• Tidak ada hasil yang ditemukan

Atas Koreksi atas Biaya Bunga sebesar Rp 511.855.556,00;

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Pasal 9 ayat (8) huruf b:

C. Atas Koreksi atas Biaya Bunga sebesar Rp 511.855.556,00;

1) Bahwa berdasarkan uji bukti yang ditandatangani oleh Petugas Banding/Pemohon PK adalah sebagai berikut:

Dalam uji bukti Termohon PK memberikan perjanjian dan rekening Koran.

Wajib pajak telah diminta data mengenai tujuan peminjaman dana, dan arus uang yang dapat membuktikan adanya manfaat dilakukan pinjaman uang tersebut, namun Termohon PK tidak memberikan data dimaksud.

Bahwa berdasarkan data, fakta serta ketentuan yang berlaku, evaluator berpendapat sebagai berikut:

a. Bahwa UU KUP menyatakan

Pasal 1 angka 29:

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:

29. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.

Pasal 28 ayat (3):

Pembukuan atau pencatatan tersebut harus

diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.

b. Bahwa UU PPN menyatakan:

Pasal 1 angka 24:

Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 47 dari 58 halaman. Putusan Nomor 1607/B/PK/PJK/2017 penerimaan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak; Pasal 9 ayat (2):

Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama. Pasal 9 ayat (8) huruf b:

Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk:

b. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;

Pasal 13 ayat (5):

Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:

h. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;

i. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak; j. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau

Penggantian, dan potongan harga; k. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;

l. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut; m. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur

Pajak; dan

n. Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

c. Bahwa berdasarkan Pasal 5 huruf e angka 1 PER-9/PJ/2010 menyatakan bahwa “Bukti kompeten adalah bukti yang valid dan relevan”;

d. Bahwa berdasarkan KEP-754/PJ./2001, prosedur untuk melakukan pengujian arus barang dan atau arus uang hanya dilakukan apabila atas konfirmasi yang dilakukan

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 48 dari 58 halaman. Putusan Nomor 1607/B/PK/PJK/2017

tidak atau belum dijawab, bukan atas hasil konfirmasi yang dijawab dengan jawaban "Tidak Ada";

e. bahwa namun demikian dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-10/PJ.52/2006 dinyatakan: Bahwa pelaksanaan konfirmasi, baik untuk Pajak

Masukan, Pajak Keluaran, PIB, maupun PEB merupakan salah satu prosedur pemeriksaan yang wajib dilakukan, namun bukan merupakan satu-satunya alat uji yang dipakai untuk meyakini bahwa transaksi tersebut benar adanya baik secara formal maupun material. Untuk meyakini kebenaran suatu transaksi agar pemeriksa mengajukan pengujian lainnya seperti arus uang, arus barang, arus dokumen, serta meneliti dokumen-dokumen pendukung lainnya yang berkenaan dengan transaksi tersebut.

f. Bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyebutkan bahwa:

Pasal 76:

“Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1).” Memori penjelasan Pasal 76 menyebutkan:

“Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-Undang Perpajakan.

Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak.”

Pasal 78:

“Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim.”

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 49 dari 58 halaman. Putusan Nomor 1607/B/PK/PJK/2017 Memori penjelasan Pasal 78 menyebutkan:

“Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.”

Berdasarkan ketentuan di atas, Majelis mempunyai kewenangan dalam menentukan proses uji bukti dan menentukan penilaian atas pembuktian tersebut;

2) Bahwa terhadap pertimbangan Majelis yang membatalkan koreksi Pemohon PK sangat tidak setuju karena pertimbangan Majelis Hakim tersebut tidak sesuai dengan fakta pembuktian yang nyata-nyata terungkap di persidangan dan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, yaitu sebagai berikut:

a) Dalam UU KUP pada dasarnya memuat hal-hal sebagai berikut:

1. Kewajiban Wajib Pajak meliputi:

a. Mendaftarkan diri untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan NPWP sebagai tanda pengenal bagi Wajib Pajak yang bersangkutan (Pasal 2).

b. Menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), baik SPT-Masa maupun SPT-Tahunan (Pasal 3). c. Pembayaran pajak, baik berupa pembayaran pajak

masa (PPh Pasal 21, 22, 23, 25 dan 26) maupun pembayaran pajak tahunan (PPh pasal 29 dan kekurangan PPh Pasal 21).

d. Menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan (Pasal 28).

e. Memberikan keterangan dan penjelasan yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan oleh aparat perpajakan (Pasal 29).

