• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PEMBAHASAN

5.2. Asupan Kalsium

Dari tabel 4.11 diketahui bahwa terdapat remaja putri vegan yang mengonsumsi makanan jenis kacang-kacangan dengan frekuensi lima kali dalam sehari, seperti sup kacang merah dikonsumsi satu kali, yakni pada waktu makan pagi pada pukul 07.30 WIB. Sup kacang merah biasanya dikonsumsi dengan ukuran satu mangkok. Hal ini diketahui dari hasil wawancara peneliti terhadap responden. Satu mangkok biasanya berisi lima sendok makan kacang merah. Menurut Supariasa (2001), lima sendok makan kacang merah sama dengan 50 gram. Adapun jumlah kalsium pada 100 gram kacang merah, yakni 293 mg, sehingga remaja putri vegan yang mengonsumsi semangkok sup kacang merah pada waktu makan pagi sama dengan mengonsumsi kalsium sebanyak 147 mg.

Selain itu, tahu dan tempe juga dikonsumsi oleh remaja putri vegan lebih dari satu kali, yakni pada waktu makan siang pada pukul 12.30 WIB dan makan malam pada pukul 18.00 WIB. Remaja putri vegan biasanya mengonsumsi tahu sebanyak satu potong besar dan tempe sebanyak 2-4 potong sedang setiap kali makan. Hal tersebut juga diketahui dari hasil wawancara peneliti terhadap responden.

Menurut Supariasa (2001), satu potong besar tahu mempunyai berat 100 gram, sedangkan untuk ukuran dua potong sedang tempe mempunyai berat 50 gram. Jumlah kalsium yang terdapat pada 100 gram tahu, yakni sebanyak 124 mg, sedangkan jumlah kalsium yang terdapat pada 100 gram tempe, yakni sebanyak 129 mg, sehingga remaja putri vegan yang mengonsumsi satu potong besar tahu dengan frekuensi lebih dari satu kali dalam sehari sama dengan mengonsumsi 248 mg kalsium dan remaja putri vegan yang mengonsumsi tempe sebanyak 2-4 potong sedang dengan frekuensi lebih dari satu kali dalam sehari sama dengan mengonsumsi 129-258 mg kalsium.

Oleh sebab itu, remaja putri vegan yang mengonsumsi kacang merah dengan frekuensi satu kali dalam sehari, serta tahu dan tempe dengan frekuensi lebih dari satu kali dalam sehari, sama dengan mengonsumsi 524-653 mg kalsium setiap hari.

Selain makanan jenis kacang-kacangan, remaja putri vegan tersebut juga mengonsumsi makanan jenis sayuran hijau. Sayuran hijau yang biasanya dikonsumsi, yakni brokoli, bunga kol, sawi, buncis, daun singkong dan kangkung, yang hanya direbus begitu saja lalu dikonsumsi pada pukul 10.00 WIB sebagai makanan selingan, pukul 12.30 WIB pada waktu makan siang dan pukul 18.00 WIB pada waktu makan malam. Remaja putri vegan tersebut mengonsumsi sayuran hijau sebanyak setengah mangkok. Menurut Supariasa (2001), satu mangkok sayuran mempunyai berat 100 gram. Dengan melihat frekuensi makan sayuran hijau yang dikonsumsi oleh remaja putri vegan dengan menggunakan formulir food frequency, rata-rata remaja putri vegan tersebut mengonsumsi 362-427 mg kalsium setiap hari.

Oleh sebab itu, remaja putri vegan yang mengonsumsi makanan jenis kacang- kacangan dan sayuran hijau dengan frekuensi yang cukup sama dengan mengonsumsi 886-1080 mg kalsium setiap hari. Menurut Depkes (2004), kebutuhan kalsium untuk remaja putri dianjurkan sebanyak 800-1000 mg, sehingga remaja putri vegan yang mengonsumsi makanan jenis kacang-kacangan dan sayuran hijau dengan frekuensi yang cukup dan jumlah yang sesuai dengan anjuran, dapat memenuhi kebutuhan kalsium setiap hari.

Terdapat juga remaja putri vegan yang mengonsumsi makanan jenis kacang- kacangan dengan frekuensi yang cukup, yakni lima kali dalam sehari. Adapun jenis makanan yang dikonsumsi tersebut, yakni satu mangkok sup kacang merah sebagai sarapan pada pagi hari dengan ukuran lima sendok makan setiap kali makan, sehingga jumlah kalsium yang terdapat pada satu mangkok sup kacang merah berkisar 147 mg.

