• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek situasional

Dalam dokumen Tesis Ni Nyoman Okrina (Halaman 137-140)

BAB IV ANALISIS WACANA KRITIS PROPAGANDA AJEG BALI

4.4 Analisis Sociocultural Practice commit to user

4.4.1 Aspek situasional

Banyak pihak termasuk Bali Post mengakui bahwa konsep ini lahir sebelum bom Bali pada tahun 2002 meledak. Bahkan Nordholt menyatakan bahwa Ajeg Bali pertama kali dicetuskan oleh Gubernur Bali, I Dewa Made Beratha. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa meledaknya bom di kawasan pariwisata Bali telah menjadi pelatuk bagi popularitas Ajeg Bali.

Bom Bali pertama yang meledakkan dua tempat hiburan di Kuta telah merenggut 300 orang lebih (The Jakarta Post, 2012). Pada waktu itu situasi kemanan dan ekonomi di Bali tidak kondusif dan lesu. Kejadian ini telah menimbulkan efek yang negatif bagi ekonomi Bali yang bertumpu pada sektor pariwisata. Banyak turis yang membatalkan perjalanannya ke Bali, travel warning dikeluarkan oleh banyak negara, dan ini pada akhirnya berakibat pada menurunnya pendapatan masyarakat Bali.

Jika sebelumnya masyarakat Bali dikenal ramah pada siapapun, aksi terorisme yang di dalangi kelompok Jamaah Islamiyah dari pulau Jawa, membuat adanya friksi antara masyarakat Bali dan pendatang yang jumlahnya cukup banyak terutama di daerah pariwisata dan ibu kota provinsi. Ditambah tingginya angka perampokan yang dilakukan penduduk pendatang (Alen & Pallermo, 2005) yang tidak hanya menyasar masyarakat lokal tetapi turis asing. Ketidakepercayaan kepada para pendatang mendorong masyarakat Bali mengerdilkan posisi para pendatang yang disebut ‘nak jawa’ entah dari pulau manapun mereka berasal, asal luar Bali. Oleh karena sebagian besar pendatang bekerja pada sektor informal, masyarakat Bali juga kerap kali menggunakan ‘buruh jawa’ untuk menyebut

124

mereka. Tidak hanya pada bidang kemananan dan ekonomi, masyarakat Bali kala itu juga merasa perlu untuk mempertahankan identitas dirinya dari kepungan pendatang. Seperti yang diungkapkan Purnatha, pada anekdot ‘orang Bali jual tanah untuk beli bakso, orang luar jual bakso untuk beli tanah,’ menggambarkan bahwa pendatang bisa mendesak keluar orang Bali dari pulaunya sendiri. Meski dapat diterjemahkan the outsiders pendatang yang dimaksud oleh Bali Post adalah penduduk lokal Indonesia dan tidak termasuk para warga negara asing yang menetap di Bali. Ini dikarenakan konteks pada teks-teks Bali Post menjurus pada aktivitas pendatang yang berasal dari pulau lain di Indonesia. Bisa jadi keadaan ini juga diperparah oleh konsep Ajeg Bali yang dipropagandakan oleh Bali Post.

“Ajeg Bali untuk mempertahankan eksistensi Bali, manusia Bali, ekonomi Bali, dan pulau Bali. Kenapa sejak bom meletus? Karena disitulah titik balik bagaimana sebenarnya Bali: wisatawan habis, hotel tidak beroperasi lagi, karyawan diberhentikan. Akhirnya semua orang hotel kembali ke pertanian: menanam cabe, ngubuh (memelihara) celeng, itulah yang asli. Itulah yang harus dipertahankan untuk bisa bertahan hidup di Bali kalau orang luar tidak mau ke Bali mengeluarkan uang. Waktu itulah kita lihat pertanian dan budaya harus dipertahankan. Karena orang luar tak mau lagi kesini dan kita tidak punya uang. Kita mau kembalikan itu. Kita harus kuat seandainya pariwisata tidak ada. Makanya jangan ada alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman, karena kalau areal pemukiman jadi sawah itu susah. Makanya ada anekdot begini: orang Bali jual tanah untuk beli bakso, orang luar jual bakso buat beli tanah. (Alit Purnatha, Redaktur Pelaksana Bali Post, 2014).

