• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV: HASIL PENELITIAN

KAJIAN TEORI

2.1.2 Aspek Resiliensi

Reivich dan Shatte (2002) dalam bukunya “the Resilience Faktor

menjelaskan bahwa kemampuan resiliensi terdiri dari tujuh aspek, yaitu regulasi emosi, mengkontrol dorongan, empati, optimis, menganalisa sebab-akibat, self-efficacy, dan berinteraksi dengan lingkungan (racing out).

1. Regulasi Emosi (Emotion Regulation)

Regulasi emosi merupakan suatu kemampuan dimana individu dapat tetap tenang meskipun sedang berada dalam keadaan tertekan. Individu dengan regulasi emosi yang baik dapat mengontrol emosi, perhatian dan perilaku mereka, sehingga individu dapat mengekspresikan emosi mereka dengan tepat sesuai situasi dan lokasinya (Reivich dan Shatte, 2002).

Tidak semua emosi perlu diperbaiki dan dikontrol. Emosi yang dirasakan oleh individu harus diekspresikan, namun cara mengekspresikannya haruslah tepat. Menurut Reivich dan Shatte (2002) Ekspresi emosi baik negatif maupun positif merupakan sesuatu yang sehat dan bersifat membangun apabila emosi diekspresikan dengan tepat. Kemampuan untuk mengekpresikan emosi dengan tepat dimiliki oleh individu yang resilien.

Menurut Reivich dan Shatte (2002) ketenangan dan kefokusan merupakan keterampilan yang dimiliki untuk membantu individu dalam meregulasi emosi. Dengan dua keterampilan ini individu dapat merespon suatu hal dengan emosi yang tepat.

2. Pengendalian Impuls (Impluse Control)

Reivich dan Shatte (2002) menyatakan Pengendalian impuls memiliki hubungan yang dekat dengan regulasi emosi. Individu yang memiliki regulasi rendah juga memiliki pengendalian impuls yang

rendah. Sehingga apabila individu memiliki kontrol impuls yang rendah, maka individu tersebut akan percaya pada dorongan impulsifnya yang pertama dan menganggap situasi merupakan kenyataan dan melakukan perbuatan yang sesuai dengan kenyataan tersebut. Hal ini dapat membuat resiliensi individu menjadi rendah. Individu dengan control impuls yang baik adalah ketika individu berada dalam situasi yang menantang, maka individu tersebut akan sanggup untuk memunculkan pengendalian impuls dan menghasilkan lebih banyak pemikiran yang lebih cermat sehingga melakukan regulasi emosi yang lebih baik dan menghasilkan perilaku yang lebih resilien.

3. Optimis

Orang yang resilien adalah orang yang optimis. Mereka percaya bahwa sesuatu itu bisa berubah menjadi lebih baik. Mereka punya harapan untuk masa depan dan percaya bahwa mereka mengkontrol dan mengarahkan hidup mereka. optimis membuat fisik lebih sehat karena dengan optimis hanya sedikit kemungkinan menderita depresi, menjadi lebih baik disekolah, lebih produktif saat kerja, dan lebih sering memenangkan perlombaan olahraga (Reivich dan Shatte, 2002).

Individu yang optimis adalah individu yang percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk menangani kesengsaraan yang akan muncul di masa yang akan datang. Optimis juga menggambarkan kemampuan self-efficacy, yakni kemampuan untuk mempercayai

kemampuan yang dimiliki oleh diri sendiri untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi dan siapa yang mengkontrol kehidupan diri sendiri. Kunci untuk menjadi resilien dan mencapai kesuksesan dikemudian hari adalah dengan memiliki optimis yang realistis dan dipadukan dengan self-efficacy (Reivich dan Shatte, 2002).

4. Analisis Penyebab Masalah (Causal Analysis)

Analisis kausal adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan kemampuan yang dimiliki oleh individu dalam mengidentifikasi dengan teliti penyebab dari masalah yang dihadapinya. Jika masalah tersebut tidak diidentifikasi dengan akurat, maka akan terjadi beberapa kesalahan secara berulangkali (Reivich dan Shatte, 2002).

Seligman dan rekannya (dalam Reivich dan Shatte, 2002) mengidentifikasi cara yang merupakan hal penting dalam analisis kausal dikenal denga explanatory style, yakni merupakan cara untuk menjelaskan hal baik dan buruk yang dialami oleh individu. explanatory style terdiri dari tiga dimensi, yaitu: personal (saya-bukan saya); permanent (selalu-tidak selalu); pervasive (segalanya-bukan segalanya).