Remaja putri vegan tersebut juga mengonsumsi satu potong besar tahu dengan frekuensi lebih dari satu kali dalam sehari, sehingga dalam sehari jumlah kalsium yang diperoleh dari mengonsumsi tahu, yakni sebanyak 248 mg. Selain itu, remaja putri vegan tersebut juga mengonsumsi 2-4 potong sedang tempe sebagai lauk untuk makan siang dan makan malam, sehingga jumlah kalsium yang diperoleh dengan mengonsumsi tempe, yakni sebanyak 129-258 mg. Namun remaja putri vegan tersebut mengonsumsi jenis sayuran hijau dengan frekuensi yang jarang, yakni empat sampai enam kali dalam seminggu ataupun satu sampai tiga kali dalam seminggu. Jenis sayuran yang biasanya mereka konsumsi setiap hari, yakni sup labu, sup kentang, sup jagung dan sup wortel, yang merupakan makanan jenis sayuran yang

mengandung kalsium dalam jumlah yang sedikit. Oleh sebab itu, remaja putri vegan tersebut kurang mendapatkan asupan kalsium dari jenis makanan sayuran hijau, hanya makanan jenis kacang-kacangan sebagai sumber kalsium mereka.

Asupan kalsium yang mereka konsumsi sekitar 524-653 mg setiap hari, sedangkan menurut Depkes (2004), remaja putri disarankan untuk mengonsumsi kalsium sebanyak 800-1000 mg setiap hari. Hal ini menunjukkan bahwa remaja putri vegan tersebut mendapatkan asupan kalsium hanya dari jenis makanan kacang- kacangan dengan frekuensi yang cukup, namun jumlah kalsium yang diperoleh tidak sesuai dengan anjuran, sehingga mengalami defisiensi kalsium.

Selain itu, terdapat juga remaja putri vegan yang mengonsumsi makanan jenis kacang-kacangan dengan frekuensi kurang dari lima kali dalam sehari. Adapun jenis makanan kacang-kacangan yang dikonsumsi oleh remaja putri vegan tersebut, yakni tempe dan tahu yang dikonsumsi dengan frekuensi satu kali dalam sehari, yakni pada waktu makan siang saja. Remaja putri vegan tersebut mengonsumsi satu potong besar tahu dan 2-4 potong sedang tempe dengan frekuensi satu kali dalam sehari, yang artinya remaja putri vegan tersebut sama dengan mengonsumsi 189-253 mg kalsium setiap hari. Hal ini disebabkan karena mereka mengonsumsi nasi hanya satu kali dalam sehari, yakni pada waktu makan siang, sedangkan untuk makan malam, mereka mengonsumsi sayur-sayuran rebus tanpa nasi dan lauk. Untuk makan pagi biasanya mereka mengonsumsi nasi goreng atau mi goreng. Sayur-sayuran rebus, seperti brokoli, bunga kol, sawi, buncis, kangkung dan daun singkong yang biasanya dikonsumsi setengah mangkok pada pukul 10.00 WIB sebagai makanan selingan dan pukul 18.00 WIB untuk makan malam, sedangkan untuk makan siang, biasanya

remaja putri vegan tersebut mengonsumsi sayur jenis sup, seperti sup labu, sup kentang, sup jagung dan sup wortel. Dengan melihat frekuensi makan sayuran hijau yang dikonsumsi oleh remaja putri vegan dengan menggunakan formulir food frequency, rata-rata remaja putri vegan tersebut mengonsumsi 217-300 mg kalsium setiap hari.

Oleh sebab itu, remaja putri vegan tersebut mengonsumsi kalsium sekitar 406- 553 mg setiap hari, sedangkan menurut Depkes (2004), remaja putri disarankan untuk mengonsumsi kalsium sebanyak 800-1000 mg setiap hari. Hal ini menunujukkan bahwa remaja putri vegan tersebut mendapatkan asupan kalsium hanya dari jenis makanan sayuran hijau dengan frekuensi yang cukup, namun jumlah kalsium yang diperoleh tidak sesuai dengan anjuran, sehingga mengalami defisiensi kalsium.

Terdapat juga remaja putri vegan yang mengonsumsi makanan jenis kacang- kacangan dengan frekuensi tidak cukup. Sebagian remaja putri vegan tersebut mengonsumsi tahu saja atau tempe saja sebagai lauk dengan frekuensi lebih dari satu kali dalam sehari, yakni pada waktu makan siang dan makan malam. Remaja putri vegan tersebut mengonsumsi tahu dengan ukuran satu potong besar yang dikonsumsi lebih dari satu kali dalam sehari, sehingga jumlah kalsium yang dikonsumsi sebanyak 248 mg. Selain itu, ada juga sebagian remaja putri vegan yang mengonsumsi tempe sebanyak 2-4 potong sedang dengan frekuensi lebih dari satu kali dalam sehari, sehingga remaja putri vegan tersebut sama dengan mengonsumsi kalsium sebanyak 129-258 mg. Sebagian remaja putri vegan yang lain juga mengonsumsi jamur sebagai lauk pada waktu makan siang maupun makan malam. Untuk makan pagi biasanya mereka lebih sering mengonsumsi nasi goreng ataupun mi goreng daripada

mengonsumsi makanan jenis kacang-kacangan, seperti kacang merah. Selain jarang mengonsumsi makanan jenis kacang-kacangan, mereka juga jarang mengonsumsi makanan jenis sayuran hijau. Alasan mereka jarang mengonsumsi sayuran hijau dikarenakan mereka kurang menyukai sayuran hijau yang direbus dan lebih menyukai jenis sayuran berupa sup, seperti sup labu, sup kentang, sup jagung dan sup wortel.

