• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan magang pada aspek teknis dilakukan dengan mengikuti kegiatan budidaya tebu mulai dari awal pengolahan lahan sampai proses pemanenan. Area wilayah kerja yang luas menyebabkan kegiatan budidaya tebu yang dilaksanakan memiliki beberapa adaptasi disetiap daerah sehingga penerapannya tidak sesuai dengan teori

6.1.1.1. Pembajakan

Pembajakan di Pabrik Gula Madukismo lebih sering melakukan pembajakan I lalu dilanjutkan pembuatan juringan tanpa melakukan pembajakan II. Hal ini dikarenakan dari pembajakan I tanah sudah cukup gembur dan baik untuk dibuat juringan. Pembajakan II sering dilakukan pada tanah sawah yang berlumpur, yang dilakukan 1 minggu setelah pembajakan pertama. Hal ini dilakukan untuk menunggu proses oksidasi tanah, apabila langsung melakukan proses pembajakan II tanpa menunggu proses oksidasi maka tanah akan mengalami kelebihan kandungan besi atau keracunan zat besi. Tanah mengalami keracunan karena tanah baru yang dibalik apabila tidak dikeringkan mengandung banyak zat besi dalam bentuk Fe2+ yang mudah larut dalam air sehingga mudah untuk diserap oleh tanaman sehingga tanaman akan mengalami keracunan zat besi, sedangkan apabila tanah mengalami oksidasi akan mengubah Fe2+ menjadi Fe3+ yang mengendap dan tidak mudah larut. Jarak 1 minggu sebelum pembajakan kedua juga dilakukan untuk

41 menunggu tumbuhnya biji gulma yang dorman sehingga pada pembajakan kedua gulma dapat dimatikan dengan pengolahan, hal ini termasuk pengendalian gulma secara mekanis

6.1.1.2. Pembuatan Got

Pembuatan got yang salah dapat menggangu proses pertumbuhan tanaman tebu. Permasalahan Umum di kebun tebu adalah got keliling yang tidak terlalu dalam atau lebar sehingga kedalaman got hampir sama dengan got mujur, hal ini dapat menyebabkan drainase yang buruk karena air terjebak didalam kebun. Akar tebu memiliki sifat yang sensitif terhadap drainase yang buruk, tidak kering tapi jangan banjir. Sistem drainase yang buruk dapat menyebabkan akar tidak dapat tumbuh dengan baik atau kedalaman tumbuh akar yang dangkal sehingga menyebabkan tebu mudah roboh.

6.1.1.3. Pengolahan Secara Manual

Tahap pengolahan lahan yang singkat dilakukan untuk mencegah pertumbuhan gulma sebelum tanam, walaupun telah membalik tanah dan membentuk juringan tidak dilakukan waktu 3 minggu untuk tanah melakukan proses oksidasi karena jika melakukan hal ini maka gulma lebih dahulu sehingga menghambat kegiatan penanaman dan mengganggu pertumbuhan gulma. karena tidak seperti pada pengolahan lahan secara mekanis setelah 1 minggu gulma akan tumbuh namun akan dibasmi dengan pembajakan II atau dengan pembentukan juringan namun dengan manual hanya ada dua tahap dan tidak ada kesempatan untuk membasmi gulma dan kurang tenaga kerja.

6.1.1.4. Pengangkutan Benih

Beberapa hal yang menyebabkan pengangkutan benih tidak efisien adalah penataan tumpukan benih tebu yang tidak rapi sehingga pekerja menurunkan benih menjadi tidak teratur. Tenaga kerja menarik daun-daun benih sampai benih terlepas dari polybag, benih jatuh dari mobil sampai rusak. Pekerja mepercepat proses pemindahan dari mobil ke lahan dengan membawa bebrapa polybag yang dipegang ujung daunnya. Pengangkutan benih yang disertai dengan gulma menyebabkan pengangkutan benih menjadi kotor.