2. Hak Wajib Pajak, meliputi:

a. Menunda penyampain SPT (Pasal 3). b. Membetulkan SPT (Pasal 8).

c. Menunda pembayaran pajak (Pasal 10).

d. Restitusi/kompensasi kelebihan pembayaran (Pasal 11).

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 50 dari 58 halaman. Putusan Nomor 1607/B/PK/PJK/2017

e. Mengajukan keberatan atas surat-surat ketetapan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan atas pemotongan oleh pihak ketiga serta mengajukan banding kepada Badan Peradilan Pajak (Pasal 25).

3. Wewenang pemerintah sebagai pemungutan pajak yang dalam hal ini dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, meliputi:

a. Melakukan penelitian terhadap SPT secara normal.

b. Melakukan pemeriksaan terhadap usaha Wajib Pajak sesuai dengan data dan informasi perusahaan.

c. Melakukan penyidikan terhadap usaha Wajib Pajak yang melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

d. Melakukan penetapan pajak.

e. Melakukan penagihan pajak dengan surat paksa. f. Melakukan pengenaan saksi administrasi dan

sanksi pidana..

4. Kewajiban pemerintah sebagai pemungut pajak. 5. Ketentuan sanksi administrasi dan sanksi pidana

terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan perpajakan.

3) Bahwa suatu masalah yang sangat penting dalam hukum pembuktian adalah masalah beban pembuktian. Pembagian beban pembuktian harus dilakukan dengan adil, tidak berat sebelah, karena suatu pembagian beban pembuktian yang berat sebelah a priori menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampau berat, dalam jurang kekalahan.

Menurut Malikul Adil dalam bukunya: “Pembaharuan Hukum Perdata kita” mengatakan bahwa “Hakim yang insaf akan arti kedudukannya tidak akan lupa bahwa membagi-bagi beban pembuktian, ia harus bertindak jujur dan sportif, tidak akan membebankan kepada satu pihak untuk membuktikan hak yang tidak dapat dibuktikan”. Dan penetapan beban

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 51 dari 58 halaman. Putusan Nomor 1607/B/PK/PJK/2017

pembuktian itu akhirnya banyak bergantung pada keadaan in

concreta.

Membuktikan itu tidak selalu mudah. Kita tidak selalu dapat membuktikan kebenaran suatu persitiwa. Terutama untuk membuktikan suatu negatif, sesuatu hal yang negatif itu pada umumnya tidak mungkin (negative non sunt probanda); membuktikan bahwa tidak berhutang, tidak menerima uang, pada pokoknya membuktikan yang serba tidak itu pada umumnya tidak mungkin atau sukar. Oleh karena itu maka pembuktian suatu negatie should not be forced on a person

without very strong reasons, kata Paton. Dalam hubungan ini

Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 15 Maret 1972 Nomor 547 K/Sip/1971 memutuskan, bahwa pembuktian yang diletakkan kepada pihak yang harus membuktikan sesuatu yang negatif adalah lebih berat dari pihak yang harus membuktikan sesuatu yang positif yang tersebut terakhir ini termasuk pihak yang lebih mampu untuk membuktikan.

Dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang pembuktian yang dapat merupakan pedoman bagi Hakim: a. Teori Pembuktian ini maka siapa yang mengemukakan

sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau menyangkalnya. Dasar hukum dari pada teori ini ialah pendapat bahwa hal-hal yang negatif tidak mungkin dibuktikan. Peristiwa negatif tidak dapat menjadi dasar dari suatu hak, sekalipun pembuktiannya mungkin, hal ini tidaklah penting dan oleh karena itu tidak dapat dibebankan kepada seseorang. Teori bloot affirmantief ini sekarang telah ditinggalkan.

b. Teori Hukum Subjektif; menurut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum subjektif atau bertujuan mempertahankan hukum subjektif, dan siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu hak harus membuktikan semuanya. Untuk mengetahui peristiwa mana yang harus dibuktikan dibedakan antara peristiwa umum dan peristiwa-peristiwa khusus. Yang terakhir ini dibagi lebih lanjut menjadi peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 52 dari 58 halaman. Putusan Nomor 1607/B/PK/PJK/2017

