• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Aspek Pertumbuhan .1 Hubungan panjang-berat

3.4.2 Aspek reproduksi .1 Fekunditas

Fekunditas ikan ditentukan dengan menggunakan metode gabungan antara metode grafimetrik dan metode volumetrik dengan menggunakan rumus (Effendie, 1979) :

Keterangan :

F = fekunditas (butir) G = berat gonad total (g) V = volum pengenceran (ml)

X = jumlah butir telur yang ada dalam 1 ml Q = berat telur contoh (g)

Kemudian dilihat hubungan fekunditas dengan panjang total tubuh ikan dengan rumus :

Keterangan :

F = fekunditas L = panjang total ikan (mm) a dan b = konstanta

Persamaan tersebut ditransformasikan kedalam persamaan logaritma sehingga diperoleh bentuk linear atau persamaan garis lurus :

Log F = Log a + b Log L Keterangan :

F = fekunditas Log a = y

Log b = x

Hubungan fekunditas dengan berat total tubuh ikan dilihat dengan rumus :

F = fekunditas

W = berat total ikan (g) a dan b = konstanta

Persamaan tersebut ditransformasikan ke dalam persamaan logaritma sehingga diperoleh bentuk linear atau persamaan garis lurus :

Log F = Log a + b Log W

Keterangan :

F = fekunditas Log a = y

Log b = x

Keeratan hubungan antara panjang total ikan dan berat total ikan dengan fekunditas diketahui dengan mencari koefisien korelasi (r).

3.4.2.2. Indeks kematangan gonad dan tingkat kematangan gonad

Nilai indeks kematangan gonad (IKG) dapat diketahui dengan menggunakan rumus menurut Effendie (1979) :

Keterangan :

IKG = indeks kematangan gonad Bg = berat gonad (g)

Bt = berat tubuh total (g)

Penentuan tingkat kematangan gonad (TKG) dilakukan terhadap semua ikan contoh yang diambil. Sementara untuk menduga ukuran pertama kali ikan matang gonad berdasarkan selang kelas dimana terdapat ikan yang memiliki tingkat kematangan gonad yang matang yakni gonad TKG IV dengan menggunakan rumus, Rumus Spareman Karber :

Keterangan:

Xi = log nilai tengah pada saat ikan matang gonad X = selisih log nilai tengah kelas

Pi = Nb / Ni

Nb = jumlah ikan matang gonad pada kelas ke-i Ni = jumlah ikan pada kelas ke-i

Qi = 1 – Pi

3.4.2.3 Nisbah kelamin

Keterangan : M = jumlah ikan jantan (ekor) F = jumlah ikan betina (ekor)

Keseragaman sebaran nisbah kelamin dilakukan dengan uji “Chi-Square” (Steel dan Torrie, 1980).

Keterangan : Oi = frekuensi ikan jantan dan betina yang diamati ke-i

ei = frekuensi harapan yaitu frekuensi ikan jantan + frekuensi ikan betina dibagi dua

X2 = nilai peubah acak X2 yang sebaran penarikan contohnya menghampiri sebaran Chi-square

3.4.2.4 Kadar protein (cara Kjeldahl in AOAC 2005)

Rumus menghitung kadar protein :

% N = vol.blanko- vol.titrasi NaOH sampel x N NaOH x 100% x 14.00 gram sampel x 1000

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Lingkungan Teluk Palabuhanratu

Perairan Palabuhanratu merupakan perairan berbentuk teluk yang terletak di sebelah Selatan Jawa Barat. Secara geografis berada pada 6057 – 7025 LS dan 106049 – 107000 BT. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan setempat, terdapat empat periode musim penangkapan, yaitu musim barat (Desember-Februari), musim timur (Juni-Agustus), dan dua periode musim peralihan (pancaroba). Musim peralihan terdiri atas musim utara (Maret-Mei) merupakan peralihan dari musim barat ke musim timur dan musim selatan (September-Nopember) yang merupakan musim peralihan dari musim timur ke musim barat. Periode musim barat merupakan musim hujan dimana kondisi perairan relatif buruk sehingga sebagian besar nelayan tidak melaut. Periode musim timur merupakan musim kemarau dimana kondisi perairan relatif lebih tenang sehingga nelayan banyak turun ke laut untuk melakukan penangkapan ikan.

Secara umum suhu permukaan air laut di Teluk Palabuhanratu berkisar antara 27 – 300C dan ini merupakan kisaran suhu yang optimum bagi pertumbuhan ikan tropis. Arus di Teluk Palabuhanratu dipengaruhi oleh arus musim di pantai selatan Jawa (Hartami, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Atmadipoera et al. (1994) in Wiyono (2001) bahwa kecepatan arus permukaan maksimum di Teluk Palabuhanratu adalah sekitar 1,28 m/detik dengan arah timur-tenggara. Gelombang besar terjadi selama musim Barat, sedangkan selama musim Timur kondisi perairan Palabuhanratu relatif tenang. Menurut BLH Kabupaten Sukabumi dan PKSPL-IPB (2003) in Wahyudin (2005) bahwa kondisi kualitas air di Teluk Palabuhanratu tergolong bagus tercermin dari penampakan air yang bening dan kecerahan cahaya matahari dapat menembus perairan mencapai 6-7 meter.