6.1.1.5. Pemupukan

Pabrik Gula Madukismo tidak menyarankan untuk menggunakan urea karena pupuk tersebut hanya memiliki kandungan nitrogen saja sebesar 45%. Pupuk urea tidak mengandung sulfur dan hanya membantu pertumbuhan vegetatif, sedangkan ZA dapat memberikan kedua manfaat tersebut. Urea merupakan pupuk yang tidak bersubsidi, tidak seperti ZA sehingga harga urea akan lebih mahal.

Penggunaan pupuk halei jarang dilakukan oleh para petani karena harganya yang mahal, sehingga tebu kemitraan dan KSU saja yang mau menggunakan pupuk tersebut. Biaya penggunaan pupuk Halei yang mahal dapat ditutup dengan hasil produksi yang lebih besar dari pada menggunakan ZA dan phonska. Pemupukan menggunakan Halei juga dilakukan hanya sekali dalam satu periode penanaman sehingga mengurangi biaya tenaga kerja dan meningkatkan ketepatan pekerjaan.

42

6.1.2 Solusi Permasalahan Pelaksanaan Teknis Budidaya Tanaman Tebu Solusi yang tepat untuk masalah pada pelaksanaan teknis budidaya tanaman tebu adalah pelaksanaan teknik budidaya dengan menggunakan bantuan alat mekanisasi, dan manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Penggunaan bantuan alat mekanisasi bertujuan mengurangi jumlah kebutuhan tenaga kerja yang lebih besar dari pada jumlah yang tersedia. Penggunaan alat mekanisasi juga membantu tenaga kerja untuk mendapatkan hasil pekerjaan sesuai dengan standar yang ditentukam oleh pabrik, seperti pembuatan got dengan menggunakan mesin akan mendapatkan kedalaman dan lebar got yang tepat. Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) berguna untuk meningkatkan kualitas hasil dan ketepan waktu bekerja. Manajemen SDM dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan tenaga kerja dan melakukan perencanaan kebutuhan tenaga kerja. Peningkatan mutu tenaga kerja dapat dilakukan dengan memberikan sosialisasi kepada tenaga kerja dan petani mengenai teknik budidaya tanaman tebu yang baik. Perencanaan tenaga kerja dilakukan dengan membuat daftar kebutuhan tenaga kerja, jenis pekerjaan, dan waktu pengerjaannya sehingga rotasi tenaga kerja dapat dilakukan dengan baik dan tidak menyebabkan kekurangan tenaga kerja.

6.2 Pola Kemitraan Pabrik Gula dengan Petani

Pola kemitraan yang dimaksudkan ialah kerjasama antara pabrik gula dengan petani tebu untuk meningkatkan kualitas tebu giling. Kualitas tebu giling yang semakin baik juga meningkatkan produksi hablur sehingga keuntungan bertambah dan petani juga sejahtera. Cara pendekatan antara petugas Pabrik Gula kepada petani yakni dengan melakukan sosialisasi kepada petani yang dibantu oleh aparat desa, sosialisasi ini juga dilengkapi dengan paparan analisis usaha tani.

Petani yang setuju untuk lahannya ditanami tebu melakukan kesepakatan dua pihak antara petani dan PG Madukismo. Petani dan petugas dari PG akan mengecek lahan yang akan ditanami mulai dari kesesuaian luas lahan dengan luas yang diajukan, dan kesesuaian lahan yang akan mempengaruhi harga Jaminan Pendapatan Minimal (JPM). Setelah melakukan pengecekan akan dilakukan pemetaan yang dilaksanakan oleh Sinder Kebun Wilayah (SKW) dan pegawai dari Bina Sarana Tani (BST), pemetaan ini menggunakan alat bantu GPS (Global Positioning System). Setelah pemetaan selesai akan didapatkan harga JPM yang disepakati dari luas lahan bruto yang luasnya maksimal 5% lebih dari luas netto, dan kesesuaian lahan yang semakin sesuai ditanami tebu maka semakin tinggi harga per hektarnya. Terdapat beberapa pola kemitraan yang diterapkan oleh PG Madukismo yakni kemitraan, Kerja Sama Usaha, dan Tebu rakyat Mandiri. Perbedaan pola kemitraan tersebut dapat dilihat dari modal, pelaksanaan kegiatan budidayanya, dan banyaknya tebu giling yang diserahkan kepada pabrik gula. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

