• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAK ATAS LINGKUNGAN HIDUP : KRISIS RENCANA TATA RUANG WILAYAH MALANG

A. Pendahuluan

Memaknai permasalahan lingkungan hidup bukan hanya identik dengan permasalahan pembuangan limbah dan pencemaran, kebakaran hutan, atau terus bertambahnya daftar spesies-spesies langka yang musnah. Di dalam lingkungan hidup terdapat materi kehidupan tentang hak-hak dasar (basic rights) manusia serta prinsip keadilan lingkungan (environmental justice) serta akses yang setara terhadap sumber-sumber kehidupan. Ketiganya adalah satu kesatuan dalam sebuah kebijakan pembangunan (kota/negara) yang mengedepankan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam pembangunan. Kegagalan sebuah negara menterjemahkan lingkungan hidup, secara langsung akan berakibat pada elemen-elemen lingkungan hidup.

Perjalanan waktu bangsa ini, seiring dengan pola gerak pembangunan internasional yang semakin hari semakin menggerus eksistensi kelestarian lingkungan hidup, diwarnai dengan deret panjang tragedi lingkungan hidup yang terjadi dan mengancam kehidupan bumi dan manusia. Tragedi-tragedi berdatangan seolah menjadi schedule rutin tahunan yang selalu bisa diprediksi kehadirannya dan akibat yang ditimbulkannya, dan seolah tidak memberikan pelajaran yang penting untuk bisa diantisipasi. Bumi yang secara alami akan bergolak, diperparah dengan rendahnya daya dukung/kemampuan manusia untuk mengantisipasinya baik melalui aktivitas-aktivitas yang secara langsung merusak maupun melalui upaya-upaya konspiratif politik kebijakan lingkungan hidup yang eksploitatif.

Tata pembangunan kota misalnya, ruang-ruang publik bagi kota-kota besar selalu dianggap sebagai investasi yang niscaya dipersiapkan untuk ruang-ruang ekonomi sehingga diharapkan secara ekonomi akan memberikan sejumlah income bagi sebuah pemerintahan kota. Sedangkan kebijakan penataan tata ruang dan wilayah kota bukan merupakan panduan utama, bahkan justru menjadi alat legitimasi bagi pembangunan yang meng-invasi ruang-ruang publik.

Tulisan ini tidak dalam kapasitas untuk memberikan solusi atas compang-camping tata ruang dan wilayah kota Malang serta problem penegakannya, namun sekedar memberikan potret wajah buram visi penataan kota Malang (dan juga tipikal kota-kota lainnya di Indonesia), merumuskan sebuah garis akar problematika penataan kota serta kontribusi masyarakat sipil terhadap visi penataan kota Malang yang belum mengakomodasi hak-hak dasar (basic rights) masyarakat serta prinsip keadilan lingkungan (environmental justice) serta akses yang setara terhadap sumber-sumber kehidupan, melalui frame hak azasi manusia.

B. Materi Hukum atau Kultur Penegakannya ?

Malang dengan kepadatan 6.878 jiwa per kilometer persegi, sebagai potret kota besar di Jawa Timur, 10 tahun terakhir telah mengalami sebuah metamorfosis, yang ditandai dengan masuknya investasi-investasi besar di bidang industri, pariwisata dan pendidikan dengan nilai investasi yang semakin bertambah di tiap tahunnya. Fase metamorfosis tersebut bisa jadi sebuah persimpangan jalan, yang akan menguji sejauh mana sense of suistainable development yang dimiliki oleh penyelanggara kota yang dikenal sebagai kota bunga ini. Karena seperti dinyatakan dalam Declaration on the Right to Development bahwa pembangunan adalah sebuah proses ekonomi, sosial, budaya dan politik yang komprehensif, yang bertujuan untuk peningkatan secara terus menerus dan kesejateraan seluruh penduduk dan setiap individu berdasarkan partisipasi yang aktif, bebas, dan bermanfaat dalam proses pelaksanaan dan di dalam distribusi adil yang dihasilkan pembangunan.

Parameter sederhana adalah pola penataan tata ruang wilayah sebuah daerah/kota, karena tujuan dari sebuah perencanaan tata ruang wilayah adalah mewujudkan ruang wilayah kota/kabupaten yang memenuhi kebutuhan pembangunan dengan

senantiasa berwawasan lingkungan, efisien dalam alokasi investasi, bersinergi dan dapat dijadikan acuan dalam penyusunan program pembangunan untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat.

Ideologi profitopolis / menempatkan kepentingan ekonomi dalam kerangka kebijakan publik adalah sebuah realitas bagi kota Malang. Potret-potret buram pembangunan yang profitopolis tersebut terhampar di berbagai sudut kota Malang. Penetrasi pusat-pusat perdagangan di wilayah pendidikan, hilangnya taman-taman kota diganti dengan perumahan mewah, hutan kota di buldoser, lahan ruang terbuka hijau menjelma menjadi ruko-ruko, hotel, mall dan SPBU, berubah fungsinya aset-aset publik menjadi pusat perdagangan/mall, dan lain-lain; adalah contoh nyata.

