• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.7. Aspek Yuridis Dalam Penyelenggaraan “ Marine Cadastre ”

Kadaster, ditinjau dari definisi dan pengertiannya sendiri, adalah sebuah

institusi hukum. Pertama, karena di dalam sistem kadaster dikandung tiga pilar utama, yaitu 3R (FIG, 1995, Dale and McLaughlin, 1988), yang terdiri dari:

rights: hak-hak, restrictions: batasan atas penguasaan dan penggunaan hak-hak tersebut, dan responsibilities: tanggungjawab terhadap penguasaan dan penggunaan hak-hak tersebut. Oleh karena itu maka kadaster memenuhi syarat sebagai sebuah struktur hukum.

Kedua, karena tujuan kadaster adalah mewujudkan ketertiban dalam penyelenggaraan administrasi dan praktik hukum atas penggunaan hak, pemenuhan kewajiban, dan implementasi batasan tersebut (Larsson, 1991); maka dengan sendirinya kadaster merupakan dan menjalankan fungsi-fungsi hukum. Sehubungan dengan itu, maka “marine cadastre”, meskipun tidak dengan serta merta dapat langsung dipersamakan dengan kadaster daratan karena adanya perbedaan sifat dan karakteristik obyek dan subyek hukumnya, merupakan institusi hukum pula, karena “marine cadastre” memenuhi kedua syarat tersebut

38

di atas. Apabila “marine cadastre” telah mempunyai dasar hukum bagi legitimasi penyelenggaraannya, maka dengan sendirinya ia akan mempunyai implikasi hukum dalam pelaksanaannya.

Cockburn dan Nichols (2002) menyatakan bahwa setidaknya ada 4 (empat) hal yang akan berimplikasi dan oleh karena itu harus dipertimbangkan. Pertama, jenis-jenis hak apakah yang ada dalam konteks kelautan. Kedua, rezim hukum apa yang mengatur atau menentukan hak-hak tersebut. Ketiga, apakah dapat ditentukan atau diletakkan hirarki atas hak-hak tersebut, dan Ke-empat, adalah bagaimana dapat diletakkan hubungan di antara hak-hak tersebut satu dengan lainnya (Gambar 7).

Gambar 7. Kerangka Hukum Pelaksanaan “Marine Cadastre” (Cockburn dan Nichols, 2002: p.3)

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, perlu kiranya dapat dipahami beberapa karakteristik serta doktrin yang membedakan “land cadastre” dengan “marine cadastre”. Untuk itu perlu merujuk kembali pada Tabel 3 tentang perbedaan dan persamaan antara kadaster pertanahan dengan kadaster kelautan (marine cadastre). Selebihnya, Cockburn, Nichols dan Monahan (2003) mengajak untuk memahami tentang konsepsi persil laut dibandingkan dengan persil tanah.

Kerangka Hukum “Marine Cadastre” KewenanganNegara

Hak Wilayah Administrasi

Berpengaruh pada:

Hak Privat Hak Publik

• Hak Guna Usaha

• Hak Penambangan

• Hak Kabel Laut

• Hak Akses

• Hak Penangkapan Ikan • Navigasi, dsb.

39

Di laut di mana sumberdaya dan kegiatan, dan oleh karena itu hak, batasan, dan kewajiban, dapat ada atau timbul seiring dengan waktu dan ruang, serta dapat bergerak atau berpindah sesuai perubahan waktu dan ruang, maka konsepsi persil laut menjadi kompleks.

Pertama, kepemilikan individual secara penuh, sebagaimana dikenal dalam persil tanah, tidaklah dikenal dalam konteks ruang lautan (sama dengan pendapat Rais, 2002: “ ... the ocean is an heritage of human kind, available to anyone but owned by none ...”, tidak ada hak milik pribadi di lautan, yang ada adalah kewenangan pengelolaan saja). Hak penguasaan dari negara, hak-hak publik, dan hukum internasional adalah faktor-faktor yang akan banyak mempengaruhi hak- hak privat, dan dapat dipastikan pula bahwa kepemilikan pribadi yang eksklusif atas atas kolom (persil) laut tidak mendapat pengakuan.