6.2.1 Pola Kemitraan

Kemitraan adalah bentuk kerjasama petani dan Pabrik gula Madukismodengan tingkat partisipasi dari petani paling sedikit dari hubungan kemitraan yang lain. Petani yang melakukan kemitraan dengan PG akan mendapatkan Jaminan Pendapatan Minimum (JPM) pada awal tahun sebelum

43 umumnya sebelum olah lahan. Jaminan Pendapatan Minimum adalah pendapatan minimum yang pasti didapatkan oleh petani jika melakukan kerjasama dengan PG, walaupun nantinya hasil bubdidaya tebu mengalami kerugian tetapi petani tetap mendapatkan pendapatan. Keuntungan yang melebihi dari anggaran yang sudah ditentukan akan dikembalikan kepada petani, oleh karena itu dinamakan JPM karena petani dapat memperoleh keuntungan lebih dari yang ditentukan tetapi tidak kurang dari pendapatan minimum. Seluruh tebu yang dihasilkan pada pola kemitraan ini akan diserahkan kepada pabrik gula.

6.2.2 Pola Kerja Sama Usaha (KSU)

Kerja Sama Usaha merupakan pola kerjasama antara petani dan pabrik gula dengan tingkat partisipasi petani lebih besar dari pada pola kemitraan. Pada pola kerjasama KSU pabrik gula menjadi pihak ketiga atau penjamin kredit modal usaha KKPE yang diajukan kepada bank oleh. Petani melakukan kegiatan budidaya yang tetap diawasi oleh karyawan pabrik gula. Cara dan proses penerimaan JPM hampir sama dengan sistem kemitraan hal ini dikarenakan apabila terdapat kelebihan keuntungan hasil penggilingan tebu maka dikembalikan kepada petani. Tebu hasil budidaya seluruhnya diserahkan kepada pabrik gula untuk menggilingnya. Kebutuhan tenaga kerja dan kebutuhan fisik dipenuhi oleh petani sendiri yakni dengan dana kredit yang dipinjam ke bank, namun untuk mencari tenaga kerja dapat dibantu oleh petugas pabrik yang berwenang di kebun, sepeti mandor dan Sinder Kebun Wilayah (SKW).

6.2.3 Pola Tebu Rakyat Mandiri

Kerja sama ini merupakan kerjasama pada saat penggilingan tebu dan pembimbingan petani oleh petugas pabrik bagian kebun. Hal ini dikarenakan petani melakukan sendiri proses budidaya tebu, namun apabila petani membutuhkan saran atau bimbingan mandor atau sinder kebun wilayah siap untuk melayani. Oleh karena itu pola kerja sama ini disebut kerja sama mandiri karena petani mandiri mengelola kebunnya mulai dari tenaga kerja, kebutuhan fisik, sampai alat mekanisasi ditanggun oleh petani. Petani tidak hanya mendapatkan bantuan bimbingan, namun petani mandiri ini juga mendapatkan dana akselerasi yang ditujukan untuk meningkatkan produksi gula. Dana akselerasi ini disalurkan melalui Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR). Petani pada pola kerja sama ini tidak mendapatkan JPM dikarenakan seluruh keuntungan dan kerugian ditanggung oleh petani sendiri. Pada pola kerja sama ini petani boleh menggilingkan tebu tidak pada Pabrik Gula Madukismo semua, itu tergantung dari keinginan petani untuk mengkonsumsi sendiri atau menyerahkannya pada Pabrik Gula lainnya. Jumlah pabrik gula yang hanya satu berada di Daerah Istimewa Yogyakarta menyebabkan semua petani yang ada didalam daerah DIY maupun sekitarnya akan pasti mengirim semua gulanya pada Pabrik Gula Madukismo. Pembagian hasil dari penggilingan gula yakni 34% untuk Pabrik Gula dan 66% untuk petani tebu.

6.2.4 Permasalahan Pola Kemitraan antara Pabrik Gula dengan Petani Pola kemitraan yang diterapkan oleh Pabrik Gula Madukismo dengan petani tebu memiliki beberapa kelemahan yakni lahan yang terpisah-pisah, kualitas tebu petani yang berbeda-beda, dan kepercayaan antara petani dengan Pabrik Gula.

