengan norma maskulin, kebanyakan laki-laki akan menekan emosinya sebagai usaha untuk mendukung pasangannya. Penarikan diri dapat merupakan cara untuk berlindung dari rasa sakit pasangannya. Jaffe dan Diamond, sebagaimana dikutip oleh Wischmann dan Thorn, menyatakan bahwa di permukaan, laki-laki dan perempuan akan mengekspresikan rasa dukanya dengan cara yang berbeda: saat perempuan membicarakan kesedihan mereka, laki-laki justru akan menghindari emosi yang terbuka dan mengambil peran sebagai pasangan yang sangat tabah.27

Studi-studi berbagai negara untuk menilai kualitas hidup (QoL) laki-laki yang menghadapi masalah infertilitas ternyata menunjukkan hasil yang tidak konklusif. Ragni dkk tidak mendapatkan adanya perbedaan QoL pada laki-laki infertil dibandingkan dengan nilai normatif. Penemuan ini berbeda dengan hasil studi di Belanda dan Amerika Serikat yang menunjukkan skor mental, emosional dan sosial yang lebih rendah.8

Pada studi yang dilakukan oleh Chachamovics dkk pada laki-laki dengan masalah infertilitas, didapatkan bahwa hanya 1,9% dan 3,7% subjek yang mencapai skor di atas cut off point untuk depresi dan cemas dengan QoL dalam tingkat moderat hingga tinggi. Pada analisis multivariat didapatkan bahwa persepsi subjektif tentang etiologi infertilitas, status sosioekonomi serta perubahan dalam komunikasi dengan pasangan memiliki relevansi dengan kualitas hidup yang dicapai. Selain itu didapatkan bahwa laki-laki dengan usia yang lebih muda cenderung lebih mengalami gangguan dibandingkan dengan yang usianya lebih tua. Tingkat pendidikan, riwayat FIV sebelumnya serta durasi infertilitas berkaitan dengan skor yang lebih rendah pada domain emosional dan kesehatan

(28)

mental. Johansson dkk pada studinya mengenai efek jangka panjang setelah FIV yang sukses maupun tidak, mendapatkan bahwa laki-laki yang tetap tidak memiliki anak lebih terpengaruh negatif dibandingkan sebelumnya dan skor depresi laki-laki menjadi hampir sama dengan perempuan yang gagal FIV.8,28

Diagnosis infertilitas pada laki-laki masih cenderung dirahasiakan dan tidak jarang pasangan perempuan akan mengambil peran untuk disalahkan. Infertilitas laki-laki lebih banyak dikaitkan dengan disfungsi seksual dibandingkan infertilitas pada perempuan. Jumlah sperma yang menurun juga cenderung dihubungkan dengan impotensi dan terlukanya maskulinitas seorang laki-laki. Studi yang dilakukan oleh Dyer dkk di Afrika Selatan mendapatkan bahwa pada laki-laki dengan latar belakang budaya pronatalistik yang kuat, masalah infertilitas akan menjadi penderitaan yang lebih berat. Hal ini berlawanan dengan studi yang dilakukan di Denmark yang mendapatkan bahwa laki-laki dengan faktor infertilitas tunggal pada dirinya tidak mengalami penurunan kesehatan mental, peningkatan stres fisik ataupun stres sosial dibandingkan laki-laki dengan faktor infertilitas di luar dirinya.27,28,29

2.2.3 Perbedaan Mekanisme Koping Perempuan dan Laki-laki dalam Menghadapi Infertilitas

Mekanisme koping dilakukan untuk memediasi pengalaman stres dengan keluaran kesehatan jiwa di dalam komunitas. Jordan dkk mengutip pendapat Lazarus dan Folkmanyang mengatakan bahwa proses koping melibatkan “usaha kognitif dan perilaku yang secara konstan berubah untuk mengatasi kebutuhan eksternal ataupun internal yang spesifik yang dianggap melebihi atau menguras sumber daya seseorang tersebut”. Mekanisme koping ini dapat bersifat adaptif maupun maladaptif, bergantung dengan stresor yang dihadapi, dan strategi yang sama dapat membawa pada hasil yang berbeda.26