Oleh sebab itu, remaja putri vegan tersebut mengonsumsi kalsium sekitar 377- 506 mg setiap hari, sedangkan menurut Depkes (2004), remaja putri disarankan untuk mengonsumsi kalsium sebanyak 800-1000 mg setiap hari. Hal ini menunujukkan bahwa remaja putri vegan tersebut kurang mendapatkan kalsium, baik dari jenis makanan kacang-kacangan maupun sayuran hijau karena frekuensi makan makanan kaya kalsium tersebut tidak cukup, sehingga jumlah kalsium yang diperoleh tidak sesuai dengan anjuran, akibatnya remaja putri vegan tersebut mengalami defisiensi kalsium.

Dari seluruh remaja putri vegan tersebut, terdapat juga remaja putri vegan yang mengonsumsi jenis makanan kacang-kacangan, yakni tahu dengan frekuensi empat sampai enam kali dalam seminggu. Remaja putri vegan tersebut biasanya mengonsumsi jamur untuk makan siang dan makan malam, begitupun dengan jenis sayuran hijau yang dikonsumsi dengan frekuensi yang jarang, yakni empat sampai enam kali dalam seminggu. Jenis sayuran yang biasa dikonsumsi oleh remaja putri vegan tersebut, yakni sup labu dan sup wortel. Oleh sebab itu, remaja putri vegan tersebut kurang mendapatkan asupan kalsium, baik dari jenis makanan kacang- kacangan dan sayuran hijau, akibatnya jumlah kalsium yang diperoleh tidak sesuai dengan anjuran, sehingga pola makan remaja putri vegan tersebut digolongkan dalam

kategori miskin kalsium. Namun, remaja putri vegan tersebut mengonsumsi makanan tambahan, yakni suplemen kalsium dan vitamin C. Oleh sebab itu, peneliti mengkategorikan remaja putri vegan tersebut memiliki asupan kalsium yang cukup, sehingga dikategorikan menjadi remaja putri vegan yang mempunyai pola makan kaya kalsium, walaupun sebenarnya kalsium lebih baik dikonsumsi dari makanan nabati secara alami.

5.3Tingkat Dismenore

Karakteristik paling subjektif pada nyeri adalah tingkat dismenore. Universal pain assessment tool merupakan sebuah alat penilaian sakit yang dimaksudkan untuk membantu remaja putri vegan di vihara Maitreya Medan untuk menilai rasa sakit saat menstruasi. Ada dua skala untuk menilai rasa sakit/nyeri dengan menggunakan universal pain assessment tool, yakni dengan skala penilaian numerik/numerical ratting scale (dengan menggunakan skala 0-10), dan skala pendeskripsi verbal/verbal descriptor scale (dengan menggunakan ciri wajah dan skala toleransi aktivitas). Namun, untuk memudahkan remaja putri vegan dalam mendeskripsikan dismenore yang dirasakan, maka digunakan skala yang kedua, yakni skala pendeskripsi verbal/verbal descriptor scale, dengan memilih salah satu ciri wajah dengan skala toleransi aktivitasnya pada kolom yang tersedia di bawah gambar yang tertera pada universal pain assessment tool.

Dari tabel 4.13 dapat diketahui beberapa remaja putri vegan di vihara Maitreya Medan tidak mengalami dismenore. Remaja putri vegan tersebut memilih kolom pertama dari lembar universal pain assessment tool. Kolom pertama dari universal pain assessment tool tersebut menunjukkan bahwa tidak ada keluhan nyeri

saat menstruasi. Kolom pertama yang menunjukkan skala deskriptor yang pertama, yakni tidak nyeri dapat dideskripsikan dengan ciri wajah yang dapat tersenyum karena tidak merasakan sakit sewaktu menstruasi.

Pada kolom kedua dari universal pain assessment tool yang menunjukkan bahwa terdapat keluhan dismenore ringan, dipilih oleh sebagian besar remaja putri vegan. Nyeri ringan ini dideskripsikan dengan ciri wajah yang serius, namun nyeri yang dirasakan dapat diabaikan karena tidak terlalu mengganggu.

Pada kolom ketiga dan keempat dari universal pain assessment tool, menunujukkan bahwa terdapat keluhan dismenore sedang yang dipilih oleh beberapa remaja putri vegan. Nyeri sedang ini dapat mengganggu tugas, seperti belajar, mengerjakan tugas sekolah dan lain sebagainya, serta mengganggu konsentrasi. Skala deskriptor verbal yang kelima dan keenam, yakni nyeri berat dan tak tertahankan tidak dipilih oleh remaja putri vegan. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa tidak ada keluhan dismenore nyeri berat dan tak tertahankan yang dirasakan oleh remaja putri vegan di vihara Maitreya Medan.

Dokumen terkait