44

Lokasi lahan yang terpisah-pisah dan jauh menyebabkan proses pengangkutan saat panen lebih rumit dan biaya yang mahal, karena jadwal rotasi penggunaan alat transportasi harus terencana dengan baik agar pengangkutan lancar. Lahan yang tidak sekitar pabrik gula menyebabkan harga penyewaan alat transportasi untuk pengangkutan menjadi mahal. Tebu yang dikirim ke pabrik merupakan milik petani sehingga memiliki kualitas yang berbeda sehingga untuk mengatasinya petugas PG Madukismo harus melakukan sosialisasi mengenai teknik budidaya tenaman tebu yang tepat dan mengawasi penerapannya. Pabrik Gula Madukismo harus membangun hubungan yang baik dengan petani untuk menciptakan rasa kepercayaan yang tinggi oleh petani kepada pabrik. Kepercayaan ini harus dilakukan agar petani tetap mengirimkan hasil tebu kepada pabrik gula Madukismo setiap panen dan yang paling penting adalah agar petani tetap menanam tebu dan tidak menggantinya dengan komoditas yang lain.

6.3 Tebang, Muat, dan Angkut

Tebang, muat, dan angkut tebu adalah proses pasca panen tanaman tebu hingga sampai ke proses tepat sebelum giling. Keberhasilan penebangan tebu dapat diukur dari jumlah tebu yang ditebang sesuai dengan kapasitas pabrik dan kontinu dengan keadaan tebu yang layak giling. Tebu yang akan ditebang harus memenuhi kriteria tebu yang layak tebang, sedangkan untuk memasuki proses gilingan harus memnuhi kriteria tebu layak giling. Tebu yang layak tebang yakni tebu yang sudah dipersiapkan sesuai dengan standar budidaya yang ada hingga siap tebang, selain itu tebu layak tebang juga harus memenuhi kriteria tepat varietas, serangan hama, massa tanam (umur), dan Faktor kemasakan. Tebu layak giling adalah tebu yang manis, bersih, dan segar. Kontinuitas tebangan dan tebu layak giling tergantung pada kesiapan sarana angkutan, jumlah tenaga tebang, kondisi lingkungan, kelancaran giling, dan sistem pengupahan tenaga tebang dan angkutan. Oleh karena itu pelaksanaan tebang tebu harus direncanakan secara matang sehingga proses giling lancar dan menekan penurunan mutu tebu saat menunggu giling.

6.3.1 Kondisi Umum Kebun Wilayah Bantul dan Sleman Timur

Wilayah yang digunakan untuk melakukan pengamatan adalah Bantul dan Sleman Timur. Wilayah Bantul banyak memiliki kebun tebu yang lahannya merupakan lahan sawah, sehingga potensi tebu roboh sangat tinggi jika teknik budidayanya tidak tepat. Jenis tanah pada Wilayah Bantul pada umumnya adalah Regosol dan Grumosol. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson iklim wilayah Bantul termasuk dalam iklim daerah agak basah dengan curah hujan 2 180 mm/tahun. Wilayah Sleman Timur merupakan wilayah yang jenis tanahnya berpasir sehingga potensi terserang hama uret sangat tinggi. Jenis lahan di wilayah Sleman Timur banyak yang merupakan lahan tegalan sehingga banyak tanaman tebu yang tumbuh tegak, tidak roboh seperti lahan di wilayah Bantul. Jenis tanah diwilayah Sleman Timur umumnya adalah Regosol. Jenis tanah Bantul yang umumnya Grumosol merupakan tanah bekas letusan gunung sehingga berpasir, oleh karena itu banyak tebu yang mudah roboh karena akarnya sulit untuk memegang tanah. Iklim di wilayah Sleman Timur menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson adalah daerah agak basah dengan curah hujan 1 869.8-2 495 mm/tahun.