Infertilitas dapat dianggap sebagai stresor yang kronik, tidak terduga, dan tidak dapat dikendalikan yang dapat melampaui sumber daya koping yang dimiliki pasangan. Infertilitas adalah suatu stresor pasangan dan bukan suatu stresor individual. Dalam menghadapi masalah infertilitas yang dianggap sebagai stresor mayor kehidupan, perempuan dan laki-laki menggunakan mekanisme koping yang berbeda.26

(29)

16

Universitas Indonesia

Pada banyak studi mengenai strategi koping dan stresor kehidupan, didapatkan bahwa perempuan lebih banyak menggunakan strategi koping “emotion-focused” dibandingkan laki-laki. Strategi ini bertujuan untuk mengatasi tekanan emosional yang diakibatkan oleh masalah yang dihadapi dengan berbagai cara seperti mengekspresikan tekanan emosional yang dirasakan, mencari dukungan sosial, melarikan diri/menghindar, distraksi dan mereduksi tekanan. Laki-laki cenderung menggunakan strategi koping instrumental ataupun “problem-focused”. Studi dari Endler, sebagaimana dikutip oleh Jordan dkk, mendapatkan bahwa “emotion-focused problem-solving” merupakan strategi yang lebih tidak efektif dan lebih menyebabkan kesehatan mental yang lebih buruk dibandingkan strategi koping “problem-focused”.26

Pada studi metaanalisis yang dilakukan oleh Jordan dan Revenson pada pasangan yang mengalami masalah infertilitas sebagai stresor bersama sebagai pasangan, ternyata didapatkan lebih banyak kesamaan dibandingkan perbedaan strategi koping diantara kedua gender. Hanya tiga dari delapan strategi yang berbeda bermakna diantara perempuan dan laki-laki. Perempuan lebih banyak menggunakan “escape” dan penghindaran, reframing positif terhadap situasi, dan mencari dukungan sosial dibandingkan laki-laki. Hal ini dapat dijelaskan dengan kecenderungan perempuan untuk lebih bersosialisasi dan lebih sensitif secara emosional terhadap perasaan mendalam yang mereka rasakan dan cenderung untuk mengekspresikan perasaannya tersebut. Di sisi lain, laki-laki cenderung untuk memiliki jaringan sosial yang lebih luas namun tidak mendalam. Laki-laki biasanya akan menyebut istri mereka sebagai satu-satunya orang yang mereka percayai. Perbedaan penggunaan strategi koping ini dapat menjelaskan adanya gambaran tekanan emosional yang lebih tinggi yang dialami oleh perempuan saat menghadapi masalah infertilitas sementara peran, harga diri, serta identitas laki-laki hanya sedikit dipengaruhi oleh infertilitas yang dialami.26

2.3 Aspek Psikologis Terapi Fertilisasi in Vitro (FIV)

Fertilisasi in vitro (FIV) merupakan “end-of-the-line treatment” dalam tatalaksana infertilitas. Banyak pasangan telah melalui berbagai pemeriksaan dan telah mencapai berbagai metode terapi tanpa hasil selama bertahun-tahun hingga akhirnya memutuskan untuk mencoba terapi FIV. Prosedur terapi dari FIV sendiri

(30)

memiliki kompleksitas yang menuntut secara fisik, emosional, terkait dengan masalah etik dan nilai yang berlaku dalam masyarakat, serta memiliki angka keberhasilan yang relatif rendah. Berbagai hal ini membuat pasangan yang melaluinya mengalami perasaan yang mereka gambarkan sebagai “emotional

roller coaster”. Greenfeld dkk menyatakan bahwa dukungan perlu diberikan

untuk mengatasi berbagai spektrum emosional yang dialami pasangan seperti euforia, kecemasan dan disforia selama menjalani protokol terapi yang kompleks. Newman mengutip hasil studi Milne yang mendapatkan bahwa 78% subjek (28 pasangan) menggunakan kata “melelahkan” dan “menguras fisik maupun emosional” serta “menghancurkan perasaan” dalam menggambarkan pengalaman mereka.30

