• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS BANGUNAN PANTI ASUHAN VINCENTIUS PUTRA

3.3 Atap Bangunan

Atap merupakan bagian atas dari bangunan yang berguna sebagai naungan terhadap panas maupun jatuhnya air hujan. Di Eropa terdapat beberapa atap yang dikenal secara umum diantaranya; atap gable, hip, gambrel, dan manshard. Atap

gable adalah suatu atap yang teratur meninggi lurus dan berbentuk seperti huruf V

terbalik memenuhi kemiringan atap (Conway & Roenisch, 1994: 83).

Gambar 3.9 Jenis Atap Tradisional (Eropa) (Weidhaas, 1984:187)

Atap hip adalah suatu atap yang konstruksinya lebih rumit bila dibandingkan dengan atap gable, tetapi biasanya digunakan dengan puncak atap yang rendah pada rumah yang tidak bertingkat (Weidhaas, 1984:187). Atap

gambrel merupakan suatu bentuk atap yang bercirikan oleh sepasang bubungan

(Bucher, 1996,1984:203). Atap mansard adalah dua bubungan atap dengan langkah/tingkatan rendah, nama jenis atap ini diberikan oleh arsitek asal Prancis Francois mansart (1598-1666) (Bucher, 1996: 281).

Gambar 3.10 Tampak Depan Atap Bangunan Panti Asuhan Vincentius Putra (Dok: Dinas Kebudayaan Dan Permuseuman DKI Jakarta, Telah Diolah Kembali)

Pada bangunan Panti Asuhan Vincentius Putra, bentuk atapnya memiliki kemiripan dengan jenis atap hip. Atap jenis ini memiliki kompenen seperti ridge

board (papan bubungan), common rafters (kasok biasa), hip rafters (kasok

pinggul), dan jack rafter (kasok dongkrak). Pada umumnya memiliki kemiringan 45 derajat. Elemen yang melekat pada atap bangunan ini yakni adanya dormer dan cerobong asap semu.

Gambar 3.11 Komponen dari Atap Hip

Bentuk jenis atap hip ini pada arsitektur Jawa dikenal juga sebagai atap limasan. Bentuk limasan mempunyai denah empat persegi panjang, dengan empat bidang atap, yakni dua bidang berbentuk segitiga sama kaki yang disebut”kejen” atau “cocor”, sedang dua bidang lainnya berbentuk jajar genjang sama sisi yang disebut”brunjung”(Budihardjo, 1986:50). Agaknya atap hip dan limasan memiliki kemiripan dalam segi bentuk, meskipun demikian adanya pemakaian domer pada atap bangunan ini lebih memiliki kesamaan dengan atap yang terdapat di Eropa.

Brunjung

      Kejen 

Gambar 3.12 Bentuk Atap Limasan (Budihardjo, 1986:58)

3.3.1 Cerobong Asap Semu

Cerobong asap menjadi pelengkap yang penting pada penyelesaian dari atap bangunan klasik Eropa (Janse,TT:84). Sebuah cerobong asap dapat diletakkan pada bubungan atap, pada sisi bagian atap atau bagian ujung dari atap

hip (Brunskill, 1971: 90). Pemakaian cerobong asap di Eropa secara fungsional

untuk menyalurkan asap pembakaran dari perapian/fireplace. Sedangkan di Hindia Belanda cerobong asap tampaknya akan kurang dibutuhkan dan mengalami perubahan bentuk, digantikan dengan cerobong asap semu sebagai bentuk pelengkap dekoratif pada atap bangunan.34

      

34

Di Hindia Belanda cerobong asap yang menjulang tinggi di negeri Belanda, digantikan menjadi ”cerobong asap semu” yang berukuran pendek, atau diwujudkan dengan hiasan batu berukir ragam hias bunga (Soekiman, 2000:271).