Individu yang resilien adalah individu yang memiliki kefleksibelan kognitif dan bisa mengidentifikasi semua penyebab dari kesulitan yang dihadapinya. Individu dapat bersikap realistis dan tidak

memfokuskan diri pada situasi yang tidak dapat diubah. Individu juga tidak menyalahkan orang lain terhadap kesalahan yang dilakukannya dalam rangka untuk membebaskan diri dari perasaan bersalah. Mereka juga berusaha mengontrol faktor yang bisa dikontrol dan mengatasi masalah yang akan datang(Reivich dan Shatte, 2002).

5. Empati

Empati merupakan kemampuan individu dalam menangkap isyarat yang diberikan orang lain untuk menunjukkan keadaan psikologis dan emosi mereka. Tidak semua orang memiliki kemampuan empati yang baik, ada juga yang tidak dapat mengembangkan kemampuan ini sehingga mereka tidak dapat menempatkan diri mereka pada posisi orang lain, memperkirakan apa yang orang lain rasakan dan memprediksi apa yang akan dilakukan oleh orang lain (Reivich dan Shatte, 2002).

Orang-orang dengan empati yang rendah, orang yang tetap memiliki maksud yang baik, cenderung sering mengulangi pola tidak

resilien dalam berperilaku, dan mereka dapat “mengancam” keinginan dan emosi orang lain. Akan tetapi skor empati bisa meningkat (Reivich dan Shatte, 2002).

6. Self-Efficacy

Self efficacy adalah sebuah pemahaman yang menganggap bahwa dirinya adalah orang yang mengesankan dalam dunia. Ini

menggambarkan kepercayaan individu bahwa dirinya bisa memecahkan sendiri masalahnya, memiliki pengalaman dan kepercayaan bahwa dirinya mampu meraih sukses (Reivich dan Shatte, 2002).

Individu yang memiliki Self efficacy yang tinggi dapat mengatasi masalahnya dan tidak menyerah bahkan saat mereka menemukan bahwa solusi yang dia pikirkan tidak berhasil. Mengetahui talenta dan kemampuan yang dimiliki. Tetap percaya diri saat mengatasi masalah, dan membuat mereka lebih kuat ketika dihadapkan pada tantangan.

Pada individu yang efikasi dirinya rendah, respon yang muncul adalah lebih pasif saat dihadapkan pada sebuah tantangan atau masalah seperti ditempatkan di situasi baru. Saat ada masalah mereka mundur atau meminta orang lain mencari solusi bagi mereka. Jika mereka dihadapkan untuk mengatasi masalah mereka sendiri, mereka kekurangan kepercayaan diri atau merasa tidak mampu menyelesaikan masalah tersebut.

7. Peningkatan Aspek Positif (Reaching Out)

Menurut Reivich dan Shatte (2002) resiliensi tidak hanya mengenai menanggulangi, terus mengendalikan dan menghilangkan kesengsaraan. Resiliensi juga memungkinkan kita untuk meningkatkan aspek positif dalam hidup. Resiliensi adalah sumber dari kemampuan kita untuk dapat meningkatkan aspek positif dan memberikan kejutan mengapa beberapa orang yang dapat melakukan itu. Orang yang tidak

reaching out merasa lebih baik untuk tidak melakukan sesuatu daripada dia melakukan sesuatu tapi banyak orang yang mengetahui bahwa dirinya mengalami kegagalan dan ditertawakan (Reivich dan Shatte, 2002).

Resiliensi juga penting untuk memperkaya hidup, memperdalam hubungan, dan mencari pembelajaran dan pengalaman baru. Untuk dapat meningkatkan aspek positif dalam hidup, individu yang resiliensi mampu menaksir resiko dengan baik memahami diri sendiri, dan mempunyai makna dan tujuan dalam hidup. Adanya kemampuan untuk menaksir risiko dengan baik ini kemudian menghadapi masalah, memampukan individu merasa aman untuk mengejar pengalaman yang baru dan membentuk hubungan yang baru.

Sementara itu Grotberg (2003) dalam bukunya “Resilience for Today: Gaining Strength from Adversity” menjelaskan untuk lebih mudah memahami

dimensi dalam resiliensi yang berupa external supports, inner strengths, dan interpersonal and problem-solving skill, menurut Grotberg aspek resiliensi dalam tiga hal, yaitu: I HAVE, I AM dan I CAN.