Dari beberapa studi yang dikutip oleh Eugster diantaranya oleh Hearn dkk dan Shaw dkk, didapatkan bahwa secara umum pasangan yang mulai menjalani terapi FIV memiliki gambaran psikologis yang cukup baik, dengan gambaran status dan trait ansietas yang hanya sedikit mengalami elevasi dibandingkan data normatif. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya adalah efek dari self selection, bahwa hanya pasangan yang dapat melakukan penyesuaian dengan baik yang akan mencari pertolongan medis akan kondisinya dan berani menghadapi tuntutan emosional yang tinggi dari terapi FIV, sementara pasangan dengan kondisi psikologis yang tidak optimal mungkin akan terlalu lemah untuk menghadapi pemeriksaan infertilitas yang kompleks. Hal lain yang mungkin memengaruhi adalah bahwa pasangan-pasangan ini telah menghadapi infertilitas selama bertahun-tahun dan mereka telah menemukan cara untuk menghadapi stresor tersebut dengan cukup baik. Beaurepaire dkk, sebagaimana dikutip oleh Eugster, berpendapat bahwa penyebab tidak didapatkannya depresi pada wanita yang baru memulai terapi FIV adalah karena depresi adalah akibat dari perasaan kehilangan. Saat pasangan memulai terapi FIV, mereka memulai prosedur dengan harapan tinggi bahkan tidak realistik akan kesuksesan terapi. Harapan ini untuk sementara dapat menekan perasaan kehilangan yang sebelumnya mereka alami saat divonis mengalami infertilitas. Saat prosedur FIV telah berulang kali dilakukan dan kehamilan tetap tidak terjadi, maka saat itulah seorang perempuan akan merasakan kehilangan yang nyata karena berhadapan

(31)

18

Universitas Indonesia

dengan kenyataan bahwa ia mungkin tidak akan dapat memiliki anak. Kondisi ini membuat seseorang menjadi rentan untuk mengalami depresi.12

Pelaksanaan FIV terdiri dari lima tahapan yaitu:

1. Produksi sel telur yang melibatkan stimulasi hormon serta stimulasi folikel. Pada tahapan ini perempuan akan mendapatkan injeksi gonadotropin yang mengandung follicle stimulating hormone (FSH), luteineizing hormone (LH), serta diikuti dengan injeksi human chorionic hormone (hCG);

2. Pengambilan sel telur, dengan prosedur melalui jalur vaginal dengan panduan alat USG;

3. Inseminasi atau injeksi sperma intrasitoplasmik, yang dapat diikuti dengan kriopreservasi embrio;

4. Transfer embrio dengan bantuan proses hatching embrio pada endometrium, serta;

5. Suplementasi fase luteal.18

Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai aspek emosional yang terjadi dalam berbagai tahapan tersebut. Connoly dkk dalam studinya mendapatkan bahwa saat yang dianggap paling menekan bagi pasangan baik laki-laki maupun perempuan adalah saat menunggu hasil dari transfer embrio, menunggu hasil dari terapi FIV, dan mendapatkan bahwa terapi FIV tersebut tidak berhasil. Studi yang dilakukan oleh Dudok de Wit, sebagaimana dikutip oleh Eugster dkk, menunjukkan bahwa pada tiap fase, dilaporkan adanya ketegangan yang meningkat, menurun selama transfer embrio dan kembali meningkat saat menunggu apakah embrio berhasil terimplantasi. Dalam studi ini juga didapatkan bahwa fase-fase saat pasangan tidak berkontak langsung dengan rumah sakit dirasakan lebih berat karena pasangan tidak merasa mendapatkan dukungan dari rumah sakit. Pada laki-laki, keharusan untuk mengeluarkan spermanya dalam waktu yang terbatas di rumah sakit dilaporkan sebagai sesuatu yang menekan.12,31