Dengan menggunakan mistifikasi pada berita-beritanya, Bali Post mengajak semua masyarakat Bali untuk turut berperan aktif demi Ajegnya Bali dengan tidak menjual tanah ke pihak luar, melestarikan tradisi Hindu Bali, merawat kesehatan, menggerakkan sektor informal yang selama ini dikuasai pendatang, dan sebagainya. Beberapa kali Bali Post menyebut bahwa Bali berada diambang kehancuran. Kondisi ini dapat diterjemahkan sebagai situasi gawat jika tak sesegera mungkin di tangani. Di lain pihak perubahan dalam hal budaya adalah keniscayaan yang tak mungkin dihindari terutama mengingat Bali adalah destinasi wisata dan memerlukan proses. Sementara itu penjualan tanah di Bali kepada orang luar yang utamanya untuk kepentingan yang tidak baik dinilai

125

sebagai hal yang menodai kesucian pura. Pura bagi orang Bali adalah yang utama; bangunan suci nan sakral yang harus selalu dijaga. Bagi orang Bali, Pura adalah tempat berstananya dewa dewi serta leluhur yang telah disucikan. Menodai kesucian pura adalah hal yang jelas dihindari. Namun belum tentu misalnya bisnis yang dibangun di atas tanah Bali adalah bisnis yang tidak baik. Atau bagaimana bisnis yang tidak baik yang dibangun bisa menodai kesucian pura? Kecuali bisnis tersebut misalnya bersebelahan dengan tempat ibadat atau mengurug lahan pura dan membangun bisnis di atasnya. Semua ini membuat pembaca yakin Bali memang akan segera hancur jika budaya, manusia, dan tanahnya tak segera dilindungi.

“Bali kini ada diambang kehancuran...Sebagai manusia Bali yang peduli akan keajegan Bali, harus berpikir untuk menyelamatkan pulau seribu pura ini. Langkah-langkah pengamanan mesti dilakukan,” (Bali Post, 2003)

“Makin banyaknya warga Bali menjual atau melepas hak atas tanahnya dinilai sebagai salah satu tantangan terbesar dalam mewujudkan Ajeg Bali. Hal ini menyebabkan makin sempitnya palemahan (tanah) Bali karena banyak dipakai untuk bisnis yang menodai kesucian pura,” (Bali Post, 2004)

Meskipun ada friksi yang diam diam terkuak dengan para pendatang namun Bali Post tetap menentang bahwa Ajeg Bali adalah gerakan anti pendatang. Di beberapa artikel berita Bali Post menghargai perbedaan ras suku agama yang ada di Bali.

“Keragaman etnik, suku, ras, dan keyakinan yang makin terkondisikan di Denpasar hendaknya jangan disikapi sebagai hambatan menuju Bali Ajeg,” (Bali Post, 2003)

Namun beberapa kali juga Bali Post memberikan pemahaman lain. Bali Post kerap memarginalkan pendatang dengan menyebutnya sebagai semut atau lebah yang mencari keuntungan di Bali. Ini semakin meneguhkan bahwa Bali Post memandang pendatang luar sebagai sebuah hal yang mengancam tercapai cita-cita Ajeg Bali. Pendatang kerap kali disebutkan sebagai penyebab masalah sosial dan keamanan yang terjadi di Bali. Untuk itu program-program Ajeg Bali seperti tertib

126

administrasi penduduk (sidak KTP) yang dilakukan di pelabuhan Gilimanuk dan di banjar-banjar beberapa kali menjadi topik berita di Bali Post.

Dalam dokumen Tesis Ni Nyoman Okrina (Halaman 137-140)

Dokumen terkait