(rechtserzeugende tatsachen), peristiwa khusus yang bersifat menghalang-halangi timbulnya hak (rechshindernde tatschen) dan peritiwa khusus yang bersifat membatalkan hak (rechtsvernichtende tatschen). Penggugat berkewajiban membuktikan adanya peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak. Sedangkan Tergugat harus membuktikan tidak adanya peristiwa-peristiwa (syarat-syarat) umum dan adanya peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat menghalang-halangi dan yang bersifat membatalkan. Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya, bahwa kalau penggugat mengajukan tuntutan pembayaran harga penjualan, maka Tergugat harus membuktikan adanya persesuaian kehendak, harga serta penyerahan, sedangkan kalau Tergugat menyangkal gugatan Penggugat dengan menyatakan misalnya bahwa terdapat cacat pada persesuaian kehendak atau bahwa hak menggugat itu batal karena telah dilakukan pembayaran maka Tergugatlah yang harus membuktikannya.

Teori ini hanya dapat memberi jawaban apabila gugatan Penggugat didasarkan atas hukum subjektif. Ini tidak selalu demikian, misalnya pada gugat cerai. Keberatan-keberatan lainnya ialah, bahwa teori ini terlalu banyak kesimpulan yang abstrak dan tidak memberi jawaban atas persoalan-persoalan tentang beban pembuktian dalam sengketa yang bersifat prosesuil.

Didalam praktek teori ini sering menimbulkan ketidakadilan. Hal ini diatasi dengan memberi kelonggaran kepada Hakim untuk mengadakan pengalihan beban pembuktian.

c. Teori Hukum Objektif; menurut teori ini, mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti bahwa Penggugat minta kepada Hakim agar Hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hukum objektif terhadap peristiwa yang ketentuan-ketentuan hukum objektif terhadap persitiwa yang diajukan. Oleh karena itu Penggugat harus membuktikan kebenaran dari pada peristiwa yang

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 53 dari 58 halaman. Putusan Nomor 1607/B/PK/PJK/2017

diajukannya dan kemudian mencari hukum objektifnya untuk diterapkan pada peristiwa tersebut. Siapa yang misalnya harus mengemukakan adanya suatu persetujuan harus mencari dalam undang-undang (hukum objektif) apa syarat-syarat sahnya persetujuan (Pasal 1320 BW) dan kemudian memberi pembuktiannya. Ia tidak perlu misalnya membuktikan adanya cacat dalam persesuaian kehendak, sebab hal itu tidak disebutkan dalam Pasal 1320 BW. Tentang adanya cacat ini harus dibuktikan oleh pihak lawan.

Hakim yang tugasnya menerapkan hukum objektif pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak hanya dapat mengabulkan gugatan apabila unsur-unsur yang ditetapkan oleh hukum objektif ada. Jadi atas dasar ini hukum objektif yang diterapkan dapat ditentukan pembagian beban pembuktian.

Teori ini sudah tentu tidak akan dapat menjawab persoalan-persoalan yang tidak diatur oleh undang-undang. Selanjutnya teori ini bersifat formalistis.

d. Teori hukum publik. Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu peristiwa didalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu Hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Disamping itu para pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana. e. Teori Hukum Acara. Asas Audi Et Alteram Partem atau

juga Asas Kedudukan Prosesuil yang sama dari pada pihak dimuka Hakim merupakan Asas Pembagian Beban Pembuktian menurut teori ini. Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak. Oleh karena itu Hakim harus membebani pada pihak dengan pembuktian secara seimbang atau patut. Kalau Penggugat menggugat Tergugat mengenai perjanjian jual beli, maka sepatutnyalah kalau Penggugat membuktikan tentang adanya jual beli itu dan bukannya Tergugat. Demikian pula siapa yang menguasai barang

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 54 dari 58 halaman. Putusan Nomor 1607/B/PK/PJK/2017

tidak perlu membuktikan bahwa ia berhak atas barang tersebut. sebaliknya siapa yang hendak menuntut suatu barang dari orang lain ia harus membuktikan bahwa ia berhak atas barang tersebut.

4) ”Membuktikan” menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar FH-UGM mengandung beberapa pengertian: a. Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah;

Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.

b. Membuktikan dalam arti konvensionil;

Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan: - Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/

bersifat instuitif (conviction intime);

- Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee);

c. Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis; Didalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan.

Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak.

Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan.

Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian ”historis” yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar.

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 55 dari 58 halaman. Putusan Nomor 1607/B/PK/PJK/2017

Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan

Dokumen terkait