Newman dan Zouves melakukan studi pada pasangan untuk mendapatkan gambaran tentang reaksi emosional yang terjadi pada tiap fase terapi dan menggolongkan respons subjek dalam beberapa kategori yaitu ansietas, depresi, kehilangan kontrol, dan perasaan positif. Pada fase induksi ovulasi didapatkan ansietas yang lebih tinggi pada perempuan, perasaan positif yang lebih banyak

(32)

pada laki, selain itu didapatkan perasaan kehilangan kontrol baik pada laki-laki maupun perempuan, terutama perasaan seakan hidup mereka dalam kondisi “on hold”. Pada fase pengambilan oosit, kecemasan tetap paling banyak dirasakan terutama oleh perempuan dan dideskripsikan dengan perasaan tegang dan khawatir. Perasaan optimis juga dirasakan paling tinggi. Fase berikutnya, yaitu transfer embrio, perasaan positif dilaporkan paling tinggi dibandingkan pada fase-fase lainnya. Perasaan kehilangan kontrol juga dirasakan cukup tinggi oleh perempuan dan juga kecemasan. Laki-laki menunjukkan tingkat kecemasan dan perasaan kehilangan kontrol yang rendah. Fase saat pasangan harus menunggu apakah konsepsi berhasil terjadi merupakan fase saat kecemasan didapatkan paling tinggi baik bagi perempuan maupun laki-laki, begitu juga dengan perasaan kehilangan kontrol. Perasaan depresi juga dirasakan lebih banyak dirasakan oleh perempuan dibandingkan laki-laki. Saat mengetahui hasil apakah terjadi kehamilan, perasaan depresi dirasakan oleh 90% perempuan dan 94% laki-laki. Perasaan kehilangan kontrol juga didapatkan tinggi pada perempuan dengan perasaan frustasi yang mendominasi. Perasaan positif berada pada tingkat terendah pada perempuan maupun laki-laki. Perasaan positif yang paling banyak disampaikan adalah perasaan lega.30

Eugster menyatakan bahwa setelah tiga percobaan terapi FIV, 60% pasangan tidak berhasil mengalami kehamilan. Pasangan yang mengalami ketidakberhasilan harus menghadapi lagi masalah infertilitasnya. Leiblum dkk, sebagaimana dikutip oleh Eugster, dalam studinya menyatakan bahwa kekecewaan karena kegagalan FIV banyak dirasakan oleh pasangan. Pasangan juga merasakan ketegangan yang tinggi, kesedihan, kemarahan dan depresi. Hal ini terutama dilaporkan oleh perempuan daripada laki-laki. Pada pasangan yang berhasil mengalami kehamilan, kecemasan lebih banyak dialami. Studi dari Reading dkk, yang juga dikutip oleh Eugster, mendapatkan bahwa perempuan yang menjalani FIV memiliki tingkat kecemasan yang tidak berbeda secara signifikan dengan perempuan yang melakukan konseling genetik, namun kedua kelompok ini memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan primipara normal. Eugster dkk juga mengutip hasil yang didapatkan oleh McMahon dkk dalam studinya yang menunjukkan bahwa bila jumlah siklus FIV

(33)

20

Universitas Indonesia

yang dilakukan tidak dipertimbangkan, maka tingkat kecemasan pada perempuan dan laki-laki pada masa kehamilan pasca FIV tidak berbeda secara signifikan dibandingkan kontrol, namun bila siklus diperhitungkan, didapatkan bahwa didapatkan perbedaan tingkat kecemasan yang signifikan pada perempuan yang telah menjalani dua siklus FIV dibandingkan kontrol dan tidak ada perbedaan pada laki-laki.12