1. Sumber-sumber yang Dimiliki (External Supports)

Sumber-sumber yang dimiliki oleh individu atau yang disebut I have oleh Grotberg, berupa dukungan yang didapatkan individu dari lingkungan sekitarnya, sehingga individu merasa memiliki keluarga dan

orang-orang yang dapat diandalkan, mendukung dan peduli terhadapnya. Secara spesifik dimensi ini mencakup:

a) Aku memiliki satu orang atau lebih dalam keluargaku yang bisa aku percayai dan mencintaiku tanpa syarat;

b) Aku memiliki satu orang atau lebih diluar keluargaku yang bisa aku percayai tanpa syarat;

c) Aku memiliki batasan dalam berperilaku;

d) Aku memiliki orang-orang yang mendukungku untuk menjadi mandiri;

e) Aku memiliki orang yang dapat dijadikan teladan yang baik; f) Aku memiliki akses untuk kesehatan, pendidikan, dan sosial,

serta pelayanan keamanan yang aku butuhkan, dan g) Aku memiliki keluarga dan komunitas yang stabil 2. Kekuatan Dalam Diri (Inner Strengths)

Kekuatan dalam diri merupakan pemahaman individu mengenai dirinya sendiri, Grotberg menyebutnya dengan I am. Hal ini mencakup potensi dalam diri individu yang bersifat positif, sehingga dapat merasa percaya diri, optimis, memililiki harga diri, dan bertanggung jawab. Secara spesifik dimensi ini mencakup:

a) Aku adalah orang yang paling disukai oleh orang-orang;

b) Secara umum aku dalah orang yang tenang dan memiliki sifat yang baik;

c) Aku adalah orang yang dapat mencapai apa yang telah aku rencanakan untuk masa depan;

d) Aku adalah orang yang dapat menghargai diri sendiri dan orang lain;

e) Aku adalh orang yang berempati dan peduli terhadap orang lain; f) Aku adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perilaku

sendiri dan mau menerima semua konsekuensinya, dan

g) Aku adalah orang yang percaya diri, optimis, penuh harapan dan keyakinan.

3. Kemampuan Diri (Interpersonal and Problem-Solving Skill)

Kemampuan diri merupakan pemahaman individu mengenai segala hal yang dapat dilakukan sendiri, Grootberg menyebutnya dengan I can, dimana mencakup keterampilan individu dalam melakukan hubungan interpersonal dan keterampilan dalam memecahkan masalah. Secara spesifik dimensi ini mencakup:

a) Aku bisa menghasilkan ide-ide baru atau cara baru dalam melakukan sesuatu;

b) Aku bisa mengerjakan tugas sampai selesai;

c) Aku bisa menyaksikan humor dan menggunakannya untuk mengurangi ketegangan;

d) Aku bisa mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam berkomunikasi dengan orang lain;

e) Aku bisa memecahkan masalah dalam berbagai keadaan (akademik, pekerjaan, personal, dan sosial);

f) Aku bisa mengontrol perilaku (perasaan, dorongan, dan tindakan), dan

g) Aku bisa mendapatkan pertolongan ketika aku butuh.

Menurut Grotberg (1995) aspek pada resiliensi tersebut dapat ditingkatkan secara terpisah, namun untuk menghadapi kesengsaraan butuh untuk mengkombinasikan ketiga aspek tersebut, baru kemudian mengambil beberapa kategori yang dibutuhkan. Terdapat beberapa orang yang dapat resilein pada suatu situasi, namun tidak dapat resilien pada situasi yang lain. Hal ini terjadi karena mereka hanya dapat resilien pada situasi mengancam yang telah dikenal dan lebih sedikit, tapi bila dalam keadaan yang baru dan lebih mengancam mereka akan kehilangan kontrol sehingga mereka butuh belajar untuk mendapatkan bantuan.

Dimensi resiliensi yang dikemukakan oleh Grotberg menjelaskan bahwa tidak hanya keadaan internal saja yang dapat membuat seseorang dikatakan resilien, keadaan eksternal juga memiliki peran dalam resiliensi. Seseorang mungkin saja memiliki kekuatan dalam diri dan keterampilan sosial yang baik, namun apabila tidak memiliki orang yang membantu dan mencintai, maka dia bukanlah orang yang memiliki resiliensi. Berdasarkan penjelasan aspek resiliensi diatas, penelitian ini akan menggunakan aspek-aspek resiliensi yang

diungkapkan oleh Grotberg (2003), yaitu: Sumber-sumber yang Dimiliki, Kekuatan Dalam Diri dan Kemampuan Diri.

Dokumen terkait