45 6.3.2 Pengukuran Nilai Brix dan Pol

Brix adalah nilai yang menunjukkan padatan total terlarut dalam 100 gram larutan. Padatan total terlarut yang dikandung oleh tebu sebesar 13.37-20.15% (Nubatonis 2004). Nilai brix merupakan salah satu faktor dalam menentukan sebuah kebun untuk siap ditebang. Pol adalah nilai yang menunjukkan kandungan gula didalam 100 gram Nira, kandungan pol dalam tebu adalah 11.3-18% (Nubatonis 2004). Setelah tebu ditebang maka tebu akan dikirim ke pabrik untuk digiling, selama tebu menunggu digiling akan terjadi penurunan nilai brix. Penurunan nilai brix dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni pH, suhu, dan mikroorganisme. Pada Tabel 6. Merupakan hasil pengukuran kandungan gula dari wilayah Bantul dan Sleman Timur.

Tabel 6 Hasil pengukuran brix dan pol Wilayah Bantul

Kebun Brix kebun Brix pabrik %Pol Penurunan brix NN RS Bantul Kebun a 19.00 17.10 11.45 1.90 9.19 6.25 Kebun b 19.00 16.90 11.37 2.10 9.16 6.23 Kebun c 19.00 17.60 11.70 1.40 9.31 6.33 Kebun d 19.20 16.80 11.42 2.40 9.26 6.30 rata-rata 19.05 17.10 11.48 1.95 9.23 6.28 Sleman Kebun 1 19.30 18.60 12.25 0.70 9.71 6.60 Kebun 2 19.10 18.00 12.03 1.10 9.65 6.56 Kebun 3 19.00 18.00 11.98 1.00 9.57 6.51 Kebun 4 18.00 17.00 11.46 1.00 9.25 6.29 rata-rata 18.85 17.90 11.93 0.95 9.55 6.49

NN : Nilai nira; FR: Faktor rendemen; RS: Rendemen sementara; RE: Rendemen efektif Hasil dari kedua data diatas di analisis dengan menggunakan uji t 5% untuk membandingkan pengukuran nilai brix dan pol diantara kedua wilayah. Hasil dari analisis kedua data dapat dilihat pada Tabel 7.

46

Tabel 7 Analisi uji-t data pengukuran nilai brix dan pol

Bantul Sleman Timur

Brix kebun 19.05 18.85

Brix pabrik 17.10 17.90

Rata-rata penurunan brix 1.95 0.95

St. deviasi 0.42 0.17 P-value 0.005* Rata-rata pol 11.49 11.93 St. deviasi 0.15 0.33 P-value 0.049* Nilai nira 9.23 9.55

Rata-rata rendemen sementara 6.28 6.49

St. deviasi 0.05 0.14

P-value 0.027*

*: Berbeda nyata pada taraf 5%

Penurunan nilai brix dan pol disebabkan oleh penguraian sukrosa menjadi monosakarida. Penguraian sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa di sebabkan oleh adanya enzim invertase. Aktivitas enzim invertase dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni suhu, pH, dan mikroorganisme. Suhu yang tinggi akan meningkatkan kinerja enzim dikarenakan kenaikan suhu akan meningkatkan energi kinetic enzim, sehingga aktivitas enzim juga meningkat. Pada umumnya setiap kenaikan suhu 100 C akan meningkatkan aktivitas enzim 2 kali lipat. Tingkat keasaman mempengaruhi nilai brix dan pol dalam air nira karena sukrosa mudah terinversi pada tingkat keasaman yang rendah atau yang disebut dengan hidrolisis. Hasil dari Hidrolisis sukrosa akan menghasilkan gula inversi yakni glukosa dan fruktosa (Goutara dan Wijandi 1985). Sukrosa akan memutar bidang polarisasi ke kanan (+), sedangkan gula inversi akan ke kiri.