Keberhasilan dari terapi FIV ditentukan oleh berbagai faktor baik yang telah diketahui maupun belum diketahui. Selain faktor biomedis seperti usia dan riwayat kehamilan sebelumnya, faktor psikologis seperti kecemasan dan depresi didapatkan juga memengaruhi keberhasilan dari terapi FIV seperti yang didapatkan oleh Demyttenaere dkk dan Smeenk dkk, walaupun ada juga studi yang menyatakan bahwa kondisi psikososial tidak berelasi dengan keluaran dari terapi seperti yang didapatkan dalam studi yang dilakukan oleh Boivin dan Takefman. Adanya pengaruh dari faktor psikologis pada keberhasilan terapi mendorong dilakukannya intervensi psikososial pada pasangan dengan infertilitas. Rodriguez dkk, sebagaimana dikutip oleh Eugster dkk, menyatakan bahwa latihan relaksasi yang dilakukan pada perempuan dengan infertilitas yang tidak diketahui penyebabnya dan pada perempuan yang menjalani program FIV menghasilkan angka konsepsi yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Begitupula intervensi farmakologis yang dilakukan untuk mengatasi ansietas pada studi oleh Sharma dan Sharma menghasilkan tingkat konsepsi yang lebih tinggi pada perempuan dengan masalah infertilitas.12,32

2.4 Self Rating Questionnaire-20

Self Rating Questionnaire (SRQ) adalah instrumen yang disusun oleh World Health Organization (WHO) untuk melakukan penapisan gangguan psikiatri

terutama di negara-negara berkembang. Penggunaan alat ukur ini dikatakan sebagai salah satu cara yang cukup baik dengan cara yang relatif mudah dan murah. Dikatakan murah karena cara ini dapat dilakukan dengan waktu yang singkat serta tidak diperlukan keterampilan atau sumber daya yang khusus untuk menilainya. SRQ juga memiliki efektivitas yang baik karena sensitivitas dan spesifisitasnya yang cukup tinggi.33

(34)

SRQ terdiri dari 20 pertanyaan yang memelukan jawaban “ya” atau “tidak”. Kuesioner ini dapat digunakan sebagai self administered ataupun interviewer

administered. Pada awalnya, SRQ terdiri dairi 25 pertanyaan. Duapuluh

pertanyaan berkaitan dengan gejala neurotik, 4 pertanyaan meliputi gejala psikotik dan satu pertanyaan mengenai kejang. Pada akhirnya SRQ hanya difokuskan pada 20 pertanyaan yang meliputi gejala neurotik karena beberapa alasan, diantaranya:

a. Hanya beberapa pasien psikotik yang datang dengan spontan ke fasilitas kesehatan primer untuk mencari pertolongan

b. Cakupan terhadap pasien psikotik biasanya lebih merupakan usaha akitf dari petugas kesehatan primer

c. Kebutuhan penggunaan “item psikotik” dipertanyakan, mengingat kebanyakan pasien psikotik biasanya mudah dikenali dan pasien psikotik cenderung untuk tidak menyadari kondisinya sehingga penggunaan kuesioner dinilai tidak tepat

d. Properti psikometrik dari pertanyaan-pertanyaan tersebut belum dinilai spesifitas dan sensitivitasnya33

Butir-butir pertanyaan dalam SRQ-20 meliputi pertanyaan-pertanyaan mengenai beberapa kelompok gejala. Gejala depresi terdapat pada nomor 6,9,10,14,15,16, dan 17. Gejala cemas dicakup pad pertanyaan nomor 3,4 dan 5. Gejala somatik ditanyakan pada butir nomor 1, 2, 7, dan 19. Gejala kognitif ditanyakan pada nomor 8,12, dan 13, sedangkan gejala penurunan energi pada butir 8,11,12,13,18, dan 20.33

Pada penggunaan SRQ-20 ini, subjek dikatakan mengalami suatu gangguan psikiatri bila total jawaban “ya” berjumlah di atas nilai yang ditetapkan. Nilai batas pisah SRQ berkisar antara 3 dan 10. Pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) ditetapkan 5/6 sebagai nilai pisah. Hal ini berarti subjek yang menjawab “ya” pada enam atau lebih butir pertanyaan akan dianggap mengalami gangguan mental emosional atau distres yang berpotensi pada terjadinya gangguan jiwa apabila dilakukan pemeriksaan psikiatri lebih lanjut. Nilai pisah 5/6 sesuai dengan penelitian uji validitas yang telah dilakukan oleh Hartono dari Badan Litbang Depkes pada tahun 1995. Pada penelitian tersebut didapatkan sensitivitas SRQ-20 sebesar 88%dan spesifitasnya adalah 81%.34,35,36