Kedua, dapat dikatakan hanya sedikit sekali aktifitas di sektor kelautan yang hanya menggunakan permukaan air laut saja sebagai ruang kegiatan utamanya. Hampir semua kegiatan kelautan sesungguhnya berada pada volume atau kolom laut, sehingga dengan demikian hampir semua hak-hak kelautan, seperti akuakultur, penambangan laut, perikanan laut, dan hak-hak berlabuh dan bahkan navigasi laut secara inheren memiliki sifat-sifat tiga dimensi (bandingkan dengan persil tanah yang bersifat dua dimensi). Demikian pula kemungkinan berlapis-lapisnya beberapa hak yang mungkin ada pada ruang laut sangat terbuka, mengingat banyak kemungkinan sesuatu hak pada kolom permukaan air laut bagian atas berlapis dengan sesuatu hak lainnya pada kolom air di bawahnya, dan bahkan sesuatu hak pada dasar laut (seabed). Untuk mengawasi dan mengatur aktifitas kelautan, gambaran mengenai hak-hak yang ada dalam ruang atau kolom laut yang lebih akurat sangatlah diperlukan.

Ketiga, adanya suatu kenyataan bahwa tidak semua atau bahkan pada umumnya batas persil atau kolom laut tidak dapat ditandai dengan batas fisik, khususnya persil laut yang terletak dilepas pantai. Batas-batas tersebut hanya dapat ditandai dalam peta atau publikasi lainnya. Nichols dan Monahan (1999) menamakan sistem penetapan batas persil laut dengan “fuzzy boundary system”, sedangkan Hoogsteden and Robertson. (1999) justru mengatakannya sebagai “seamless boundary system” (tegas).

40

Dalam konteks sistem penguasaan dan pemilikan properti (property tenureships) di Indonesia, maka “state of the arts” konsep “marine cadastre” harus pula mencerminkan kekhasan sistem dimaksud. Dengan kata lain harus ada keberanian untuk meletakkan konsep ini secara aktual, agar dapat menampung kebutuhan masyarakat dan pembangunan, dengan pertimbangan bahwa:

1) Ruang perairan laut teritorial adalah ruang perairan yang dihitung dari rata- rata air laut surut terendah sejauh 12 nautical miles ke arah laut;

2) Adanya sistem penguasaan atau pemilikan dalam wilayah perairan pantai dangkal (shallow shore-water), misalnya: rumah-rumah nelayan di atas air laut, bagan-bagan dan keramba ikan, pelantar (“jalan” di atas air laut sebagai akses publik yang dikenal di Kepulauan Riau), dan sebagainya;

3) Adanya kekosongan hukum dalam pengaturan hak-hak kepemilikan di

wilayah ini, padahal sistem kepemilikan lahan telah berlaku di masyarakat. Sejalan dengan itu, maka obyek “Marine Cadsatre” dalam perspektif hukum agraria Indonesia harus dapat membedakan antara ruang perairan pantai dan

ruang laut. Perlunya pemilahan kedua wilayah ini secara spesifik karena adanya

perbedaan substansial di antara keduanya, meskipun keduanya merupakan satu wilayah yang tidak terpisahkan. Perbedaan dimaksud adalah:

1) Ruang perairan pantai merupakan wilayah yang sangat rentan (fragile), baik ditinjau dari aspek fisik dan ekosistem (merupakan wilayah “tumpahan” seluruh dampak aktifitas di daratan yang terbuang atau mengalir ke laut), maupun ditinjau dari aspek hukum dan sosial-ekonomi, yaitu sangat berhubungan erat dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (land tenureships) daratan pesisir;

2) Ruang perairan pantai merupakan wilayah perairan laut dangkal, termasuk wilayah yang pada saat air laut surut nampak sebagai ruang daratan, dan oleh karena itu tenureship system lahan ini dapat dicirikan oleh tipologi atau karakteristik tenureships daratan (land-based tenure) maupun ruang laut (sea- based tenure) secara seimbang; Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, maka jenis-jenis hak yang dapat dipunyai oleh perseorangan serta badan hukum publik dan privat, adalah hak-hak menurut UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) dan peraturan perundang-undangan lainnya.

41

3) Ruang laut, yaitu ruang laut teritorial di luar perairan pantai, di lain pihak, umumnya tidak berkaitan langsung dengan tenureship system di daratan; Hak-hak yang sesuai di wilayah ini adalah Hak Guna Perairan, kecuali untuk konstruksi pengeboran minyak lepas pantai (rigs) dan bagan-bagan ikan dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan.

Dalam bab hasil penelitian dan pembahasan akan ditelaah mengenai hak- hak di wilayah perairan pantai dan laut dalam konteks lokus penelitian khususnya, dan di Indonesia pada umumnya.

2.8. Pemetaan dan Penetapan Hak-Hak di Wilayah Pesisir dan Laut Dalam

Dokumen terkait