Penelitian KSBK tahun 2005 menyebutkan bahwa kebutuhan minimal oksigen untuk kota Malang adalah sebesar 1103,5 ton/hari. Hal tersebut dapat dipenuhi dengan luas kawasan hijau dan peresapan air sebesar 40%. Faktanya sekarang kawasan tersebuka hijau di Malang tinggal 4%, itupun termasuk hutan kota APP di Tanjung (yang sebentar lagi menjadi kompleks perumahan mewah).

Eksploitasi local resourches adalah langkah yang paling mudah dilakukan oleh sebuah pemerintahan. Dalam konteks otonomi daerah, hal ini lazim ditempuh oleh pemerintah daerah/kota-kota besar. Parameter keberhasilan pembangunan daerah masih di-identik-an dengan keberhasilan materi dan fisik, sedangkan orientasi yang bersifat non-fisik dan non-materi adalah orientasi yang tidak menarik dan tidak menguntungkan. Tidak mengherankan ketika aset-aset publik dengan cepat beralih fungsi menjadi ruang-ruang privat, yang hanya bisa diakses oleh masyarakat ekonomi atas.

Perda RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) No 7 Tahun 2001, yang berlaku hingga tahun 2010 harus diakui sudah tidak memiliki relevansi dengan pola pembangunan di Kota Malang. Perda ‘impoten’ tersebut lebih banyak dilanggar daripada dipatuhi dan dijadikan acuan pembangunan. Kewibawaan perangkat hukum tata ruang dan perangkat perijinan berada di bawah bayang-bayang rupiah. Ironisnya, tidak ada yang merasa jengah dengan kenyataan ini.

Memang harus dilakukan evaluasi secara menyeluruh dan secepatnya, sebelum terlanjur semua aset publik berubah menjadi aset-aset ekonomi. Bisa jadi ini memang karena Perda RTRW sudah kehilangan relevansi, atau bisa jadi juga karena faktor mentalitas makelar pemerintah Malang yang lebih suka menjual dan menggandaikan aset-aset publik daripada memberdayakan dan melestarikannya buat kepentingan publik yang lebih besar. Yang mana yang benar ?

Jika terbukti bahwa memang Perda Tata Ruang yang sudah usang, misalnya, maka perubahan dan/atau penyempurnaan Perda Tata Ruang dimungkinkan, tentu setelah

melalui dan mengacu pada hasil evaluasi secara mendalam dan menyeluruh. Mari kota coba untuk menghitungnya :

Parameternya adalah apakah 1) ada perubahan dan/atau penyempurnaan peraturan dan/atau rujukan sistem penataan ruang; 2) ada perubahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang dan/atau sektoral dari tingkat propinsi maupun kabupaten yang berdampak pada pengalokasian kegiatan pembangunan yang memerlukan ruang berskala besar; 3) ada ratifikasi kebijaksanaan global yang mengubah paradigma sistem pembangunan dan pemerintahan serta paradigma perencanaan tata ruang; 4) ada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cepat dan seringkali radikal dalam hal pemanfaatan sumberdaya alam meminimalkan kerusakan lingkungan 5) ada bencana alam yang cukup besar sehingga mengubah struktur dan pola pemanfaatan ruang, dan memerlukan relokasi kegiatan budidaya maupun lindung yang ada demi pembangunan pasca bencana.

Tidak ada satupun kriteria yang terjadi di Malang yang memenuhi parameter tersebut. Artinya memang terdegradasinya Perda RTRW Kota Malang lebih pada rendahnya komitmen dan kemauan politik pemerintah kota Malang terhadap pembangunan yang ramah lingkungan hidup. Sehingga pembangunan hanya dimaknai sebagai upaya peningkatan PAD semata dan simbol-simbol modernisasi. Pemerintah Malang sama sekali tidak berdaya dengan kehadiran investasi yang memang akan selalu menghendaki keuntungan sebesar-besarnya. Keterlibatan pemerintah bukan saja ketika aparatur memberikan perijinan (walaupun tidak ada dasar hukumnya sama sekali), tapi juga upaya pembiaran (tidak ada penegakan hukum), bahkan beberapa kasus justru memfasilitasi investasi yang jelas-jelas melanggar hukum.

Akhirnya, pembangunan kota Malang yang compang-camping ini adalah imbas dari tidak adanya kemauan politik dari penyelenggara pemerintahan di Malang untuk melaksanakan pembangunan yang menghormati dan memenuhi hak-hak dasar (basic rights) masyarakat serta prinsip keadilan lingkungan (environmental justice) serta akses yang setara terhadap sumber-sumber kehidupan.