4.2 Aspek Pertumbuhan

4.2.1 Sebaran frekuensi panjang ikan bilis (T. hamiltonii) hasil tangkapan

Berdasarkan 3 kali pengambilan ikan contoh yang dilakukan per bulan selama tiga bulan, dari bulan Mei - Juli. Pada Gambar 5 terlihat jumlah ikan contoh pada bulan Mei yang didapat sejumlah 200 ekor untuk diukur panjang dan beratnya, kemudian

diambil sebanyak 45 ekor untuk dianalisis di laboratorium. Pada bulan Juni dan Juli didapatkan sejumlah 44 ekor dan 43 ekor untuk diukur panjang dan beratnya, kemudian masing-masing setiap bulannya diambil sebanyak 30 ekor untuk dianalisis di laboratorium. Penurunan jumlah ikan bilis yang tertangkap disebabkan karena sedikitnya jumlah nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan pada bulan Juni-Juli. Hal ini dikarenakan kondisi laut yang tidak memungkinkan nelayan untuk menangkap ikan pada bulan tersebut. Keseluruhan ikan contoh yang didapatkan adalah sebesar 287 ekor untuk diukur panjang dan beratnya, dan 105 ekor untuk dianalisis di laboratorium.

Gambar 5. Sebaran jumlah ikan bilis selama bulan pengamatan (Mei-Juli)

Berdasarkan grafik sebaran frekuensi panjang (Gambar 6) ikan bilis (T. hamiltonii) yang tertangkap memiliki kisaran panjang 82-157 mm. Pada bulan Mei ukuran panjang minimum yang didapat adalah 82 mm dan ukuran panjang maksimum 130 mm. Pada bulan Juni dan Juli secara berturut-turut ukuran panjang terkecil yang diperoleh adalah sebesar 108 mm dan 98 mm dan ukuran panjang terbesarnya adalah 157 mm dan 135 mm. Dengan bantuan program FISAT (FAO-ICLARM Stock Assesment Tools) II versi 1.2.2. dengan berbasis data panjang didapat nilai panjang maksimum yang mampu dicapai ikan bilis (T. hamiltonii) adalah sebesar (L∞) 161.7 mm dengan koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0.55. Sedangkan menurut Gray (1835) ikan Bilis dapat mencapai panjang maksimum hingga 222 mm. Hal ini dapat mengidentifikasi bahwa ikan ini sudah mengalami perubahan struktur populasi.

Gambar 6 juga memperlihatkan adanya pergeseran modus kelas panjang dari bulan Mei hingga Juli. Pada bulan Mei modus kelas panjang berada pada selang kelas 102-105 mm, kemudian pada bulan Juni modus bergeser ke kanan pada selang kelas 118-121 mm dan pada bulan Juli modus kelas panjang kembali bergeser ke kanan pada selang kelas 122-125 mm. Pergeseran modus kelas panjang ini mengindikasikan adanya pertumbuhan ikan bilis. Pertumbuhan tersebut diduga karena perbedaan musim yang terjadi. Hal ini didukung oleh pernyataan Bishop (1973) bahwa suhu air dapat merangsang dan mempengaruhi pertumbuhan organisme perairan serta mempengaruhi oksigen terlarut untuk respirasi. Setiap organisme mempunyai suhu maksimum, optimum dan minimum untuk kehidupannya. Sehingga dari pengamatan dapat diindikasikan bahwa ikan Bilis memiliki waktu pertumbuhan optimum pada bulan Juli.

4.2.2. Hubungan panjang berat

Hubungan panjang-berat ikan bilis adalah W = 7x10-7 L3,449 dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,827. Hal tersebut berarti bahwa model dugaan mampu menjelaskan data sebesar 82,7% (Walpole, 1995). Dari nilai b yang diperoleh dan setelah dilakukan uji t (α = 0,05) diketahui bahwa ikan bilis memiliki pola pertumbuhan allometrik positif yang berarti bahwa pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjangnya seperti yang terlihat pada Gambar 7. Pola

pertumbuhan tersebut terkait erat dengan faktor lingkungan seperti suhu, jumlah dan kualitas makanan yang dicerna, umur (Moyle dan Cech, 1988). Selain itu diperoleh hubungan yang erat antara panjang-berat melalui nilai koefisien korelasi (r). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pertambahan panjang ikan diikuti dengan pertambahan bobotnya. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor musim (suhu) dan stok makanan yang ada di daerah penangkapan ikan Bilis. Pernyataan tersebut didukung oleh Effendie (2002) yang menyatakan pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dalam seperti keturunan, umur, jenis kelamin, hormon dan penyakit; serta faktor luar seperti suhu perairan dan makanan.