Pemakaian terhadap cerobong asap semu pada bangunan Panti Asuhan Vincentius Putra dapat juga dijumpai pada berbagai bangunan dari karya Hulswit & Cuyper di awal abad 20 misalnya Javasche Bank Batavia, Javasche Bank Bandung, kantor lama HVA (Handelsvereniging Amsterdam) Surabaya dan lainnya dengan bentuk yang bervariasi tetapi memiliki keletakan yang sama yakni di kedua ujung bumbungan atap.

Gambar 3.13 Cerobong Asap Semu Gambar 3.14. Cerobong Asap Semu Javacshe Panti Asuhan Vincentius Putra Bank Bandung dan Batavia

(Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, (Sumalyo, 1995:152-166) Telah Diolah Kembali)

3.3.2 Penutup Atap

Penutup atap sangatlah penting, karena fungsinya melindungi bangunan dan penghuninya dari teriknya matahari dan hujan. Atap sangat mutlak harus bebas dari segala kebocoran, oleh karena itu penutup atap harus bebas dari bentuk yang berliku-liku yang dapat mengundang kebocoran.

Bentuk dan bahan penutup atap sangat beragam, di Eropa sendiri dikenal beberapa jenis bahan penutup atap seperti thatch, slate, stone flage, plain tiles, dan pantile. Thatch secara prinsipnya material ini menggunakan jerami/merang gandum (Brunskill, 1971:80). Thatch adalah material yang relatif mudah tidak perlu membutuhkan sebuah konstruksi atap khusus dan dapat digunakan dengan material dinding seadanya.

Gambar 3.15 Jenis Penutup Atap di Eropa (Brunskill, 1971:81-89)

Slate adalah batuan metamorphic dapat digunakan juga sebagai lantai. Slate sangat populer karena daya tahannya terhadap api dan sangat estetis, karena slate tersedia dengan berbagai macam warna (merah, hijau, dan biru)

menjadikannya material yang efektif untuk pola dekoratif.

Stone flage pada dasarnya adalah batu pasir yang dibuat tipis dengan

tekstur halus, biasanya dipasang pada derajat yang rendah sekitar 30 derajat. Pada salah satu sisi dari Stone Flage berbentuk setengah lingkaran dan diberi lubang. Adanya lubang tersebut berfungsi sebagai pengait yang dalam pemasangannya dipaku pada konstruksi atap bertujuan sebagai penguat agar tidak jatuh.

Plain tiles terbuat dari tanah liat berbentuk datar cenderung agak

cembung. Pada tepi sisi bagian dalamnya terdapat dua buah tonjolan yang berfungsi sebagai pengait. Penutup atap jenis ini biasanya dipasang pada derajat diantara 45 dan 60 derajat. Pantiles memiliki kesamaan dengan plain tiles pada bahan dan pembuatannya. Perbedaan yang terlihat yaitu pada bentuk dan ukurannya. Pada pantiles bentuk penampang sampingnya seperti huruf S dan pada umumnya memiliki ukuran dengan panjang 13 ½ cm dan lebarnya 9 ½ cm. Pantiles dapat diletakkan antara 30 sampai 35 derajat (Brunskill, 1971:88).

Penutup atap jenis pantiles atau yang lebih dikenal sebagai genteng banyak dijumpai pada bangunan kolonial di Batavia termasuk juga pada bangunan Panti Asuhan Vincentius Putra. Keberadaan jenis ini pun berkembang di Belanda. Pada akhir abad 17 Inggris mengimpor pantiles dari Holland (Brunskill, 1971:88). Bila dibandingkan dengan keempat jenis lainnya, agaknya jenis ini lebih populer dan mempunyai kelebihan dari keempat jenis tersebut, yakni dengan penampang samping berbentuk huruf S sehingga antar sisi genteng saling mengait, memungkinkan tidak adanya celah untuk masuknya air hujan. Menurut Budihardjo (1983:80) penutup atap dari genteng sangat baik sekali dan dapat bertahan ratusan tahun bila kualitas genteng itu dibuat dari tanah liat tanpa adanya campuran semen, karena semen dapat membuat keretakan-keretakan halus yang berakibat genteng tidak tahan lama.

Dokumen terkait