(35)

22 Universitas Indonesia 2.5 Kerangka Teori

PSIKOPATOLOGI

FAKTOR SOSIAL  Dukungan pasangan  Tuntutan keluarga  Mitos tentang infertilitas  Budaya Durasi infertilitas

Terapi yang telah dan sedang dijalani FAKTOR DEMOGRAFI  Usia  Jenis kelamin  Suku  Agama  Pendidikan  Status sosioekonomi  Lama pernikahan  Jumlah anak FAKTOR PSIKOLOGIS  Kepribadian  Mekanisme koping ETIOLOGI BIOLOGI PADA LAKI-LAKI

 Gangguan hipotalamus atau hipofisis

 faktor testikel

 gangguan penyaluran sperma  penggunaan medikasi dan

alkohol

ETIOLOGI BIOLOGI PADA PEREMPUAN

 gangguan ovulasi

 gangguan pada tuba dan pelvi

 gangguan uterus  usia

 penggunaan medikasi dan zat adiktif KONDISI LAINNYA  Berat badan  Infeksi menular seksual  Kebiasaan merokok  Pajanan lingkungan  Stres TERAPI INFERTILITAS  Terapi terhadap kausa: hormonal, peradangan, infeksi  Inseminasi intrauterin

Etiologi yang tidak diketahui

Suami

Istri

Infertilitas

(36)

II.6 Kerangka Konsep

Keterangan:

: diteliti : tidak diteliti

ETIOLOGI BIOLOGI LAKI-LAKI ETIOLOGI BIOLOGI

PEREMPUAN ETIOLOGI

LAINNYA

Pasangan suami istri dengan infertilitas di Klinik Yasmin Kencana

PSIKOPATOLOGI

TERAPI INFERTILITAS 

Terapi sebelumnya Fase terapi FIV

FAKTOR SOSIAL FAKTOR PSIKOLOGIS FAKTOR DEMOGRAFI Durasi infertilitas

(37)

24 BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode campuran kuantitatif dan kualititatif berupa studi potong lintang analitik dan focus group discussion. Studi potong lintang digunakan untuk mendapatkan gambaran psikopatologi serta faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya psikopatologi pada subjek penelitian. Pendekatan kualitatif berupa focus group discussion dipilih untuk mendapatkan gambaran yang lengkap berupa pemaknaan dan interpretasi mengenai masalah infertilitas dan terapi FIV dari sudut pandang subjek tanpa adanya intervensi dari peneliti.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Klinik Yasmin RSCM Kencana. Sampel diambil dari pasangan yang datang untuk menjalani terapi FIV.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi adalah seluruh pasangan suami istri yang mengalami masalah infertilitas. Populasi target adalah pasangan dengan masalah infertilitas yang mempertimbangkan untuk menjalani terapi FIV.

Populasi terjangkau adalah pasangan suami istri dengan masalah infertilitas dan datang ke Klinik Yasmin RSCM Kencana untuk menjalani terapi FIV.

Sampel adalah sebagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1 Kriteria Inklusi

1. Pasangan suami istri dengan masalah infertilitas yang datang ke Klinik Yasmin RSCM Kencana untuk menjalani terapi FIV.