C. Gerakan Lingkungan Hidup : Gerakan Timbul dan Tenggelam

Sayang sekali, setiap terjadi sebuah moment lingkungan hidup (baca: perusakan lingkungan hidup) nyaris tidak ada sebuah gerakan yang secara massif untuk melawan dan menggagalkan sebuah ‘drama’ perusakan lingkungan hidup baik yang dilakukan oleh pemodal maupun oleh pemerintah sendiri, ataupun yang dilakukan mereka berdua. Setidaknya gerakan lingkungan hidup seolah hanya menjadi milik beberapa aktivis lingkungan hidup yang jumlahnya tidak seberapa dan itu-itu saja. Semuanya tinggal tertegun lesu ketika menyaksikan bahwa semuanya telah terjadi dan dampak sosial telah melanda. Sayang sekali.

Namun kembali, hal tersebut bukan tanpa sebab. Pembungkaman ini terjadi setidaknya dipengaruhi oleh 5 hal :

Pertama, secara normatif, masyarakat tidak diberikan ruang yang mamadai untuk memberikan suatu kontribusi pemikiran yang aspiratif, konstruktif dan evaluatif. Aktivitas pembangunan fisik dan non-fisik masih menjadi otoritas utama penyelenggara dan rekanan pelaksana suatu proyek. Tertundanya pembahasan Rencana Perda Peran Serta Masyarat menjadi bukti bahwa peranserta masyarakat belum menjadi prioritas pembangunan, wajar jika masyarakat sering kali tidak memiliki ruang yang memadai untuk ikut serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi sebuah aktivitas pembangunan yang rentan terhadap eksistensi lingkungan hidup. Fungsi DPRD sebagai lembaga kontrol, tidak berjalan dengan baik karena DPRD lebih sering menjadi alat legitimasi eksekutif dalam setiap pengambilan keputusan daripada menjadi lembaga kontrol.

Kedua, praktek-praktek premanisme yang secara traumatis masih membayangi bagi gerakan lingkungan hidup. Tidak terhitung lagi gerakan lingkungan hidup di Kota Malang yang berakhir dengan aksi premanisme yang dilakukan oleh orang-orang yang sengaja diperintahkan/dibayar untuk melakukan itu. Mulai dari tragedi Tanjung APP yang diwarnai oleh aksi pemukulan yang dilakukan oleh sekelompok laki-laki berbadan tegap berambut cepak kepada aktivis pro-lingkungan hidup, aksi teror kepada seorang akademisi yang getol menyuarakan penolakan pembangunan MATOS, aksi pemukulan terhadap puluhan mahasiswa pada aksi penolakan MATOS, serta pemukulan seorang akademisi Brawijaya yang bahkan dilakukan orang-orang tidak dikenal di gedung dewan DPRD !!!

Ketiga, standar ganda penegakan hukum dilakukan oleh aparat penegak hukum. Tidak terhitung para PKL, pengemis, anak jalanan dan tukang becak yang dirazia, diusir dan ditangkap oleh Satpol PP karena dianggap melanggar Perda dan mengganggu keindahan kota. Sedangkan parade pelanggaran Perda RTRW yang dilakukan oleh pemodal justru dibiarkan, difasilitasi dan bahkan dibuatkan aturan hukum yang melegitimasi pelanggaran.

Keempat, pendidikan lingkungan hidup yang secara kamuflase secara rutin dilakukan oleh pemerintah kota Malang, untuk menutupi aktivitas perusakan lingkungan hidup. Malang Ijo Royo-Royo, pemilihan putri lingkungan hidup dan Malang Tempoe Doeloe dihembuskan sedemikan keras ke media dan masyarakat seolah menjadi bukti bahwa pemerintah kota Malang sangat peduli dengan pembangunan pro-lingkungan hidup.

Kelima, lemahnya konsolidasi dan koordinasi kekuatan-kekuatan masyarakat sipil dan perguruan tinggi yang memiliki komitmen dalam mengembangkan wacana dan gerakan pro-lingkungan hidup. Harus diakui gerakan lingkungan hidup masih didominasi oleh beberapa aktivis pro-lingkungan hidup yang jumlahnya tidak seberapa dan itu-itu saja. Gerakan lingkungan hidup masih belum mampu menyentuh masyarakat di perkampungan, sedangkan gerakan mahasiswa terhadap

isu-isu lingkungan hidup masih bersifat reaksioner. Ini menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah untuk dijawab.

D. Penutup

Tidak harus menjadi putus asa menyaksikan rumitnya krisis tata ruang kota Malang, tapi memang bukan pekerjaan yang ringan untuk mewujudkan pembangunan kota malang yang pro-lingkungan hidup yang meliputi juga materi kehidupan tentang hak-hak dasar (basic rights) manusia serta prinsip keadilan lingkungan (environmental justice) serta akses yang setara terhadap sumber-sumber kehidupan. Yang pasti gerakan lingkungan hidup harus terus dihidupkan sehingga secara massif dapat mengganggu, melawan dan menggagalkan praktek perusakan lingkungan hidup yang terjadi di kota Malang yang sedemikian complicated.

Dokumen terkait