Gambar 7. Hubungan panjang dan berat

4.2.3 Faktor kondisi

Penentuan nilai faktor kondisi didasarkan pada pola pertumbuhan. Pola pertumbuhan ikan Bilis yang ditemukan selama waktu penelitian bersifat allometrik positif. Kisaran nilai faktor kondisi ikan jantan dan betina ikan Bilis di tiap bulan penelitian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Faktor kondisi ikan Bilis (T. hamiltonii) jantan dan betina yang tertangkap di Teluk Palabuhanratu

Bulan

Betina Jantan N Kisaran rata-rata Sb N Kisaran Rata-rata Sb

Mei 19 0.97-1.47 1.19 0.11 26 0.88-1.37 1.15 0.11

Juni 18 0.81-1.25 1.06 0.12 12 0.96-1.18 1.07 0.06 Juli 13 0.87-1.22 1.03 0.11 17 0.77-1.18 0.93 0.10

Ket : Sb = Simpangan baku

Nilai rata-rata faktor kondisi tertinggi ikan jantan dan betina terjadi pada bulan Mei. Berdasarkan jenis kelamin ditemukan bahwa nilai faktor kondisi rata-rata ikan betina pada bulan Mei dan Juli lebih besar dari ikan jantan. Hal ini menunjukkan bahwa ikan bilis betina pada waktu tersebut lebih montok dari pada ikan jantan. Sementara pada bulan Juni ditemukan hal yang sebaliknya. Nilai faktor kondisi rata-rata ikan betina lebih besar dari ikan jantan. Hal ini dapat dipahami karena bobot gonad ikan betina cenderung lebih berat dari pada gonad ikan jantan akibatnya bobot ikan betina lebih besar dari bobot ikan jantan dan selanjutnya berpengaruh terhadap nilai faktor kondisi. Nilai faktor kondisi ikan betina dan jantan yang tertangkap di Teluk Palabuhanratu menurun setiap bulannya (Gambar 8 dan Gambar 9).

Gambar 9. Sebaran Faktor kondisi ikan Bilis (T. hamiltonii) jantan

Nilai faktor kondisi terbesar terdapat pada bulan Mei yaitu sebesar 1.19 (betina) dan 1.15 (jantan). Perbedaan nilai faktor kondisi tiap bulannya dapat menggambarkan faktor lingkungan mempengaruhi pertumbuhan ikan. Variasi faktor kondisi ini dipengaruhi adanya kepadatan populasi, tingkat kematangan gonad, ketersediaan makanan, jenis kelamin, dan umur (Effendi 1979). Faktor kondisi digunakan untuk menentukan kecocokan lingkungan dan membandingkan berbagai tempat hidup ikan. Kondisi dimana faktor kondisi ikan betina lebih besar dari ikan jantan ini dijumpai pada ikan L. splendens di perairan Teluk Labuan (Saadah, 2000), ikan tunisi Pristipomoides filamentosus, Valenciennes 1830 di Teluk Palabuhanratu (Susanto, 2006).

Berdasarkan Gambar 10 kita dapat melihat nilai faktor kondisi berdasarkan selang kelas panjang total. Dari gambar tersebut didapat faktor kondisi terkecil sebesar 0.8924, yaitu pada selang kelas panjang 138-141 mm sedangkan nilai terbesar ada pada selang kelas panjang 102-105 mm sebesar 1.2649. Menurut Lagler (1972) dengan meningkatnya ukuran ikan maka nilai faktor kondisinya akan bertambah. Namun pada penelitian ini hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan pernyataan tersebut. Hal ini diduga karena adanya faktor lingkungan, sehingga mempengaruhi faktor kondisi ikan.

Gambar 10. Nilai faktor kondisi berdasarkan selang kelas panjang betina.

Tabel 3 menunjukkan hubungan faktor kondisi dengan tingkat kematangan gonad pada ikan bilis (T. hamiltonii) betina. Terlihat bahwa nilai faktor kondisi rata-rata meningkat seiring dengan perkembangan gonad (TKG). Dengan berkembangnya gonad maka ukuran gonad juga akan semakin bertambah, sehingga akan mempengaruhi bobot dari ikan. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya bobot ikan maka nilai faktor kondisinya akan bertambah dengan asumsi faktor lain tidak ada yang mempengaruhi (Lagler,1972).

Tabel 3. Hubungan faktor kondisi dengan tingkat kematangan gonad ikan bilis (T. hamiltonii) betina.

TKG Jumlah Kisaran FK FK rata-rata Simpangan baku

I 1 - 0.9746 -

II 23 0.8133-1.2647 1.0712 0.123227

III 13 0.8956-1.4685 1.1405 0.139902

4.3 Aspek Reproduksi

Dokumen terkait