2. Mengalami infertilitas primer.

3. Bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani surat persetujuan penelitian.

(38)

4. Pendidikan: minimal tamat SD, mampu membaca dan menulis dengan baik serta mengerti bahasa Indonesia

3.4.2 Kriteria Eksklusi

Menderita gangguan jiwa berat

3.5 Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel 3.5.1 Besar Sampel

Besar sampel pada metode kuantitatif ditentukan dengan menggunakan perhitungan besar sampel pada statistik deskriptif analitik dengan variabel kategorik tidak berpasangan, dengan rumus:

n1= n2= Zα√(2pq)+Zβ√(p1q1+p2q2) 2 (p1-p2)

α = 5% p = ½(p1+p2) = ½(0.611+0.21) = 0.41

Zα = 1.96 q = 1- p = 0.59

ß = 20% p1 = 61.1% (prevalensi morbiditas psikiatri pada perempuan)

Zß = 0.84 p2 = 21% (prevalensi morbiditas psikiatri pada laki-laki)

n1 = n2 = (1.96√(2.0.41.0.59)+0.84√(0.611.0.389+0.21.0.79)2 =22,3≈ 23 0.401

Maka besarnya sampel adalah n1 = n2 = 23 orang dibulatkan menjadi 25 orang. Jadi jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 25 pasang suami dan istri yang mengalami masalah infertilitas dan akan menjalani terapi FIV. Dipertimbangkan kemungkinan drop out 20%, jadi jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 30 pasang suami istri. Dalam pelaksaanaan penelitian, didapatkan sampel sebanyak 43 pasang suami istri, 5 pasangan drop out, sehingga total sampel yang dianalisa adalah 38 pasang suami istri.

Pada sampel penelitian kualitatif, besar sampel tidak dapat ditentukan sebelumnya. Jumlah sampel atau responden dianggap telah memadai apabila telah sampai kepada taraf redundancy (ketuntasan atau kejenuhan). Dalam pelaksanaan, sampel untuk penelitian kualitatif adalah 7 responden suami dan 9 respoden istri.

(39)

26

Universitas Indonesia 3.5.2 Cara Pengambilan Sampel

Sampel untuk data kuantitatif diambil secara non probability sampling yaitu secara consecutive sampling, setiap pasien yang memenuhi kriteria inklusi diikutsertakan dalam penelitian hingga jumlah sampel terpenuhi. Sedangkan untuk penelitian kualitatif pengambilan sampel dilakukan secara purposif, yaitu pengambilan sumber-sumber data dilakukan dengan mempertimbangkan suku, agama, durasi infertilitas, jenis infertilitas, jumlah siklus FIV sebelumnya, tahapan FIV yang sedang dijalani serta total skor SRQ.

3.6 Izin Subjek Penelitian dan Masalah Etika

Penelitian ini telah memperoleh persetujuan dari Komite Etik Rumah Sakit tempat penelitian diadakan. Setiap pasangan yang bersedia menjadi subjek pada penelitian ini diminta untuk menandatangani surat persetujuan penelitian setelah diberikan penjelasan. Setiap orang yang terlibat dalam penelitian ini wajib menjaga kerahasiaan segala hal yang diketahuinya tentang subjek penelitian.

3.7 Metode Pengumpulan Data 3.7.1 Pengisian Kuesioner

Pengumpulan data dilakukan dengan meminta responden mengisi kuesioner biodata dan lembaran SRQ-20.

3.7.2 Focus Group Discussion

Focus groups adalah sekelompok orang yang memiliki karakteristik tertentu yang

dapat memberikan informasi yang bersifat kualitatif dalam diskusi yang terfokus pada topik tertentu. Diskusi ini sifatnya semi terstruktur yang dipandu dengan poin-poin kunci atau pertanyaan-pertanyaan kunci. Sesi dapat direkam dengan video atau rekorder.

Awalnya direncanakan responden yang bersedia mengikuti focus group

discussion dikelompokkan menjadi satu kelompok laki-laki dan satu kelompok

perempuan masing-masing terdiri dari 10 orang. Apabila kejenuhan data belum didapatkan maka akan dilakukan FGD kembali pada kelompok yang berbeda. Namun pada akhirnya focus group discussion dilakukan pada kelompok istri yang

(40)

terdiri dari 4 orang. Kemudian dilakukan in-depth interview pada 5 orang istri serta 7 orang suami melalui wawancara tatap muka maupun saluran telepon.