Penurunan nilai brix dan pol oleh mikroorganisme dikarenakan mikroorganisme memakan sukrosa dan menghasilkan senyawa dekstran. Senyawa dekstran adalah polisakarida yang terbentuk dari D-Glukosa. Senyawa dekstran juga berdampak pada pengentalan nira karena bobot molekul yang besar, sehingga menurunkan kinerja mesin pengolahan gula. Konversi dari sukrosa menjadi dekstran adalah 25%, sehingga setiap 1 molekul dekstran membutuhkan 4 molekul sukrosa. Kehilangan sukrosa yang banyak untuk menghasilkan dekstran menyebabkan penurunan bobot tebu yang menunggu (Mochtar 1985). Aktivitas mikroorganisme dalam nira tebu tidak hanya memakan sukrosa melainkan juga memfermentasi air nira sehingga menghasilkan asam yang dapat meningkatkan inversi sukrosa.

Penebangan yang tidak mepet tanah juga dapat meningkatkan penurunan nilai kadar gula tebu saat menunggu digiling. Hal ini dikarenakan enzim invertasi merupakan enzim yang digunakan tanaman untuk menguraikan sukrosa menjadi glukosa saat proses respirasi. Glukosa hasil pemecahan akan digunakan untuk proses pertumbuhan vegetatif, sedangkan aktivitas tersebut semakin tinggi pada batang yang semakin muda. Tunggak tebu merupakan bagian batang tebu paling bawah yang memiliki aktivitas pertumbuhan vegetatif yang rendah sehingga memiliki kandungan enzim invertasenya rendah. Penebangan yang tidak mepet tanah akan meninggalkan tunggak batang tebu, dan mengangkut batang tebu yang

47 sedang mengalami pertumbuhan vegetatif yang memiliki kandungan enzim invertase lebih banyak dari bagian batang bawah. Oleh karena itu pada saat proses menunggu batang tebu mengalami penurunan gula yang besar.

Hasil analisis data penurunan brix, pol, dan rendemen sementara dari kedua wilayah berbeda nyata hal ini dapat dilihat dari nilai P-Value dibawah 0.05 yakni 0.005 untuk penurunan brix, 0.049 untuk nilai pol, dan 0.027 untuk nilai rendemen sementara. Nilai penurunan brix tebu Wilayah Bantul yang lebih besar 2 kali lipat dan nilai pol yang lebih rendah dari tebu Wilayah Sleman Timur disebabkan oleh kondisi tebu di wilayah Bantul banyak yang roboh, sedangkan keadaan tebu di wilayah Sleman Timur tegak. Keadaan kebun tebu roboh yang kotor dan lembab, menyebabkan kotoran juga ikut terangkut pada saat pengangkutan tebu ke pabrik. Kotoran yang ikut terangkut pada saat pengangkutan banyak mengandung mikrooganisme yang dapat menyebabkan penurunan kandungan gula hingga 50% dalam proses invertase gula Menurut (Kulkarni dan Warne 2004).

Penurunan kandungan gula pada kebun tebu Wilayah Bantul dapat dikurangi dengan penebangan yang bersih, pencegahan tebu roboh dan menggunakan alat mekanisasi penebangan untuk mendapatkan tebu tebangan yang mepet tanah. 6.3.3 Kehilangan Hasil Tunggak di Kebun

Kehilangan hasil adalah jumlah yang tidak didapatkan dari hasil panen. Terdapat tiga kehilangan hasil yang dapat diukur yakni pucuk, tunggak, dan lonjoran. Kehilangan hasil dari tunggak dapat dihitung dengan mengukur bobot tunggak tertinggal dikebun yang tingginya lebih dari 5 cm. Hasil pengamatan bobot tunggak tertinggal di wilayah Bantul dan Sleman Timur dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Hasil kehilangan hasil tunggak tertinggal di kebun

Kebun Luas (ha) produktivitas tebu (ton/ha) Kehilangan (ton) Standar kehilangan hasil Kehilangan hasil % ton/ha % ton/ha Bantul Kebun a 1.56 84.7 2.33 1 0.85 1.76 1.49 Kebun b 1.56 84.7 2.27 1 0.86 1.72 1.46 Kebun c 1.08 94.7 3.41 1 0.95 3.34 3.16 Kebun d 5.48 75.8 10.88 1 0.76 2.63 1.99 Rata-rata kehilangan 84.98 4.723 1 0.855 2.36 2.02 ± 0.80 Sleman Timur Kebun 1 15 86.4 12.03 1 0.86 0.93 0.80 Kebun 2 15 90.0 13.58 1 0.90 1.01 0.91 Kebun 3 15 86.4 13.77 1 0.86 1.06 0.92 Kebun 4 15 86.4 15.68 1 0.86 1.22 1.05 Rata-rata kehilangan 87.3 13.77 1 0.87 1.05 0.92 ±0.10