3.8 Instrumen Penelitian

3.8.1 Self Rating Questionnaire (SRQ)-20 dalam bahasa Indonesia

Self rating questionnaire (SRQ)-20 adalah instrumen yang disusun oleh World Health Organization (WHO) untuk melakukan penapisan gangguan psikiatri.

SRQ terdiri dari 20 pertanyaan yang memelukan jawaban “ya” atau “tidak”. Kuesioner ini digunakan secara self administered dan diisi secara terpisah oleh pasangan suami istri.

3.8.2 Pedoman Wawancara

Dalam pengambilan data kualitatif digunakan pedoman wawancara agar wawancara tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini disusun berdasar teori yang digunakan dalam penelitian.

3.8.3 Lembar Observasi

Lembar observasi digunakan oleh pengamat untuk mencatat hal-hal yang dianggap penting dan dapat memberi penjelasan lebih jauh mengenai data yang didapatkan atau mengenai hal-hal yang diduga dapat memengaruhi jalannya wawancara.

3.8.4 Alat Perekam

Seluruh kegiatan wawancara akan direkam dengan menggunakan alat perekam. Hal ini ditujukan untuk memudahkan peneliti dalam membuat transkrip dan melakukan analisis data, serta mengurangi bias yang terjadi akibat keterbatasan dan subyektivitas peneliti.

3.9 Cara Kerja

- Mengajukan permohonan izin kepada Ketua Departemen Psikiatri RSCM-FKUI agar dapat melakukan penelitian di Klinik Yasmin RSCM Kencana - Mengajukan permohonan persetujuan penelitian dari Komisi Etik

Gambar

Tabel 1.  Karakteristik Subjek Penelitian  berdasarkan Umur, Tingkat Pendidikan,  Pekerjaan, Agama, dan Suku Bangsa ................................................................
Tabel  1.  Karakteristik  subjek  penelitian  berdasarkan  umur,  tingkat  pendidikan,  pekerjaan,  agama,  dan  suku bangsa
Tabel 2. Distribusi frekuensi durasi infertilitas, jenis infertilitas, jumlah siklus FIV sebelumnya  serta tahapan FIV saat ini
Tabel 3. Data kondisi psikopatologi berdasar kuesioner SRQ-20
+7

Referensi

Dokumen terkait

Demikian pula firman Allah ”Yauma Yuksyafu ’An Saq” (QS. Al-Qalam: 42) oleh sebagian ulama Salaf telah ditakwil secara tafshili; mereka mengatakan yang dimaksud kata

Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis nanosilika dari daun bambu dan mengaplikasikannya sebagai pengemban fotokatalis CuO (0,25% CuO x @SiO 2 ) pada reaksi degradasi congo

The Jacatra Secret | 40 oleh Belanda, namun yang sesungguhnya terjadi, di saat sekarang pun simbol-simbol itu terus bermunculan, bukan saja di dalam tata ruang kota namun

Al-Farisi (2014) Pengaruh Inovasi dan Kreatifitas terhadap Keberhasilan Usaha (Survey terhadap para pengusaha di Industri Rajut Binong Jati Bandung) • Inovasi

4. Energi listrik berubah menjadi energi kimia Pasangan yang benar antara pernyataan dengan perubahan energi yang terjadi ditunjukkan …. Salah satu langkah agar keberadaan

Tujuan dari penelitian ini untuk mengevaluasi pakan buatan berbahan dasar limbah pangan yang diperkaya ekstrak bayam yang dapat memberikan respon molting dan

Setelah dilakukan asuhan selama 28 hari dengan melakukan kunjungan masa nifas sebanyak 6 kali, ditemukan keadaan ibu normal, serta tidak ditemukan adanya masalah

Peurser, Strategi Van de Cultuur , diterjemahkan oleh Dick Hartoko, dengan judul; Strategi Kebudayaan (Cet.. Setelah beberapa abad Sayyid Abdul Wahid pertama kali menanamkan