P-value kehilangan hasil tunggak 0.033*

48

Tabel 9 Taksasi Maret dan produksi realisasi tebu

Kebun Luas (ha) Taksasi Produktivitas tebu (ton/ha) Ketepatan taksasi (%) Ton Ton/ha Bantul Kebun a 1.56 101.86 65.00 84.7 76.74 Kebun b 1.56 101.86 65.00 84.7 76.74 Kebun c 1.08 81.00 75.00 94.7 85.53 Kebun d 5.48 493.20 90.00 75.8 118.73 Rata-rata 180.98 73.75 84.98 86.79 Sleman Timur Kebun 1 15 1200 80.00 86.4 92.59 Kebun 2 15 1200 80.00 90.0 88.89 Kebun 3 15 1200 80.00 86.4 92.59 Kebun 4 15 1200 80.00 86.4 92.59 Rata-rata 1200 80 87.3 91.64

Data diatas menunjukkan bahwa wilayah Sleman Timur memiliki ketepatan taksasi produksi lebih tinggi dari pada wilayah Bantul, hal ini dapat disebabkan oleh keahlian tenaga taksasi wilayah SlemanTimur yang lebih baik dari pada Bantul. Hal ini juga dapat disebabkan setelah penghitungan taksasi terdapat musim hujan yang sangat panjang sehingga bobot tebu terus bertambah besar dari penghitungan yang ditetapkan saat taksasi Maret.

Hasil analisis data diatas menujukkan bahwa kehilangan hasil tunggak di kebun Bantul berbeda nyata dengan kebun Wilayah Sleman, yakni bobot tunggak yang tertinggal di kebun Wilayah Bantul lebih besar 2.2 kali lipat dari kebun Wilayah Sleman Timur. Hal ini disebabkan tebu dari kebun wilayah Bantul yang hampir semuanya merupakan kebun tebu roboh akan mengalami pertumbuhan vegetatif yang lebih panjang dari pada tebu yang normal. Pertumbuhan vegetatif ini diakibatkan oleh batang tebu yang roboh menempel ke tanah lalu mengeluarkan akar. Bagian batang tebu yang menempel di tanah akan susah untuk ditebang, sehingga banyak tunggak tebu yang lebih dari 5 cm di lapangan.

(A) (B)

Gambar 17 Kehilangan hasil tunggak: (A) Kondisi Kebun Bantul; (B) Tunggak tertinggal Kebun Bantul

49 Penebangan pada kebun yang terserang uret memang dilakukan tidak mepet tanah hal ini untuk mecegah pencabutan tanaman sehingga akan banyak pasir yang terbawa saat pengangkutan tebu. Standar kehilangan hasil tebu dilahan karena tunggak PG Madukismo adalah 1%, sedangkan data yang didapatkan dari kedua wilayah memiliki rata-rata tunggak lebih dari standar yang ditetapkan. Kehilangan hasil pada kebun uret tidak diperhitungkan karena merupakan instruksi dari petugas tebang dari PG, walaupun kehilangan hasil yang ditimbulkan melebihi dari standar. Tunggak yang tertinggal di kebun dapat menurunkan produksi hablur dari kehilangan air nira yang dapat diperas dan nilai rendemen, karena semakin kebawah maka nilai brix kandungan gula dalam batang tebu akan semakin tinggi.

6.3.4 Tenaga Kerja Tebang

Keperluan tenaga tebang harus direncanakan dengan tepat untuk mencegah kekurangan tenaga. Kekurangan tenaga akan menyebabkan ketepatan waktu dan jumlah tebangan yang ditargetkan tidak tercapai sehingga tebu yang berkualitas baik untuk siap digiling akan sulit untuk dicapai.

Tabel 10 Hasil prestasi kerja tenaga tebang dan angkut kebun

Dokumen terkait